BAB I PENDAHULUAN 1
1.2 Kebijakan dan Program Terkait Agraria di Indonesia 9
berbagai skema untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan penguasaan tanah. Program land reform, transmigrasi, skema Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan berbagai program sektoral lainnya telah diluncurkan. Adapun program nasional yang terkait dengan tanah di antaranya adalah land reform di tahun 1960‐an, Proyek Nasional Agraria Swadaya (Pronas) tahun 1998‐an, Program Redistribusi Tanah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional tahun 2007‐ 2014, dan yang paling akhir adalah Program Larasita (Layanan Masyarakat untuk Sertipikat Tanah). Sasaran dari program tersebut beragam, mulai dari administrasi pertanahan, memindahkan penduduk dari tempat padat ke tempat yang masih kosong, formalisasi atau legalisasi tanah‐tanah yang dikuasai masyarakat, penurunan angka kemiskinan sekaligus mengurangi kesenjangan penguasaan tanah hingga program yang hanya memfokuskan pada pengurangan angka kemiskinan melalui usaha ekonomi produktif.6
6Yang di antaranya dilakukan melalui sertifikasi tanah secara
Di antara upaya‐upaya yang terkait dengan kepemilikan tanah dan akses masyarakat miskin salah satunya adalah upaya sistematis melalui “Pembaruan Agraria” atau ”Reforma Agraria”. Seperangkat peraturan perundang‐undangan sebagai dasar kebijakan pembaruan agraria telah dikeluarkan di era reformasi;diantaranya adalah TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam.
Menariknya, di era Reformasi, sempat terjadi tarik menarik antara pemerintah pusat dan daerah dalam kewenangan di bidang pertanahan. Ketika pada saat dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan bidang pertanahan termasuk pada kewenangan yang diserahkan pada pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian penyerahan kewenangan ini ”dikoreksi’ dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang selain mengubah istilah kewenangan menjadi ”urusan” juga mengembalikan bidang pertanahan ke tangan pemerintah pusat. Padahal sejak tahun 2001, telah banyak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang membentuk Dinas Pertanahan sendiri sebagai pelaksanaan dari UU No. 22 Tahun 2009 tersebut (Murhaini, 2009). Dengan dikembalikannya kewenangan bidang pertanahan menjadi urusanpemerintah pusat, Badan Pertanahan Nasional kemudian tetap menjadi ’motor’ pelaksana bidang pertanahan, dengan Kantor Wilayah Provinsi dan Kabupaten sebagai pelaksana di daerah.
BPN di era Reformasi pun mulai mencoba mereformasi diri, di bawah kepemimpinan Kepala BPN Joyo Winoto, dan sesuai dengan visi misi Presiden terpilih kemudian mulai menjajaki dan bahkan menjalankan program Pembaruan Agraria. Dasar hukumnya selain UUD dan UUPA adalah TAP MPR No. IX Tahun 2001.
mereka sebagai agunan untuk meminjam modal di bank yang tujuannya diharapkan untuk usaha ekonomi produktif.
Meskipun demikian, sebetulnya aturan pelaksana khusus (dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau bentuk lain sebagai pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria) dari Reforma Agraria belum dikeluarkan.7
Sementara itu, di tingkat pelaksanaan, ‐‐meski belum ada aturan hukum pelaksana UUPA yang jelas–pemerintah justru telah mewujudkan pembaruan agraria ini melalui suatu program yang disebut dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Reforma Agraria (RA). Suatu program nasional –yang diharapkan– lintas sektor, pada intinya akan melakukan redistribusi tanah dan juga memberikan kepastian penguasaan hak atas tanah. Disebut lintas sektor, karena obyek tanah pada PPAN/RA tidak hanya tanah‐ tanah di bawah yuridiksi Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti tanah yang Hak Guna Usahanya telah berakhir, atau yang diketahui tidak dimanfaatkan (terlantar); melainkan juga mencakup tanah‐ tanah yang ada di dalam pengelolaan Kementerian Kehutanan, seperti tanah eks‐HPH yang habis masa berlakunya (tanah Hutan Konversi). Selain itu, ciri PPAN/RA yang membedakannya dengan program terdahulu adalah formula penguatan aset (pemberian hak) dan pembukaan akses (modal dan pasar). Program ini harus melibatkan institusi lainnya diluar Badan Pertanahan Nasional, seperti Kementerian Pertanian (Dirjen Perkebunan), Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dan lainnya.
7Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria
merupakan draft rancangan yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional melalui proses diskusi public dan semiloka nasional di beberapa tempat di Indonesia. Hingga awal 2012, RPP RA ini masih belum juga disahkan menjadi suatu peraturan pelaksana dari program Reforma Agraria, akibatnya program yang berjalan sekarang hanya didasarkan pada aturan PP lama yaitu PP No. 224 Tahun 1961 tentang Land Reform, yang di Bab VI buku ini dianalisis perbedaannya secara lebih mendalam.
Berbagai kisah sukses tentang program ini kemudian diklaim oleh pemerintah. Diantaranya ketika tahun 2009, dalam masa kampanye untuk pemilihan presiden kedua kalinya, di dalam iklan ”program land reform”‐nya Susilo Bambang Yudhoyono, mengklaim bahwa sepanjang tahun 2005 – 2008 telah diredistribusikan tanah seluas 349.519 hektar sedangkan selama kurun waktu 1961 – 2004 hanya mencapai 54.500 hektar tanah. Data lain yang telah disajikan pemerintah di dalam laporannya kepada International Conference on
Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) yang diselenggarakan oleh FAO di Brazil pada tahun 2006 mencatat bahwa sepanjang tahun 1962‐1967, di mana program land reform
dijalankan, telah diredistribusikan tanah seluas 801.317 hektar kepada 847,912 kepala keluarga (KK). Sedikit berbeda, data terbaru yang dikutip dari Rencana Strategis BPN 2010‐2014 menunjukkan perkembangan luasan tanah yang berhasil diredistribusikan meningkat rata‐rata per tahunnya sebesar 250%. Jika kurun waktu tahun 1961‐2004 BPN “hanya berhasil” meredistribusikan seluas 26.200 hektar tanah per tahunnya; maka dalam kurun waktu pelaksanaan program Reforma Agraria yaitu kurun waktu 2005‐ 2008 telah berhasil meredistribusikan 91.925 hektar tanah setiap tahunnya. Meskipun dari sisi luasan keseluruhan dalam kurun waktu 1961‐2004 pemerintah telah berhasil meredistribusikan 1.153.685 hektar tanah; dibandingkan kurun waktu 2005‐2008 yang baru meredistribusikan sebesar 367.701 hektar (Renstra BPN, 2010 – 2014).
Jika dikaitkan dengan rencana penggunaan wilayah di Indonesia, data BPN (2001) yang dikutip oleh Lokollo, dkk (2007: IV‐ 9) menunjukkan bahwa dari 191 juta hektar tanah yang tersedia di Indonesia, proporsi peruntukkan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah adalah 35,4 (67 juta hektar) untuk zona konservasi, dan 64,6% (123 juta hektar) untuk zona kultivasi. Masih dalam kajian yang sama menemukan bahwa 18,4% atau 12 juta
hektar tanah di zona konversi telah dimanfaatkan, dan 57,7% atau 71 juta hektar tanah di zona kultivasi belum dimanfaatkan. Data BPN juga menyebutkan bahwa ada tanah terlantar seluas 7,3 juta hektar yang terdiri dari (Renstra BPN, 2010‐2014):
1. Tanah terdaftar (tanah yang sudah memiliki sertipikat) seluas 3.064.003 hektar.
2. Tanah yang sudah memperoleh dasar penguasaan tapi belum memperoleh hak seluas 4.322.286 hektar.
Dengan melihat data‐datatersebut “seolah” menunjukkan bahwa masih terbuka luas pengembangan tanah pertanian baru dengan luasan tidak kurang dari 71 juta hektar atau tanah yang bisa diberi hak seluas 7,3 juta hektar. Tentunya kajian‐kajian dan data ini perlu dianalisa lebih dalam, karena hal ini juga menyangkut asumsi‐asumsi di belakang program‐program redistribusi tanah (termasuk program PPAN/RA) bahwa masih banyak tanah yang bisa dimanfaatkan dan diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin. Apakah di lapangan memang tanah‐tanah ini adalah tanah negara yang betul‐ betul dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup pengelolanya, ataukah mungkin tanah ini sudah ada pemiliknya, atau tidak bisa diolah atau termasuk dalam wilayah hutan yang dilindungi?
Dalam perkembangannya, pengamat agraria menilai program ini berjalan amat lamban yang disebabkan oleh empat hal. Pertama, program ini disandarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebuah lembaga pemerintah non‐departemen yang dinilai ’kurang kuat’ untuk menjalankan agenda besar ini. Kedua, telah ter‐ jadi ego sektoral antar‐kementerian sektoral yang mengelola sumber daya alam sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN/RA yang
cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat (KPA, 2009).
Permasalahan Hukum dan Kelembagaan Program-program Reforma Agraria
Sebetulnya hambatan utama dari berbagai program Reforma Agraria yang pernah dijalankan adalah masih kurang kuatnya landasan hukum, secara normatif dan paradigmatis (terkait dengan tujuan akhir program) serta masih lemahnya kelembagaan, baik dari sisi lembaga pelaksana maupun koordinasi antar lembaga terkait. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok‐Pokok Agraria (selanjutnya UUPA), belum sepenuhnya dapat mewadahi pelaksanaan program‐program yang dicanangkan, tidak semata karena belum adanya aturan pelaksana setingkat Peraturan Pemerintah (PP); namun juga dalam praktiknya UUPA masih di’terjemahkan’ secara berbeda oleh sektor yang berbeda, tentunya demi kepentingan masing‐masing sektor. Disinilah kerancuan hukum menjadi semacam ’benang kusut’ yang perlu dibenahi terlebih dahulu sebagai prasyarat berhasilnya program Reforma Agraria. Belum pula ditambah situasi ”kebekuan” UUPA sepanjang pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan kerja pengelolaan agraria sebagai kerja tertib administratif semata; menjadikan ’bola’ pengelolaan sumber daya agraria menyebar ke sektor‐sektor khusus (kehutanan, pertambangan); sehingga saat ini sudah terlalu sulit untuk ’mengembalikan’ pengelolaan sumber daya agraria ini ke ’jalur’ yang dulu pernah ditetapkan dalam UUPA.
Kajian Evers (2002) dan SMERU (2002) pun semakin menguatkan pendapat bahwa ada permasalahan institusional yang harus dibereskan dalam konteks administrasi pertanahan. Belum lagi permasalahan semakin kompleks dengan diberlakukannya sistem desentralisasi pemerintahan tahun 1999 yang direvisi tahun 2003, yang memperlihatkan tarik menarik kewenangan administrasi
pertanahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (kabupaten/kota). Selain itu, evaluasi terhadap pelaksanaan PPAN/RA diperlukan untuk melihat keterkaitan antara upaya pemberian akses tanah atau lahan dengan upaya‐upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat yang lainnya.
Selain itu, hingga saat ini, karena proses marginalisasi petani dan penggarap yang berujung pada pemiskinan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, seringkali wacana pembaruan agraria hanya dimonopoli oleh aktivis yang bertujuan untuk memperjuangkan nasib mereka (advokasi); dan sangat jarang sekali diskusi pembaruan agraria ini “dikembalikan” pada diskusi akademis (lihat White, 2009).