• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kebijakan Dividen dan Struktur Modal dalam

Asumsi utama yang dipergunakan dalam contracting theory yaitu pemilihan kebijakan perusahaan, baik kebijakan akuntansi, kebijakan struktur modal maupun kebijakan dividen adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Argumentasi ini muncul setelah ada suatu debat tentang timbulnya gagasan

positive accounting theory. Positive accounting theory menjelaskan bahwa perbedaan di dalam pemilihan

kebijakan perusahaan dipengaruhi oleh perilaku manajemen (Watts dan Zimmerman, 1990). Pembedaan kebijakan tersebut berkaitan dengan efficiency

contracting perspective dan pandangan manajemen yang opportunities. Dalam perspective efficiency contracting, manajer akan memilih metode akuntansi yang

akan memperkecil biaya agensi, sehingga pada akhirnya akan memaksimalkan nilai perusahaan.

Perusahaan yang mengarah pada perspective efficiency contracting akan mencari suatu solusi contracting yang terbaik dalam mengimplementasikan kebijakan perusahaan yang dapat diterima baik oleh manajemen maupun pemegang saham (Skinner, 1993). Sebaliknya, pandangan manajemen yang oportunistik akan berasumsi bahwa perbedaan pemilihan kebijakan yang dilakukan ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan manajer.

Smith dan Watt (1992) telah menguji persektif efficiency contracting,

mereka menguji hubungan antara karaktertistik perusahaan yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan dengan pertumbuhan perusahaan. Smith dan Watt (1992) memprediksi secara langsung mengenai hubungan antara pertumbuhan perusahaan dengan kebijakan pendanaan, dividen dan kebijakan kompensasi. Berkaitan dengan kebijakan struktur modal, perusahaan yang mempunyai peluang untuk tumbuh memiliki debt to equity yang lebih rendah dalam struktur modalnya, sebab pembiayaan melalui ekuitas dapat mengendalikan potensi terjadinya under investment yang berasosiasi/berkaitan dengan utang yang beresiko/risk debt

(Myers, 1977). Pada perusahaan yang mempunyai potensi tumbuh juga diduga

berkaitan dengan arus kas perusahaan.

Menurut Smith & Watts (1992), semakin besar jumlah investasi yang

dilakukan perusahaan selama periode tertentu, maka semakin kecil dividen yang dibayarkan atau semakin besar pengeluaran saham baru (new equity issued). Jensen (1986) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai peluang investasi

yang lebih tinggi akan memiliki free cash flow yang lebih rendah dan akan membayar dividen yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki peluang tumbuh. Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara proporsi asset in place dengan dividend policy. Ada dua argumen yang membantah hubungan ini. Pertama, Rozeff (1982) dan Easterbrook (1984; menyatakan bahwa pengeluaran ekuitas yang baru akan menurunkan biaya-biaya agensi dengan melakukan suatu pengawasan yang efektif. Perusahaan dengan kesempatan tumbuh yang lebih rendah akan membayar dividen yang lebih kecil karena hal ini akan memberi manfaat yang lebih besar bagi perusahaan. Kedua, perjanjian dividen yang menetapkan suatu batas maksimum pada pembayaran dividen secara efektif akan memaksa untuk menetapkan batas minimum investasi, (Smith and Watts 1992 ; Kalay, 1982), dengan demikian mengurangi masalah under investment. Menurut Smith dan Watts (1992), hubungan kebijakan investasi dan dividen dapat diidentifikasi melalui arus kas perusahaan. Semakin besar jumlah investasi dalam satu periode tertentu, semakin kecil dividen yang diberikan, karena perusahaan yang tumbuh diidentifikasi sebagai perusahaan yang free cash flow-nya rendah (Jensen, 1986 dalam Smith & Watts, 1992). Hal ini sesuai dengan hipotesis pecking order (Myers dan Majluf

1984, dalam Hartono, 1999) bahwa perusahaan yang profitabel memiliki dorongan membayar dividen relatif kecil dalam rangka memilih dana internal yang lebih banyak untuk membiayai proyek-proyek investasinya. Bahkan bag; perusahaan tumbuh, peningkatan dividen dapat menjadi berita buruk karena diduga perusahaan telah mengurangi rencana investasinya (Hartono, 1999).

Menurut Gaver and Gaver (1993), dividen yield signifikan memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan, namun koefisien pertumbuhan dalam model devidend payout ratio tidak signifikan. Sarni, dkk (1999) menunjukkan bahwa pertumbuhan memiliki koefisien negatif walaupun tidak signifikan dalam model kebijakan dividen jika kebijakan dividen diukur dengan dividend yield, dan sebaliknya berkoefisien positif ketika diukur dengan devidend payout.

Perusahaan yang memiliki utang beresiko tinggi untuk menjalankan proyek dengan net present value positif, dan dapat memungkinkan terjadinya penurunan nilai perusahaan. Penurunan nilai perusahaan dapat terjadi akibat dari tidak dilaksanakannya kesempatan investasi yang menguntungkan, karena perusahaan menganggap debitur akan memiliki klaim pertama terhadap arus kas netto proyek tersebut. Salah satu cara mengendalikan masalah under investment adalah dengan membiayai pilihan-pilihan pertumbuhan dengan menggunakan struktur modal yang lebih menekankan pada modal saham yang lebih besar dibandingkan dengan utang (Myers 1977, dalam Smith & Watts 1992). Manajemen perusahaan yang memiliki kesempatan investasi besar relatif lebih fleksibel untuk bertindak oportunistik dan sulit dideteksi, karena real option sulit diobservasi tanpa informasi dari pihak internal perusahaan. Akibatnya biaya

agensi meningkat (Myers 1977, dalam. Callan dan Hossain 1996). Hal ini menjadi dasar dugaan bahwa level pertumbuhan menjelaskan variasi kebijakan perusahaan, diantaranya kebijakan dividen Jan struktur modal perusahaan.

Kebijakan dividen menyangkut keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna diinvestasikan kembali di dalam perusahaan. Model dasar harga saham memperlihatkan bahwa jika perusahaan bersangkutan menjalankan kebijakan untuk membagikan tambahan dividen tunai, hal ini akan meningkatkan nilai perusahaan yang tercermin dalam peningkatan harga saham. Namur jika dividen tunai meningkat, maka akan semakin sedikit dana yang tersedia untuk melakukan investasi kembali, sehingga tingkat pertumbuhan yang diharapkan untuk masa mendatang akan rendah, dan hal ini akan menekan harga saham. Pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham menyebabkan posisi kas suatu perusahaan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan berubahnya struktur modal perusahaan yaitu rasio antara, utang dan ekuitas akan semakin besar. Dampak yang ditimbulkannya adalah para pelaku pasar akan berfikir secara negatif terhadap perusahaan. Kebijakan dividen yang optimal pada suatu perusahaan adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan perusahaan dimasa mendatang.

Modigliani dan Miller (1961) mengemukakan bahwa, dengan suatu keputusan investasi tertentu, rasio dividen yang dibagikan tidak ada pengaruhnya terhadap nilai perusahaan. Inti dari pendapat mereka adalah bahwa kebijakan dividen, tidak relevan. Menurut Modigliani dan Miller (1961), penganjur utama, teori ketidakrelevanan dividen (dividend irrelevance theory), bahwa nilai

perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk menghasilkan laba serta, resiko bisnisnya. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan tergantung semata-mata pada laba yang dihasilkan oleh aktivanya bukan pada bagaimana laba tersebut dibagikan diantara pembayaran dividen dengan laba yang ditahan. Bird in the Hand Theory yang diajukan Gordon dan Limner (1963), mengemukakan bahwa ada hubungan antara nilai perusahaan dengan kebijakan dividen. Mereka mengemukakan bahwa nilai perusahaan akan dimaksimumkan oleh rasio pembayaran dividen yang tinggi, karena investor menganggap bahwa resiko dividen tidak sebesar resiko kenaikan nilai modal. Dengan kata lain investor lebih menyukai keuntungan dalam bentuk dividen daripada keuntungan yang diharapkan dari kenaikan nilai modal. Hal ini dapat dipahami mengingat keuntungan dalam bentuk dividen lebih real untuk diterima.

2.4. Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Divides dan Struktur Modal dalam

Dokumen terkait