• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kebijakan Dividen

2.2.1. Pengertian Kebijakan Dividen

Kebijakan dividen adalah keputusan mengenai apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi pada masa yang akan datang (Sartono, 2001 : 281). Dalam kebijakan dividen, terdapat pilihan yang tidak mudah dalam membagikan laba sebagai dividen atau menahan untuk diinvestasikan kembali. Apabila perusahaan memilih membagikan laba sebagai dividen maka tingkat pertumbuhan akan berkurang dan akan berdampak negatif terhadap harga saham. Di sisi lain, apabila perusahaan tidak membagikan dividen maka pasar akan melihat sebagai sinyal negatif atas prospek perusahaan. Peningkatan dividen memberikan sinyal perubahan yang menguntungkan pada harapan manajer dan penurunan dividen menunjukkan pandangan pesimis prospek perusahaan di masa yang akan datang.

Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk kepentingan pihak perusahaan. Jika manajemen meningkatkan porsi laba per lembar saham yang dibayarkan sebagai dividen, maka mereka dapat meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, hal ini menyarankan bahwa keputusan dividen yaitu jumlah dividen yang dibayarkan merupakan suatu hal yang sangat penting (Sharpe, et.al., 1993:512).

Kebijakan dividen bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan

(earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk digunakan di dalam kegiatan operasional perusahaan yang berarti laba tersebut harus ditahan di dalam perusahaan (Riyanto, 2001:265). Kebijakan dividen menentukan jumlah laba yang dapat ditahan dalam perusahaan sebagai sumber pendanaan akan tetapi dengan menahan laba saat ini dalam jumlah yang lebih besar dalam perusahaan juga berarti lebih sedikit uang yang akan tersedia bagi pembayaran dividen pada saat ini. Jadi aspek utama dalam kebijakan dividen perusahaan adalah menetukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran dividen dengan penambahan laba ditahan perusahaan (Horne dan Wachowicz, 2005 : 270).

Gitman (2003:570), mengatakan bahwa “kebijakan dividen menunjukkan kebijakan yang menentukan besarnya persentase setiap dolar yang diperoleh yang didistribusikan kepada pemilik dalam bentuk kas, dihitung dengan membagi dividen kas perusahaan per share dengan penghasilan per saham. Keown (2005:607), mengatakan bahwa kebijakan dividen adalah kebijakan yang menentukan jumlah dividen relatif terhadap laba bersih perusahaan atau penghasilan per saham.

Dari pengertian kebijakan dividen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen merupakan rencana pembagian pendapatan yang harus diikuti dalam membuat keputusan dividen, apakah dividen akan dibayarkan atau ditahan dalam perusahaan sebagai laba ditahan.

Menurut Sundjaja dan Barlian (2002:387), faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen antara lain:

1. Faktur hukum yang menyangkut peraturan mengenai penggunaan laba bersih untuk membayar deviden tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan. Faktor hukum juga akan melindungi para kreditur yang melarang pembayaran dividen yang berasal dari modal dan bukan dari laba usahanya. Faktor hukum juga memperbolehkan perusahaan untuk tidak membayar dividen jika jumlah utang perusahaan lebih besar dari jumlah hartanya.

2. Posisi Likuiditas. Semakin tinggi tingkat likuiditas perusahaan, maka semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen kepada para pemegang saham.

3. Pembayaran pinjaman jangka panjang yang mengharuskan perusahaan untuk menahan laba sehingga perusahaan tidak akan membagikan dividen kepada para pemegang saham.

4. Kontrak pinjaman yang seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Hal ini terjadi karena dividen pada masa mendatang hanya dapat dibayarkan dari laba yang diperoleh sesudah perjanjian hutang sehingga dividen tidak dapat dibayar dari laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya karena dividen tidak dapat dibayarkan apabila modal kerja (aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar) berada di bawah jumlah yang ditetapkan.

5. Pengembangan aktiva perusahaan yang membutuhkan dana yang cukup besar sehingga mengakibatkan semakin banyak laba yang harus ditahan dan menunda pembayaran dividen.

6. Tingkat pengembalian asset yang menentukan pembagian laba dalam bentuk deviden yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan kembali di dalam perusahaan maupun di tempat lain.

7. Stabilitas keuntungan yang baik mengakibatkan perusahaan akan membagikan keuntungannya dalam bentuk dividen dengan persentase yang lebih besar sebab perusahaan memiliki tingkat kepastian perolehan laba yang tinggi pada masa mendatang.

8. Pasar modal dapat membantu perusahaan besar yang memiliki profitabilitas yang tinggi dan keuntungan teratur untuk dapat masuk ke pasar modal dan memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya sehingga perusahaan dapat memenuhi pembayaran dividen kepada investor.

9. Pengendalian terhadap perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dengan tidak menjual saham baru dan tidak membagikan laba mengakibatkan pembagian dividen dalam bentuk kas menjadi rendah. 10. Keputusan kebijakan dividen dengan mempertahankan dividen per lembar

saham pada tingkat yang konstan yang tidak diimbangi dengan naiknya keuntungan sehingga mempengaruhi pembagian dividen karena dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan cukup permanen.

Menurut Riyanto (2001:281), faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam kebijakan dividen suatu perusahaan antara lain:

1. Posisi likuiditas yang baik akan memungkinkan pembayaran dividen yang baik. Semakin kuat posisi kas suatu perusahaan terhadap prospek kebutuhan dana pada masa mendatang mengakibatkan semakin tingginya jumlah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham.

2. Kebutuhan dana untuk membayar hutang yang dibayarkan melalui bagian dari pendapatan yang ditahan mengakibatkan semakin rendahnya dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham.

3. Tingkat perluasan perusahaan yang mengakibatkan semakin besar dana yang dibutuhkan karena semakin besar bagian dari pendapatan perusahaan yang ditahan sehingga jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham akan semakin rendah.

4. Pengawasan terhadap perusahaan yang mempercayakan pada pembelanjaan internal dalam rangka usaha mempertahankan pengendalian terhadap perusahaan mengakibatkan pembayaran dividen semakin rendah karena semakin banyak dana yang dibutuhkan yang bersumber dari laba ditahan.

2.2.2. Teori tentang Kebijakan Dividen

Teori kebijakan dividen merupakan teori yang mengkaji tentang penentuan besarnya alokasi laba yang tersedia bagi pemegang saham biasa pada dividen dan laba ditahan terhadap nilai pasar saham yang berlaku yang menjadi penentu nilai dari suatu perusahaan. Berbagai teori dan temuan empiris berkaitan dengan

kebijakan dividen banyak ditemukan dalam literatur keuangan, tetapi keputusan investasi dan keputusan pendanaan yang baik tidak dapat digantikan oleh kebijakan dividen. Teori tentang kebijakan dividen terus berkembang dan mengalami kemajuan dan sampai saat ini ada beberapa teori kebijakan dividen yang telah dikemukakan.

1. Dividend Irrelevance Theory

Teori ini diperkenalkan oleh Miller dan Modigliani (1961:411) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh kebijakan dividen yang diputuskan atau dilaksanakan perusahaan terhadap nilai perusahaan (aset) yang dimiliki perusahaan. Investor yang memiliki saham pada perusahaan tidak akan terpengaruh terhadap nilai aset / investasi bila perusahaan melakukan atau memutuskan untuk membagi dividen. Tidak ada pengaruhnya kebijakan dividen terhadap investasi atau aset investor karena investor dapat membuat dividen sendiri (home made).

Nilai perusahaan tidak tergantung kepada kebijakan perusahaan atau dividen yang dibayarkan perusahaan kepada pemegang saham melainkan sangat tergantung kepada pilihan investasi optimal yang dilakukan oleh perusahaan. Nilai perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan risiko investasi serta memisahkan antara dividen dan dana internal yang ditahan (laba ditahan) yang tidak mempengaruhi nilai perusahaan.

Nilai perusahaan tergantung kepada kebijakan investasi dan bukan pada berapa jumlah laba yang dibagi untuk dividen dan berapa jumlah laba yang tidak dibagi yang dijadikan sebagai laba ditahan (retained earning). Pendapat ini

bertolak dari dua pemikiran. Pertama: diasumsikan bahwa keputusan investasi dan penggunaan utang sudah dibuat dan tidak mempengaruhi besar kecilnya dividen yang dibayarkan. Kedua: pasar modal yang sempurna diasumsikan ada. Hal ini berarti (1) investor dapat menjual dan membeli saham tanpa membayar biaya transaksi karena informasi dalam pasar modal yang sempurna tersebar luas sehingga investor dapat melakukan sendiri segala sesuatu yang diinginkannya; (2) setiap perusahaan dapat menerbitkan saham tanpa adanya biaya emisi atau

flotation cost dan biaya transaksi; (3) tidak ada pajak pendapatan perseorangan maupun pajak penghasilan perusahaan; (4) informasi yang lengkap mengenai setiap perusahaan selalu tersedia sehingga investor tidak perlu melihat pengumuman khusus mengenai pembayaran dividen sebagai indikator penting dari kondisi perusahaan; serta (5) tidak terdapat konflik atau tidak ada masalah keagenan antara pihak manajemen dengan para pemilik saham.

Pembayaran dividen merupakan selisih (residual) antara pendapatan dan investasi sehingga dividen yang dibayar selalu disesuaikan dengan tingkat pendapatan dan jumlah sahamnya. Pengaruh pembayaran dividen terhadap kemakmuran pemegang saham akan diimbangi dengan jumlah yang sama dengan sumber dana yang lain melalui pembelanjaan atau pemenuhan dana yang lain yaitu dengan mengeluarkan saham baru sebagai pengganti sejumlah pembayaran dividen yang telah dilakukan perusahaan kepada para pemegang sahamnya. Dengan demikian, kenaikan pendapatan dari pembayaran dividen akan diimbangi dengan penurunan harga saham sebagai akibat dari penjualan saham baru sehingga laba yang diperoleh dan dibagikan sebagai dividen atau akan ditahan

dalam bentuk laba ditahan tidak akan mempengaruhi kemakmuran pemegang saham.

2. Bird in The Hand Theory

Gordon dan Lintner (1963:264) dengan Bird in The Hand Theory

berpendapat bahwa dividen lebih baik daripada capital gain karena dividen yang dibagi kurang berisiko. Investor lebih merasa aman memperoleh pendapatan berupa pembayaran dividen daripada menunggu capital gain yang belum tentu akan diperoleh pada masa mendatang atau kedua-duanya tidak diperoleh padahal perusahaan membagikan dividen tergantung kepada prospek perusahaan pada masa yang akan datang.

Bila perusahaan melihat adanya prospek yang lebih bagus di masa mendatang dengan melakukan investasi, maka perusahaan kemungkinan besar tidak akan membagikan dividen. Sebaliknya, perusahaan akan membagikan dividen bila tidak ada pilihan investasi yang dapat meningkatkan nilai perusahaan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan pandangan investor tersebut dalam rangka membagikan dividen. Harapan pembagian dividen sangat dibutuhkan agar harga saham mengalami kenaikan dan akhirnya memperoleh capital gain.

Perusahaan seharusnya membentuk risiko pembayaran dividen dengan menawarkan dividen yield yang tinggi agar dapat memaksimalkan harga sahamnya. Keyakinan bahwa kebijakan dividen perusahaan itu tidak penting secara implisit mengasumsikan bahwa seorang investor menggunakan required rate of return yang sama, baik pendapatan itu berupa dividen maupun capital

gain. Pendapatan dividen memiliki sifat yang lebih pasti (predictable) daripada

capital gain. Pihak manajemen perusahaan dapat mengendalikan dividen, tetapi tidak dapat mengendalikan harga sahamnya di pasar modal. Ini berarti kadar risiko caiptal gain lebih besar. Oleh karena itu, rate of return yang digunakan ketika mengurangi jumlah capital gain harus lebih tinggi dari yang digunakan terhadap pendapatan dividen.

3. Tax Preference Theory

Tax Preference Theory yang dikemukakan Farrar dan Slewyn (1967:444) dan Brennan (1970:417) menjelaskan bahwa investor lebih menyukai laba ditahan

(retained earning) daripada dividen. Teori ini menyarankan agar perusahaan membayarkan dividen yang rendah jika ingin memaksimalkan harga sahamnya. Teori perbedaan pajak ini menerangkan bahwa kebijakan yang terbaik adalah tidak membayar pajak sama sekali.

Teori Miller Modigliani menyatakan bahwa pada pasar persaingan sempurna tidak diperlukan pajak sehingga tidak ada perlakuan pajak yang berbeda antara dividen dengan capital gain. Tetapi kenyataannya, pajak itu selalu ada seperti yang dialami investor dimana setiap dividen yang dibayarkan akan dikenakan pajak. Padahal seharusnya dividen yang diterima investor tidak seharusnya dikenakan pajak dikarenakan perusahaan telah membayar pajak atas bagian keuntungan yang dibagikan (dividen) tersebut. Bila investor membayar kembali pajak atas dividen yang diterimanya, maka telah terjadi pajak berganda karena perpindahan keuntungan (dividen) terjadi bukan dikarenakan adanya nilai

tambah yang dilakukan sehingga dividen tersebut bertambah ketika sampai di tangan investor.

Adanya perlakuan pajak yang berbeda ini membuat investor selalu berpikir agar dividen yang diterimanya sudah bersih tanpa ada lagi pembayaran pajak sehingga jelas perhitungan pendapatannya yang siap dikonsumsikan. Pemikiran investor ini diperhatikan oleh agen perusahaan agar agen tersebut mengurangi dividen dalam rangka memaksimumkan nilai perusahaan sebab pajak mempengaruhi pembayaran dividen perusahaan. Pembayaran dividen yang kecil akan membuat biaya modal kecil dan harga saham mengalami kenaikan dan bila diperhatikan dengan seksama bahwa pajak dividen selalu lebih tinggi daripada

capital gain.

Pemegang saham lebih baik menjual saham mereka beberapa lembar pada suatu saat dan membayar pajak keuntungan modal yang lebih rendah. Pendapat ini terutama didasarkan pada perbedaan perlakuan pajak terhadap pendapatan dividen dan capital gain. Suatu kenyataan bahwa semua investor harus membayar pajak pendapatan. Dengan demikian, bagi investor tujuan yang harus dicapai adalah maksimalisasi tingkat hasil investasi setelah dipotong pajak tanpa harus menanggung risiko yang terlalu besar. Tujuan ini direalisir melalui upaya meminimalkan tingkat pajak efektif atas pendapatan mereka dan sedapat mungkin menunda pembayaran pajak tersebut.

Meskipun keuntungan pajak yang terkandung dalam capital gain kini tidak ada lagi, investor masih memiliki keuntungan tambahan dibandingkan dengan pendapatan dividennya. Pajak untuk pendapatan dividen harus langsung

dibayarkan pada saat dividen itu diterima, tetapi pajak atas apresiasi harga saham

(capital gain) tertunda sampai saham tersebut benar-benar terjual. 4. Clientele Effect Theory

Teori ini dikemukakan oleh Miller dan Modigliani (1961:414) dalam mempertahankan pandangan teorinya yaitu Dividend Irrelevance Theory. Pemegang saham perusahaan bervariasi dari segi pendapatan dan karakteristik lainnya sehingga investor tersebut mempunyai preferensi tersendiri atas investasi pada saham. Kelompok berpendapatan rendah menginginkan dividen yang tinggi untuk menambah pendapatan sementara kelompok yang berpendapatan yang tinggi menginginkan dividen yang rendah dan capital gain yang tinggi sehingga terjadi kelompok peminat pada pemilik perusahaan yang disebut clientele.

Perusahaan harus memperhatikan clientele ini dalam mengambil keputusan dalam membayar dividen. Pada sisi lain, pemerintah memberlakukan pajak yang berbeda terhadap kelompok-kelompok atau berdasarkan kelembagaan tersebut sehingga lembaga tersebut mempunyai keinginan tersendiri untuk dividen.

Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang ingin memperoleh pendapatan saat ini lebih menyukai dividend payout ratio yang tinggi daripada menahan laba dan kelompok yang tidak membutuhkan pendapatan saat ini lebih menyukai perusahaan menahan laba bersih perusahaan daripada membagikan dividen.

Jika terdapat perbedaan pajak bagi individu, maka kelompok pemegang saham dikenakan pajak tinggi lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang bila perusahaan membagikan dividen yang kecil sedangkan kelompok pemegang saham yang dikenakan pajak yang rendah akan cenderung menyukai dividen yang besar.

Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari clientele ini ada namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa dividen besar lebih baik daripada dividen kecil dan sebaliknya dividen kecil tidak lebih baik daripada dividen besar. Efek

clientele ini hanya menyatakan bahwa bagi kelompok pemegang saham, kebijakan dividen tertentu lebih menguntungkan kelompok tersebut.

5. Signaling Hypothesis Theory

Teori ini juga dikemukakan oleh Miller dan Modigliani (1961:418) untuk mempertahankan pandangan teorinya (Dividend Irrelevance Theory). Pembayaran dividen oleh perusahaan mengandung informasi yang dapat dilihat dari sisi investor dan sisi manajer perusahaan. Manajer perusahaan lebih mengetahui keadaan perusahaan dan kelanjutannya (going concern) sementara investor kurang mengetahui keadaan perusahaan. Laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan tidak banyak memberikan informasi mengenai perusahaan. Salah satu tindakan perusahaan yang banyak memberikan informasi mengenai investor adalah pembayaran dividen yang dilakukan perusahaan. Perusahaan tidak mungkin akan membayar dividen bila kinerja dan kondisi keuangan perusahaan berada pada posisi yang tidak baik. Pembayaran dividen merupakan sumber informasi bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang sangat baik bahkan

investor memandang pemberian dividen merupakan kinerja perusahaan yang baik dan adanya kelebihan dana.

Pada sisi lain, manajer perusahaan membuat keputusan bahwa pemberian dividen dikarenakan tidak ditemukannya investasi yang optimal sesuai dengan Teori Miller dan Modigliani, dimana nilai perusahaan meningkat karena pilihan investasi yang optimal, artinya perusahaan memberikan dividen kepada investor agar dana tersebut dikelola untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih baik bila tetap hanya di perusahaan.

Teori ini mengemukakan bahwa kenyataannya dividen memiliki pengaruh terhadap harga saham karena dividen digunakan investor sebagai prediktor kinerja perusahaan pada masa mendatang. Kenaikan dividen pada umumnya diikuti dengan kenaikan harga saham sedangkan penurunan dividen diikuti dengan penurunan harga saham. Hal ini membuktikan bahwa para investor lebih menyukai dividen daripada capital gain.

Ketika perusahaan memiliki risiko pembayaran dividen yang stabil sepanjang waktu dan perusahaan meningkatkan rasio tersebut, keadaan ini menberi sinyal kepada para investor bahwa pihak manajemen mengumumkan perubahan positif dalam profitabilitas pada masa mendatang. Selanjutnya harga saham akan bereaksi positif terhadap kenaikan dividen ini. Penurunan dividen dan kenaikan dividen yang berada di bawah kenaikan yang biasanya merupakan sinyal bagi investor bahwa perusahaan menghadapi masa sulit pada masa yang akan datang.

Para manajer perusahaan yang mengetahui lebih banyak tentang keadaan perusahaan yang sebenarnya diharapkan dapat menggunakan dividen sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang baik dan yang belum dikenal di pasar. Para investor dapat menggunakan informasi tentang perubahan dividen ini sebagai sinyal atas kondisi keuangan perusahaan yang sesungguhnya terutama tingkat kemampuannya menghasilkan keuntungan. Kenaikan dividen yang lebih besar diharapkan mengisyaratkan kepada investor bahwa perusahaan akan mampu meningkatkan keuntungannya sedangkan penurunan dividen yang lebih besar dari yang diperkirakan menandakan bahwa keuntungan perusahaan akan mengalami penurunan.

6. Teori Dividen Residual

Teori dividen residual menyatakan bahwa ketika perusahaan akan memutuskan berapa banyak uang kas yang harus dibagikan kepada pemegang saham, ada dua hal yang harus tetap diingat, yaitu: (1) tujuan utamanya adalah untuk memaksimumkan nilai pemegang saham, dan (2) arus kas yang dihasilkan perusahaan merupakan milik pemegang saham (Brigham dan Houston, 2001:110). Manajemen harus menahan diri dengan upaya menahan laba kecuali jika laba itu dapat diinvestasikan kembali guna menghasilkan pengembalian yang lebih tinggi yang juga ikut dirasakan oleh pemegang saham daripada yang diperoleh pemegang saham jika mereka menginvestasikan uang itu dalam investasi yang berisiko sama. Dengan demikian, ekuitas internal, laba ditahan, lebih rendah biaya modalnya daripada ekuitas eksternal, saham biasa baru.

Kondisi ini mendorong perusahaan untuk menahan laba karena menambah dasar ekuitas internal dan dengan demikian mengurangi kemungkinan bahwa perusahaan harus menambah ekuitas eksternal di masa mendatang untuk mendanai investasinya.

Adanya biaya penerbitan saham baru menonjolkan perbedaan antara modal internal dan eksternal. Tanpa biaya penerbitan, perusahaan tidak akan bersusah payah menentukan berapa besarnya dividen dan berapa besarnya laba ditahan, demikian pula berapa besarnya pendanaan eksternal. Dengan adanya biaya penerbitan itu, perusahaan jelas akan mengutamakan pendanaan internal.

Konsekuensinya, perusahaan akan melakukan pembayaran dividen setelah dana-dana kebutuhan investasi terpenuhi; dengan kata lain, hanya jika ada “pendapatan tersisa” atau pendapatan residual, maka dividen akan dibayarkan. Inilah inti dari teori dividen residual atau residual dividend theory (Elton dan Gruber, 1970:68).

Lebih ditegaskan lagi, bahwa apabila fakta biaya-biaya penerbitan sekuritas diperhitungkan, maka kebijakan dividen perusahaan memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) mempertahankan rasio hutang optimum dalam pendanaan investasi mendatang; (2) menerima suatu investasi hanya jika NPV (Net Present Value)nya positif; (3) mendahulukan pendanaan internal, kalau ternyata tidak mencukupi, barulah perusahaan akan menerbitkan saham tambahan; dan (4) apabila setelah kebutuhan dana investasi terpenuhi masih ada sisa, maka perusahaan akan membayar dividen. Sedangkan apabila tidak ada dana yang tersisa, maka dividen tidak dibayarkan (Elton dan Gruber, 1970:70).

Dengan demikian, konsekuensi dari apa yang telah diuraikan di atas adalah bahwa, rasio pembayaran dividen yang optimal merupakan fungsi dari empat faktor, yaitu: (1) pilihan investor atas dividen lawan keuntungan modal, (2) peluang investasi perusahaan, (3) struktur modal yang ditargetkan, dan (4) ketersediaan dan biaya dari modal eksternal. Ketiga elemen terakhir digabungkan ke dalam model dividen residual (residual dividend model).

Menurut teori ini, kebijakan dividen memiliki pengaruh yang pasif, jadi tidak bisa mempengaruhi secara langsung harga saham umum di bursa (Brigham dan Houston, 2001:115).

2.2.3. Jenis Kebijakan Dividen

Kebijakan dividen menurut Riyanto (2001:289) dapat dibagi ke dalam 4 (empat) bagian berikut:

1. Kebijakan dividen yang stabil

Kebijakan dividen yang stabil merupakan jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi.

2. Kebijakan pembayaran dividen dengan penetapan jumlah minimal plus jumlah ekstra tertentu.

Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen perlembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik perusahaan akan membayarkan dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut.

3. Kebijakan dividen dengan penetapan dividend payout ratio yang konstan. Kebijakan ini menjelaskan bahwa perusahaan yang menjalankan

Dokumen terkait