• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

DEPARTEMEN ILMU EKONOM

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Pengertian Desentralisas

2.4 Kebijakan Fiskal Untuk Pembangunan Ekonom

Kebijakan Fiskal diberlakukan pemerintah sebagai sarana fasilitasi dalam penstabilan anggaran keuangan. Kebijakan fiskal berperan dalam memacu laju

pertumbuhan daerah sebagai dasar pembangunan nasional. Dalam Jhingan (2000) menyebutkan kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan berikut : (1) untuk meningkatkan laju investasi; (2) untuk mendorong investasi optimal secara sosial; (3) meningkatkan kesempatan kerja; (4) untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional; (5) untuk menanggulangi inflasi; dan (6) untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional (Rindayati, 2009).

Dalam hal ini kebijakan fiskal merujuk kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti pajak, subsidi dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dengan mengontrol antara 15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan kekuatan utama dalam menggerakkan perekonomian dibanyak negara berkembang. Jadi berdasarkan volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua lingkaran ekonomi. Kebijakan fiskal memengaruhi kegiatan perekonomian melalui : (1) alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan pengeluaran publik, (2) bentuk- bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah dan (3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro, 2000; Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2000; Rindayati, 2009).

Tantangan dalam penerapan desentralisasi fiskal tidak hanya dalam penentuan strategi pembiayaan yang tepat tetapi juga kepada masalah pengendalian defisit anggaran. Defisit anggaran merupakan penyebab utama ketidakseimbangan makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan komponen utama pada kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip pengurangan defisit anggaran dapat dilakukan melalui dua hal : (1) dapat

dikurangi melalui pengeluaran anggaran, dan (2) peningkatan pendapatan pemerintah. Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan, penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan sebagai berikut : 1. Pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih substansial dan lebih

cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta peningkatan pajak pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem pajak dan aturan mengenai pajak yang memakan waktu.

2. Tujuan utama dari program penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan negara dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi serta peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (Jhingan, 2000; Todaro, 2000).

Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : (1) pengurangan tenaga kerja di sektor publik dan upah, (2) pengurangan investasi publik, (3) pengurangan subsidi dan (4) pengurangan / pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal dengan pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan dan ketahanan pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran dan permintaan tenaga kerja, kredit, komoditi yang dipasarkan dan menyebabkan perubahan dalam infrastruktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada pendapatan rumah tangga, permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan intensitas dari pengaruh tersebut tergantung pada pendekatan terhadap pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan ekonomi suatu negara, kerangka

waktu dan pada suksesnya program penyesuaian yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi (FAO, 1997 ; Rindayati, 2009).

2.5 Konsep Ketahanan dan Indikator Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan fenomena yang kompleks, mencakup banyak aspek dan faktor terkait yang luas. Istilah ketahanan pangan muncul pada tahun 1974 ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli. Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (FSVA, 2009).

Ketahanan pangan merupakan pilar utama suatu negara dalam perencanaan pembangunan. Ketahanan pangan merupakan jalan yang strategis dalam memacu perekonomian. Hal ini dikarenakan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memerlukan pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek- aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga atau individu ditentukan oleh interaksi dari

faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik (FSVA, 2009).

Soeharjo (1995), berpendapat bahwa konsep ketahanan pangan dapat diterapkan pada berbagai tingkatan : global, nasional hingga tingkat rumah tangga atau individu. Disebutkan pula bahwa situasi ketahanan pangan antar tingkatan tersebut dapat saling dukung. Hardiansyah et al (1998) berpendapat bahwa karena tidak setiap rumah tangga atau individu mempunyai akses terhadap proses produksi pangan dengan terbatasnya pemilikan lahan pertanian, untuk mencapai ketahanan pangan rumah tangga, dibutuhkan dukungan ketersediaan pangan di tingkat lokal dan nasional. Sedangkan, Simatupang (1999) lebih melihat hubungan antara ketahanan pangan di tingkat global, nasional hingga rumah tangga atau individu sebagai suatu sistem hirarkis (hierarchial system) (Saliem, 2004).

Pentingnya ketahanan pangan ditunjukkan oleh Timmer (1996) dalam Amang dan Sawit (2001) yang menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia, Jepang, dan Inggris bahwa tidak satupun negara dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan. Untuk Indonesia perekonomian beras terbukti secara signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960an.

Ketahanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara yang spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan

pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh tumah tangga dan pemanfaatn pangan oleh individu (FSVA, 2009). Untuk mengukur ketahanan pangan baik secara mikro dan makro dapat dicerminkan oleh beberapa indikator tergantung dari tujuan dan kepentingan dari penelitian yang dijalankan serta ketersediaan data (Rindayati, 2009).

Indikator-indikator ketahanan pangan tersebut diantaranya adalah : (1) produksi pangan baik tingkat rumah tangga, wilayah, regional, nasional; (2) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, wilayah, regional, nasional; (3) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga; (4) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga; (5) keadaan konsumsi pangan; (6) status gizi; (7) angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; (8) angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (9) skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi; (10) kondisi keamanan pangan; (11) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; (12) tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan; (13) kemampuan untuk stok pangan; (14) indeks diversifikasi pangan (indeks herfindahl, indeks simpson, indeks entropy); dan (15) indeks kemandirian pangan (Saliem et al., 2005; Ariani et al., 2007; Rindayati, 2009).

Keadaan ketahanan pangan harus didukung dengan ketersediaanya dana yang cukup (negara dan rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ketersediaan dana menentukan tingkat konsumsi bahan pangan baik dilihat dari konsumsi kalori maupun konsumsi protein. Kalori dan protein dibutuhkan tubuh dalam proses pengembangan organ fisik maupun non fisik. Kebutuhan akan kalori

dan protein digunakan dalam mengatasi kondisi rawan pangan yang dibutuhkan dalam ketahanan pangan nasional. Dalam usia produktif antara usia 19-29 tahun angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari adalah, untuk pria energi yang dibutuhkan 2550 kkal dan protein 60 gr, sedangkan untuk wanita energi yang dibutuhkan sebesar 1900 dan protein 50 gr. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kecukupan gizi yang sesuai produktivitas akan optimal. Ketersediaan bahan pangan di suatu daerah bisa menjadi penyebab suatu daerah menjadi rawan pangan yang berpengaruh dalam pembangunan nasional. Suatu wilayah yang dikatakan rawan pangan dapat dilihat dari ketersedian bahan pangan dan kemudahan dalam mengakses bahan pangan tersebut.

2.6 Peranan Pemerintah

Desentralisasi memberi peranan terhadap fungsi dan wewenang pemerintah. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah melakukan upaya fiskal dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan pembelanjaan barang publik. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Dalam model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, presentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan

prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya (Santosa, 2005).

Wagner dalam teori yang disebut hukum Wagner mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Wagner menerangkan mengapa peran pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Formulasi hukum Wagner ialah sebagai berikut :

PkPP1 < PkPP2 < ... < PkPPn PPK1 PPK2 PPKn

dimana: PkPP = pengeluaran pemerintah per kapita

PPK = pendapatan per kapita, yaitu GDP atau jumlah penduduk 1,2,..,n = jangka waktu (tahun)

Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap unsur satu lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam

pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan sebagian lain untuk kegiatan pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Pembelanjaan-pembelanjaan tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi (Santosa, 2005).

Kebijakan fiskal yang berarti penggunaan pajak, subsidi, pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi dapat digunakan sebagai faktor pendorong dalam kegiatan perekonomian daerah. Khususnya dalam pengalokasian anggaran belanja pemerintah yang digunakan dalam peningkatan ketahanan pangan.

2.7 Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Ricardson (2001) adalah titik berat dalam analisis perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya (Rindayati, 2009).

Konsep yang bisa digunakan untuk menggambarkan pendapatan daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau

gross value added (output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor perekonomian di suatu daerah. Pada tingkat nasional pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada daerah merupakan laju dari nilai PDRB yang merupakan ukuran dasar dari penampilan performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDRB suatu daerah adalah penjumlahan dari PDRB beberapa sektor perekonomian yang ada pada daerah tersebut (Rindayati, 2009). Peningkatan perekonomian daerah bisa dilihat dari peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan indikator dalam kemandirian daerah dalam menjalankan perekonomiannya. Pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Dari sisi penawaran agregat pertumbuhan ekonomi daerah didasarkan pada pendekatan fungsi produksi agregat yang merupakan fungsi dari teknologi, kapital (modal fisik dan finansial) dan tenaga kerja (Dornbusch and Fischer, 1989; Rindayati, 2009). Dalam Todaro (2000) menjelaskan adanya teori pertumbuhan baru / endogenous, pertumbuhan output dipengaruhi oleh teknologi, kapital dan modal manusia yang menyatu dengan ilmu pengetahuannya. Secara matematis dapat dirumuskan yaitu :

Y(t) = T(t)K(t)L(t)...(2.1) dimana :

T = tingkat teknologi yang digunakan K = kapital / modal fisik dan finansial

L = modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai

2.8 Penelitian Terdahulu

Wiwiek Rindayati (2009), dalam disertasi “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat”. Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal membawa perubahan struktur penerimaan dan struktur pengeluaran pemerintah. Penerimaan daerah mengalami peningkatan secara signfikan. Peningkatan terjadi pada semua komponen PAD, bagi hasil maupun dana alokasi dari pusat. Nilai kenaikan pajak dan retribusi daerah secara relatif menurun hal ini dikarenakan adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang kontribusinya relarif besar. Sehingga walaupun secara absolut PAD meningkat, namun secara relatif share terhadap penerimaan daerah menurun dari 15 persen menjadi 13 persen. Komponen dana transfer dari pemerintah pusat berupa dana Subsidi Daerah Otonom (SDO) masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum (DAU) masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sangat besar. Desentralisasi fiskal diharapkan membawa perubahan pada peningkatan kemandirian daerah yang tercermin pada kontribusi PAD, namun pada saat ini masih belum bisa terealisasi karena peranan daerah belum optimal dalam menggali sumber-sumber PAD baru terutama dari sumber peningkatan laba usaha daerah (BUMN) yang relatif masih kecil.

Andros MP Hasugian (2006) dalam skripsi “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum

desentralisasi fiskal sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Peranan mekanisme transfer terhadap tingkat kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan.

Annisa Irdhania (2009) dalam skripsi “Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat selama masa desentralisasi fiskal. Jadi, secara keseluruhan penerapan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif pada kinerja perekonomian. Artinya setelah diterapkan desentralisasi fiskal, kinerja perekonomian Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yang signifikan.

Variabel pendapatan disposable, populasi, dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah memberikan kontribusi dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik terhadap kinerja perekonomian.

Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi secara positif dan nyata. Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian, penurunan pada retribusi ini akan membawa efek yang positif terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Penerapan desentralisasi fiskal tidak memengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Variabel pendapatan per kapita, jumlah kamar hotel, suku bunga, total pengeluaran keuangan pemerintah, dan jumlah penduduk miskin mempengaruhi potensi keuangan Kabupaten Bogor dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik.

Marius Masri (2010) dalam tesis “Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional terhadap Inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Periode 2001-2008)”. Hasil perhitungan yang diperoleh, belanja pegawai dan belanja operasional berpengaruh positif dan signifikan pada α = 5% terhadap inflasi, sedangkan belanja modal dan dummy reformasi desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan pada α 1% terhadap inflasi. Belanja pemerintah dapat memengaruhi inflasi, sehingga peneliti menyarankan agar belanja pemerintah diprioritaskan untuk kepentingan publik seperti belanja modal atau investasi karena dapat meningkatkan output barang dan jasa sehingga dapat menjaga stabilitas harga. Sedangkan belanja pegawai dan belanja operasional digunakan untuk kepentingan operasional kegiatan dan program pemerintah.

Nurlatifah (2011) dalam tesis “ Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur”. Hasil yang diperoleh, terjadi pangsa pengeluaran pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat yang menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar walaupun dari tahun ketahun mengalami penurunanan. Rata-rata lama sekolah berpengaruh secara signifikan positif terhadap persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Infrastruktur merupakan salah satu akses pangan yanga akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.

Hasil pengolahan regresi logistik ordinal menyatakan dari delapan variabel penjelas ada satu variabel penjelas yang tidak signifikan yaitu gender kepala rumah tangga. Sedangkan umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, daerah tempat tinggal rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan perkapita dan penerimaan beras miskin berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga.

Muana Nanga (2005) dalam jurnal ilmiah Ranggagading dengan judul “ Potret Kinerja Fiskal Kabupaten/Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Otda”. Hasil yang diperoleh dari analisis ini menunjukkan bahwa kondisi fiskal daerah dalam hal ini kabupaten/kota di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah ternyata menjadi lebih baik (better-off). Kondisi ini dapat dilihat dari indeks posisi fiskal yang lebih baik dimana sebelum otonomi daerah (1999) sebagian besar provinsi memiliki indeks posisi fiskal kabupaten/

kota yang rendah namun setelah OTDA hal ini terjadi justru sebaliknya dimana sebagian besar provinsi telah memiliki posisi fiskal yang lebih baik.

Boyke T.H. Situmorang (2009) dalam jurnal Pembangunan yang berjudul “ Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di Provinsi Sumatra Utara”. Hasil dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang memengaruhi (1) kinerja fiskal daerah adalah (a) pajak daerah dan bagi hasil, pajak dipengaruhi oleh PDRB dan kebijakan fiskal daerah (b) pengeluaran rutin dipengaruhi oleh PAD, (c) pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan transportasi dipengaruhi oleh DAU; sedangkan (2) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja kemiskinan dipedesaan dan perkotaan adalah (a) harga jual beras, (b) PDRB, dan (c) jumlah pengangguran. Kebijakan non fiskal daerah justru memberikan perngaruh yang lebih baik bila berkaitan dengan usaha untuk mengurangi kemiskinan. Pendidikan menjadi salah satu faktor penting untuk menstimulus kehidupan masyarakat menjadi lebih berkualitas.

Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dengan penelitian ini terletak pada penambahan variabel seperti DAU, PAD dan pengeluaran pemerintah yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dengan menggunakan metode ekonometrika yaitu analisis data panel dan diikuti dengan analisis deskriptif perhitungan kinerja fiskal yang dilihat dari derajat otonomi fiskal, posisi fiskal dan korelasi antara derajat otonomi fiskal dan ketahanan pangan disetiap kabupaten/kota pada tahun 2003-2010 di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2.9 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Dari kerangka pemikiran dapat dijelaskan bahwa penerapan desentralisasi fiskal dapat membawa perubahan bagi kinerja keuangan daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kinerja fiskal dapat dilihat dari peranan DAU, PDRB, PAD, dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan potensi ketahanan pangan dapat dilihat dari jumlah penduduk tidak tahan pangan yang mengkonsumsi kalori di bawah 2100 kkal/kapita/hari, pendapatan perkapita, ketersediaan pangan yang dilihat dari jumlah produksi padi dan luas lahan panen, banyaknya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Diharapkan dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal pada awal tahun 2001 pemerintah daerah

UU No 32 dan No 33 Tahun 2004 tentang desentralisasi fiskal pada tahun

2001

Desentralisasi fiskal membawa perubahan dalam kinerja fiskal daerah

dan memengaruhi kondisi ketahanan pangan

Kinerja fiskal dan faktor yang memengaruhi ketahanan pangan

Deskriptif : Derajat otonomi fiskal, posisi fiskal daerah dan korelasi derajat otonomi

fiskal dengan ketahanan pangan

Kuantitatif: Faktor- faktor yang memengaruhi ketahanan pangan

Implikasi kebijakan yang diterapkan dalam upaya peningkatan ketahanan pangan yang terjadi di Nusa

dapat mengelola keuangan menjadi lebih optimal dan kondisi ketahanan pangan dapat tercapai.

2.10 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara yang diambil untuk menjawab permasalahan yang ada yang diajukan oleh peneliti yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Berdasarkan hal itu hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :

1. Dana Alokasi Umum yang merupakan kinerja fiskal berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.

2. Pendapatan Asli Daerah yang merupakan kinerja fiskal berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.

3. Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.

4. Pendapatan perkapita berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan di NTT tahun 2003-2010.

5. Kesehatan yang dilihat dari banyaknya fasilitas kesehatan yang tersedia

Dokumen terkait