• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN INDUSTRI TEPUNG TERIGU DI INDONESIA

4.1. Kebijakan Gandum dan Tepung Terigu 1. Periode 1960-1970

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan tepung terigu, sebelum tahun 1971 pemerintah mengimpor tepung terigu dari produsen luar negeri. Bahkan pada tahun 1968 Indonesia mendapat bantuan pangan dari Amerika Serikat berupa biji gandum yang dilakukan dalam rangka pengadaan pangan akibat perekonomian Indonesia yang cukup parah pada saat itu. Kebijakan ini utamanya ditujukan untuk menyediakan bahan pangan dengan harga murah, menanggulangi inflasi dan menggalang sumber keuangan bagi pembiayaan pembangunan. Kebijakan harga terigu yang murah diarahkan untuk mendorong konsumsi terigu sebagai bahan substitusi beras, karena sulitnya ketersediaan beras yang ada.

Apabila dibandingkan, harga terigu internasional pada saat itu lebih tinggi sekitar 50 persen dibanding harga jual terigu di dalam negeri, sehingga selisih harga internasional dan dalam negeri ini merupakan subsidi kepada konsumen tepung terigu per kapita. Secara agregat kebutuhan konsumsi tepung terigu pada periode ini cukup tinggi pertumbuhannya, yaitu sekitar 32.5 persen per tahun (Munir dalam Alistair, 2004). Pada saat itu pun pemerintah belum memiliki banyak pilihan, karena sumber pangan non terigu sebagai alternatif bahan substitusi belum banyak berkembang.

4.1.2. Periode 1970-1980

Pada akhirnya disadari bahwa terigu yang tiba di pelabuhan sering mengalami penurunan kualitas akibat waktu yang cukup lama selama perjalanan. Kondisi dan kandungan gizi tepung terigu tersebut akan lebih baik jika tepung terigu itu diproduksi sendiri di Indonesia. Maka pemerintah memutuskan untuk membangun industri tepung terigu di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sejak tahun 1971, pemerintah melalui Bulog bertanggung jawab untuk memasok kebutuhan terigu di dalam negeri dan memiliki hak monopoli dalam impor gandum sebagai bahan dasar pembuatan tepung terigu. Tujuan dari monopoli Bulog ini untuk menjamin kelangsungan pasokan terigu dan menjaga stabilitas harga. Akan tetapi Bulog memiliki kelemahan karena tidak mempunyai fasilitas penggilingan, maka Bulog menunjuk PT Bogasari Flour Mills yang untuk mengolah gandum menjadi tepung terigu. PT Bogasari ditunjuk oleh Bulog secara eksklusif tanpa melalui tender terbuka. Selanjutnya Bulog juga menunjuk PT

Berdikari Sari Utama Flour Mills yang pada saat itu merupakan BUMN untuk mengolah gandum menjadi tepung terigu. PT Berdikari pada awalnya merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Singapura dengan nama PT Berdikari.

Pada masa ini, perekonomian Indonesia mengalami kejayaan karena pendapatan dari sektor minyak cukup besar akibat tingginya harga minyak dunia. Kebijakan subsidi tepung terigu tetap dilanjutkan dalam bentuk subsidi impor dan subsidi penyaluran. Jumlah subsidi riil juga fluktuatif dan mulai tahun 1976 cenderung meningkat. Apalagi pada tahun 1976/1977 subsidi riil untuk impor gandum sekitar Rp 3 milyar, maka tahun 1978/1979 menjadi sekitar Rp 17 milyar dan pada tahun 1980/1981 telah mencapai Rp 67.3 milyar (Munir dalam Alistair, 2004). Peningkatan pendapatan akibat situasi oil boom menyebabkan respon peningkatan permintaan terigu yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pertumbuhan impor gandum dalam periode tersebut yang meningkat sekitar 17.2 persen per tahun.

4.1.3. Periode 1980-1990

Dalam masa ini kondisi anggaran negara (APBN) mulai mengalami pengetatan, karena penurunan permintaan dari ekspor migas, sementara ekspor non migas baru mulai digalakkkan. Kebijakan di bidang industri tepung terigu dilakukan dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap subsidi tepung terigu, dengan kebijakan mendorong kenaikan harga tepung terigu di pasaran, pemerintah justru memperoleh keuntungan penerimaan dari tata niaga tepung terigu periode ini.

Implikasi menekan subsidi tepung terigu dengan menaikkan harga tersebut menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tepung terigu dan impor gandum juga mengalami penurunan. Suatu penurunan yang cukup signifikan, apabila dilihat dari pertumbuhan impor gandum yang mengalami penurunan sebesar 32.5 persen per tahun. Akan tetapi dengan laju pertumbuhan permintaan terigu yang masih di atas laju pertumbuhan penduduk, menyebabkan total impor gandum pada tahun 1990 mencapai 1.7 juta ton, dimana sebagian besar berasal dari impor komersial (Munir dalam Alistair, 2004). Hal itu tentu saja akan menguras devisa negara.

4.1.4. Periode 1990-1997

Dalam periode ini peran ekspor non migas menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Untuk menekan laju inflasi, harga tepung terigu kembali diturunkan dan menyebabkan permintaan agregat tepung terigu meningkat cukup tinggi. Impor gandum yang pada tahun 1990 sebesar 1.7 juta ton meningkat hampir 4 juta ton pada tahun 1997 (Munir dalam Alistair, 2004).

Di lain pihak, pada tahun 1992, PT Bogasari bergabung dengan PT Indocement Tunggal Prakasa, namun tidak lama kemudian PT Indofood Sukses Makmur mengakusisi perusahaan tepung terigu ini dengan pertimbangan bahwa PT Bogasari akan lebih efisien jika tergabung dengan perusahaan yang juga bergerak dalam produksi makanan. Pada periode ini pula satu perusahaan baru penghasil tepung terigu mulai berdiri. Pada tahun 1997, PT Panganmas Inti Persada berdiri dengan lokasi pabrik di Cilacap.

4.1.5. Periode 1998-sekarang

Krisis moneter yang mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 telah menjatuhkan semua perkiraaan atas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dengan kenaikan nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah, maka devisa yang harus disediakan untuk impor gandum akan sangat tinggi. Dalam kondisi cadangan devisa yang terbatas, penyediaan devisa untuk impor gandum terasa sangat memberatkan.

Disamping itu, setelah reformasi 1998, terjadi deregulasi diberbagai sektor usaha. Deregulasi itu juga menyentuh industri tepung terigu di Indonesia dengan dikeluarkannya Keppres No.19/1998 tanggal 21 Januari 1998, dengan demikian sejak tahun 1998 monopoli Bulog terhadap industri tepung terigu telah dihapuskan. Deregulasi tahun 1998 ini telah merubah paradigma bisnis dan struktur industri tepung terigu, yaitu adanya kebebasan untuk mengatur pembelian gandum dan penjualan tepung terigu, pasar menjadi kompetitif dan terbuka, adanya peningkatan pelayanan kepada pelanggan, adanya inovasi produk, merk, distribusi dan promosi, serta efisiensi biaya sebagai dampak dari skala ekonomi (Aptindo, 2005). Status perusahaan-perusahaan penggiling gandum pun berubah setelah Bulog tak lagi menangani tata niaga tepung terigu. Komoditas ini diserahkan kepada mekanisme pasar. Bahkan pada tahun 1997 dan 1998 telah berdiri perusahaan-perusahaan baru yaitu PT Panganmas yang pabriknya beroperasi di Cilacap dan Sriboga di Semarang. Pada tahun belakangan ini berdiri dua perusahaan baru yaitu UD Perusahaan Kian Jaya dan UD Harum Abadi.

Seharusnya dengan terbukanya mekanisme pasar, kenaikan harga tepung terigu menjadi lebih rendah. Akan tetapi kebijakan melepas kendali monopoli Bulog bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, sehingga harga tepung terigu sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 terus mengalami peningkatan, namun dengan peningkatan yang tidak terlalu besar.

Dokumen terkait