• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA

2. Kebijakan HAM dalam Kebiri Kimia

Secara umum, perlindungan hak asasi manusia termasuk dalam konstitusi negara-negara modern. Memasukkan hak asasi manusia ke dalam konstitusi adalah cara utama membatasi pelaksanaan kekuasaan pemerintah. Konsep hak asasi manusia di negara Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.32

Mengenai putusan hukuman terhadap pedofil berdasarkan hak asasi manusia, ada kelebihan dan kekurangannya, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengevaluasi UU No. 17 Tahun 2017

31 Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., hlm. 98

32 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paragmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Antony Lib, 2009), hal. 129

41 yang berisi aturan mengenai pengebirian kimia terhadap pelaku perlu dikaji ulang keberadaan hukumnya dan dipertimbangkan agar tidak diumumkan kepada publik tentang identitasnya.

Komnas HAM meyakini bahwa dalam penanganan anak yang dalam hal ini juga termasuk kejahatan seksual terhadap perempuan, tindakan yang komprehensif dan konsisten harus dilakukan, tidak hanya pada penghukuman, tetapi juga pencegahan dan fokus untuk rehabilitasi.

Menimbang dari pandangan tersebut, Komnas HAM menyimpulkan bahwa penanganan masalah kekerasan seksual dengan memberikan tambahan hukuman kebiri kimia dapat mengurangi masalah dan tidak dapat menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.23/2002), hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda sekitar Rp. 60 juta hingga Rp. 300 juta.

Istilah maksimal terhadap pelaku pelecehan seksual di atas dapat diartikan secara harafiah bahwa pelaku pelecehan seksual dapat dihukum 15 tahun penjara. Kalaupun setiap putusan merupakan hasil dari pertimbangan hakim terhadap hukum berdasarkan bukti dan fakta yang ada, beberapa pihak masih meyakini bahwa ketentuan tersebut tidak mencukupi, terlebih jika tujuannya adalah sebagai alat penjeraan.

Akibatnya, banyak pihak menuntut hukuman yang lebih berat bagi pelanggar yang melakukan tindak pidana seksual terhadap anak, yang

42 berita yang muncul adalah pengenaan sanksi kebiri kimia kepada terpidana.

Dalam perspektif HAM, sanksi kebiri dianggap sebagai pelanggaran HAM karena hasrat seksual adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia yang tidak boleh dihilangkan. Oleh sebab itu, Ketua Komnas Perempuan, Azriana, mengusulkan adanya hukuman yang lebih manusiawi yakni dengan penegakan hukum. Menurutnya, penegakan hukum masih lemah sehingga kejahatan seksual masih terulang. Selain penegakan hukum, keterlibatan masyarakat juga perlu untuk pencegahan dini. Pendapat tersebut diperkuat oleh Komnas HAM yang menemukan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tak melulu dengan cara penetrasi alat kelamin. Tetapi juga kekerasan yang menggunakan tangan atau benda tumpul. Berdasarkan hasil diskusi terfokus, Komnas HAM dengan perwakilan dokter dan Kementerian Kesehatan, dalam jangka panjang kebiri dengan zat kimia bisa menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan, misalnya keropos tulang, kemandulan, dan mudah lelah, bahkan memicu kanker serta banyak side effect dari hukuman kebiri tersebut yang masih dalam tahap pengkajian.

Menurut analisa saya, sebenarnya alasan hukuman berat bagi pelaku itu tidak bisa selalu dibenturkan dengan HAM. Sebab pelaku kejahatan sendiri telah melanggar HAM. Artinya, HAM seseorang itu dibatasi oleh HAM orang lain. Misalnya karena dia membunuh, yang artinya telah melanggar hak hidup orang lain. maka kemudian dia dipidana

43 penjara. Melalui pidana penjara maka sebagian hak kebebasannya hilang atau dibatasi sebagai konsekuensi telah melanggar HAM orang lain.

Dalam konteks ini hukuman bagi terpidana tentu tidak bisa dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM itu sendiri.

Artinya bahwa persoalan yang seharusnya menjadi pokok perdebatkan bukan apakah hukuman itu melanggar HAM atau tidak, melainkan apakah hukuman tersebut efektif atau tidak, tepat atau tidak.

Pertanyaan selanjutnya adalah hukuman apa yang lebih efektif? Jika jawabannya hukuman yang seberat-beratnya, maka apakah hukuman seberat-beratnya haruslah dengan hukuman kebiri atau cukup dengan pidana penjara maksimal 15 tahun atau barangkali pidana seumur hidup?

Untuk mengetahui mengenai mana hukuman yang paling efektif maka kita perlu perhatikan kembali prinsip dan tujuan sistem pemidanaan di Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional disebutkan bahwa:

“Tujuan pemidanaan ialah, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan hukum demi pengayoman, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana”.

Selanjutnya dalam pada Pasal 47 ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.”.

Dilihat dari pasal tersebut menjelaskan bahwasannya tujuan utama dari pemidanaan adalah sebagai efek jera bagi pelaku dan tidak ada

44 maksud untuk merendahkan atau membuat menderita pelaku tindak pidana. Menurut penulis, ketentuan mengenai target pemidanaan tersebut di atas harus dijadikan dasar pertimbangan efektifitas tindakan kebiri kimiia. Ukuran efektivitasnya adalah pencegahan, sosialisasi pelanggar di bawah bimbingan, penyelesaian konflik, memulihkan keseimbangan dan membawa rasa damai masyarakatnya dan melepaskan rasa bersalah yang diderita.

Tentang penolakan Komnas HAM terhadap PERPPU atas dasar pelanggaran HAM, Erlinda selaku Komisioner mengatakan bahwa hukuman berat Perppu Kebiri untuk memuaskan rasa keadilan korban.

Dalam hal ini, hak asasi manusia dibatasi oleh hak asasi orang lain.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak boleh dipandang dengan satu sisi melainkan sisi lainnya meskipun yang terlihat jelas di satu sisi sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk merevisi UU tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Yasonna H Laoly dari MENKUMHAM menegaskan bahwa pemberlakuan pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak berupa kebiri kimia telah mempertimbangkan banyak aspek, termasuk penelitian hak asasi manusia.

Menilai apa yang diputuskan hakim seharusnya sudah mempertimbangkan apa yang menjadi putusannya. Namun yang perlu dipertimbangkan bukan putusan hakimnya melainkan undang-undang tersebut yang digunakan hakim sebagai pertimbangan atas putusannya sehingga perlu adanya kajian

45 dari Mahkamah Konstitusi atas undang undang tersebut supaya jelas fungsi dan peranannya tidak bertentangan dengan hukum diatasnya.

Dokumen terkait