• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijakan dalam terminologi berasal dari istilah "policy" (Inggris) atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijakan dalam terminologi berasal dari istilah "policy" (Inggris) atau"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Kebijakan dalam terminologi berasal dari istilah "policy" (Inggris) atau

"politiek" (Belanda). Istilah tersebut dapat diartikan sebagai asas umum di bidang pembinaan penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan atau penyelesaian urusan kemasyarakatan, masalah publik, atau penyusunan peraturan perundang-undangan dan peraturan peredaran yang bertujuan untuk memajukan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Berawal dari dua istilah asing, istilah politik hukum pidana bisa juga disebut politik hukum pidana. Dalam literatur asing, istilah politik hukum pidana dikenal luas dalam berbagai istilah, antara lain hukum pidana, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana.

Politik hukum atau kebijakan hukum dapat dilihat pengertiannya dari politik kriminal ataupun politik hukum. Politik Hukum merupakan langkah untuk menciptakan aturan hukum yang baik dan sesuai untuk perkembangan negara dibantu dengan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Selain itu kebijakan hukum pidana juga dapat diartikan bahwa adanya politik hukum pidana berarti juga pemilihan mencapai perundang-undangan pidana yang sesuai dan baik untuk daya guna serta keadilan serta harus mempertimbangkan situasi dimasa yang akan datang. Padahal, upaya dan kebijakan merumuskan aturan hukum pidana yang baik tidak terlepas dari tujuan

(2)

13 untuk menanggulangi kejahatan. Dalam arti tertentu, politik hukum pidana adalah bagian dari politik kriminal. Dari perspektif politik hukum pidana, hukum pidana memiliki pengertian yang sama tentang kebijakan pencegahan kejahatan maupun pencegahannya.

Pada hakikatnya penggunaan hukum pidana untuk memberantas kejahatan merupakan bagian dari penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana.

Masyarakat biasa mengartikan bahwa kebijakan politik atau hukum pidana adalah bagian dari penegakan hukum. Dan juga pengendalian kejahatan dengan memberlakukan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan masyarakat (kesejahteraan sosial). Oleh karena itu, wajar jika politik hukum pidana atau politik juga menjadi bagian dari kebijakan sosial atau politik (social policy).

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan penal policy (hukum pidana) yakni mengenai penentuan Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.7

1. Konsep Hukum Pidana

Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Sampai saat ini, pengertian hukum belum ada yang

7 Barda Nawawi Arief, 2014, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang,: Prenadamedia Group, hlm 36.

(3)

14 pasti. Atau dengan kata lain, belum ada sebuah pengertian hukum yang dijadikan standar dalam memahami makna dan konsep hukum.8

Notohamidjojo mendefinisikan hukum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara (serta antar negara), yang mengarah kepada keadilan, demi terwujudnya tata damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Soedarto pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.9

Hukum pidana dapat diartikan sebagai norma-norma yang berisi larangan dan keharusan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.10

8 Ranidar Darwis, 2003, Pendidikan Hukum dalam Konteks Sosial Budaya bagi Pembinaan Kesadaran Hukum Warga Negara, Bandung: Departemen Pendidikan Indonesia UPI, Hal 6.

9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, Hal 2.

10 P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, Hal 1-2.

(4)

15 Oleh karena itu, “Hukum Pidana” diartikan sebagai ketentuan hukum yang menentukan perilaku apa yang dilarang/dimoderasi dan ancaman sanksi bagi yang melanggar larangan tersebut. Banyak ahli yang berpendapat bahwa hukum pidana menempati posisi tersendiri dalam hukum yang sistematis, hal ini dikarenakan hukum pidana tidak menempatkan norma pada posisi terpisah, tetapi memperkuat bidang hukum lainnya dengan menetapkan ancaman sanksi terhadap norma di bidang hukum lain.

Definisi di atas tidak berbeda dengan asas-asas hukum pidana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang didasarkan pada ketentuan tertulis (undang-undang dalam arti luas), disebut juga asas legalitas. Perumusan asas legalitas memberikan ciri-ciri pelindung bagi hukum pidana dan melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan pemerintah yang tidak terbatas.

Ciri hukum adalah bahwa pemaksaan disertai dengan ancaman dan sanksi. Tetapi hukum tidak memaksa orang untuk membela masalah yang tidak benar, juga tidak memaksa orang yang tidak memiliki harta ataupun kedudukan yang tinggi. Untuk menaati secara ketat aturan-aturan kehidupan sosial dan menjadikannya sebagai aturan hukum, aturan-aturan

(5)

16 sosial ini harus dilengkapi dengan unsur-unsur kekuatan yaitu dengan menghukum massyarakatnya yang tidak patuh pada aturan.11

Dengan adanya dominasi dan pemaksaan anggota masyarakat untuk taat dan taat pada aturannya akan mengarah pada keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupannya.. Ahli hukum pidana meyakini bahwa tujuan hukum pidana yang pertama adalah untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana (pencegahan). Kedua, mendidik atau meningkatkan mereka yang mengatakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang baik (perbaikan).12

2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

Pelaksanaan kebijakan hukum bertujuan untuk mencapai kamanan sosial serta kesejahteraan sosial secara menyeluruh denganmenggunakan upaya hukum yang ada yang termasuk kebijakan kemasyarakatan demi tercapainya masyarakat yang sejahtera. Dalam penyelesaian masalah, sebenarnya kebijak hukum pidana tidak harus digunakan. Tidak ada keharusan dalam penggunaannya, karena pada hakikatnya masyarakat dihadapkan pada persoalan evaluasi kebijakan dan pemilihan berbagai alternatif.13

11 Suharto dan Junaidi Efendi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Jakarta: Prestasi Pustaka, Hal 25-26.

12 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, Hal 20.

13 Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Hlm 17-18.

(6)

17 Artinya dalam penanggulangan tindak pidana tidak ada kewajiban untuk menanggulangi tindak pidana melalui hukum pidana (“penal”) mengingat menurut Herman Bianchi “bahwa lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-lamanya dan secara menyeluruh”.

Dalam sejarah manusia, tidak ada setitik jejak yang bisa diperoleh dari sisi gelap sejarah masyarakat hukum.14

Kebijakan pidana yang bersifat represif tetapi sebenarnya memasukkan faktor pencegahan, dikarenakan dengan adanya penjatuhan pidana dan ancaman pidana dapat menimbulkan peran preventif (“deterrent effect”) nya. Sehingga ancaman dan pelaksanaan tindak pidana terhadap tindak pidana diharapkan dapat menimbulkan efek jera.

Selain itu, kebijakan hukum pidana masih diperlukan dalam hal pencegahan kejahatan, karena hukum pidana merupakan sarana kebijakan sosial untuk menyebarkan keengganan sosial atau kebencian sosial, dan kebencian sosial atau kebencian sosial diharapkan juga menjadi sarana perlindungan sosial (pertahanan sosial). Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa "hukum pidana" merupakan bagian integral dari "kebijakan pertahanan sosial”.

14 Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung:: Citra Aditya Bakti Cetakan II, Hal 37.

(7)

18 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal”

merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:15

a. Tahap formulasi “kebijakan legislatif”;

b. Tahap aplikasi “kebijakan yudikatif”;

c. Tahap eksekusi “kebijakan eksekutif”.

Langkah penanggulangan dan pencegahan pada tahap formulasi adalah tugas penegak hukum, bukan hanya kepolisian saja. Tahapan paling strategis atas penal policy adalah kebijakan legislatif. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kesalahan yang timbul akibat lalainya pihak legislatif akan menjadi penghambat terbesar pada upaya penanggulangan serta pencegaham pada tahap eksekusi maupun aplikasi.

Pada hakikatnya kebijakan pidana juga merupakan kebijakan penegakan hukum pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang terdiri dari tiga tahapan kebijakan. Tahap pertama adalah tahap perumusan kebijakan atau kebijakan legislatif, disebut sebagai pembentukan atau perumusannya. Tahap kedua adalah tahap peradilan / kebijakan yang berlaku atau disebut penerapannya. Yang ketiga adalah tahap administratif / implementasi kebijakan, yaitu tahap pelaksanaan hukum atau implementasinya.

15 Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Halaman 77

(8)

19 Ketiga tahapan tersebut didefinisikan sebagai: tahap perumusan, tahap aplikasi dan tahap pelaksanaan. Sebagai bagian dari penelitian penulis saat ini, tahap pertama (kebijakan legislatif) adalah tahap penegakan "abstrak", sedangkan tahap kedua dan ketiga (tahap kebijakan peradilan dan administrasi) adalah tahap penegakan yang "konkrit".

Semua itu meliputi ketiga kewenangan atau kewenangan legislatif untuk merumuskan atau menetapkan suatu tindak pidana (tindak pidana) dan sanksi pidana, kewenangan / kewenangan aparat penegak hukum untuk membuat undang-undang khusus, menerapkan hukum, dan penegakan hukum apakah layak untuk dijatuhi pidana. Kewenangan atau hak pelaksanaan yang kompeten. Ketiga kekuatan ini mirip dengan istilah yang digunakan oleh Masaki Hamano saat menjelaskan yurisdiksi.16

3. Tujuan dan Arah Kebijakan Hukum Pidana

Tahap penjatuhan sanksi dan juga tahap penetapan sanksi dalam hukum pidana dapat diartikan sebagai pemidanaan. Tujuan yang diberikannya harus menyertakan pengayoman serta kesejahteraannya.

Yang menbedakan dengan peraturan lainnya adalah pidana ini diancamkan kepada pelaku. Batasan hukum pidana menurut Van Hamel yaitu:

“suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata- mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.”17

16 Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang- Undangan, Halaman 10

17 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hal. 87.

(9)

20 Pidana yang dimaksudkan adalah suatu reaksi atas delik (punishment) yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik. Hal itu merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukan tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pembinaan (treatment).18

Badan hukum yang dipilih negara dalam penjatuha hukuman memiliki tujuang tersendiri. Berbagai perubahan tujuan pidana semakin meningkat dengan berkembangnya hukum pidana, yang berkaitan dengan teori tujuang pemidanaan dan teori dasar pemidanaan.

Sampai saat ini tidak ada perumusan dari tujuan pemidanaan dalam Undang-Undang. Perumusannya terletak pada RUU-KUHP yang berisi:

a. Pencegahan tindak pidana demi kemaslahatan masyarakat hukum di Indonesia;

b. Menempatkan terpidana sebagai masyarakat pada umumnya serta pembinaan terhadapnya;

c. Pemulihan suasana yang timbul akibat tindak pidana serta menjaga agar keseimbangannya tidak goyah; dan

d. Membersihkan pelaku dari rasa bersalahnya.19

Selanjutnya dipertegas, bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.20

18 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal.

69.

19 Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP.

20 Pasal 55 ayat (2) RUU KUHP.

(10)

21 Dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut, dapat dikatakan bahwa RUU KUHP mengacu pada filsafat pembinaan dengan sasaran yang dituju, tidak hanya kepada si pelaku tindak pidana, tetapi masyarakat pada umumnya, baik untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana maupun menimbulkan rasa damai dalam masyarakat.

Usaha dan Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Tentunya permasalahan penanggulangan kejahatan di masyarakat tidak lepas dari latar belakang pembahasan tentang politik kriminalitas.

Sudarto menilai, pengertian atau definisi politik kriminal merupakan upaya rasional masyarakat dalam menangani kejahatan. Upaya pencegahan kejahatan tersebut dapat bersifat penal juga non-penal. Upaya pencegahan tindak pidana dengan merumuskan norma hukum pidana, norma tersebut memuat substansi, struktur dan unsur budaya masyarakat yang memberlakukan sistem hukum pidana.

Upaya pemberantasan tindak pidana melalui pidana dilakukan melalui suatu sistem yaitu sistem peradilan pidana, yang meliputi gerakan sistem sebagai pendukung sub-sistem tersebut seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Upaya untuk mengubah masukan menjadi keluaran merupakan tujuan dari sistem.

(11)

22 Peradilan pidana mengacu pada mewujudkan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang, pencegahan kejahatan dalam jangka menengah, dan resosialisasi pelaku kejahatan dalam jangka pendek.

Ternyata tujuan dari sistem pemidanaan dianggap tidak ada kesamaan oleh ahli pidana. Pokok utamanya ada 3 yaitu untuk mencapai tujuan hukuman, yaitu memperbaiki kepribadian pelaku, melindungi orang dari kejahatan, dan membuat pelaku tertentu tidak mampu melakukan kejahatan lain, yaitu yang tidak dapat diperbaiki dengan cara lain.

Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu :21

a. Untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif); atau

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Walaupun pidana dianggap sebagai nestapa namun sebenarnya tidak bermaksud untuk merendahkan dan menderitakan martabat orang lain karena tujuan dari pemidanaan yaitu sebagai sarana pemenuhan hukum, perlindungan, dan rehabilitasi pada pelaku maupun korban.

21 Wirjono Prodjodikoro, 1980, “Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia”, jakarta: P.T Eresco, hlm. 3.

(12)

23 4. Teori-Teori Pemidanaan

Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukumm, terdapat beberapa teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu :

a. Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)

Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi si korban. Jadi dalam teori ini dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan pelaku tindak pidana akibat perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang dirugikannya.

Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut:

“Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.”22

22 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1984, hlm. 10.

(13)

24 Dari kutipan tersebut menjeaskan bahwa teori absolute ini tidak memikirkan bagaimana pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana tersebut juga sebenarnya memiliki hak untuk di bina agar menjadi manusia yang berguna sesuai harkat dan martabatnya.

b. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)

Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana itu sendiri. Jadi teori ini menyadarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat dari pada pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan nama teori nisbi yang menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dan tujuan hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief memberikan pendapat sebagai berikut:

“Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan- tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini sering disebut sebagai (Utilitarian Theory) jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est) melainkan supaya orang tidak melakukan kejahatan (Ne Peccetur).”23

Jadi teori relatif bertujuan untuk mencegah agar ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu. Teori relatif dalam ilmu

23 Ibid, hlm. 16.

(14)

25 pengetahuan hukum pidana dibagi menjadi dua sifat prevensi umum dan khusus. Teori ini dibedakan menjadi prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum, menghendaki agar orang- orang pada umumnya tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulagi perbuatan yang dilakukannya.

c. Teori Gabungan/Campuran

Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, yaitu menggabungkan antara prinsip-prinsip absolut dan relatif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Oleh karena tujuannya bersifat integratif, maka tujuan pemidanaan adalah pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat;

memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/

pengimbangan.

Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkan tujuan pemidanaan tersebut adalah pencegahan umum

(15)

26 dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, pengimbalan/pengimbangan.

5. Dasar Yuridis dan Sosiologis Pembentukan Sanksi Kebiri Kimia Disebutkan dalam konsideran atau pertimbangan dibentuknya Perppu No. 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak terdapat situasi yang sangat penting atau memaksa secara yurudis maupun sosiologis sehingga diterapkannya peraturan tersebut. Secara sosiologis, kekerasan terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak. Secara psiokologis, hal ini merusak kehidupan pribadi dan perkembangan anak, tidak mencegah sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, juga tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Ketika dipahami lebih mendalam, Perppu ini dikeluarkan saat banyak kejadian membuat pemerintah prihatin dengan berbagai kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi saat itu, dan kejahatan tersebut tidak luput dari pemberitaan media. Dari sudut pandang pemerintah, hal ini merupakan komitmen pemerintah, khususnya komitmen presiden dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dari kejahatan seksual terhadap anak.

Bukan tanpa alasan kebijakan itu dibuatm, melainan karena adanya kegentingan yang mendesak pemerintah supaya kejahatan seksual bisa diatasi dengan semestinya.berkali kali kasus ini terulang di Indonesia. Jika dilihat dari perkembangannya perihal ini penulis menulusuri data

(16)

27 kekerasan seksual yang terjadi dari sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2019 kasus kekerasan seksual anak sebagai korbannya. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2016 terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan pada tahun 2017 terdapat 126 kasus, 2018 dengan 116 kasus, dan 2019 ditemukan sebanyak 123 perkara kekerasan seksual pada anak. Yang berarti sejak disahkannya Perppu No 1 Tahun 2016 tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Tetapi jika alasan pemerintah dalam menerbitkan Perppu untuk menjadi UU adalah karena meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti yang tertuang dalam Konsideran Perppu itu, maka menurut penulis hal tersebut tidak berdasar. Sebab dari data diatas dapat dilihat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun 2016 sampai 2019 tidak mengalami perubahan yang cukup baik.

Walaupun jumlah korbannya sangat tinggi pada tahun 2014, namun setidaknya setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, telah efektif menurunkan angka jumlah kekerasan seksual pada tahun berikutnya. Mengartikan bahwa setelah pemerintah mengesahkan. Perppu No.16 Tahun 2016 sebagai alasan menekan angka kekerasan seksual di Indonesia menjadi tidak tepat, karena parameter menjadikan negara dengan status darurat kejahatan seksual sebagai kejahatan yang luar biasa itu harus merujuk juga pada angka

(17)

28 kekerasan seksual terhadap anak yang menunjukan angka yang sangat signifikan meningkat.

Untuk itulah saat Perppu itu diajukan ke DPR untuk disetujui menjadi undang-undang, ada beberapa fraksi partai yang tidak setuju dengan kebijakan Perppu itu, seperti halnya Fraksi Partai Keadilan Sejahterah (PKS) dan Fraksi Partai Gerindra. Fraksi PKS menilai bahwa landasan data yang menjadi pertimbagan kebijakan pemerintah mengeluarkan Perppu itu belum jelas. Pandangan ini sejalan dengan pendapat penulis setelah melihat data-data kekerasan seksual yang ada dalam rekapan Komisi Perlindungan Anak Indoneasia (KPAI). Lain halnya dengan Fraksi Gerindra yang melihat sisi kejelasan implementasi hukuman atau sanksi yang diberikan itu kurang jelas.24

Pada kenyataannya setelah mengalami penurunan yang signifikan setelah keluarnya UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pemerintah melalui Perppu mengeluarka Perppu No 1 Tahun 2016 dengan alasan Undang-Undang yang ada belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, namun dalam data KPAI tidak ada perubahan yang signifikan terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak

sejak dikeluarkannya Perppu pada 2016 sampai 2019.

Sisi lain yang menjadi alasan kebijakan Perppu itu adalah terkait dengan penjeraan sebagai alasan yuridis dalam kebijakan tersebut.

24 Nabilla Tashandra, http://nasional.kompas.com/read/2016/10/13/05300041/perppu.kebiri .disahkan.dpr.ini.aturan.barunya.diakses 13 September 2020

(18)

29 Pemerintah percaya, bahwa pemberatan hukuman kepada pelaku kejahatan seksual akan memberikan efek jera kepada pelaku serta efektif mampu mencegah secara komprehensif kejahatan seksual terhadap anak. perihal ini dirasa karena penjara dianggap tidak lagi memberi efek jera pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sebab itulah asumsinya mengapa kasus kekerasan seksual di Indonesia masih terus terjadi.

Dalam masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. setelah tujuan pemidanaan diterapkan, barulah ditentukan jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan.

Jika penjeraan adalah tujuan untuk menghukum dengan mengebiri pelaku kekerasan seksual, agaknya penulis memiliki pemikiran yang berbeda tentang itu. Hukuman kebiri terkesan hanya ditujukan untuk menyakiti, ada dorongan emosional untuk menghukum pelaku itu.

pandangan penulis atas kebijakan penghukuman itu melihat bahwa pemerintah sepertinya beranggapan bahwa sistem reproduksi adalah alat untuk melakukan kejahatan, sehingga alat itu mesti dibuat untuk tidak berfungsi (kebiri kimia).

Padahal sebenarnya yang paling penting untuk dilakukan adalah mencari tahu apa penyebab dorongan seksual itu muncul, sehingga menimbulkan fantasi-fantasi mereka untuk tertarik dengan anak. hal itu tentu erat kaitannya dengan sikap pelaku itu sendiri, untuk apa hukuman

(19)

30 kebiri diberikan jika sikap pelaku tetap saja masih sama memiliki perasaan untuk melakukan kejahatan. Bisa jadi setelah pelaku menjalani hukuman itu, malah mungkin akan menyasar korban lain dengan perbuatan pidana lain.

Maksud penjelasan diatas bahwa penulis ingin menyampaikan kebijakan sanksi kebiri yang dimaksud untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual menjadi tidak tepat. meskipun sanksi kebiri itu tujuannya untuk menakut-nakuti pelaku sebagai sanksi yang mengerikan dan kejam, namun jika sikap pelaku masih memiliki perasaan niat untuk melakukan kejahatan, maka tujuan sanksi untuk penjeraan tersebut tidak akan efektif.

Jika kebijakan sanski kebiri itu dipandang sebagai suatu tujuan penjeraan, maka tidak kurang persis sama dengan tujuan penjeraan dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang diancam dengan hukuman mati, atau pidana mati lainnya yang diatur dalam UU tindak pidana korupsi, teroris dan lainnya.

Semua itu tujuannya untuk memberikan efek jera kepada pelakunnya.

Tetapi saat ini tidak ada yang mampu dapat membuktikan bahwa hukuman mati untuk pelaku kejahatan-kejahatan yang disebutkan diatas merupakan senjata (sanksi) yang ampuh untuk menghilangkan atau minimal meminimalisir kejahatan tersebut. Meskipun sudah ada beberapa orang yang telah dihukum mati akibat perbuatannya, namun tetap saja pengedar narkotika atau tindakan korupsi yang masif terjadi di Indonesia.

(20)

31 Penting untuk diketahui juga, bahwa UU tentang perlindungan anak yang baru ini juga memberlakukan sanksi pidana mati sebagai hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual anak.

6. Kebijakan Hukum Pidana dalam Konteks Kebiri Kimia

Berbicara mengenai kejahatan terhadap anak sebenarnya telah diatur dalam KUHP kita, tetapi memang pengaturannya dalam KUHP belum secara eksplisit mengatur tentang perlindungan terhadap anak.

KUHP sebagai induk dari semua ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia, yang secara garis besar terbagi atas beberapa buku, yakni Buku I tentang Ketentuan Umum, Buku II tentang Kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran.

KUHP membagi dalam dua golongan besar mengenai tindak pidana, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Adapun mengenai kejahatan yang dilakukan terhadap anak, di dalam KUHP terletak pada delik kesusilaan yaitu digolongkan dalam tindak pidana kejahatan. kejahatan terhadap anak di dalam tindak pidana kesusilaan itu dinamai sebagai perbuatan cabul.

Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul itu diataur dalam beberapa pasal, diantaranya perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang sepatutnya diduga belum dewasa atau anak-anak baik perempuan maupun laki-laki. Misalnya Pasal 293, Pasal 294, dan Pasal 295 yang semuanya merupakan kejahatan di dalam Bab XIV Buku II KUHP.

(21)

32 Seiring dengan berkembangnya ragam kebutuhan hukum untuk melindungi anak dari kekerasan seksual, maka KUHP tersebut dianggap tidak lagi mampu menampung kebutuhan hukum atas kejahatan yang dialami oleh anak itu sendiri. Artinya dengan dasar itu diperlukan pembaharuan hukum yang lebih khusus untuk melindungi anak sebagai korban kejahatan. Sehingga seperti sebelumnya dijelaskan dalam latar belakang penulisan ini, bahwa telah lahir Undang-Undang yang lebih spesifik lagi pengaturannya melindungi anak dan memberi sanksi terhadap pelaku yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tetapi dikemudian hari undang-undang itu dianggap perlu dirubah lagi menjadi Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.

Dari munculnya peraturan tersebut, mengartikan bahwasannya pemerintah sudah memberikan payung hukum agar kejahatan seksual terhadap anak dapat diatasi atau diminimalisisr dalam masyarakat. Namun oleh pemerintah hal itu belum cukup, sehingga kemudian pemerintah menerbitkan Perppu yang hingga kini telah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan anak.

B. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA

Istilah Hak Asasi Manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan sebagai berikut: droit de Thome (Perancis) yang berarti hak manusia, hu-

(22)

33 man right (lnggris) atau mensen rechten (Belanda), yang dalam bahasa

Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.25 Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara inheren melekat dalam setiap diri manusia sejak lahir. Pengertian ini mengandung arti bahwa HAM merupakan karunia Allah. Yang Maha Pencipta kepada hamba-Nya. Mengingat HAM itu adalah karunia Allah, maka tidak ada badan apapun yang dapat mencabut hak itu dati tangan pemiliknya. Demikian pula tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada kekuasaan apapun yang boleh membelenggunya.

Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenamya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia.

Gagasan HAM yang bersifat ilmiah ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.

Perjuangan dan perkembangan hak-hak asasi manusia di setiap negara mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan hidup bangsanya, meskipun demikian sifat dan hakikat HAM di mana-mana pada dasamya adalah sarna. Dalam konteks itulah, tulisan berikut ini akan

25 Marsudi, Subandi AI., 2001, Pancasila dan UUD 45 dalam Paradiqma Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm, 83.

(23)

34 mengungkapkan beberapa konsepsi dan model pelaksanaan HAM, yaitu di negara-negara Barat yang sebagian besar menganut paham liberal kapitalis dan negara-negara pengikut aliran komunis-sosialis serta konsepsi dan model HAM menurut ajaran Islam. Ketiga sistem ini dapat dianggap mewakili berbagai konsepsi HAM yang ada, mengingat sebagian besar dari mereka berkiblat dan mengacu salah satu dari ketiga sistem tersebut. Selain itu dikemukakan pula tentang HAM dan implementasinya di Indonesia, dengan mengupas seputar perkembangan dan penegakkan HAM di Indonesia.

1. Konsep Kebijakan HAM

Seperti diketahui, bahwa HAM itu adalah bersifat universal.

Namun demikian pelaksanaan HAM tidak mungkin disamaratakan antara satu negara dengan negara yang lain. Masing-masing negara tentu mempunyai perbedaan konteks sosial, kultural maupun hukumnya. Di samping itu pengalaman sejarah dan perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi implementasi HAM tersebut. Keuniversalan HAM dewasa ini masih mengundang perdebatan dan perbedaan dalam praktek penerapannya di antara masing-masing anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam perspektif filsafat hukum atau ideologi yang melatarbelakangi Norma hukum atau negara yang bersangkutan.

Berbeda dengan Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan

(24)

35 dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas alan golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia di Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.

Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.

Diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain.

(25)

36 Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang bersifat individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.26

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia.

Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.27

Pada saat yang sama, istilah atau kata-kata hak asasi manusia sebenarnya tidak ditemukan dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilahl yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945

26 Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., hlm. 110

27 Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., hlm. 95

(26)

37 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.28

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dad UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasa1.29

Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan- ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang herbau Barat. Dalam masa Orde Lama im banyak terjadi penyirnpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang

28 Ahadian, Ridwan Indra., 1991, Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, Jakarta: CV. Haji Masagung, Jakarta, him. 15.

29 Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., hlm. 95

(27)

38 suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde Baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No.A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari pembukaan dan 31 Pasal tentang HAM.

Namun rancangan ini tidak dapat disepakati menjadi suatu ketetapan.30 Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" dalam kesatuan dengan sila- sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.

Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan

30 Ibid., hlm. 96

(28)

39 Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggaI 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya.

Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Hal tersebut menjadi tugas badan- badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembaagunan.

Untuk menguatkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi: Manusia atau Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.

Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi yaitu selama Sidang Istimewa MPR yang berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR Rl No.

XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR

(29)

40 tersebut menjadi salah satu aeuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999.31 Undang-Undang ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No.1 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dan' ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 No. 165.

2. Kebijakan HAM dalam Kebiri Kimia

Secara umum, perlindungan hak asasi manusia termasuk dalam konstitusi negara-negara modern. Memasukkan hak asasi manusia ke dalam konstitusi adalah cara utama membatasi pelaksanaan kekuasaan pemerintah. Konsep hak asasi manusia di negara Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.32

Mengenai putusan hukuman terhadap pedofil berdasarkan hak asasi manusia, ada kelebihan dan kekurangannya, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengevaluasi UU No. 17 Tahun 2017

31 Marsudi, Subandi Al., Op. Cit., hlm. 98

32 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paragmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Antony Lib, 2009), hal. 129

(30)

41 yang berisi aturan mengenai pengebirian kimia terhadap pelaku perlu dikaji ulang keberadaan hukumnya dan dipertimbangkan agar tidak diumumkan kepada publik tentang identitasnya.

Komnas HAM meyakini bahwa dalam penanganan anak yang dalam hal ini juga termasuk kejahatan seksual terhadap perempuan, tindakan yang komprehensif dan konsisten harus dilakukan, tidak hanya pada penghukuman, tetapi juga pencegahan dan fokus untuk rehabilitasi.

Menimbang dari pandangan tersebut, Komnas HAM menyimpulkan bahwa penanganan masalah kekerasan seksual dengan memberikan tambahan hukuman kebiri kimia dapat mengurangi masalah dan tidak dapat menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.23/2002), hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda sekitar Rp. 60 juta hingga Rp. 300 juta.

Istilah maksimal terhadap pelaku pelecehan seksual di atas dapat diartikan secara harafiah bahwa pelaku pelecehan seksual dapat dihukum 15 tahun penjara. Kalaupun setiap putusan merupakan hasil dari pertimbangan hakim terhadap hukum berdasarkan bukti dan fakta yang ada, beberapa pihak masih meyakini bahwa ketentuan tersebut tidak mencukupi, terlebih jika tujuannya adalah sebagai alat penjeraan.

Akibatnya, banyak pihak menuntut hukuman yang lebih berat bagi pelanggar yang melakukan tindak pidana seksual terhadap anak, yang

(31)

42 berita yang muncul adalah pengenaan sanksi kebiri kimia kepada terpidana.

Dalam perspektif HAM, sanksi kebiri dianggap sebagai pelanggaran HAM karena hasrat seksual adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia yang tidak boleh dihilangkan. Oleh sebab itu, Ketua Komnas Perempuan, Azriana, mengusulkan adanya hukuman yang lebih manusiawi yakni dengan penegakan hukum. Menurutnya, penegakan hukum masih lemah sehingga kejahatan seksual masih terulang. Selain penegakan hukum, keterlibatan masyarakat juga perlu untuk pencegahan dini. Pendapat tersebut diperkuat oleh Komnas HAM yang menemukan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tak melulu dengan cara penetrasi alat kelamin. Tetapi juga kekerasan yang menggunakan tangan atau benda tumpul. Berdasarkan hasil diskusi terfokus, Komnas HAM dengan perwakilan dokter dan Kementerian Kesehatan, dalam jangka panjang kebiri dengan zat kimia bisa menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan, misalnya keropos tulang, kemandulan, dan mudah lelah, bahkan memicu kanker serta banyak side effect dari hukuman kebiri tersebut yang masih dalam tahap pengkajian.

Menurut analisa saya, sebenarnya alasan hukuman berat bagi pelaku itu tidak bisa selalu dibenturkan dengan HAM. Sebab pelaku kejahatan sendiri telah melanggar HAM. Artinya, HAM seseorang itu dibatasi oleh HAM orang lain. Misalnya karena dia membunuh, yang artinya telah melanggar hak hidup orang lain. maka kemudian dia dipidana

(32)

43 penjara. Melalui pidana penjara maka sebagian hak kebebasannya hilang atau dibatasi sebagai konsekuensi telah melanggar HAM orang lain.

Dalam konteks ini hukuman bagi terpidana tentu tidak bisa dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM itu sendiri.

Artinya bahwa persoalan yang seharusnya menjadi pokok perdebatkan bukan apakah hukuman itu melanggar HAM atau tidak, melainkan apakah hukuman tersebut efektif atau tidak, tepat atau tidak.

Pertanyaan selanjutnya adalah hukuman apa yang lebih efektif? Jika jawabannya hukuman yang seberat-beratnya, maka apakah hukuman seberat-beratnya haruslah dengan hukuman kebiri atau cukup dengan pidana penjara maksimal 15 tahun atau barangkali pidana seumur hidup?

Untuk mengetahui mengenai mana hukuman yang paling efektif maka kita perlu perhatikan kembali prinsip dan tujuan sistem pemidanaan di Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional disebutkan bahwa:

“Tujuan pemidanaan ialah, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan hukum demi pengayoman, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana”.

Selanjutnya dalam pada Pasal 47 ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.”.

Dilihat dari pasal tersebut menjelaskan bahwasannya tujuan utama dari pemidanaan adalah sebagai efek jera bagi pelaku dan tidak ada

(33)

44 maksud untuk merendahkan atau membuat menderita pelaku tindak pidana. Menurut penulis, ketentuan mengenai target pemidanaan tersebut di atas harus dijadikan dasar pertimbangan efektifitas tindakan kebiri kimiia. Ukuran efektivitasnya adalah pencegahan, sosialisasi pelanggar di bawah bimbingan, penyelesaian konflik, memulihkan keseimbangan dan membawa rasa damai masyarakatnya dan melepaskan rasa bersalah yang diderita.

Tentang penolakan Komnas HAM terhadap PERPPU atas dasar pelanggaran HAM, Erlinda selaku Komisioner mengatakan bahwa hukuman berat Perppu Kebiri untuk memuaskan rasa keadilan korban.

Dalam hal ini, hak asasi manusia dibatasi oleh hak asasi orang lain.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak boleh dipandang dengan satu sisi melainkan sisi lainnya meskipun yang terlihat jelas di satu sisi sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk merevisi UU tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Yasonna H Laoly dari MENKUMHAM menegaskan bahwa pemberlakuan pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak berupa kebiri kimia telah mempertimbangkan banyak aspek, termasuk penelitian hak asasi manusia.

Menilai apa yang diputuskan hakim seharusnya sudah mempertimbangkan apa yang menjadi putusannya. Namun yang perlu dipertimbangkan bukan putusan hakimnya melainkan undang-undang tersebut yang digunakan hakim sebagai pertimbangan atas putusannya sehingga perlu adanya kajian

(34)

45 dari Mahkamah Konstitusi atas undang undang tersebut supaya jelas fungsi dan peranannya tidak bertentangan dengan hukum diatasnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pada persalinan normal, saat melewati jalan lahir kepala janin dalam Pada persalinan normal, saat melewati jalan lahir kepala janin dalam keadaan flexi dalam keadaan tertentu

Kemampuan berbicara ini merupakan kemampuan mengolah kalimat untuk mengungkapkan sesuatu secara jelas dan mudah dipahami yang memungkinkan untuk memvisualisasikan atau

Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur acoustic backscattering strength dasar perairan pada berbagai tipe substrat di perairan Selat Gaspar dan sekitarnya...

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

Pada parameter berat basah brangkasan, berat kering brangkasan, berat basah akar, dan berat kering akar menunjukkan bahwa setiap perlakuan pemberian komposisi formula inokulan

Pandangan filosofis tentang hakikat sekolah itu sendiri dan hakikat masyarakat, dan bagaimana hubungan antara keduanya. a) Sekolah adalah bagian yang integral