• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan 1Upaya Penal (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat

penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.36

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri

dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.

Menurut Sudarto dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana menyatakan bahwa:

“Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini.

37

“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah:

36

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 65

37

baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.”

Masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang ditetapkan.

Kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula

dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented

approach). Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah kiranya Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang

pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang secara merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum

pidana adalah perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian kepada masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.

c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana

hukum pidana dengan sanksi negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan

dicapai (cost-benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai

kelampauan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatkan

Sudarto mengemukakan 3 lingkup pengertian kebijakan kriminal yakni:38

a. Dalam pengertian sempit, yaitu keseluruhan asas dan metode

yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;

b. Dalam pengertian luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur

penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian; dan

c. Dalam pengertian sangat luas, yaitu keseluruhan kebijakan

yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.

Pada dasarnya penal policy lebih menekankan pada tindakan represif

(pemberantasan) setelah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh karena penanggulangan kejahatan melalui upaya penal adalah penerapan hukum pidana, maka dasarnya tidak lain adalah apa yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 10 KUHP yang mengatur jenis-jenis pidana. Disamping itu, penggunaan sanksi pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di dalamnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103

KUHP.39

Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat

difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui 3 (tiga) tahap yaitu:40

1. Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif)

2. Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif)

3. Tahap Eksekusi (Kebijakan Eksekutif)

Ad.1. Tahap formulasi (Kebijakan Legislatif) yaitu tahap perencanaan atau perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan

38

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 113-114 39

M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.28 40

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2005, hal. 22

tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana, serta yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kesalahan pada tahap formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi dalam kebijakan hukum pidana.

Ad.2. Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar.

Ad.3. Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), penjatuhan pidana (kebijakan yudikatif) dan

pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Dengan kata lain, penal policy

menyangkut masalah kebijakan penegakan hukum yang termasuk ke dalam bidang kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat.

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam 3 (tiga) kerangka yaitu struktur, substansi, dan kultur. Hal tersebut penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek), sehingga

tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan masyarakat sendiri.

Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekriminalisasi, penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung pada perkembangan politik hukum, politik kriminal, dan politik sosial. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom, melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku sosial.41

Penerapan hukum pidana, perlu dilakukan dengan berbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana baik dari segi kriminalisasi, dekriminalisasi, maupun perbaikan sarana dan prasarana sistem, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan peran serta masyarakat dalam sistem peradilan pidana.

42

Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ali Wisnubroto mengungkapkan bahwa kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan

tindakan:43

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan

hukum pidana;

41

Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 52 42

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 182

43

Ali Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, hal. 12

2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan

hukum pidana;

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar

Masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana adalah masalah mengenai perbuatan apa yang seharusnya terjadi tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar. Hal ini berarti bahwa kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi dan penalisasi,

karena itu penggunaannya harus berorientasi pada kebijakan (policy oriented

approach).

2 Upaya Non-Penal (Non-Penal Policy)

G.Peter Hoefnagels mengatakan upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).

Upaya penanggulangan kejahatan di atas secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian G.P Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang

disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non-penal.

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkembangkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.

Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula oleh berbagai hasil dari

Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.

Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela

menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime

Prevention Strategis, antara lain:

1 Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian

kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes

progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people).

2 Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada

kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and condition giving rise to crime).

3 Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai

negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran

dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk (the main causes of

crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population).

Di dalam Resolusi Kongres ke-6 PBB ini, dihimbau kepada semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, diskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk ketimpangan sosial.

Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang The Prevention Crime and the

Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan,

sebagai berikut:44

44

1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)

karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang

berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan

adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;

6. Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang

mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;

7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;

8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;

9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan

obat bius dan penadahan barang-barang curian;

10.Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan

sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.

Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik, dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB

(mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bahwa

pembangunan itu sendiri dapat bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu:

a. Tidak direncanakan secara rasional (it was not rationally planned); atau

direncanakan secara timpang, tidak memadai/ tidak seimbang (unbalanced/inadequately planned);

b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural and moral values); dan

c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang

menyeluruh/integral (did not include integrated social defence strategies).

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Menurut Hoefnagels, pendekatan non penal adalah:

“Pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana

pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain

perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental

health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental heath), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law)”.

Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan pekerjaan menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan di bidang perekonomian dalam kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan terjadinya kejahatan.

Program pencegahan yang dapat dilakukan antara lain berupa:45

1. Memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda;

2. Memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan;

3. Menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk bekerja;

4. Menciptakan program tenaga kerja publik;

5. Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan

masyarakat di areal yang miskin.

45

6. Dukungan terhadap usaha kecil.

Kegiatan rekreasi juga dapat menjadi upaya pencegahan kejahatan. Rekreasi adalah sesuatu yang sudah mentradisi bagi semua orang. Rekreasi dapat memulihkan kembali kelelahan baik fisik maupun psikis seseorang dari aktivitas pekerjaannya. Dalam konteks ini, rekreasi menjadi alternatif kegiatan positif daripada melakukan kejahatan, terutama bagi anak-anak muda. Hal ini dinyatakan lebih lanjut oleh Chamelin:

“Because recreation activities have a strong appeal for young people, delinquency is less likely to flourish in those community where opportunities for whole some recreation are abundant and attractive, as opposed to cities or neighbourhoods where adequate facilities are lacking. Simpli put, young people angaged in recreation activities on the playground cannot at the same time be robbing a bank, breaking into a home or perpetrating some other crime.”

Aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah

penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara

individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada

umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national mental health”, dan

child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai

salah satu jalur “prevention (of crime) without punishment” (jalur non-penal).

Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan Karang Taruna, kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi

kejahatan.46

46

Penggarapan masalah kesehatan jiwa/rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kesehatan, juga menjadi pusat perhatian Kongres PBB. Dalam pertimbangan Resolusi No.3 Kongres ke-6 Tahun 1980, mengenai “Effective Measures to Prevent Crime” antara lain, dinyatakan:47

1. Bahwa pencegahan kejahatan bergantung pada pribadi manusia itu sendiri

(that crime prevention is dependent on man himself);

2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha

membangkitkan/menaikkan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya untuk berbuat baik (that crime prevention strategies should be based on exalting the spirit of man and reinforcing his faith in his ability to do good);

Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, Resolusi tersebut kemudian menyatakan:

“Meminta Sekjen PBB agar memusatkan usaha-usaha pencegahan kejahatan pada usaha memperkuat kembali keyakinan/kepercayaan manusia akan kemampuannya untuk mengikuti jalan kebenaran/kebaikan”; “(Request the Secretary-General to focus his efforts in crime prevention on reinforcing man’s faith in his ability to follow the path of good)”

Resolusi di atas jelas terlihat betapa penting dan strategisnya peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yang sehat jiwa/rohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat.

47

Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pandangan hidup kemasyarakatan.

Pendidikan keagamaan terhadap seseorang merupakan upaya yang massif untuk mereduksi terjadi kejahatan. Dalam konteks ini adalah bagaimana menciptakan komunitas masyarakat yang religious sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu juga, lembaga-lembaga keagamaan mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggota perkumpulannya yang tersebar di seluruh belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus, komunitas religius ini dapat melakukan:

1. Pendataan dan pendaftaran bagi komunitas-komunitas keagamaan untuk

berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;

2. Mendorong lembaga-lembaga keagamaan untuk menginformasikan di

daerah masing-masing tentang permasalahan kejahatan;

3. Mendata lembaga-lembaga keagamaan yang mendukung upaya

penanggulangan kejahatan;

4. Membuka fasilitas-fasilitas rumah ibadah untuk keperluan program

penanggulangan kejahatan;

5. Mempromosikan partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalam sistem

peradilan pidana.

Upaya selanjutnya adalah usaha mereduksi peluang seseorang untuk melakukan kejahatan melalui pengawasan dan mendesain lingkungan (environmental design) fisik tempat tinggal, seperti alat-alat pengamanan (security hardware), lampu-lampu jalan (street lighting), pengawasan (surveillance) dan

desain gedung (building design). Desain lingkungan ini harus terstruktur sehingga

akan cepat teridentifikasi dan kemungkinan besar dapat ditangkap. Strategi yang

dilakukan berupa:48

1. Penguatan pada target kejahatan (target hardening) yang meliputi

penguncian pada steer mobil (steering column locks on cars) dan kamera

anti perampokan di bank (anti- robbery screen in banks) serta lain-lain.

2. Mengontrol akses terhadap kejahatan (controlling access to crime target),

meliputi pemagaran sekeliling perumahan untuk mencegah tindakan perusakan.

3. Membelokkan para pelaku dari target (deflecting offenders from targets),

meliputi memisahkan fans pada pertandingan bola kaki.

4. Mengontrol fasilitas untuk terjadinya kejahatan (controlling crime

facilitators), misalnya pasfoto di kartu kredit, password di mobile phone.

5. Pemeriksaan di tempat masuk dan tempat keluar dan tempat keluar

(screening entrances and exits), misalnya pemeriksaan bagasi di bandara.

6. Pengawasan secara formal (formal surveillance), misalnya penggunaan

kamera pengawas di jalan raya dan lampu lalu lintas, alarm perampokan.

7. Pengawasan oleh pegawai (surveillance by employees), misalnya tempat

pembayaran dan lokasi parkir yang dapat dilihat oleh pegawai dan penggunaan kamera pengawas.

8. Pengawasan alami (natural surveillance), misalnya pembangunan ruang

aman dan tata ruang lingkungan, membangun lampu penerangan jalan, dan pengawasan tempat tinggal penduduk.

Situational Crime Prevention seperti di atas dapat bekerja baik secara reaktif terhadap persoalan yang timbul oleh kejahatan, maupun bersifat antisipasi melalui analisis pengaruh yang ditimbulkan oleh kejahatan dan untuk pembuatan kebijakan penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu strategi penanggulangan

kejahatan melalui Situational Crime Prevention merupakan kerja yang dapat

dilakukan secara lokal, nasional dan bahkan internasional yang membutuhkan keterlibatan seluruh sektor meliputi instansi pemerintah, swasta, pemerintah

daerah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Situational Crime

Prevention (SCP) juga dapat dilakukan melalui pengamanan secara swadaya masyarakat, misalnya melakukan ronda, siskamling di lingkungan tempat tinggal,

48

atau bagi orang-orang tertentu dapat mempekerjakan penjaga khusus di tempat tinggal mereka (satpam).

Tim Hope mengatakan bahwa pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di

Dokumen terkait