• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Berbicara tentang pelacuran bukanlah merupakan sesuatu yang asing.

Pelacuran, sebagai suatu fenomena sosial, sudah ada sejak adanya manusia. Oleh

karena itu, perkembangan pelacuran akan terus berkembang mengikuti

perkembangan manusia.

Secara etimologis pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau

pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan,

percabulan. Sedangkan prostitute adalah pelacur atau sundal yang dikenal pula

dengan istilah WTS (wanita tuna susila). Sementara orang berkata bahwa kata itu

berasal dari prostitusi yang berarti menyerahkan diri dengan terang-terangan

kepada perzinahan.2

Pelacuran merupakan gejala sosial yang berintikan perzinahan dengan

motif ekonomis, bahwa pelaku-pelakunya bisa keduanya telah kawin, atau salah

satu pihak, atau keduanya belum kawin atau telah bercerai.Prostitusi merupakan

masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu

merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti mucikari atau

germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya

merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di

Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek

2

(2)

pelacuran. Ketidaktegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal

297 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal

tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya melarang mereka

yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan

hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama

sekali tidak ada pasal yang mengaturnya.

Sebagai suatu fenomena sosial, pelacuran selain dibenci juga disenangi

oleh masyarakat. Dengan kata lain, pelacuran masih dibutuhkan oleh para lelaki

hidung belang. Sebab itu tidaklah mengherankan bila bisnis pelacuran baik yang

terang-terangan maupun yang terselubung telah merebak demikian luas. Di

kota-kota besar, tempat-tempat wisata, bisnis maksiat ini tumbuh dengan subur.

Pelacuran merupakan salah satu penyakit sosial, atau lebih popular disebut

patologi sosial (social pathology). Jika diteliti sebab terjadinya patologi sosial ini,

maka dapat dikembalikan psychological tension. Secara psikologis manusia

memiliki nafsu-nafsu yang merupakan kekuatan sosial. Dalam kehidupan sosial

kita melihat dinamik yang dapat menggabungkan dan merenggangkan hubungan

antara anggota masyarakat. Jika manusia hendak hidup wajar harus dapat

memenuhi hasrat dan nafsu tadi. Seandainya keinginan-keinginan tadi tidak dapat

dipenuhi, maka hal ini dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan batin. Jika

ketegangan-ketegangan ini meluas dalam masyarakat, maka terjadilah ketegangan

sosial. Bila ketegangan ini tidak segera dipecahkan dapat berkembang menjadi

(3)

“Patologi sosial ialah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara

berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan

kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan

fundamental dari anggota-anggotanya dengan akibat bahwa pengikatan

sosial patah sama sekali”.3

Prostitusi tetap eksis hingga sekarang dan bahkan semakin canggih metode

yang digunakan. Kini Negara yang memiliki teknologi di bidang informasi dan

komunikasi dipastikan dapat menjadi Negara yang maju apabila Negara tersebut

dapat mengolah, memanfaatkan media tersebut secara bijak dan bertanggung

jawab. Tetapi apa yang akan terjadi apabila sebuah Negara yang memiliki media

ini tidak dapat memanfaatkan dan mengolahnya dengan bijak dan bertanggung

jawab. Maka perkembangan tersebut bak pisau bermata dua, perkembangan media

interaksi berbasis internet juga memiliki sisi negatif apabila Negara tersebut tidak

dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik.4

3

Khoe Soe Khiam, Sendi-sendi sosiologi, Ganaco NV, Bandung, 1963, hal. 127 3

Dewi Bunga, Prostitusi Cyber, Udayana University Press, Denpasar, 2012, hal. 1 Pada hari ini, ketika hampir seluruh perguruan tinggi berlomba-lomba

memasang jaringan internet dari provider yang menjual ruang-ruang web dan

fasilitas browsing tanpa berlangganan, bank-bank dan hotel mulai berlomba

membuka web-web mereka, dan berbagai usaha lain ikut memasang iklan di

internet, maka perusahaan-perusahaan teknologi informasi (IT) dunia mulai

merambah pasar Indonesia, maka sebenarnya masyarakat kita sedang berlenggang

(4)

Pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu, penguasaan teknologi ini

benar-benar dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, dunia pendidikan, jaringan

informasi, manajemen, sekuritas, dan sebagainya. Namun pada kelompok

masyarakat luas, terutama remaja, jaringan internet lebih banyak digunakan untuk

hiburan dan pergaulan, dan ternyata itu sangat digemari oleh remaja-remaja kita,

karena ternyata begitu banyak netter yang mengakses gambar-gambar erotik dan

porno dari situs-situs seks yang ada di internet.

Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia,

aktivitas prostitusi cyber juga mengalami perkembangan. Para pelaku mulai

menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan

aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan

untuk memasarkan transaksi seks. Istilah bisa pakai atau “bispak”, cowok

panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam

dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang

bersangkutan menawarkan jasa seks.5

Sisi negatif lain dari perkembangan ini adalah munculnya cyber crime atau kejahatan komputer yang berdampak pula pada hukum nasional yang telah ada,

sehingga dirasa diperlukannya penyesuaian hukum yang sesuai dengan kondisi dan

perkembangan tesebut. Di Indonesia, tingkat penyalahgunaan jaringan internet juga

tinggi hal ini dapat dilihat dari peneberitaan surat kabar Kompas yang berjudul Cyber Media pada tanggal 19/3/2002 menulis bahwa berdasarkan AC Nielsen 2001

(5)

Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di Asia

dalam tindak kejahatan di internet.

Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan

masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime

merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai

dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.

Dengan memperhatikan dampak negatif dari perkembangan cyber crime ini maka

seyogyanya melakukan antisipasi terhadap upaya penanggulangan cyber crime

ini.6

Keresahan akan aktivitas negatif di cyber space sangat dirasakan oleh

masyarakat. Apalagi dengan beberapa pemberitaan di media massa tentang

adanya prostitusi cyber. Kejahatan prostitusi cyber di Indonesia pertama kali

terungkap pada bulan Mei 2003 dimana pada waktu itu Satuan Reskrimsus cyber

crime Polda Metro Jaya berhasil menangkap mucikari cyber. Pelakunya adalah

sepasang suami istri, Ramdoni alias Rino dan Yanti Sari alias Bela. Prostitusi

cyber ini adalah modus baru yakni dengan menawarkan wanita melalui sebuah

alamat web. Pemilik web ini memajang foto-foto wanita tersebut dengan busana

minim yang siap melayani customer. Para peminat hanya cukup menghubungi

nomor handphone para mucikari tersebut yang ditampilkan di halaman web,

kemudian mucikari inilah yang mengantarkan pesanan ke kamar hotel atau ke

apartemen sesuai dengan keinginan pelanggan.7

6

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 1-2

7

(6)

Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat

beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang

berpenampilan menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating

dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di

kalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk

menjadi anak asuhannya, mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat

website yang dikelola mucikari tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadis-gadis

muda ini, pada umumnya calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada

website dimana gadis-gadis tersebut dipamerkan. Calon penyewa akan mengisi

formulir yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lainya. Setelah pendaftaran

selesai calon penyewa bisa langsung memilih gadis mana yang akan dikencani,

lalu calon penyewa bisa mulai bernegosiasi harga. Setelah semua proses

pendaftaran atau pemesanan selesai gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang

telah disepakati.8

Aktivitas prostitusi cyber sangat meresahkan para netter dan para orang

tua, apalagi aktivitas ini cenderung menjadikan anak-anak sebagai objek

eksploitasi seksual. Laporan UNICEF menyebutkan, ada sekitar 2.000.000 anak di

seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri

perdagangan anak ini ternyata meraup keuntungan hingga 12 miliar dolar per

tahunnya (ILO). Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya,

diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18

6

URL:

diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB

8

(7)

tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada

40.000 - 70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak

diperdagangkan tiap tahun.9

Jika sebelumnya para hidung belang mengenal istilah "Gang Dolly", salah

satu nama yang merujuk ke satu kata, "Prostitusi alias pelacuran", bukan tidak

mungkin dalam beberapa waktu ke depan komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan

Asia, akan menjadi nama baru yang digunakan jika para hidung belang yang ingin

menggunakan jasa pelayanan seksual. Bedanya, “CeweBisyar.com” bukanlah

suatu tempat yang bisa ditemui layaknya orang bertandang ke "Gang Dolly" atau

"Sarkem", melainkan hanyalah sebuah situs yang menjadi media informasi online

antara hidung belang dengan pelacur. Nama situs CeweBisyar.com dengan tagline

"Komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan Asia" dalam pekan terakhir menjadi

perbincangan. Situs Prostitusi Online ini menawarkan "kopdar" alias kopi darat

pesta seks yang di adakan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta,

Surabaya, Bandung, dan lainnya. Lokasinya di private room hotel bintang lima

ternama. Lokasi detailnya akan diberitahu setelah menjadi platinum member.10

Dari paparan tersebut tampak adanya dilema dalam penanganan terhadap

pelacuran, khususnya kajian mengenai kebijakan penegakan hukum terhadap

tindak pidana prostitusi cyber. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba

9

Unicef, tanpa tahun edisi, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL

10

(8)

untuk mengangkat topik Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana

Prostitusi Melalui Media Online.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

merasa perlu dilakukan sebuah pembahasan yang membahas mengenai cara

pengaturan serta penanggulangan cyber crime, terutama mengenai kejahatan

prostitusi secara online lebih mendalam, dengan menggunakan

perundang-undangan Negara Republik Indonesia yang mempunyai keterkaitan dengan

tindak pidana prostitusi secara online. Untuk membatasi pokok kajian yang akan

dibahas dalam penulisan ini, maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana prostitusi melalui

media online?

2. Bagaimana upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya tindak pidana prostitusi melalui media online di

Indonesia?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui dan menganalisis penegakan hukum melalui

pengaturan hukum terhadap tindak pidana prostitusi melalui

(9)

2. Mengetahui bagaimana bentuk kebijakan hukum pidana yang

dapat diterapkan dalam hukum positif Indonesia dalam mencegah

dan menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online.

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan dan informasi bidang ilmu

hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana di bidang teknologi

informasi sehubungan dalam hal bagaimana pengaturan hukum pidana dan

kebijakan hukum pidana positif di Indonesia dalam melakukan upaya

represif maupun preventif terhadap penanggulangan cyber crime,

khususnya mengenai tindak pidana prostitusi melalui media online.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memahami kejahatan mayantara (cyber crime) sebagai

salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi

globalisasi dewasa ini.

b. Untuk mengetahui apakah pengaturan hukum pidana positif di

Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui

media online telah tepat pemberlakuannya.

c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang tepat dilakukan

dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana

(10)

D. Keaslian Penelitian

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis

selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

maka penulis menuangkannya dalam judul skripsi yang berjudul : “Kebijakan

Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online”

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak

dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini

belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini

sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana

mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari

permasalahan dan tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka

dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan

jiplakan dari hasil orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Prostitusi di Indonesia

Pelacuran identik dengan kata dalam Bahasa Latin prostitution, diartikan

sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri kepada perzinahan.

Sementara itu, perzinahan diartikan sebagai perbuatan percintaan sampai

bersetubuh antara seseorang yang telah berkeluarga (baik isteri maupun suami)

(11)

rumusan tentang pelacuran (prostitusi) menurut pendapat para sarjana, antara lain

sebagai berikut:11

2. IWAN BLOCH, memberi batasan pelacuran sebagai suatu bentuk tertentu

dari hubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu, yakni

kepada siapapun secara terbuka dan hamper selalu dengan pembayaran,

baik untuk hubungan badan maupun kegiatan seks lainnya yang

memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.

1. W.A BONGER, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita

menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksuil sebagai mata

pencaharian. Unsur esensil dalam pelacuran adalah motif ekonomis, tanpa

motif ini bukan pelacuran.

3. COMMENGE, prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita

memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk

memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan

wanita tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya,

kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar

dengan banyak orang.

4. PAULUS MOEDIKDO MOELJONO, pelacuran adalah penyerahan badan

wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan

nafsu seksuil orang itu.

5. WAROUW, prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat

pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai keuntungan.

11

(12)

6. BUDISOESETYO, pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan

diri kepada umum untuk perbuatan kelamin.

Keberadaan pelacuran ini juga menunjukkan adanya suatu perubahan dari

waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti diketahui, praktik

pelacuran pada masa lalu mempergunakan fasilitas yang relatif sederhana,

sedangkan saat ini mereka memanfaatkan sarana seperti handphone, blackberry,

pager, dan media sosial. Bahkan bila dilihat lebih luas menunjukkan adanya suatu

keterkaitan tidak hanya bersifat ekonomi, namun menyangkut juga permasalahan

sosial dan budaya. Pemikiran di atas menunjukkan bahwa komunitas pelacuran

seperti yang terjadi di Sarkem,Yogyakarta berada pada era masyarakat global.12

Prostitusi menurut James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Topo

Santoso merupakan “The offering of sexual relations for monetary or other gain

(penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya).

Jadi prostitusi adalah seks untuk pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang

ingin diperoleh, biasanya berupa uang. Termasuk didalamnya bukan saja

persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual dengan orang lain untuk

mendapat bayaran. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting yakni pelacur Prostitusi adalah realitas yang nyata ditengah-tengah kehidupan manusia

yang berbudaya dan selalu hadir untuk mewarnai generasi kehidupan setiap

bangsa yang ada. Perkembangan pelacuran di Indonesia, tampaknya mempunyai

ciri khas tersendiri. Belum lagi adanya perhatian terhadap para pelacur sehingga

mereka mempunyai istilah/diberi nama yang sewaktu-waktu bisa diperbaharui.

12

(13)

(prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client) yang dapat

dilakukan secara kovensional maupun melalui dunia maya.13

Hugh D. Barlow sebagaimana yang dikutip Topo Santoso dalam bukunya

yang berjudul “Seksualitas dan Hukum Pidana” mengidentifikasi cara-cara praktik

prostitusi dengan menstratifikasi praktek prostitusi tersebut yakni:14

a. Golongan yang paling rendah yaitu para pelacur jalanan (the street walkers

atau street hookers). Tempat praktiknya adalah di jalan-jalan, lorong-lorong

atau taman kota. Mereka adalah yang terendah dalam hal penerimaan order

dibanding pelacur lainnya.

b. Para pelacur yang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut dengan

borderloss, cathouses, atau whorehouses). Mereka bekerja di rumah-rumah

bordil yang dijalankan (meski tidak selalu dimiliki) oleh para mucikari yang

kemungkinan pernah berprofesi juga yang sama.

c. Posisi tertinggi adalah mereka yang disebut sebagai gadis panggilan (call

girl). Mereka memiliki metode operasi yang sedikit berbeda. Gadis

panggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga para pelanggannya

dengan servis khusus. Rahasia mereka pun relatif lebih terjaga sebab untuk

berhubungan dengan mereka sering harus menggunakan referensi khusus,

yang biasanya adalah orang-orang terpercaya.

13

Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, hal. 134 14

(14)

2. Pengertian Tindak Pidana Prostitusi Online a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf,

baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar

diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu untuk feit diterjemahkan

dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Walaupun istilah ini

terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi

tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.

Oleh karena itu para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam

upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah

menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam

perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai

terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:15

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan

perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam

Undang-Undang No.6 Tahun 1982 jo. Undang-Undang-Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang

Hak Cipta, Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi, dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang

menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro,

S.H dalam bukunya Tindak-tindak Pidana Tertentu. Menurut beliau,

15

(15)

tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana;

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:

R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, H.J van

Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”,

A.Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk

Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam

UUDS 1950 [ Pasal 14 ayat (1)];

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya

E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa

pidana dalam bukunya “Hukum Pidana I”. A.Zainal Abidin dalam buku

beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini

seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”,

walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H.Tirtaatmidjaja yang

berjudul “Pokok-Pokok Hukum Pidana”;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam

bukunya “Ringkasan tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk

(16)

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-Undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan

Peledak (Pasal 3);

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”;

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar

feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum

ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk

mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana

ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang

itu merupakan tindak pidana atau tidak.

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya

ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk

menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak

dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana16.

Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para

sarjana:

16

(17)

1) E.Utrecht

Menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering

juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau

doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat dijadikan unsure-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab.

2) Pompe

Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai

“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara

teoretis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus

merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja

ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”.

3) Simons

Strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Menurut Simons, sifatnya yang melawan hukum seperti dimaksud di atas itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang-undang, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang lain.

Di dalam beberapa rumusan delik, undang-undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari pelakunya itu harus bersifat wederrechtelijke. Apabila sesuatu tindakan itu telah dilakukan dalam keadaan dimana undang-undang sendiri telah menentukan akibat hukumnya yakni bahwa pelakunya tidak dapat dihukum, maka jelaslah

(18)

undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara

mengenai adanya suatu strafbaar feit.17

4) Hazewinkel-Suringa

Strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat

perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam

sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus

ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang

bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.

Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada

unsur-unsur yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam

undang-undang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).

Sehubungan dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut, menurut Simons,

ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan

sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif

yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, serta akibat keadaan atau

masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan

kemampuan bertanggung jawab (toerekenings vatbaar) dari pelaku.18

1. Unsur Subjektif

Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut, dapat disimpulkan bahwa

unsur-unsur tindak pidana itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.

Yaitu unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana

yang menyatakan bahwa “ tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan ” (actus

17

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.185

18

(19)

non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah

kesalahan yang diakibatkanoleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan

(negligence/culpa).

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan.

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan

yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan:19

Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah:

“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa

melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan

diketahui (wetens)”.

Dengan singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang

menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada

dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan berupa pengetahuan

(yang diketahui).

20

1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)

“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus

menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti

(weten) akan akibat dari perbuatan itu.”

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:

Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki

(willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif),

19

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 171 20

(20)

menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak

pidana pasif) dan/atau juga menghendaki timbulnya akibat dari

perbuatan itu (tindak pidana materiil).

Misalnya: untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai mati. Disini perbuatan menikam itu dikehendaki, demikian juga kematian akibat tikaman itu juga ia kehendaki.

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

Yaitu kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal

orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan

tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya pasti

menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga, maka

disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.

Misalnya: A bermaksud membunuh B dengan menggunakan sebuah pistol, sedangkan B berada di balik sebuah kaca. Sebelum menggunakan senjatanya, disadarinya bahwa dengan tembakan yang dilakukannya akan berakibat pecahnya kaca itu. Kesadaran akan pecahnya kaca ini adalah kesengajaan sebagai kepastian.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidshewustjizn)

disebut juga dengan dolus eventualis

Yaitu kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya

bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak

inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk

mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko

untuk melakukan perbuatan itu.

(21)

Di kota Hoorn, seorang berkehendak membunuh orang yang dibencinya dengan cara mengirimkan kue tar yang di dalamnya telah diisi racun yang mematikan. Setelah kue itu dikirim dan diterima oleh musuhnya itu, ternyata kue tidak dimakan oleh yang dituju, melainkan dimakan oleh istrinya, dan matilah sang istri. HR dalam putusannya menyatakan bahwa pengirim kue telah melakukan: (a) pembunuhan berencana

terhadap istri; dan (b) percobaan pembunuhan terhadap suami.21

Menurut Simons kealpaan adalah:

Unsur kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila

kesengajaan adalah dikehendaki, maka kealpaan adalah tidak dikehendaki.

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, sehingga

sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang

dilakukan dengan kealpaan pun lebih ringan.

22

2. Unsur Objektif

“Umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.”

Sebagaimana di bagian muka telah diterangkan bahwa di dalam rumusan

tindak pidana selalu dirumuskan unsur tingkah laku atau perbuatan.

Kedua-duanya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan menjadi unsur

esensialia atau mutlak tindak pidana. Unsur objektif ini berasal dari luar diri

pelaku, terdiri atas:

1. Perbuatan manusia, berupa:

a. Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;

21

Moeljatno, Op.Cit, hal. 176 22

(22)

b. Omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti

mendiamkan atau membiarkan.

2. Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya

nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

3. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan

si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum, yakni berkenaan

dengan larangan atau perintah

Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu

kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa

dibebaskan dari pengadilan.

b.Kejahatan Mayantara (Cybercrime)

Mengingat kejahatan merupakan gejala sosial, maka Muladi dan Barda

Nawawi Arief mengemukakan, pemahaman terhadap kejahatan harus didasarkan

pada konsep kejahatan sebagai penyakit individual (the personal disease), gejala

patologi individu atau manusia (a human or individually pathological

phenomenon), yang kemudian diseimbangkan dengan konsepsi kejahatan sebagai

penyakit sosial (a socially pathological phenomenon).23

23

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.169

Begitu pula dalam

(23)

Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, telah muncul beberapa

kejahatan yang mempunyai karakteristik yang sama sekali baru. Kejahatan

tersebut adalah kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan jaringan

internet, yang membentuk cyber space (ruang siber). Kejahatan ini (cyber crime)

sering dipersepsikan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam ruang atau wilayah

siber.

Pada perkembangannya internet ternyata membawa sisi negatif, dengan

membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang selama ini

dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori

menyatakan, crime is product of society its self, yang secara sederhana dapat

diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.

Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi

internet ini sering disebut dengan cyber crime.24

The US Department of Justice memberikan pengertian computer crime

sebagai:

Dari pengertian ini tampak

bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya

yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet.

25

23

Ari Juliano Gema, Cyber crime: Sebuah Fenomena di Dunia Maya, dapat dijumpai dalam situs internet: http//www.theceli.com/dokumen/jurnal/ajo/a002.shtml diakses tanggal 11 April 2013, pukul 17.00 WIB

25

Ibid

“Any illegal act requiring knowledge of computer for its perpetration,

investigation, or prosecution”, artinya “setiap perbuatan melanggar

hukum yang memerlukan pengetahuan tentang komputer untuk

(24)

Indra Safitri mengemukakan kejahatan dunia maya adalah:26

Dalam laporan Kongres PBB X/2000 dinyatakan:

“Jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi

informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan

sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan

yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan

diakses oleh pelanggan internet.”

27

Muladi dalam bukunya yang ditulis bersama Barda Nawawi Arief, “Bunga

Rampai Hukum Pidana” memandang cyber crime dengan pendekatan computer

crime (kejahatan komputer). Namun demikian, cyber crime sesungguhnya

berbeda dengan computer crime.

Cyber crime atau computer-related crime, mencakup keseluruhan

bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan

komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisonal

yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan

peralatan komputer.”

28

Walaupun begitu, sesungguhnya memang ada upaya untuk memperluas

pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan

26

Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999, Insider,Legal Journal From

IndonesianCapital&InvestmentMarket,situsinternet:http//business.fourtunecity.com/buffet/842/art1 80199_tindak pidana.html, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.45 WIB

27

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2003, hal. 259 28

(25)

peralatan apapun, seperti pengertian komputer dalam The Proposed West Virginia

Computer Crimes Act;

“An electronic, magnetic, optical, electrochemical or other high speed data processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and includes any data storage facility or communications facility directly related to or operating in conjunction with such device, but such term does not include an automated typewriter or type-setter, a portable hand-held calculator, or other similar device.”

Terjemahannya: Peralatan pemerosesan data listrik, magnetik, optic, elektro kimia, atau peralatan kecepatan tinggi lainnya dalam melakukan logika aritmatika, atau fungsi penyimpanan dan memasukkan beberapa fasilitas penyimpanan data atau fasilitas komunikasi yang secara langsung berhubungan dengan operasi tersebut dalam konjungsi dengan peralatan tersebut tidak memasukkan mesin ketik otomatis atau tipe-setter, sebuah kalkulator tangan atau peralatan serupa lainnya.

Pendapat yang mengidentikkan cyber crime dengan computer crime dapat

dipahami dengan menggunakan pendekatan pemaknaan komputer yang diperluas

seperti pengertian tersebut di atas.

Belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang cyber crime atau

kejahatan dunia siber, sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi, “ Sampai saat ini

belum ada definisi yang seragam tentang cyber crime baik nasional maupun

global.29

Barda Nawawi Arief menggunakan istilah “tindak pidana mayantara”

untuk menyebut cyber crime. Beliau mengatakan, dengan istilah “tindak pidana

Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Agus Raharjo, bahwa istilah

cyber crime sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat bahkan tidak ada

pengakuan internasional mengenai istilah baku, tetapi ada yang menyamakan

istilah cyber crime dengan computer crime.

29

(26)

mayantara” dimaksudkan identik dengan tindak pidana di ruang siber (cyber

space) atau yang biasa juga dikenal dengan istilah “cyber crime”.

Cyber space (ruang siber) itu bersifat global, artinya tidak terikat pada

yurisdiksi nasional suatu negara. Hal ini dikarenakan bahwa cyber space ini

tercipta oleh adanya jaringan internet.30

Kaitan antara cyber crime dengan computer crime dapat disimpulkan

bahwa cyber crime termasuk bagian dari computer crime. Singkatnya cyber crime

bisa disebut juga sebagai computer crime. Dalam perspektif ini bisa dipahami bila

cyber crime diidentikkan dengan computer crime. Tapi dalam perkembangannya

identifikasi ini tidak relevan lagi karena pelaku tidak harus menggunakan

komputer sebagai alat dalam aksinya.

Internet itu merupakan medium

komunikasi elektronik global yang merupakan perwujudan dari gabungan semua

jaringan komputer yang ada di dunia (gigantic network), otomatis keberadaannya

dimiliki oleh setiap orang atau pihak-pihak yang membangunnya secara personal,

namun pada saat pengoperasiannya dan pemanfaatannya adalah merupakan

kepentingan global.

31

Cyber crime merupakan gejala sosial (social phenomenon) yang sudah

mengarah pada ranah hukum pidana, yaitu berupa kejahatan (crime). Cyber crime

bukan hanya dianggap sebagai permasalahan individual, atau lokal, atau nasional,

atau regional, melainkan sudah menjadi permasalahan global. Setiap negara

mestinya peduli untuk menanggulangi kejahatan teknologi tinggi tersebut (

30

Agus Raharjo, Op.Cit, hal. 91 31

(27)

tech crime), baik melalui kebijakan non-hukum pidana (nonpenal policy) maupun

kebijakan hukum pidana (penal policy).32

c. Tindak Pidana Prostitusi Online (Cyber)

Berbagai delik kesusilaan yang dikemukakan dalam kejahatan

konvensional seperti yang tertuang dalam KUHP, dapat juga terjadi di ruang maya

(cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo,

pelanggaran kesusilaan/percabulan/perbuatan tidak senonoh/zina. Semakin

maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya

berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child pornography),

on-line pornography, cyber-sex, cyber sexer, cyber lover, cyber romance, cyber

affair, on-line romance, sex on-line, cyber sex addicts.

Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan

mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang

kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sedang diungkapkan

adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex.

Pelanggaran kesusilaan termasuk di dalamnya cyberporn dan prostitusi

dengan menggunakan sarana elektronik atau internet. Prostitusi merupakan

masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu

merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para

calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan

32

(28)

laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia

pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran.

Prostitusi cyber berasal dari dua kata yang masing-masing dapat berdiri

sendiri yakni prostitusi dan cyber. Prostitusi adalah istilah yang sama dengan

pelacuran. Pelacuran menurut Soerjono Soekanto dapat diartikan sebagai suatu

pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan

perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.

Istilah prostitusi cyber menggambarkan tempat dimana aktivitas ini

dilakukan. Cyber adalah istilah yang digunakan orang untuk menyatakan sesuatu

yang berhubungan dengan internet atau dunia maya.

Budi Rahardjo menyatakan bahwa kata cyber berasal dari kata cybernetics,

merupakan suatu bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotik,

matematika, elektro dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di

tahun 1948.33

Prostitusi cyber adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual

melalui dunia maya. Melihat stratifikasi praktik prostitusi sebagaimana yang

Salah satu aplikasi dari cybernetics adalah di bidang pengendalian

(robot) dari jarak jauh. Dalam hal ini tentunya yang diinginkan adalah sebuah

kendali yang betul-betul sempurna (perfect control). Karenanya sedikit

mengherankan jika kata “cyberspace” yang berasal dari kata “cyber” tidak dapat

dikendalikan. Cyber space dapat diatur, meskipun pengaturannya membutuhkan

pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk mengatur dunia

maya.

33

Budi Rahardjo, 2003, “Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di

Indonesia”, Serial Online, available from : URL:

(29)

dikemukakan di atas sebelumnya, maka prostitusi cyber berada pada praktik

prostitusi dengan posisi tertinggi dimana pelacur dapat dipesan melalui media

cyber.

Prostitusi cyber merupakan bagian dari cyber crime yang menjadi sisi

gelap dari aktivitas di dunia maya. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas

menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara

sederhana diistilahkan dengan cyber sex. Lebih lanjut beliau dengan mengutip

pendapat dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah

penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual (the use of the internet for sexual

purposes). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang

mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk

ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual

expression or gratification). Dikemukakan juga olehnya, bahwa cyber sex dapat

dipandang sebagai kepuasan/kegembiraan maya (virtual gratification), dan suatu

bentuk dari keintiman (a new type of intimacy). Patut dicatat juga bahwa

hubungan intim atau keintiman (intimacy) itu dapat juga mengandung arti

hubungan seksual atau perzinahan. Ini berarti cyber sex merupakan bentuk baru

dari perzinahan.Dengan demikian prostitusi cyber merupakan aktivitas prostitusi

yang dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di cyber space.34

Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi

(bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi persaingan

antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila

34

(30)

persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah usaha setiap

pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para

pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh

umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap

wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Tentulah tidak mudah

untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut, mengingat tidak semua wanita

mau bekerja dalam bisnis pelacuran. Untuk mengatasi permasalahan ini para

pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas

dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu.

Semakin berkembangnya teknologi menyebabkan semakin merebaknya

bisnis prostitusi karena dapat memanfaatkan sarana internet dalam bertransaksi

dan penawaran prostitusi. Konsumen dapat dengan mudah memilih melalui

gambar-gambar dan foto-foto bahkan tanpa busana atau dengan pakaian minim

yang tersedia dalam jaringan situs internet antara lain pebisnis prostitusi

menggunakan sarana Facebook. Oleh sebab itu, pemerintah membentuk

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 karena

semakin maraknya prostitusi melalui jaringan Facebook. Bahkan anak-anak

remaja semakin banyak yang terjerat dalam kasus prostitusi melalui situs online

internet. Pelacuran via internet kini menjadi trend bisnis prostitusi. Pengelola

bisnis prostitusi ini memanfaatkan domain gratis sebagai wadah memasarkan “hot

produk-nya”.

Namun walaupun telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11

(31)

prostitusi melalui online karena akses situs Facebook melalui chatingnya tidak

dapat dikontrol dan kurangnya perhatian juga dari Facebook sendiri guna

mengontrol para pengguna situsnya. Ada banyak akun Facebook yang

menawarkan dan memasang foto-foto gadis lengkap dengan data diri dan info

kontak yang bisa setiap saat kita hubungi baik lewat HP maupun email dan secara

jelas melakukan penawaran terhadap dirinya, bahwa memang dia adalah seorang

wanita penghibur yang bisa di kontak kapan saja asalkan sesuai harga

kesepakatan. Hal ini jelas merupakan satu bentuk prostitusi yang memanfaatkan

jasa jejaring sosial Facebook yang disalah gunakan secara tidak

bertanggungjawab.

Maraknya praktik prostitusi di dunia maya mendapat perhatian serius dari

aparat kepolisian. Jumlah website yang menyediakan konten pornografi

meningkat hingga 70 persen. Pornografi juga masih menjadi konsumsi tertinggi

bagi para pengakses internet. Bahkan, 12 persen situs di dunia mengandung

pornografi Beberapa akun jejaring sosial, termasuk Facebook. Setiap harinya

sebanyak 266 situs porno baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman

website pornografi, sebanyak 25 persen pengguna memanfaatkan search engine

untuk mencari halaman pornografi.35

(32)

3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan 1 Upaya Penal (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut

politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak

terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena

hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat

penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.36

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri

dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.

Menurut Sudarto dalam

bukunya Hukum dan Hukum Pidana menyatakan bahwa:

“Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya

menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang

akan datang dengan melihat penegakannya saat ini.

37

“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah:

36

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 65

37

(33)

baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat

undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang

dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.”

Masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik

perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan

sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga

memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis,

historis dan komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari

berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial

dan pembangunan nasional pada umumnya.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan

sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari

konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan

sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang

ditetapkan.

Kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula

dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented

approach). Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah

(34)

pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan

hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang secara merata

materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka

(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan

dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu

sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum

pidana adalah perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang

mendatangkan kerugian kepada masyarakat. Perbuatan yang tidak

merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak

dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu

dicegah dengan menggunakan hukum pidana.

c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana

hukum pidana dengan sanksi negatif berupa pidana, perlu disertai

perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan

dicapai (cost-benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai

kelampauan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatkan

(35)

Sudarto mengemukakan 3 lingkup pengertian kebijakan kriminal yakni:38

a. Dalam pengertian sempit, yaitu keseluruhan asas dan metode

yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;

b. Dalam pengertian luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur

penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian; dan

c. Dalam pengertian sangat luas, yaitu keseluruhan kebijakan

yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.

Pada dasarnya penal policy lebih menekankan pada tindakan represif

(pemberantasan) setelah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh karena

penanggulangan kejahatan melalui upaya penal adalah penerapan hukum pidana,

maka dasarnya tidak lain adalah apa yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal

10 KUHP yang mengatur jenis-jenis pidana. Disamping itu, penggunaan sanksi

pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang

mengatur ketentuan pidana di dalamnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103

KUHP.39

Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat

difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui 3 (tiga) tahap yaitu:40

1. Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif)

2. Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif)

3. Tahap Eksekusi (Kebijakan Eksekutif)

Ad.1. Tahap formulasi (Kebijakan Legislatif) yaitu tahap perencanaan atau

perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan

38

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 113-114 39

M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.28 40

(36)

tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi

atau operasionalisasi hukum pidana, serta yang menjadi dasar, landasan dan

pedoman bagi tahap-tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan tahap

eksekusi. Kesalahan pada tahap formulasi merupakan kesalahan strategis

yang dapat menjadi penghambat bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi

dalam kebijakan hukum pidana.

Ad.2. Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan

perundang-undangan pidana yang telah dilanggar.

Ad.3. Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas

perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat

dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat

undang-undang (kebijakan legislatif), penjatuhan pidana (kebijakan yudikatif) dan

pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Dengan kata lain, penal policy

menyangkut masalah kebijakan penegakan hukum yang termasuk ke dalam

bidang kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

dan perlindungan masyarakat.

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem

pembangunan harus dilihat dalam 3 (tiga) kerangka yaitu struktur, substansi, dan

kultur. Hal tersebut penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil

keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu

(37)

tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan

masyarakat sendiri.

Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekriminalisasi,

penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung

pada perkembangan politik hukum, politik kriminal, dan politik sosial. Oleh

karena itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom,

melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku

sosial.41

Penerapan hukum pidana, perlu dilakukan dengan berbagai usaha untuk

menyempurnakan sistem peradilan pidana baik dari segi kriminalisasi,

dekriminalisasi, maupun perbaikan sarana dan prasarana sistem, peningkatan

sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan peran serta masyarakat dalam

sistem peradilan pidana.

42

Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum

(pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan

pada fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal

(hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ali Wisnubroto

mengungkapkan bahwa kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan

tindakan:43

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan

hukum pidana;

41

Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 52 42

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 182

43

(38)

2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi

masyarakat;

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan

hukum pidana;

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar

Masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana adalah masalah mengenai

perbuatan apa yang seharusnya terjadi tindak pidana dan sanksi apa yang

sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar. Hal ini berarti bahwa

kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi dan penalisasi,

karena itu penggunaannya harus berorientasi pada kebijakan (policy oriented

approach).

2 Upaya Non-Penal (Non-Penal Policy)

G.Peter Hoefnagels mengatakan upaya penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).

Upaya penanggulangan kejahatan di atas secara garis besar dapat dibagi

dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/di

(39)

disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya

non-penal.

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran

utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan

yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkembangkan

kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan,

maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan

memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.

Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan

kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula oleh berbagai hasil dari

Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.

Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela

menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime

Prevention Strategis, antara lain:

1 Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian

kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes

progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all

people).

2 Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada

(40)

kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the

elimination of causes and condition giving rise to crime).

3 Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai

negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial

dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran

dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk (the main causes of

crime in many countries are social inequality, ratial and national

discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy

among broad section of the population).

Di dalam Resolusi Kongres ke-6 PBB ini, dihimbau kepada semua

anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk

menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan

dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan,

kebutahurufan, diskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk

ketimpangan sosial.

Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang The Prevention Crime and the

Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana Cuba, menekankan

pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu

faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan

pidana. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial

yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan,

sebagai berikut:44

44

(41)

1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)

karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang

berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan

adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;

6. Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang

mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;

7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;

8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;

9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan

obat bius dan penadahan barang-barang curian;

10.Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan

sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.

Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik, dengan kebijakan

atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang

cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek

pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB

(mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bahwa

pembangunan itu sendiri dapat bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu:

a. Tidak direncanakan secara rasional (it was not rationally planned); atau

direncanakan secara timpang, tidak memadai/ tidak seimbang

(42)

b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural and

moral values); dan

c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang

menyeluruh/integral (did not include integrated social defence strategies).

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya

kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit

dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena

itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal

berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Menurut Hoefnagels, pendekatan non penal adalah:

“Pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana

pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain

perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental

health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental heath), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law)”.

Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan pekerjaan

menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu yang

mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan di bidang perekonomian dalam

kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan terjadinya kejahatan.

Program pencegahan yang dapat dilakukan antara lain berupa:45

1. Memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda;

2. Memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan;

3. Menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk bekerja;

4. Menciptakan program tenaga kerja publik;

5. Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan

masyarakat di areal yang miskin.

45

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu lampu wolfram, kolimator, cuvet sampel terbuat dari kaca preparat, kisi difraksi, kamera, filter cahaya dan komputer untukmemahami prinsip dasar metode

Berdasarkan Gambar 1.1, dapat dilihat bahwa pada mesin laser cutting CNC persentase biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembelian suku cadang adalah sebesar 76,13% dari

Dari gambar 4.1 dapat diketahui hasil persentase untuk indikator tentang Kosep Dasar KTSP berdasarkan pengetahuan sebesar 88,29% dan termasuk kedalam kriteria sangat baik,

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

[r]

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap persiapan antara lain: (1) mengurus surat ijin penelitian; (2) melaksanakan observasi awal untuk menentukan sekolah

[r]

Berilah tanda silang (x) Pada kolom kosong, sesuai mata kuliah yang dikontrak batas maksimal 9 sks.. Melampirkan slip pembayaran asli semseter pendek dari Bank