A. Latar Belakang
Berbicara tentang pelacuran bukanlah merupakan sesuatu yang asing.
Pelacuran, sebagai suatu fenomena sosial, sudah ada sejak adanya manusia. Oleh
karena itu, perkembangan pelacuran akan terus berkembang mengikuti
perkembangan manusia.
Secara etimologis pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau
pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan,
percabulan. Sedangkan prostitute adalah pelacur atau sundal yang dikenal pula
dengan istilah WTS (wanita tuna susila). Sementara orang berkata bahwa kata itu
berasal dari prostitusi yang berarti menyerahkan diri dengan terang-terangan
kepada perzinahan.2
Pelacuran merupakan gejala sosial yang berintikan perzinahan dengan
motif ekonomis, bahwa pelaku-pelakunya bisa keduanya telah kawin, atau salah
satu pihak, atau keduanya belum kawin atau telah bercerai.Prostitusi merupakan
masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti mucikari atau
germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya
merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di
Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek
2
pelacuran. Ketidaktegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal
297 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal
tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya melarang mereka
yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan
hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama
sekali tidak ada pasal yang mengaturnya.
Sebagai suatu fenomena sosial, pelacuran selain dibenci juga disenangi
oleh masyarakat. Dengan kata lain, pelacuran masih dibutuhkan oleh para lelaki
hidung belang. Sebab itu tidaklah mengherankan bila bisnis pelacuran baik yang
terang-terangan maupun yang terselubung telah merebak demikian luas. Di
kota-kota besar, tempat-tempat wisata, bisnis maksiat ini tumbuh dengan subur.
Pelacuran merupakan salah satu penyakit sosial, atau lebih popular disebut
patologi sosial (social pathology). Jika diteliti sebab terjadinya patologi sosial ini,
maka dapat dikembalikan psychological tension. Secara psikologis manusia
memiliki nafsu-nafsu yang merupakan kekuatan sosial. Dalam kehidupan sosial
kita melihat dinamik yang dapat menggabungkan dan merenggangkan hubungan
antara anggota masyarakat. Jika manusia hendak hidup wajar harus dapat
memenuhi hasrat dan nafsu tadi. Seandainya keinginan-keinginan tadi tidak dapat
dipenuhi, maka hal ini dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan batin. Jika
ketegangan-ketegangan ini meluas dalam masyarakat, maka terjadilah ketegangan
sosial. Bila ketegangan ini tidak segera dipecahkan dapat berkembang menjadi
“Patologi sosial ialah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara
berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan
kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan
fundamental dari anggota-anggotanya dengan akibat bahwa pengikatan
sosial patah sama sekali”.3
Prostitusi tetap eksis hingga sekarang dan bahkan semakin canggih metode
yang digunakan. Kini Negara yang memiliki teknologi di bidang informasi dan
komunikasi dipastikan dapat menjadi Negara yang maju apabila Negara tersebut
dapat mengolah, memanfaatkan media tersebut secara bijak dan bertanggung
jawab. Tetapi apa yang akan terjadi apabila sebuah Negara yang memiliki media
ini tidak dapat memanfaatkan dan mengolahnya dengan bijak dan bertanggung
jawab. Maka perkembangan tersebut bak pisau bermata dua, perkembangan media
interaksi berbasis internet juga memiliki sisi negatif apabila Negara tersebut tidak
dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik.4
3
Khoe Soe Khiam, Sendi-sendi sosiologi, Ganaco NV, Bandung, 1963, hal. 127 3
Dewi Bunga, Prostitusi Cyber, Udayana University Press, Denpasar, 2012, hal. 1 Pada hari ini, ketika hampir seluruh perguruan tinggi berlomba-lomba
memasang jaringan internet dari provider yang menjual ruang-ruang web dan
fasilitas browsing tanpa berlangganan, bank-bank dan hotel mulai berlomba
membuka web-web mereka, dan berbagai usaha lain ikut memasang iklan di
internet, maka perusahaan-perusahaan teknologi informasi (IT) dunia mulai
merambah pasar Indonesia, maka sebenarnya masyarakat kita sedang berlenggang
Pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu, penguasaan teknologi ini
benar-benar dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, dunia pendidikan, jaringan
informasi, manajemen, sekuritas, dan sebagainya. Namun pada kelompok
masyarakat luas, terutama remaja, jaringan internet lebih banyak digunakan untuk
hiburan dan pergaulan, dan ternyata itu sangat digemari oleh remaja-remaja kita,
karena ternyata begitu banyak netter yang mengakses gambar-gambar erotik dan
porno dari situs-situs seks yang ada di internet.
Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia,
aktivitas prostitusi cyber juga mengalami perkembangan. Para pelaku mulai
menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan
aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan
untuk memasarkan transaksi seks. Istilah bisa pakai atau “bispak”, cowok
panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam
dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang
bersangkutan menawarkan jasa seks.5
Sisi negatif lain dari perkembangan ini adalah munculnya cyber crime atau kejahatan komputer yang berdampak pula pada hukum nasional yang telah ada,
sehingga dirasa diperlukannya penyesuaian hukum yang sesuai dengan kondisi dan
perkembangan tesebut. Di Indonesia, tingkat penyalahgunaan jaringan internet juga
tinggi hal ini dapat dilihat dari peneberitaan surat kabar Kompas yang berjudul Cyber Media pada tanggal 19/3/2002 menulis bahwa berdasarkan AC Nielsen 2001
Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di Asia
dalam tindak kejahatan di internet.
Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime
merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai
dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.
Dengan memperhatikan dampak negatif dari perkembangan cyber crime ini maka
seyogyanya melakukan antisipasi terhadap upaya penanggulangan cyber crime
ini.6
Keresahan akan aktivitas negatif di cyber space sangat dirasakan oleh
masyarakat. Apalagi dengan beberapa pemberitaan di media massa tentang
adanya prostitusi cyber. Kejahatan prostitusi cyber di Indonesia pertama kali
terungkap pada bulan Mei 2003 dimana pada waktu itu Satuan Reskrimsus cyber
crime Polda Metro Jaya berhasil menangkap mucikari cyber. Pelakunya adalah
sepasang suami istri, Ramdoni alias Rino dan Yanti Sari alias Bela. Prostitusi
cyber ini adalah modus baru yakni dengan menawarkan wanita melalui sebuah
alamat web. Pemilik web ini memajang foto-foto wanita tersebut dengan busana
minim yang siap melayani customer. Para peminat hanya cukup menghubungi
nomor handphone para mucikari tersebut yang ditampilkan di halaman web,
kemudian mucikari inilah yang mengantarkan pesanan ke kamar hotel atau ke
apartemen sesuai dengan keinginan pelanggan.7
6
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 1-2
7
Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat
beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang
berpenampilan menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating
dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di
kalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk
menjadi anak asuhannya, mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat
website yang dikelola mucikari tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadis-gadis
muda ini, pada umumnya calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada
website dimana gadis-gadis tersebut dipamerkan. Calon penyewa akan mengisi
formulir yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lainya. Setelah pendaftaran
selesai calon penyewa bisa langsung memilih gadis mana yang akan dikencani,
lalu calon penyewa bisa mulai bernegosiasi harga. Setelah semua proses
pendaftaran atau pemesanan selesai gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang
telah disepakati.8
Aktivitas prostitusi cyber sangat meresahkan para netter dan para orang
tua, apalagi aktivitas ini cenderung menjadikan anak-anak sebagai objek
eksploitasi seksual. Laporan UNICEF menyebutkan, ada sekitar 2.000.000 anak di
seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri
perdagangan anak ini ternyata meraup keuntungan hingga 12 miliar dolar per
tahunnya (ILO). Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya,
diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18
6
URL:
diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB
8
tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada
40.000 - 70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak
diperdagangkan tiap tahun.9
Jika sebelumnya para hidung belang mengenal istilah "Gang Dolly", salah
satu nama yang merujuk ke satu kata, "Prostitusi alias pelacuran", bukan tidak
mungkin dalam beberapa waktu ke depan komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan
Asia, akan menjadi nama baru yang digunakan jika para hidung belang yang ingin
menggunakan jasa pelayanan seksual. Bedanya, “CeweBisyar.com” bukanlah
suatu tempat yang bisa ditemui layaknya orang bertandang ke "Gang Dolly" atau
"Sarkem", melainkan hanyalah sebuah situs yang menjadi media informasi online
antara hidung belang dengan pelacur. Nama situs CeweBisyar.com dengan tagline
"Komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan Asia" dalam pekan terakhir menjadi
perbincangan. Situs Prostitusi Online ini menawarkan "kopdar" alias kopi darat
pesta seks yang di adakan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung, dan lainnya. Lokasinya di private room hotel bintang lima
ternama. Lokasi detailnya akan diberitahu setelah menjadi platinum member.10
Dari paparan tersebut tampak adanya dilema dalam penanganan terhadap
pelacuran, khususnya kajian mengenai kebijakan penegakan hukum terhadap
tindak pidana prostitusi cyber. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba
9
Unicef, tanpa tahun edisi, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL
10
untuk mengangkat topik Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Prostitusi Melalui Media Online.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
merasa perlu dilakukan sebuah pembahasan yang membahas mengenai cara
pengaturan serta penanggulangan cyber crime, terutama mengenai kejahatan
prostitusi secara online lebih mendalam, dengan menggunakan
perundang-undangan Negara Republik Indonesia yang mempunyai keterkaitan dengan
tindak pidana prostitusi secara online. Untuk membatasi pokok kajian yang akan
dibahas dalam penulisan ini, maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana prostitusi melalui
media online?
2. Bagaimana upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana prostitusi melalui media online di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1. Mengetahui dan menganalisis penegakan hukum melalui
pengaturan hukum terhadap tindak pidana prostitusi melalui
2. Mengetahui bagaimana bentuk kebijakan hukum pidana yang
dapat diterapkan dalam hukum positif Indonesia dalam mencegah
dan menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online.
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan dan informasi bidang ilmu
hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana di bidang teknologi
informasi sehubungan dalam hal bagaimana pengaturan hukum pidana dan
kebijakan hukum pidana positif di Indonesia dalam melakukan upaya
represif maupun preventif terhadap penanggulangan cyber crime,
khususnya mengenai tindak pidana prostitusi melalui media online.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memahami kejahatan mayantara (cyber crime) sebagai
salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi
globalisasi dewasa ini.
b. Untuk mengetahui apakah pengaturan hukum pidana positif di
Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui
media online telah tepat pemberlakuannya.
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang tepat dilakukan
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana
D. Keaslian Penelitian
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis
selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
maka penulis menuangkannya dalam judul skripsi yang berjudul : “Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online”
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak
dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini
sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana
mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari
permasalahan dan tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka
dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan
jiplakan dari hasil orang lain.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Prostitusi di Indonesia
Pelacuran identik dengan kata dalam Bahasa Latin prostitution, diartikan
sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri kepada perzinahan.
Sementara itu, perzinahan diartikan sebagai perbuatan percintaan sampai
bersetubuh antara seseorang yang telah berkeluarga (baik isteri maupun suami)
rumusan tentang pelacuran (prostitusi) menurut pendapat para sarjana, antara lain
sebagai berikut:11
2. IWAN BLOCH, memberi batasan pelacuran sebagai suatu bentuk tertentu
dari hubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu, yakni
kepada siapapun secara terbuka dan hamper selalu dengan pembayaran,
baik untuk hubungan badan maupun kegiatan seks lainnya yang
memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
1. W.A BONGER, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita
menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksuil sebagai mata
pencaharian. Unsur esensil dalam pelacuran adalah motif ekonomis, tanpa
motif ini bukan pelacuran.
3. COMMENGE, prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita
memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk
memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan
wanita tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya,
kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar
dengan banyak orang.
4. PAULUS MOEDIKDO MOELJONO, pelacuran adalah penyerahan badan
wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan
nafsu seksuil orang itu.
5. WAROUW, prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat
pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai keuntungan.
11
6. BUDISOESETYO, pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan
diri kepada umum untuk perbuatan kelamin.
Keberadaan pelacuran ini juga menunjukkan adanya suatu perubahan dari
waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti diketahui, praktik
pelacuran pada masa lalu mempergunakan fasilitas yang relatif sederhana,
sedangkan saat ini mereka memanfaatkan sarana seperti handphone, blackberry,
pager, dan media sosial. Bahkan bila dilihat lebih luas menunjukkan adanya suatu
keterkaitan tidak hanya bersifat ekonomi, namun menyangkut juga permasalahan
sosial dan budaya. Pemikiran di atas menunjukkan bahwa komunitas pelacuran
seperti yang terjadi di Sarkem,Yogyakarta berada pada era masyarakat global.12
Prostitusi menurut James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Topo
Santoso merupakan “The offering of sexual relations for monetary or other gain”
(penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya).
Jadi prostitusi adalah seks untuk pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang
ingin diperoleh, biasanya berupa uang. Termasuk didalamnya bukan saja
persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual dengan orang lain untuk
mendapat bayaran. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting yakni pelacur Prostitusi adalah realitas yang nyata ditengah-tengah kehidupan manusia
yang berbudaya dan selalu hadir untuk mewarnai generasi kehidupan setiap
bangsa yang ada. Perkembangan pelacuran di Indonesia, tampaknya mempunyai
ciri khas tersendiri. Belum lagi adanya perhatian terhadap para pelacur sehingga
mereka mempunyai istilah/diberi nama yang sewaktu-waktu bisa diperbaharui.
12
(prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client) yang dapat
dilakukan secara kovensional maupun melalui dunia maya.13
Hugh D. Barlow sebagaimana yang dikutip Topo Santoso dalam bukunya
yang berjudul “Seksualitas dan Hukum Pidana” mengidentifikasi cara-cara praktik
prostitusi dengan menstratifikasi praktek prostitusi tersebut yakni:14
a. Golongan yang paling rendah yaitu para pelacur jalanan (the street walkers
atau street hookers). Tempat praktiknya adalah di jalan-jalan, lorong-lorong
atau taman kota. Mereka adalah yang terendah dalam hal penerimaan order
dibanding pelacur lainnya.
b. Para pelacur yang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut dengan
borderloss, cathouses, atau whorehouses). Mereka bekerja di rumah-rumah
bordil yang dijalankan (meski tidak selalu dimiliki) oleh para mucikari yang
kemungkinan pernah berprofesi juga yang sama.
c. Posisi tertinggi adalah mereka yang disebut sebagai gadis panggilan (call
girl). Mereka memiliki metode operasi yang sedikit berbeda. Gadis
panggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga para pelanggannya
dengan servis khusus. Rahasia mereka pun relatif lebih terjaga sebab untuk
berhubungan dengan mereka sering harus menggunakan referensi khusus,
yang biasanya adalah orang-orang terpercaya.
13
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, hal. 134 14
2. Pengertian Tindak Pidana Prostitusi Online a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf,
baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu untuk feit diterjemahkan
dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.
Oleh karena itu para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam
upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah
menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam
perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai
terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:15
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan
perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam
Undang-Undang No.6 Tahun 1982 jo. Undang-Undang-Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi, dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang
menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro,
S.H dalam bukunya Tindak-tindak Pidana Tertentu. Menurut beliau,
15
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana;
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:
R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, H.J van
Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”,
A.Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk
Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam
UUDS 1950 [ Pasal 14 ayat (1)];
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya
E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa
pidana dalam bukunya “Hukum Pidana I”. A.Zainal Abidin dalam buku
beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini
seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”,
walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H.Tirtaatmidjaja yang
berjudul “Pokok-Pokok Hukum Pidana”;
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam
bukunya “Ringkasan tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk
Undang-Undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan
beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”;
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar
feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum
ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk
mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana
ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang
itu merupakan tindak pidana atau tidak.
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak
dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana16.
Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para
sarjana:
16
1) E.Utrecht
Menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau
doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat dijadikan unsure-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab.
2) Pompe
Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai
“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara
teoretis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus
merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja
ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”.
3) Simons
“Strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Menurut Simons, sifatnya yang melawan hukum seperti dimaksud di atas itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang-undang, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang lain.
Di dalam beberapa rumusan delik, undang-undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari pelakunya itu harus bersifat wederrechtelijke. Apabila sesuatu tindakan itu telah dilakukan dalam keadaan dimana undang-undang sendiri telah menentukan akibat hukumnya yakni bahwa pelakunya tidak dapat dihukum, maka jelaslah
undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara
mengenai adanya suatu strafbaar feit.17
4) Hazewinkel-Suringa
“Strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus
ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada
unsur-unsur yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam
undang-undang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).
Sehubungan dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut, menurut Simons,
ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan
sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif
yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, serta akibat keadaan atau
masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan
kemampuan bertanggung jawab (toerekenings vatbaar) dari pelaku.18
1. Unsur Subjektif
Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut, dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur tindak pidana itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.
Yaitu unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana
yang menyatakan bahwa “ tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan ” (actus
17
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.185
18
non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah
kesalahan yang diakibatkanoleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan
(negligence/culpa).
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan.
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan
yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan:19
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah:
“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa
melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan
diketahui (wetens)”.
Dengan singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang
menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada
dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan berupa pengetahuan
(yang diketahui).
20
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti
(weten) akan akibat dari perbuatan itu.”
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki
(willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif),
19
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 171 20
menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak
pidana pasif) dan/atau juga menghendaki timbulnya akibat dari
perbuatan itu (tindak pidana materiil).
Misalnya: untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai mati. Disini perbuatan menikam itu dikehendaki, demikian juga kematian akibat tikaman itu juga ia kehendaki.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
Yaitu kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal
orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan
tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya pasti
menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga, maka
disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.
Misalnya: A bermaksud membunuh B dengan menggunakan sebuah pistol, sedangkan B berada di balik sebuah kaca. Sebelum menggunakan senjatanya, disadarinya bahwa dengan tembakan yang dilakukannya akan berakibat pecahnya kaca itu. Kesadaran akan pecahnya kaca ini adalah kesengajaan sebagai kepastian.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidshewustjizn)
disebut juga dengan dolus eventualis
Yaitu kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya
bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak
inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk
mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko
untuk melakukan perbuatan itu.
Di kota Hoorn, seorang berkehendak membunuh orang yang dibencinya dengan cara mengirimkan kue tar yang di dalamnya telah diisi racun yang mematikan. Setelah kue itu dikirim dan diterima oleh musuhnya itu, ternyata kue tidak dimakan oleh yang dituju, melainkan dimakan oleh istrinya, dan matilah sang istri. HR dalam putusannya menyatakan bahwa pengirim kue telah melakukan: (a) pembunuhan berencana
terhadap istri; dan (b) percobaan pembunuhan terhadap suami.21
Menurut Simons kealpaan adalah:
Unsur kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila
kesengajaan adalah dikehendaki, maka kealpaan adalah tidak dikehendaki.
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, sehingga
sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang
dilakukan dengan kealpaan pun lebih ringan.
22
2. Unsur Objektif
“Umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.”
Sebagaimana di bagian muka telah diterangkan bahwa di dalam rumusan
tindak pidana selalu dirumuskan unsur tingkah laku atau perbuatan.
Kedua-duanya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan menjadi unsur
esensialia atau mutlak tindak pidana. Unsur objektif ini berasal dari luar diri
pelaku, terdiri atas:
1. Perbuatan manusia, berupa:
a. Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;
21
Moeljatno, Op.Cit, hal. 176 22
b. Omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti
mendiamkan atau membiarkan.
2. Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya
nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
3. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan
si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum, yakni berkenaan
dengan larangan atau perintah
Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu
kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa
dibebaskan dari pengadilan.
b.Kejahatan Mayantara (Cybercrime)
Mengingat kejahatan merupakan gejala sosial, maka Muladi dan Barda
Nawawi Arief mengemukakan, pemahaman terhadap kejahatan harus didasarkan
pada konsep kejahatan sebagai penyakit individual (the personal disease), gejala
patologi individu atau manusia (a human or individually pathological
phenomenon), yang kemudian diseimbangkan dengan konsepsi kejahatan sebagai
penyakit sosial (a socially pathological phenomenon).23
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.169
Begitu pula dalam
Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, telah muncul beberapa
kejahatan yang mempunyai karakteristik yang sama sekali baru. Kejahatan
tersebut adalah kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan jaringan
internet, yang membentuk cyber space (ruang siber). Kejahatan ini (cyber crime)
sering dipersepsikan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam ruang atau wilayah
siber.
Pada perkembangannya internet ternyata membawa sisi negatif, dengan
membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang selama ini
dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori
menyatakan, crime is product of society its self, yang secara sederhana dapat
diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.
Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi
internet ini sering disebut dengan cyber crime.24
The US Department of Justice memberikan pengertian computer crime
sebagai:
Dari pengertian ini tampak
bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya
yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet.
25
23
Ari Juliano Gema, Cyber crime: Sebuah Fenomena di Dunia Maya, dapat dijumpai dalam situs internet: http//www.theceli.com/dokumen/jurnal/ajo/a002.shtml diakses tanggal 11 April 2013, pukul 17.00 WIB
25
Ibid
“Any illegal act requiring knowledge of computer for its perpetration,
investigation, or prosecution”, artinya “setiap perbuatan melanggar
hukum yang memerlukan pengetahuan tentang komputer untuk
Indra Safitri mengemukakan kejahatan dunia maya adalah:26
Dalam laporan Kongres PBB X/2000 dinyatakan:
“Jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi
informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan
sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan
yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan
diakses oleh pelanggan internet.”
27
Muladi dalam bukunya yang ditulis bersama Barda Nawawi Arief, “Bunga
Rampai Hukum Pidana” memandang cyber crime dengan pendekatan computer
crime (kejahatan komputer). Namun demikian, cyber crime sesungguhnya
berbeda dengan computer crime.
“Cyber crime atau computer-related crime, mencakup keseluruhan
bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan
komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisonal
yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan
peralatan komputer.”
28
Walaupun begitu, sesungguhnya memang ada upaya untuk memperluas
pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan
26
Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999, Insider,Legal Journal From
IndonesianCapital&InvestmentMarket,situsinternet:http//business.fourtunecity.com/buffet/842/art1 80199_tindak pidana.html, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.45 WIB
27
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hal. 259 28
peralatan apapun, seperti pengertian komputer dalam The Proposed West Virginia
Computer Crimes Act;
“An electronic, magnetic, optical, electrochemical or other high speed data processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and includes any data storage facility or communications facility directly related to or operating in conjunction with such device, but such term does not include an automated typewriter or type-setter, a portable hand-held calculator, or other similar device.”
Terjemahannya: Peralatan pemerosesan data listrik, magnetik, optic, elektro kimia, atau peralatan kecepatan tinggi lainnya dalam melakukan logika aritmatika, atau fungsi penyimpanan dan memasukkan beberapa fasilitas penyimpanan data atau fasilitas komunikasi yang secara langsung berhubungan dengan operasi tersebut dalam konjungsi dengan peralatan tersebut tidak memasukkan mesin ketik otomatis atau tipe-setter, sebuah kalkulator tangan atau peralatan serupa lainnya.
Pendapat yang mengidentikkan cyber crime dengan computer crime dapat
dipahami dengan menggunakan pendekatan pemaknaan komputer yang diperluas
seperti pengertian tersebut di atas.
Belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang cyber crime atau
kejahatan dunia siber, sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi, “ Sampai saat ini
belum ada definisi yang seragam tentang cyber crime baik nasional maupun
global.29
Barda Nawawi Arief menggunakan istilah “tindak pidana mayantara”
untuk menyebut cyber crime. Beliau mengatakan, dengan istilah “tindak pidana
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Agus Raharjo, bahwa istilah
cyber crime sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat bahkan tidak ada
pengakuan internasional mengenai istilah baku, tetapi ada yang menyamakan
istilah cyber crime dengan computer crime.
29
mayantara” dimaksudkan identik dengan tindak pidana di ruang siber (cyber
space) atau yang biasa juga dikenal dengan istilah “cyber crime”.
Cyber space (ruang siber) itu bersifat global, artinya tidak terikat pada
yurisdiksi nasional suatu negara. Hal ini dikarenakan bahwa cyber space ini
tercipta oleh adanya jaringan internet.30
Kaitan antara cyber crime dengan computer crime dapat disimpulkan
bahwa cyber crime termasuk bagian dari computer crime. Singkatnya cyber crime
bisa disebut juga sebagai computer crime. Dalam perspektif ini bisa dipahami bila
cyber crime diidentikkan dengan computer crime. Tapi dalam perkembangannya
identifikasi ini tidak relevan lagi karena pelaku tidak harus menggunakan
komputer sebagai alat dalam aksinya.
Internet itu merupakan medium
komunikasi elektronik global yang merupakan perwujudan dari gabungan semua
jaringan komputer yang ada di dunia (gigantic network), otomatis keberadaannya
dimiliki oleh setiap orang atau pihak-pihak yang membangunnya secara personal,
namun pada saat pengoperasiannya dan pemanfaatannya adalah merupakan
kepentingan global.
31
Cyber crime merupakan gejala sosial (social phenomenon) yang sudah
mengarah pada ranah hukum pidana, yaitu berupa kejahatan (crime). Cyber crime
bukan hanya dianggap sebagai permasalahan individual, atau lokal, atau nasional,
atau regional, melainkan sudah menjadi permasalahan global. Setiap negara
mestinya peduli untuk menanggulangi kejahatan teknologi tinggi tersebut (
30
Agus Raharjo, Op.Cit, hal. 91 31
tech crime), baik melalui kebijakan non-hukum pidana (nonpenal policy) maupun
kebijakan hukum pidana (penal policy).32
c. Tindak Pidana Prostitusi Online (Cyber)
Berbagai delik kesusilaan yang dikemukakan dalam kejahatan
konvensional seperti yang tertuang dalam KUHP, dapat juga terjadi di ruang maya
(cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo,
pelanggaran kesusilaan/percabulan/perbuatan tidak senonoh/zina. Semakin
maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya
berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child pornography),
on-line pornography, cyber-sex, cyber sexer, cyber lover, cyber romance, cyber
affair, on-line romance, sex on-line, cyber sex addicts.
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan
mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang
kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sedang diungkapkan
adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex.
Pelanggaran kesusilaan termasuk di dalamnya cyberporn dan prostitusi
dengan menggunakan sarana elektronik atau internet. Prostitusi merupakan
masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para
calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan
32
laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia
pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran.
Prostitusi cyber berasal dari dua kata yang masing-masing dapat berdiri
sendiri yakni prostitusi dan cyber. Prostitusi adalah istilah yang sama dengan
pelacuran. Pelacuran menurut Soerjono Soekanto dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan
perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.
Istilah prostitusi cyber menggambarkan tempat dimana aktivitas ini
dilakukan. Cyber adalah istilah yang digunakan orang untuk menyatakan sesuatu
yang berhubungan dengan internet atau dunia maya.
Budi Rahardjo menyatakan bahwa kata cyber berasal dari kata cybernetics,
merupakan suatu bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotik,
matematika, elektro dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di
tahun 1948.33
Prostitusi cyber adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual
melalui dunia maya. Melihat stratifikasi praktik prostitusi sebagaimana yang
Salah satu aplikasi dari cybernetics adalah di bidang pengendalian
(robot) dari jarak jauh. Dalam hal ini tentunya yang diinginkan adalah sebuah
kendali yang betul-betul sempurna (perfect control). Karenanya sedikit
mengherankan jika kata “cyberspace” yang berasal dari kata “cyber” tidak dapat
dikendalikan. Cyber space dapat diatur, meskipun pengaturannya membutuhkan
pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk mengatur dunia
maya.
33
Budi Rahardjo, 2003, “Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di
Indonesia”, Serial Online, available from : URL:
dikemukakan di atas sebelumnya, maka prostitusi cyber berada pada praktik
prostitusi dengan posisi tertinggi dimana pelacur dapat dipesan melalui media
cyber.
Prostitusi cyber merupakan bagian dari cyber crime yang menjadi sisi
gelap dari aktivitas di dunia maya. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas
menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara
sederhana diistilahkan dengan cyber sex. Lebih lanjut beliau dengan mengutip
pendapat dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah
penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual (the use of the internet for sexual
purposes). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang
mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk
ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual
expression or gratification). Dikemukakan juga olehnya, bahwa cyber sex dapat
dipandang sebagai kepuasan/kegembiraan maya (virtual gratification), dan suatu
bentuk dari keintiman (a new type of intimacy). Patut dicatat juga bahwa
hubungan intim atau keintiman (intimacy) itu dapat juga mengandung arti
hubungan seksual atau perzinahan. Ini berarti cyber sex merupakan bentuk baru
dari perzinahan.Dengan demikian prostitusi cyber merupakan aktivitas prostitusi
yang dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di cyber space.34
Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi
(bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi persaingan
antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila
34
persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah usaha setiap
pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para
pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh
umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap
wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Tentulah tidak mudah
untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut, mengingat tidak semua wanita
mau bekerja dalam bisnis pelacuran. Untuk mengatasi permasalahan ini para
pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas
dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu.
Semakin berkembangnya teknologi menyebabkan semakin merebaknya
bisnis prostitusi karena dapat memanfaatkan sarana internet dalam bertransaksi
dan penawaran prostitusi. Konsumen dapat dengan mudah memilih melalui
gambar-gambar dan foto-foto bahkan tanpa busana atau dengan pakaian minim
yang tersedia dalam jaringan situs internet antara lain pebisnis prostitusi
menggunakan sarana Facebook. Oleh sebab itu, pemerintah membentuk
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 karena
semakin maraknya prostitusi melalui jaringan Facebook. Bahkan anak-anak
remaja semakin banyak yang terjerat dalam kasus prostitusi melalui situs online
internet. Pelacuran via internet kini menjadi trend bisnis prostitusi. Pengelola
bisnis prostitusi ini memanfaatkan domain gratis sebagai wadah memasarkan “hot
produk-nya”.
Namun walaupun telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11
prostitusi melalui online karena akses situs Facebook melalui chatingnya tidak
dapat dikontrol dan kurangnya perhatian juga dari Facebook sendiri guna
mengontrol para pengguna situsnya. Ada banyak akun Facebook yang
menawarkan dan memasang foto-foto gadis lengkap dengan data diri dan info
kontak yang bisa setiap saat kita hubungi baik lewat HP maupun email dan secara
jelas melakukan penawaran terhadap dirinya, bahwa memang dia adalah seorang
wanita penghibur yang bisa di kontak kapan saja asalkan sesuai harga
kesepakatan. Hal ini jelas merupakan satu bentuk prostitusi yang memanfaatkan
jasa jejaring sosial Facebook yang disalah gunakan secara tidak
bertanggungjawab.
Maraknya praktik prostitusi di dunia maya mendapat perhatian serius dari
aparat kepolisian. Jumlah website yang menyediakan konten pornografi
meningkat hingga 70 persen. Pornografi juga masih menjadi konsumsi tertinggi
bagi para pengakses internet. Bahkan, 12 persen situs di dunia mengandung
pornografi Beberapa akun jejaring sosial, termasuk Facebook. Setiap harinya
sebanyak 266 situs porno baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman
website pornografi, sebanyak 25 persen pengguna memanfaatkan search engine
untuk mencari halaman pornografi.35
3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan 1 Upaya Penal (Penal Policy)
Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa
Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut
politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak
terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena
hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat
penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.36
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri
dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.
Menurut Sudarto dalam
bukunya Hukum dan Hukum Pidana menyatakan bahwa:
“Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya
menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang
akan datang dengan melihat penegakannya saat ini.
37
“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah:
36
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 65
37
baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang
dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.”
Masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik
perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan
sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga
memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis,
historis dan komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari
berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial
dan pembangunan nasional pada umumnya.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan
sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan
sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang
ditetapkan.
Kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach). Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah
pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan
hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang secara merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum
pidana adalah perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian kepada masyarakat. Perbuatan yang tidak
merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak
dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu
dicegah dengan menggunakan hukum pidana.
c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana
hukum pidana dengan sanksi negatif berupa pidana, perlu disertai
perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan
dicapai (cost-benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai
kelampauan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatkan
Sudarto mengemukakan 3 lingkup pengertian kebijakan kriminal yakni:38
a. Dalam pengertian sempit, yaitu keseluruhan asas dan metode
yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;
b. Dalam pengertian luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur
penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian; dan
c. Dalam pengertian sangat luas, yaitu keseluruhan kebijakan
yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.
Pada dasarnya penal policy lebih menekankan pada tindakan represif
(pemberantasan) setelah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh karena
penanggulangan kejahatan melalui upaya penal adalah penerapan hukum pidana,
maka dasarnya tidak lain adalah apa yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal
10 KUHP yang mengatur jenis-jenis pidana. Disamping itu, penggunaan sanksi
pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur ketentuan pidana di dalamnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
KUHP.39
Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat
difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui 3 (tiga) tahap yaitu:40
1. Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif)
2. Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif)
3. Tahap Eksekusi (Kebijakan Eksekutif)
Ad.1. Tahap formulasi (Kebijakan Legislatif) yaitu tahap perencanaan atau
perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan
38
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 113-114 39
M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.28 40
tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi
atau operasionalisasi hukum pidana, serta yang menjadi dasar, landasan dan
pedoman bagi tahap-tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan tahap
eksekusi. Kesalahan pada tahap formulasi merupakan kesalahan strategis
yang dapat menjadi penghambat bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi
dalam kebijakan hukum pidana.
Ad.2. Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan
perundang-undangan pidana yang telah dilanggar.
Ad.3. Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas
perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat
dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat
undang-undang (kebijakan legislatif), penjatuhan pidana (kebijakan yudikatif) dan
pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Dengan kata lain, penal policy
menyangkut masalah kebijakan penegakan hukum yang termasuk ke dalam
bidang kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
dan perlindungan masyarakat.
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem
pembangunan harus dilihat dalam 3 (tiga) kerangka yaitu struktur, substansi, dan
kultur. Hal tersebut penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil
keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu
tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan
masyarakat sendiri.
Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekriminalisasi,
penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung
pada perkembangan politik hukum, politik kriminal, dan politik sosial. Oleh
karena itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom,
melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku
sosial.41
Penerapan hukum pidana, perlu dilakukan dengan berbagai usaha untuk
menyempurnakan sistem peradilan pidana baik dari segi kriminalisasi,
dekriminalisasi, maupun perbaikan sarana dan prasarana sistem, peningkatan
sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan peran serta masyarakat dalam
sistem peradilan pidana.
42
Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum
(pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan
pada fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal
(hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ali Wisnubroto
mengungkapkan bahwa kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan
tindakan:43
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan
hukum pidana;
41
Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 52 42
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 182
43
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat;
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar
Masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana adalah masalah mengenai
perbuatan apa yang seharusnya terjadi tindak pidana dan sanksi apa yang
sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar. Hal ini berarti bahwa
kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi dan penalisasi,
karena itu penggunaannya harus berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach).
2 Upaya Non-Penal (Non-Penal Policy)
G.Peter Hoefnagels mengatakan upaya penanggulangan kejahatan dapat
ditempuh dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment/mass media).
Upaya penanggulangan kejahatan di atas secara garis besar dapat dibagi
dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/di
disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya
non-penal.
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan
yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkembangkan
kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan,
maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan
memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan
kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula oleh berbagai hasil dari
Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela
menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime
Prevention Strategis, antara lain:
1 Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes
progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all
people).
2 Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the
elimination of causes and condition giving rise to crime).
3 Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai
negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial
dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran
dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk (the main causes of
crime in many countries are social inequality, ratial and national
discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy
among broad section of the population).
Di dalam Resolusi Kongres ke-6 PBB ini, dihimbau kepada semua
anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk
menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan
dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan,
kebutahurufan, diskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk
ketimpangan sosial.
Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang The Prevention Crime and the
Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana Cuba, menekankan
pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu
faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial
yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan,
sebagai berikut:44
44
1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;
2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)
karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;
3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;
4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang
berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan
adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;
6. Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang
mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;
7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;
8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;
9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan
obat bius dan penadahan barang-barang curian;
10.Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik, dengan kebijakan
atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang
cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek
pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB
(mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bahwa
pembangunan itu sendiri dapat bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu:
a. Tidak direncanakan secara rasional (it was not rationally planned); atau
direncanakan secara timpang, tidak memadai/ tidak seimbang
b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural and
moral values); dan
c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang
menyeluruh/integral (did not include integrated social defence strategies).
Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya
kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit
dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena
itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal
berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
Menurut Hoefnagels, pendekatan non penal adalah:
“Pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana
pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain
perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental
health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental heath), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law)”.
Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan pekerjaan
menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu yang
mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan di bidang perekonomian dalam
kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan terjadinya kejahatan.
Program pencegahan yang dapat dilakukan antara lain berupa:45
1. Memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda;
2. Memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan;
3. Menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk bekerja;
4. Menciptakan program tenaga kerja publik;
5. Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan
masyarakat di areal yang miskin.
45