• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Teori Kebijakan Hutang

a. Pendekatan Laba Bersih atau Net Income (NI)

Menurut Sartono (2001), pendekatan laba bersih mengasumsikan bahwa investor mengkapitalisasi atau menillai laba perusahaan dengan tingkat kapitalisasi (ke) yang konstan dan perusahaan dapat meningkatkan jumlah hutangnya dengan tingkat hutang (kd) yang konstan pula. Karena ke dan kd konstan maka semakin besar jumlah hutang yang digunakan perusahaan, biaya modal rata-rata tertimbang (ko) akan semakin kecil.

Keterangan :

ko : biaya modal rata-rata tertimbang

D : nilai pasar hutang perusahaan

E : nilai pasar saham biasa perusahaan

kd : biaya hutang

T : tingkat pajak perusahaan

ke : biaya modal sendiri

b. Pendekatan Laba Operasi Bersih (NOI)

Sartono (2001) mengatakan bahwa pendekatan NOI ini mengasumsikan bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan hutang oleh perusahaan. Pendekataan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Pertama diasumsikan bahwa biaya hutang konstan seperti halnya dalam pendekatan laba bersih. Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Konsekuensi biaya modal rata-rata

tertimbang tidak mengalami perubahan dan keputusan struktur modal menjadi tidak penting

c. Pendekatan Tradisional

Pendekatan tradisional berpendapat bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan (atau biaya modal perusahaan) dapat diubah dengan merubah struktur modalnya. Menurut Husnan (1996) keadaan perusahaan menjadi lebih baik setelah perusahaan menggunakan hutang karena nilai perusahaan meningkat (atau biaya modal perusahaan menurun).

Menurut Sartono (2001), pendekatan ini mengasumsikan bahwa hingga tingkat leverage tertentu risiko perusahaan tidak mengalami perubahan. Sehingga baik ke (biaya modal sendiri) maupun kd (biaya hutang) relatif konstan. Namun demikian setelah leverage rasio hutang tertentu, biaya hutang dan biaya modal sendiri meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri ini akan semakin besar dan bahkan akan lebih besar daripada penurunan biaya karena penggunaan hutang yang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang pada awalnya menurun dan setelah leverage tertentu akan meningkat. Oleh karena itu nilai perusahaan mula-mula meningkat dan akan menurun sebagai akibat penggunaan hutang yang semakin besar. Dengan demikian menurut

pendekatan tradisional, terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan. Struktur modal yang optimal tersebut terjadi pada saat nilai perusahaan maksimum atau struktur modal yang mengakibatkan biaya modal rata-rata tertimbang minimum.

d. Signalling Theory

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manajer dan pemegang saham tidak mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang hanya diketahui oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi tersebut. Jadi, ada informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara manajer dan pemegang saham. Akibatnya, ketika struktur modal perusahaan mengalami perubahan, hal itu dapat membawa informasi kepada pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai perusahaan berubah. Dengan kata lain, terjadi pertanda atau sinyal / signalling.

Ross (1977) mengembangkan model dimana struktur modal (penggunaan hutang) merupakan sinyal yang disampaikan oleh manajer ke pasar. Apabila manajer mempunyai keyakinan bahwa prospek perusahaan baik, dan ingin harga saham meningkat, perusahaan ingin mengkomunikasikan hal tersebut ke investor, manajer dapat menggunakan hutang yang lebih banyak sebagai sinyal yang lebih dapat

dipercaya. Hal ini karena perusahaan yang meningkatkan hutang bisa dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan dimasa mendatang. Dasar pertimbangannya adalah penambahan hutang menyebabkan keterbatasan arus kas dan meningkatnya biaya-biaya beban keuangan sehingga manajer hanya akan menerbitkan hutang baru yang lebih banyak apabila mereka yakin perusahaan kelak dapat memenuhi kewajibannya. Investor diharapkan akan menangkap sinyal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik. Dengan demikian hutang merupakan tanda atau sinyal positif.

e. Static Trade Off Theory

Teori ini menganggap bahwa penggunaan hutang 100 persen sulit dijumpai. Kenyataannya semakin banyak hutang, maka semakin tinggi beban yang harus ditanggung. Satu hal yang penting bahwa dengan meningkatnya hutang, maka semakin tinggi probabilitas kebangkrutan. Beban yang harus ditanggung saat menggunakan hutang yang lebih besar adalah biaya kebangkrutan, biaya keagenan, beban bunga yang semakin besar dan sebagainya. Menurut Mamduh (2004) bahwa biaya kebangkrutan dapat cukup signifikan dapat mencapai 20 persen nilai perusahaan. Biaya tersebut mencakup dua hal :

1) Biaya langsung : biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, pengacara, dan lainnya yang sejenis

2) Biaya tidak langsung : biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal.

Teori Trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, risiko kebangkrutan dan penggunaan hutang yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan (Brealey dan Myers, 1991). Teori ini memperbandingkan manfaat dan biaya atau kesinambungan antara keuntungan dan kerugian atas penggunaan hutang. Pada teori ini juga dijelaskan bahwa sebelum mencapai suatu titik maksimum, hutang akan lebih murah daripada penjualan saham karena adanya tax shield. Implikasinya adalah semakin tinggi hutang maka akan semakin tinggi nilai perusahaan (Mutamimah, 2003).

f. Pecking Order Theory

Secara singkat teori ini menyatakan bahwa : (a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan), (b) Apabila pendanaan dari luar (eksternal financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terdahulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi,

kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan.

Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target rasio, karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan eksternal. Modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daipada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan (Suad Husnan, 1996). Perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yaitu dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada pecking order theory adalah :

internal fund (dana internal), debt (hutang) dan equity (Kaaro,2001).

Dana internal lebih disukai karena memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu membuka diri dari sorotan pemodal luar. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh sorotan dan publisitas publik sebagai akibat penerbitan saham baru. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri karena dua alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya Emisi obligasi lebih murah dari biaya emisi saham baru (Suad Husnan, 1996), hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh

pemodal, dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen dengan pihak pemodal.

Dokumen terkait