• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 Implikasi Kebijakan

5.6.3 Kebijakan Investasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 1 Kebijakan Divestas

5.6.3.2 Kebijakan Investas

Berdasarkan Hasil analisis investasi menunjukkan nilai NPV, NetB/C, dan

IRR Skenario-1 lebih kecil dari nilai NPV, Net B/C, dan IRR Skenario-3 (effort

optimal-yield aktual). Secara ekonomi Skenario-3 lebih baik dari Skenario-1 dan Skenario-2, namun investasi yang menyangkut sumberdaya perikanan tidak saja dilihat dari faktor ekonomi, tetapi faktor lain seperti, ketersediaan sumberdaya, sosial, budaya, teknologi, modal, dan lain- lain. Selanjutnya konsistensi analisis dinamis dan MCDM terhadap tiga skenario investasi yaitu ; (1) effort optimal–

yield optimal, (2) effort aktual–yield optimal dan (3) effort optimal–yield aktual, maka skenario yang layak adalah effort optimal-yield optimal (Skenario-1) merupakan prioritas pertama dan merupakan skenario investasi yang direkomendasikan. Skenario-1 menunjukkan adanya keberlanjutan sumberdaya, ekonomi, dan sosial untuk kesejahteraan masyarakat nelayan dalam jangka panjang (± 40 tahun). Sementara hasil analisis multi criteria decision making

(MCDM) yang dianalisis berdasarkan kriteria ekologi, ekono mi, dan sosial. menunjukkan Skenario-1 memiliki total bobot tertinggi yaitu 23,4 dimana tingginya bobot tersebut diperoleh dari kombinasi antara ekologi dan ekonomi serta ekologi dan sosial.

Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan ditujukan untuk mengoptimalkan, aspek ekonomi, biologi dan sosial. Untuk itu kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan diharapkan dapat memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara adil dan berkelanjutan. Untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator- indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan. Karena selama ini upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga

keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah.

Mengingat investasi merupakan faktor yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi, selain itu investasi juga membutuhkan dana yang relatif cukup besar, maka faktor- faktor yang menghambat investasi perlu mendapat perhatian dan penanganan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Ada beberapa faktor yang menghambat investasi sebagai berikut : (1) Tingkat suku bunga yang tinggi.

Investor memandang akses dana perbankan dan tingkat suku bunga masih terlalu tinggi, akibatnya meskipun dana yang ada di bank cukup besar namun penyaluran dana dalam bentuk kredit investasi dan kredit modal kerja mengalami hambatan, dengan situasi ini sektor riil tidak berjalan. Kebijakan moneter sebagai otoritas pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia diharapkan mampu untuk menurunkan tingkat suku bunga yang relevan, dan menyalurkan dana pada investor maupun dunia usaha agar sektor riil dapat berjalan dengan baik. Tingkat suku bunga yang releva n akan menarik investor dan sebagai akibat dari investasi tersebut diharapkan akan mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Tingkat suku bunga pada saat penelitian 12%, masih terlalu tinggi dan sangat mempengaruhi investasi, apabila tingkat suku bunga relevan, maka biaya perusahaan akan semakin rendah dan perusahaan akan bersedia meminjam uang. Rendahnya tingat bunga akan memacu perusahaan menaikkan investasinya, dengan meningkatnya investasi maka pendapatan nasional akan mengalami kenaikan dan hal ini akan berlaku sebaliknya, dengan semakin tinggi tingkat suku bunga, maka perusahaan akan mengurangi investasinya dan dengan menurunnya investasi perusahaan, maka pendapatan nasional akan mengalami penurunan.

(2) Perpajakan

Umumnya investor baik investor asing atau dalam negeri akan memilih menanamkan modalnya di negara-negara yang pajaknya kompetitif, karena pajak yang tinggi akan menyebabkan biaya tinggi dan akan mengurangi keuntungan secara ekonomi bagi investor. Selain itu bentuk investasi yang dilakukan memerlukan waktu yang cukup lama, karena masa yang akan datang penuh

ketidakpastian. Dibutuhkan kebijakan fiskal berupa pajak yang rendah, seperti pemberian kredit pajak investasi (investment tax credit) untuk mendorong investasi, misalnya 10% kredit pajak investasi yang diberikan, sementara pembelian armada penangkapan sebesar Rp 480.000.000, maka perusahaan hanya akan membayar Rp 432.000.000 karena yang sepuluh persen (Rp 48.000.000) dibayar oleh pemerintah.

(3) Perizinan

Pengurusan perizinan yang berbelit dan tidak efisien merupakan hambatan dalam investasi, termasuk masih adanya pungutan-pungutan yang tidak resmi. Seiring dengan adanya otonomi daerah, harusnya dimanfaatkan pemerintah daerah untuk menarik investor agar mau menanamkan dananya di daerah, bukan malah menarik keuntungan sesaat dan akhirnya tidak ada pembangunan. Kemauan politik dari pemerintah pusat maupun daerah diperlukan untuk menyederhanakan dan mempermudah proses pengurusan perizinan dan mencega h adanya pungutan yang tidak resmi.

(4) Kepastian hukum

Penanaman modal sehubungan dengan investasi memerlukan kepastian hukum sebagai payung bagi investor, semakin tegak dan pasti hukum di tingkat pusat maupun daerah akan berpeluang tumbuhnya investasi. Apabila ada sengketa bisnis maka penyelesaiannya dilakukan secara transparan dan diketahui publik, karena pada jangka panjang akan memberikan dampak yang positif pada dunia usaha.

(5) Keamanan

Faktor keamanan sangat diperlukan dan masih merupakan salah satu pertimbangan bagi investor terutama investor asing. Meskipun situasi keamanan di Indonesia stabil, namun investor masih menganggap bahwa Indonesia tidak aman jika dibandingkan dengan negara seperti Singapura, Thailand, Jepang dan China. Isue adanya terorisme, transportasi yang kurang aman baik taransportasi darat, laut maupun udara merupakan hambatan bagi investor asing untuk datang ke Indonesia. Sesuatu yang sangat rasional karena investor akan menghitung risiko dari keputusan investasi yang dilakukan dan membutuhkan tempat yang aman untuk menanamkan modalnya.

(6) Stabilitas politik

Mempertahankan stabilitas politik penting dijaga, karena akan mempengaruhi pengambilan keputusan terutama yang menyangkut kebijakan ekonomi. Situasi politik akan sangat bergejolak terutama pada saat sebelum, sedang maupun setelah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta pembantu-pembantu Presiden atau pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebab setiap pergantian pimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah akan mempengaruhi kebijakan. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan investor untuk menunggu situasi politik yang benar-benar kondusif untuk melakukan investasi.

(7) Infrastruktur

Infrastruktur ya ng memadai akan menjadi salah satu faktor yang menarik investasi. Namun saat ini pembangunan infrastruktur sangat lamban dan cenderung diabaikan, seperti pembangunan jalan, bandara, hotel, penyediaan air bersih, listrik, pelabuhan dan dermaga. Jika infrastruktur tidak segera di bangun, maka akan menghambat investasi. Diharapkan dengan adanya pembangunan infrastruktur akan menarik investor dan investasi akan meningkat.

Selain adanya faktor-faktor yang menghambat masuknya investasi, maka ada beberapa faktor yang menunjang kebijakan investasi yang direkomendasikan, yaitu sebagai berikut :

(1) Harga bahan bakar minyak (BBM)

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap Skenario-1, Skenario-2, dan Skenario-3 menunjukkan bahwa meskipun harga BBM naik 25%, 50% maupun 75%, nilai NPV, Net B/C dan IRR positif. Ketidakmampuan nelayan membeli bahan bakar tidak semata- mata disebabkan karena bahan bakar mahal, tetapi lebih disebabkan karena nelayan miskin dan tidak memiliki daya beli. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM menunjukkan bahwa pemerintah tidak peka terhadap kehidupan masyarakat terutama masyarakat nelayan yang hidupnya tergantung dari melaut. Selain itu kenaikan harga BBM tidak diikuti oleh kenaikan harga ikan, sehingga biaya hidup nelayan meningkat tajam. Pemberian subsidi BBM kepada nelayan akan sangat membantu meringankan biaya operasional karena bahan bakar minyak (BBM) merupakan

faktor produksi yang sangat menentukan dalam kegiatan penangkapan ikan. Tanpa adanya bahan bakar maka nelayan tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut, karena biaya operasional yang tinggi, dan tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang diperoleh.

Kenaikan harga BBM pada tahun 2005, dan dilanjutkan pada tahun 2006 sampai sekarang, menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sangat tidak berpihak pada masyarakat terutama nelayan. Pemberian subsidi BBM sangat membantu nelayan, namun di sisi lain dengan subsidi akan mendorong nelayan menangkap ikan sebanyak-banyaknya karena pada dasarnya laut merupakan sumberdaya milik bersama (common property). Jika hal ini terjadi maka stok ikan akan mengalami penurunan dan akhirnya kondisi mengarah pada overfishing.

(2) Undang- undang No. 32 Tahun 2004

Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat dari UU No. 32 Tahun 2004 sangat mempengaruhi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Seperti yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) mengenai kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Pada ayat (4) kewenangan paling jauh adalah 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut territorial dan perairan kepulauan untuk provinsi, dan untuk kabupaten/kota memiliki kewenangan sejauh 1/3 dari kewena ngan provinsi. Disamping memiliki kewena ngan mengelola sumberdaya laut, kewenangan juga diberikan pada bidang perizinan, dimana pemerintah daerah dalam hal ini provinsi mempunyai kewenangan untuk perizinan kapal 10 – 30 GT dengan daya mesin 30 – 90 PK, sedangkan untuk kabupaten/kota untuk kapal <10 GT dengan daya mesin <30 PK.

Pengaturan pengelolaan sumber daya di wilayah laut memiliki konsekuensi yang besar karena laut merupakan wilayah yang open access, sehingga diperlukan penerapan hukum yang konsisten agar tidak terjadi konflik antar daerah dalam pemanfaatan sumber daya laut. Kepemilikan laut tidak sama dengan kepemilikan tanah yang batasnya jelas, sementara laut sulit untuk diberi batas kecuali secara hukum. Pemerintah dalam hal ini provinsi/kabupaten/kota harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat terutama nelayan, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan hasil daerah secara berkelanjutan.

Undang-undang perikanan merupakan salah satu acuan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, disamping peraturan daerah setempat seperti yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, menyebutkan mengenai tujuan pembangunan perikanan antara lain :

1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; 2) Meningkatkan penerimaan dan devisa Negara;

3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;

4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; 5) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;

6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; 7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; 8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan

lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan

9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang

(3) Dampak investasi terhadap lingkungan, hukum dan kelembagaan

Pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak dapat dilepaskan dari masalah lingkungan, dimana kegiatan penangkapan ikan di laut biasanya membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Dalam ekonomi mikro mengenal istilah eksternalitas (externality), yaitu suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang atau perusahaan yang melakukan kegiatan ekonomi yang dapat membawa dampak pada kegiatan ekonomi lainnya.

Eksternalitas tidak selalu negatif, eksternalitas dapat juga berarti positif, apabila tingkat kepuasan marginal (marginal utility) orang atau pihak lain bertambah dengan adanya eksternal tadi. Sebaliknya apabila kepuasan marginal orang atau pihak lain berkurang maka eksternalitas yang terjadi adalah negatif. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan beracun (cyanida), pembuangan limbah pabrik, dan pembuangan sampah rumah tangga ke laut akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Jika hal ini yang terjadi maka harus dilakukan kompensasi yang sering disebut dengan internalisasi (internalizing). Internalisasi merupakan pengganti dari berkurangnya kepuasan marginal (eksternalitas negatif) atau bertambahnya kepuasan marginal

(eksternalitas positif) suatu kegiatan. Internalisasi menimbulkan biaya eksternal yang dibebankan pada harga sumberdaya sebagai kompensasi untuk membayar kerusakan lingkungan.

Eksternalitas mempunyai karakteristik khusus yang nonappropriable, artinya kondisi lingkungan yang tercemar sangat berpengaruh pada semua orang (publik) karena lingkungan merupakan barang milik publik (public good), sehingga polusi yang terjadi akan menjadi milik publik. Cara agar ini dapat di cegah adalah dengan intervensi pemerintah dan mekanisme pasar. Pendekatan dengan intervensi pemerintah adalah dengan mengeluarkan peraturan – peraturan yang terkait dengan lingkungan, sedangkan pendekatan mekanisme pasar lebih bersifat teoritis. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pohuwato, umumnya masyarakat yang tinggal di pesisir pantai membuang limbah ke laut, akibatnya permukaan pantai kotor dan terumbu karang rusak serta ikan – ikan menjauh dari dekat pantai. Selain itu penebangan mangrove banyak dilakukan masyarakat yang bekerjasama dengan pengusaha untuk pembukaan lahan tambak, dan penggunaan mangrove untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Agar tidak terjadi lagi, pemerintah perlu mengatur tata ruang agar pembangunan terarah dan terintegrasi serta berkesinambungan.

Maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan asing, nelayan modern dan nelayan tradisional menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kelembagaan yang ada. Penggunaan alat penangkapan ikan jenis trawl (pukat harimau) dimana penggunaan alat ini sudah dilarang berdasarkan Keppres No. 39/1980, penggunaan bahan beracun, bahan-bahan peledak, reklamasi pantai, kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata, pencurian ikan oleh nelayan asing, merupakan cermin buruknya penegakan hukum terutama di sektor kelautan. Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2001 memperluas cakupan kejahatan di bidang perikanan dari yang hanya illegal fishing menjadi unregulated fishing,

dan unreported fishing (IUU). Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) suatu Negara oleh kapal yang tidak memiliki izin dari Negara pantai. Unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di Negara tersebut. Sedangkan

unreported fishing adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu Negara yang tidak dilaporkan, baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.

Kebijakan bidang kelautan masih tumpang tindih dan dikelola lebih dari satu departemen, sehingga rawan konflik terutama dalam soal kewenangan, seperti kewena ngan antara departemen kelautan, departemen kehutanan, dan departemen perhubungan (perhubungan laut). Perlu penegakan hukum yang konsisten dan peningkatan kapasitas kelembagaan yang bukan saja pada kelembagaan pemerintah tetapi masyarakat, baik masyarakat adat maupun organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM), dengan tujuan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat optimal dan berkelanjutan. Untuk itu semua yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dapat bekerja sesuai dengan kapasitas masing- masing dan merupakan team work yang baik. Pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat nelayan yang ada di Kabupaten Pohuwato yaitu dengan pendekatan kepada masing- masing individu atau melalui kelompok nelayan, pemangku adat setempat maupun LSM. Kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan harus memperhatikan adat istiadat masyarakat setempat atau kearifan lokal dan di fokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia baik di level atas sampai ke level bawah.

(4) Penyerapan tenaga kerja, pemasaran, dan koperasi.

Pengembangan armada penangkapan ikan dalam kaitannya dengan investasi, diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja (TK) baik yang bekerja sebagai ABK, buruh, atau pekerja yang ada di pabrik. Berdasarkan Tabel 25 jumlah tenaga kerja nelayan yang terdapat di Kabupaten Pohuwato sebanyak 13.940 orang atau 20% dari jumlah tenaga kerja yang ada. Jumlah yang belum bekerja 9,13% dari jumlah tenaga kerja berdasarkan mata pencaharian. Apabila investasi dilakukan maka pada setiap unit armada penangkapan ikan terdapat tiga tenaga kerja sebagai ABK, jika armada penangkapan berjumlah 48 unit, maka jumlah yang bekerja mencapai 144 orang tenaga kerja di tambah dengan tenaga kerja di tempat pendaratan ikan (TPI), pabrik dan jasa produksi yang lain, maka manfaat investasi sangat dirasakan tidak saja oleh nelayan tetapi oleh masyarakat umum. Sementara berdasarkan Tabel 26 jumlah kepala keluarga (KK) miskin di

Kabupaten Pohuwato berjumlah 11.444 KK dan 3.125 KK berada di Kecamatan Marisa. Penanggulangan kemiskinan salah satu cara adalah melalui investasi, sebab dengan investasi diharapkan dapat menyerap tenaga kerja. Umumnya yang bekerja sebagai nelayan masih dalam lingkungan keluarga, dimana setiap nelayan selalu mengajak anak atau saudara untuk ikut bersama-sama karena budaya masyarakat nelayan yang turun temurun merupakan nelayan. Meskipun anak nelayan berpendidikan setingkat SMU, tetapi dengan alasan mencari pekerjaan sulit, maka pilihan pekerjaan adalah menjadi nelayan. Penyerapan tenaga kerja akibat adanya investasi tidak hanya di level penangkapan ikan saja, namun mencakup semua aktivitas lain, dan merupakan sistem bisnis perikanan.

Ketersediaan tenaga kerja erat kaitannya dengan kelangsungan adanya bahan baku bagi perusahaan pengolahan ikan, sebab semua kegiatan yang dilakukan baik perlakuan terhadap ikan berupa pengalengan ikan, pengasapan, pengeringan, pembekuan melibatkan banyak tenaga kerja. Selain itu peranan investasi dalam pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh kualitas kebijakan perekonomian yang mengatur tingkat investasi, tingkat pengembalian sosial dari investasi (social rate of return on investment) dan penyerapan tenaga kerja dari sebuah investasi, apabila investasi di laksanakan secara efesien dalam meningkatkan output, maka investasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya apabila dilaksanakan secara tidak efesien maka berakibat pada stagnasi ekonomi.

Selain itu persediaan ikan sebagai bahan baku tergantung dari alat tangkap yang digunakan, ketersediaan sumberdaya ikan dan harga ikan tersebut, serta adanya tempat menyimpan ikan agar tetap segar. Input berupa modal, BBM, alat tangkap yang memp unyai keterkaitan kebelakang (backward lingkage) sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan, sementara yang memiliki keterkaitan ke depan (forward lingkage) yaitu mendorong pembangunan pabrik–pabrik pengolahan ikan, perusahaan export, transportasi untuk pengiriman, restoran yang menyajikan menu ikan, merupakan mata rantai dalam kegiatan bisnis perikanan. Pemasaran hasil produksi berupa ikan segar, ikan beku, ikan kering adalah ke pasar lokal, domestik dan pasar internasional. Pasar untuk produk perikanan di Kabupaten Pohuwato selain dijual ke pasar lokal, domestik seperti ke Bitung,

Surabaya, dan Jakarta, juga di pasar internasional seperti Hongkong, Jepang, Singapura, dan Korea. Diversifikasi produk belum berkembang karena kekurangan modal, meskipun potensi sumberdaya perikanan cukup besar. Perusahaan-perusahaan yang ada di Provinsi Gorontalo yang bergerak di sektor perikanan antara lain; PT. Bonecom, PT. Miyagi, PT.Milimintu, PT. Prima, PT. Betel Citra Seyan, yang mana perusahan-perusahaan ini membeli ikan langsung dari nelayan atau melaui TPI. Perusahaan yang membeli semua jenis ikan yang di jual oleh nelayan adalah PT. Bonecom dengan harga yang relatif lebih tinggi dari harga yang berlaku pada perusahaan sejenis.

Umumnya ikan- ikan yang dibeli oleh perusahaan-perusahaan tersebut di ekspor Hongkong, Singapura, Korea, dan Jepang juga di ekspor ke Amerika, Inggris, Israel, Belanda dan negara Eropa yang lain. Pada tahun 2005 PT. Bonecom mengekspor ikan tuna sebesar 79.172 kg (PT. Bonecom, 2005). Sementara pada tahun yang sama PT. Betel Citra Seyan mengekspor ikan tuna sebesar 33.786,40 kg dengan tujuan Amerika, Eropa, Jepang. Stok ikan sering mengalami kekurangan karena adanya musim dan juga dampak dari kenaikan harga BBM.yang merupakan kebijakan pemerintah. Sehingga nelayan banyak yang tidak melaut terutama nelayan yang menggunakan kapal motor (KM) karena biaya opersional lebih besar dari hasil yang diperoleh.

Gambar 37 Diagram alir distribusi pemasaran ikan (BFAR and BAEcon, 1977 diacu dalam Panayatou, 1986)

Gambar 37 menunjukkan rantai distribusi pemasaran ikan, yang dimulai dari produser ikan menjual ikan langsung pada konsumen tanpa melalui

Producer Broker - Wholesaler - Retailer - Wholesaler- Retailer - Institusional buyer - Processor Wholesaler Retailer Consumer

perantara. Selain itu produsen ikan menjual kepada wholesaler (pedagang perantara yang membeli secara besar-besaran), kemudian wholesaler menjual ke

retailer, dan dari retailer langsung ke konsumen. Penjualan juga dilakukan produser ikan ke broker, dan dari broker langsung ke wholesaler, retailer, wholesaler-retailer, Institusional buyer, dan processor. Pembentukan jaringan pemasaran perlu dilakukan dengan melibatkan semua elemen seperti koperasi usaha perikanan dengan sentra produksi agar pemasaran produk perikanan terintegrasi. Adanya jaringan pemasaran yang terintegrasi dapat mengembangkan pasar, menjamin tersedianya produk para nelayan maupun pembudidaya ikan. Keterlibatan koperasi akan membantu nelayan dalam distribusi produk dan dapat memanfaatkan peluang–peluang pasar baik pasar domestik maupun pasar internasional.

Dalam memasarkan produk yang perlu diperhatikan adalah kualitas produk dengan memenuhi standart internasional, seperti ISO 14000, yang mensyaratkan bahwa produk sektor perikanan harus dihasilkan dari satu proses produksi yang berwawasan lingkungan; (1) proses produksi tidak merusak tatanan, fungsi dan proses ekologis, dan (2) proses produksi tidak membahayakan pelaku produksi dan kesehatan atau jiwa konsumen (Dahuri, 2002). Selain itu perluasan pasar dapat dilakukan dengan mengetahui market intellegence untuk mengetahui informasi tentang segmen pasar, selera konsumen, dan pesaing.

Peranan koperasi sangat penting, untuk membantu nelayan dalam melakukan kegiatan dalam penangkapan ikan terutama memfasilitasi adanya modal, pemasaran hasil tangkapan dan biaya operasional. Terdapat empat koperasi perikanan di Kabupaten Pohuwato, dan salah satu terdapat di Kecamatan Marisa yaitu Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). Koperasi ini melayani dan memfasilitasi kepentingan nelayan pada umumnya, namun kendala yang utama adalah kekurangan modal. Karena dengan tidak adanya modal akan menghambat usaha koperasi dan akibatnya tidak dapat membantu anggota yang membutuhkan dana. Koperasi di harapkan menjadi tulang punggung ekonomi nelayan yang selama ini indentik dengan kemiskinan. Melalui koperasi nelayan memiliki posisi tawar untuk menjalin kerjasama dengan

berbagai institusi untuk mengakses dana, dan secara politik dapat mendorong pemerintah untuk membantu pengembangan usaha nelayan.

Kendala yang dihadapi nelayan tradisional adalah ketidakmampuan bersaing

Dokumen terkait