• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

C. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak

Pasang surut hubungan antar negara memang kerap terjadi. Begitu pun dengan Amerika Serikat dan Irak. Konflik yang timbul antara AS dan Irak secara faktual bermula dari kebijakan Saddam Hussein untuk melakukan invasi militer ke wilayah negara Kuwait. Perang itu pun kemudian lebih dikenal sebagai Perang Kuwait atau Perang Irak melawan pasukan multinasional (aliansi anti-Irak) di

90 Ibid.

bawah pimpinan AS, yang seringkali disebut juga sebagai Perang Teluk II untuk membedakan dengan Perang Teluk I.91 Perang ini bermula dari: (1) terjadinya perselisihan antara Irak dan Kuwait; (2) disusul dengan terjadinya invasi pasukan Irak ke Kuwait (2 Agustus 1990); (3) aneksasi Irak atas Kuwait (8 Agustus 1990), di mana Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak; (4) terjadinya pengeboman besar-besaran pasukan sekutu terhadap Irak dan Kuwait (17 Januari 1991).92 Kemudian, invasi dan aneksasi Irak atas Kuwait berkembang menjadi konflik terbuka antara Irak dan AS.93

Perang Teluk II yang dilancarkan oleh pasukan multinasional menamakan misinya sebagai Operation Desert Shield atau Operasi Perisai Gurun, yang sejak 17 januari 1991 diubah menjadi Operation Desert Storm atau Operasi Badai Gurun.94 Perang Teluk II secara langsung mengancam kepentingan AS. Ladang minyak Kuwait yang setiap hari mengalirkan Dolar Amerika ke AS direbut oleh pihak lain. Sejak itu, AS merasa serangan Irak terhadap Kuwait itu membahayakan kepentingannya. Oleh karena itu, AS lantas merancang resolusi dan dengan segala kekuatan berupaya meminta pengesahan Dewan Keamanan PBB untuk mengusir dan melumpuhkan militer Irak. Alasan yang dikemukakan

91

Perang ini merupakan perang yang terjadi antara Iran dan Irak pada tahun 1980 sampai 1988.

92

Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan Amerika (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 103.

93

Perang Teluk II ini disebabkan oleh tuduhan Saddam Hussein yang menyatakan, bahwa sementara negara Arab telah menjalankan kebijakan perminyakan yang menikam Irak dari belakang. Bahkan, Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA) dinilai telah mengadakan persekongkolan dengan AS untuk menurunkan harga minyak di pasaran internasional karena setiap penurunan harga minyak sebesar 1 dolar Amerika per barel akan mengurangi penerimaan Irak sebesar 1 miliar Dolar Amerika. Irak diperkirakan mengalami kerugian sebesar 14 miliar dolar Amerika akibat jatuhnya harga minyak. Lihat Ibid., h. 108.

94

AS, Irak telah melanggar hukum internasional dan hak rakyat Kuwait untuk bernegara harus dipulihkan.95

Dengan hancurnya reaktor nuklir Irak di Osirak, sesungguhnya tinggal selangkah lagi bagi AS untuk menjatuhkan Saddam Hussein. Namun, AS tidak lantas melakukannya. Bukan AS tidak mampu menjatuhkan Saddam Hussein, AS sengaja menjadikan Saddam Hussein sebagai monster bagi negara-negara Arab lain agar tetap berlindung kepada AS. Artinya, jika Saddam Hussein digulingkan, tidak ada lagi yang ditakuti, dengan begitu fungsi AS sebagai pelindung tidak diperlukan lagi. Padahal AS masih ingin memainkan peranan sebagai pelindung negara-negara Arab yang sangat dibutuhkan minyaknya.96

Berbagai upaya AS untuk mengkoersi Irak memperlihatkan bahwa Saddam Hussein sangat rentan. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan kalah apabila basis kekuatannya secara efektif diancam. Berkenaan dengan mempertahankan dukungan dan loyalitas suku-suku utama agaknya kurang menjadi perhatian para pejabat Partai Baath, pejabat militer, dan elit lainnya.97

Setelah terjadinya Operasi Badai Gurun, posisi domestik Saddam Hussein sangat lemah dan ia takut bahwa pukulan lain dari koalisi anti-Irak akan menghancurkannya. Responnya atas ancaman berikutnya dan serangan udara serta rudal yang lemah pada tahun-tahun selanjutnya memperlihatkan rasa takutnya bahwa serangan koalisi dapat menjatuhkan rezimnya. Serangan militer AS dan bentuk tekanan lainnya yang dapat menjatuhkan Saddam Hussein memperlihatkan

95

Muhammad Soelhi, Demi Harga Diri Mereka Melawan AS (Jakarta: Pustaka Zaman, 2003), h. 102.

96

Ibid., h. 108.

97

ketidakmampuannya untuk merespon atas tekanan AS dan mengancam kontrolnya atas basis kekuasaannya.

Pada akhir Perang Teluk II, posisi AS sangatlah kuat di kawasan tersebut. Militer Irak hancur dan rezim Saddam Hussein sedang tertatih-tatih. Sebaliknya, AS mempunyai tekanan yang kuat baik di tingkat regional maupun dunia. Untuk meningkatkan posisi militernya, Washington menandatangani serangkaian persetujuan akses penjualan persenjataan dalam jumlah besar-besaran ke negara-negara sekutunya di Teluk Persia dan merencanakan kehadiran kekuatan AS secara substansial di kawasan ini.

AS mengejar beberapa tujuan yang sangat bertentangan atas Irak. Pertama, AS berupaya mencegah tindakan agresi Irak dengan mempertahankan Irak tetap lemah dan kehadiran negeri ini di tingkat regional secara kuat. Ke dua, negara adidaya ini berupaya membalikkan program NBC (Nuclear Biological Chemical) Irak. Ke tiga, negara adidaya ini berupaya menggulingkan rezim Irak. Ke empat, mencegah instabilitas di antara para sekutunya yang dapat diakibatkan oleh tindakan AS.98 Empat tujuan inilah yang mendasari upaya AS untuk melakukan tindakan koersi atas Irak sejak Perang Teluk II.

Tindakan koersi yang dilakukan AS atas Irak selama Perang Teluk II justru berlawanan dengan tindakan yang diambil AS pada saat Perang Teluk I. Jika pada Perang Teluk II atau Perang antara Irak dengan Kuwait, AS berada pada pihak Kuwait dalam menghadapi Irak, hal yang sebaliknya justru terjadi ketika Perang Teluk I atau Perang antara Iran dan Irak berlangsung, saat AS lebih berpihak kepada Irak.

Perang Teluk I atau Perang antara Iran dan Irak yang dimulai dengan tindakan Saddam Hussein yang mengirim ribuan tentara menyerang Iran pada tanggal 22 September 1980 ini disebabkan oleh Saddam Hussein yang membatalkan secara sepihak perjanjian damai Irak-Iran yang disepakati lewat Perjanjian Aljier 1975.99 Saddam Hussein mengemukakan bahwa Perjanjian Aljier dianggap tidak adil karena ditandatangani dalam situasi Irak sedang lemah. Iran ketika itu berada di puncak kekuatan, bahkan memiliki angkatan bersenjata terkuat di Teluk Parsi atau Teluk Arab. Iran yang kala itu berhubungan baik dengan AS, ibaratnya sedang menjadi polisi kawasan. Oleh karena itu, Perjanjian Aljier yang ditandatangani pada 6 Maret 1975 oleh Saddam Hussein dilihat tidak layak dipertahankan. Namun, di balik itu ada alasan lain yang sebenarnya lebih mendasar. Sebab, jika faktor ketidakadilan Perjanjian Aljier yang menjadi titik picu, sebenarnya Saddam Hussein tidak perlu membatalkan secara sepihak, apalagi dengan menyerang Iran.100 Terdapat alasan tersembunyi Saddam Hussein dibalik invasinya terhadap Iran. Pertama, invasi Irak lebih merupakan artikulasi dari ambisi Saddam Hussein yang ingin tampil sebagai tokoh yang diperhitungkan di Dunia Arab dan kawasan Timur Tengah.101 Ke dua, keberhasilan Revolusi Islam Iran membuat resah Saddam Hussein atau bahkan seluruh pemimpin negara kawasan Teluk. Revolusi itu dicemaskan dapat mempengaruhi tumbuhnya

99

Isi perjanjian Aljier antara lain: (1) Shat al Arab sebagai jalur pelayaran internasional. Batas perairan antara Irak-Iran didasarkan pada Protokol Konstantinopel 1913, peninggalan persetujuan Persia dengan Ottoman (Irak sekarang), (2) Irak-Iran bekerjasama melakukan pengawasan atas perbatasan. Irak menghentikan bantuan pada pemberontak Kurdi di Iran, sebaliknya Iran juga tidak lagi membantu pemberontak Kurdi di Irak. Berdasarkan perjanjian itu pula, Irak memenuhi permintaan Syah Iran mengusir Khomeini dari Irak, pada Oktober 1978, sejak ia diusir dari Iran sendiri pada Oktober 1964. Mashad, Saddam Melawan Amerika, h. 82.

100

Sebab, dalam perjanjian terdapat klausul bahwa, perbedaan penafsiran dan pelanggaran perjanjian dapat diselesaikan melalui arbitrase atau penengahan melalui Mahkamah Internasional. Ibid., h. 83.

101 Ibid.

kekuatan fundamentalis, termasuk khususnya di Irak yang 52% penduduknya bermazhab Syiah, sama seperti penduduk Iran.102

Perang Teluk I, selain melibatkan dua negara, yaitu Irak dan Iran, juga telah membawa dua negara adikuasa AS dan Uni Soviet untuk terlibat dalam perang tersebut. Sebelum terjadinya revolusi, Iran memiliki hubungan yang sangat kuat dengan AS. Bahkan Syah Iran yang menjadi penguasa secara turun temurun

dianggap sebagai “boneka” AS. Berbagai peralatan perang AS pun dikirim ke Iran

untuk memperkuat negara tersebut. Akan tetapi, pascarevolusi, Iran justru sangat jauh dari AS, karena Ayatullah Khomeini, penguasa Iran pengganti Syah sangat membenci AS. Khomeini berusaha melepaskan pengaruh AS di Iran. Sementara itu, pada sisi lain, sebelum berperang dengan Iran, Irak lebih dekat dengan Uni Soviet, terutama sebelum Perang Arab-Israel tahun 1973. Saddam Hussein, sebagai pemimpin Irak, menjalin hubungan yang erat dengan Uni Soviet agar negara komunis itu dapat mengalirkan berbagai persenjataan yang mereka miliki ke Irak. Suasana perang Dingin telah mengantarkan Uni Soviet membantu Irak guna menyeimbangkan kekuatan di wilayah Teluk.

Ketika terjadi Perang Teluk I pada tahun 1980-1989, kondisi di atas mengalami perubahan. Iran tidak lagi dekat dengan AS. Sedangkan Irak tetap berhubungan baik dengan Uni Soviet dan bahkan AS juga ikut merangkulnya. Dengan demikian, Irak tidak hanya mendapat bantuan persenjataan dari Uni Sovet, tetapi dari AS. Bantuan AS pada Irak itu adalah dalam rangka melawan Iran. Meskipun secara resmi AS tidak memihak siapapun dalam Perang Teluk I,

102 Ibid.

tetapi di belakang, AS justru membantu Irak, hal ini dilakukan untuk menyelamatkan kepentingan minyaknya di Timur Tengah.103

Keberpihakan AS terhadap Irak dalam Perang Teluk I tersebut memang berlawanan dengan sikap AS terhadap Irak ketika berlangsungnya Perang Teluk II, di mana AS berpihak kepada Kuwait dalam menghadapi Irak seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Pasang surut hubungan antara dua negara memang lazim terjadi. Begitu pula dengan hubungan antara AS dan Irak. Bahkan hubungan AS dan Irak ini mengalami titik terendahnya yakni ketika AS melancarkan invasi militernya terhadap Irak pada 20 Maret 2003 tanpa dikutuk apalagi dicegah oleh PBB. Invasi ini memperoleh kesempatannya setelah terjadinya Tragedi 9/11. Dengan terjadinya tragedi tersebut maka AS mempunyai kesempatan untuk menyerang Irak setelah dikeluarkannya tuduhan AS mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.104 Menurut AS, Irak terlibat dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, yang dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11.105 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. AS memberikan label terorisme pada setiap negara yang tidak mau bekerjasama dengan AS dalam menumpas terorisme. Dalam kesempatan ini pula AS memberikan label kepada Irak, Iran, dan Korea Utara sebagai negara-negara

103 Ibid., h. 93. 104 Ibid., h. 152. 105

Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota Al-Qaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu tempat di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah peristiwa peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid.

pendukung terorisme atau negara-negara axis of evil. Akibatnya ketiga negara itu selalu diawasi oleh AS setiap saat.106

Peristiwa tersebut mengangkat kata terorisme menjadi kata yang paling sering digunakan oleh AS dan melahirkan sebuah doktrin yang disebut doktrin Bush “either you are with us or with our enemy,”yaitu tindakan untuk mencari dan mendapatkan dukungan ke negara-negara lain dalam hal mendukung pemberantasan terorisme di dunia.107 Doktrin Bush ini mampu mempengaruhi hubungan AS dengan negara-negara lain, karena doktrin tersebut menjadi tolak ukur dalam membina hubungan dengan negara-negara lain.

Aksi AS untuk memberantas terorisme ini diawali dengan aksi militer ke Afganistan yang didukung oleh Inggris sebagai sekutu terdekat AS merupakan salah satu usahanya untuk menumpas terorisme karena Washington berkeyakinan bahwa Tragedi 9/11 dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Walaupun pada akhirnya tuduhan yang dilemparkan kepada Osama bin Laden tidak terbukti seluruhnya. Untuk menjaga keutuhan kredibilitas AS sebagai super power dan perannya sebagai “polisi dunia”, maka AS membuka

kembali kasusnya dengan Irak di masa lalu. Hal ini merupakan sebuah pengalihan atas tidak berhasilnya AS menemukan Osama bin Laden.

Bush, yang didukung sepenuhnya oleh Inggris, Australia, dan Spanyol, tetap bersikeras menyerang Irak dan menggulingkan Saddam Hussein dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal (WMD) Irak, keterkaitan Baghdad dengan jaringan teroris Al-Qaeda, serta pembebasan rakyat Irak dari belenggu

106Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”, h. 73.

107

rezim tirani Saddam.108 Namun, satu demi satu kebohongan Bush mulai terungkap. Setelah lebih dari setahun menduduki Irak, para petinggi AS tak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya perihal keberadaan WMD Irak.109

Terjadinya Tragedi 9/11 akan mempermudah bagi Presiden George W. Bush untuk menjalankan ambisinya menggulingkan Saddam Hussein serta mengganti sistem pemerintahannya menjadi sistem yang lebih demokratis, sehingga mempermudah AS untuk menguasai Irak. Paling tidak, ada enam faktor yang memotivasi Presiden Bush di balik ambisi perangnya.110 Pertama, Presiden Bush menggunakan isu perang Irak untuk menutupi berbagai ketidakberhasilannya dalam mengatasi persoalan sosial-ekonomi di dalam negerinya sendiri. Ke dua, keinginan Presiden Bush untuk melampiaskan dendam keluarganya terhadap Saddam. Ke tiga, Presiden Bush ingin menutupi kegagalannya dalam memburu Osama bin Laden dan Mullah Umar di Afganistan. Ke empat, terinspirasi oleh keberhasilannya dalam menghancurkan rezim Taliban dan menciptakan rezim boneka di Afganistan, Presiden Bush berusaha melakukan hal yang sama di Irak yakni mendirikan rezim boneka di Irak yang dapat didikte oleh Washington dengan tujuan, tidak lain, untuk menguasai minyak Irak. Ke lima, seperti dalam kasus kampanye anti-terorisme yang dikembangkan AS pasca-Tragedi 11 September 2001, dalam kasus Irak pun tampak jelas kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elite politik Gedung Putih yang selalu mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristis. Ke enam, selain

108

Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h. 388.

109

Bahkan di antara para petinggi AS dan Inggris sendiri justru terjadi saling tuding, yang salah satunya berujung pada mundurnya Direktur CIA (Central Intellegence Agency atau dinas intelijen AS) George Tenet, awal Juni 2004. Kendati di depan publik Tenet menyebut “alasan keluarga” di balik pengunduran dirinya, banyak kalangan yakin ia dipaksa mundur akibat kekacauan kinerja CIA baik dalam kasus 9/11 maupun invasi ke Irak. Ibid.

110

berwatak militeristis, mereka juga dikenal sangat pro Israel. Oleh karena itu, ambisi Presiden Bush untuk melucuti senjata Irak juga dimaksudkan untuk mengeliminir ancaman militer Arab terhadap Israel.

Tuduhan-tuduhan AS terhadap Irak mengenai senjata pemusnah massal menimbulkan pro dan kontra dari berbagai negara karena tuduhan yang dilemparkan oleh AS terhadap Irak belum seluruhnya terbukti. Walaupun begitu, seluruh pro dan kontra dari berbagai negara tersebut tidak menyurutkan keinginan AS untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein.

BAB IV

PENGARUH KEPENTINGAN EKONOMI

DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT PADA PERANG IRAK TAHUN 2003

Dalam penelitian ini, penulis menganalisa bahwa kepentingan minyak merupakan alasan utama yang melatarbelakangi invasi Amerika Serikat terhadap Irak. Berbagai dalih yang dipakai AS untuk menyerang Irak dengan mudah dapat dipatahkan. Oleh sebab itu, sangat sulit mempercayai begitu saja argumen-argumen yang dipakai oleh Presiden Bush untuk melancarkan invasinya di Irak, seperti yang telah penulis utarakan sebelumnya yakni mengenai masalah kepemilikan senjata pemusnah massal Irak, keterkaitan Saddam Hussein dengan jaringan terorisme internasional, dan sikap represif rezim Saddam Hussein.

Irak adalah sebuah negara yang memiliki cadangan minyak ke dua terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Faktor minyak selalu menjadi isu sentral dan senantiasa dilihat sebagai salah satu pemicu konflik di Timur Tengah, tak terkecuali pula dalam konflik AS-Irak.111 Namun, isu ini kurang diekspos karena

111

Dalam konteks konflik AS-Irak, isu minyak memang makin membayangi konflik tersebut, terutama setelah tercapai kesepakatan ekspor minyak Irak sesuai dengan perjanjian minyak dengan imbalan makanan (oil for food) pada tahun 1996. Irak berusaha menggunakan senjata minyak dengan tujuan tercabutnya embargo total PBB atas negeri itu yang berlangsung sejak tahun 1990. Misalnya, Baghdad menawarkan proyek eksplorasi minyak pada sejumlah negara dengan imbalan negara-negara tersebut mendukung dan membantu upaya pencabutan embargo PBB atas Irak. Sejumlah negara seperti Rusia, Cina, Perancis, dan India telah mendapatkan proyek raksasa di Irak. Barangkali faktor inilah yang menyebabkan Rusia, Cina, Perancis, dan juga Jerman masih menolak keras serangan AS ke Irak, kecuali dalam naungan PBB. Selain itu, ketergantungan negara-negara Uni Eropa, Jepang, dan Cina pada minyak Timur Tengah jauh lebih besar dibanding AS. AS sendiri masih dapat mengandalkan minyak dari Kanada, Meksiko, dan Venezuela. Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke Irak,” Jurnal Paradigma, vol. VII, no. 20 (Maret 2003), h. 36.

AS lebih mengedepankan isu mengenai hal memerangi terorisme yang ada di setiap negara.

Timur Tengah memang bukan hanya hamparan Padang Pasir yang luas, jauh di bawah tanahnya tersimpan setidaknya 70% cadangan minyak dunia. Dari catatan terakhir OPEC, cadangan minyak yang ada di Timur Tengah sedikitnya ada 800 miliar barel dan tersebar hanya di beberapa negara, seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar.112 Perhatian AS pada minyak di wilayah ini semakin besar setelah aksi boikot minyak Arab menyusul Perang Arab-Israel tahun 1973.

Sebagai salah satu negara industri besar, sangat wajar jika AS memerlukan minyak dalam jumlah yang begitu besar untuk menjalankan kegiatan industrinya baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri. AS sendiri memiliki cadangan minyak mentah sejumlah 22 miliar barel, dan apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak mentahnya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Oleh karena itu, AS harus memenuhi kebutuhannya akan minyak dengan jalan melakukan impor. AS mengimpor 53% dari kebutuhan minyaknya, dan impornya akan meningkat hingga 62% pada tahun 2020.113 Sebanyak 30% dari total impor AS ini berasal dari negara-negara Timur Tengah. Ketergantungan terhadap minyak dari Timur Tengah akan semakin meningkat di masa yang akan mendatang, mengingat selain Timur Tengah memiliki cadangan minyak yang

112

Elba Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 11.

113

Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan) (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), h. 59.

besar, produksi minyak di AS semakin menurun akibat terus dimanfaatkannya cadangan minyak di sana.114

Berdasarkan National Energy Policy Report AS yang diumumkan Gedung Putih pada Mei 2001, ketergantungan minyak dari Teluk Parsi telah mencapai setengah dari total konsumsi AS, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan ketergantungan ini akan mencapai dua pertiga dari seluruh konsumsi minyak AS.115 Oleh karena itu, sesuai kebijakan luar negerinya di Timur Tengah, AS harus memperoleh strategi yang dapat digunakan sebagai pijakan menopang kepentingannya itu.

AS tidak bisa lepas, bahkan masih sangat tergantung pada suplai minyak Timur Tengah. Presiden George W. Bush di depan Kongres pada 17 Mei 2001 menyampaikan strategi pengadaan energi AS dengan slogan “Tingkatkan

mengalirnya minyak”.116

Dalam konsep Presiden Bush tersebut ditegaskan, tujuan strategisnya sudah jelas, yaitu terjaminnya persediaan minyak hingga pada tingkat yang tidak mengancam keamanan nasional dan ekonomi AS.117

Pada bulan Mei 2001, AS kembali menempatkan keamanan energi sebagai masalah prioritas, di mana diupayakan untuk menghindari terjadinya ketidakpastian pasokan dengan memprioritaskan di dalam hubungan luar negeri dan perdagangan AS. Di dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001), dikatakan bahwa “...energy security must be priority of US trade

114

Kebutuhan AS akan minyak per hari adalah 20 juta barel dan AS hanya memenuhi 40% nya. Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak, h. 15.

115 Ibid.

116

Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, h. 59.

117 Ibid.

and foreign policy.”118

Pada Kebijakan Energi Nasional juga dikatakan bahwa ketergantungan AS pada pasar energi yang stabil dan kebutuhan pada kebijakan luar negeri yang akan mendukung suplai energi AS. Di samping itu juga dikatakan bahwa:

Gangguan yang besar pada suplai minyak dunia dapat mempengaruhi ekonomi dan kemampuan AS untuk memproduksi tujuan kebijakan luar negeri dan kebijakan ekonomi tanpa menghiraukan pada tingkat ketergantungan AS pada impor minyak. Selain itu juga, negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah tetap akan menjadi pusat keamanan minyak dunia. Kawasan Teluk tetap akan menjadi fokus utama kebijakan

energi nasional AS.”119

Merujuk kepada hal tersebut, terlihat bahwa keamanan energi atas akses terhadap sumber-sumber minyak merupakan prioritas bagi AS dan karenanya dibutuhkan kebijakan luar negeri yang akan mendukung hal tersebut. Oleh karena itu, inti dari kebijakan AS di kawasan Timur Tengah yang mengandung cadangan minyak bumi dalam jumlah yang sangat besar, termasuk Irak adalah demi kepentingan nasionalnya yakni mengenai akses terhadap minyak yang terdapat di kawasan tersebut untuk kepentingan industri AS sendiri atau demi sekuritisasi kepentingan nasional AS di kawasan tersebut.

Menurut Riza Sihbudi, selain cadangan minyak yang dimiliki Irak,

Dokumen terkait