• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kepentingan minyak pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam invasi Irak Tahun 2003

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kepentingan minyak pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam invasi Irak Tahun 2003"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

oleh

ANNE NORMADIAH

NIM. 106083003623

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ii

DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Hubungan Internasional

oleh :

ANNE NORMADIAH

NIM. 106083003623

di Bawah Bimbingan

Pembimbing Penasehat Akademik

Kiky Rizky, M.Si Ali Munhanif, Ph.D

NIP. 197303212008011002 NIP. 196902011994031002

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan

Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional.

Jakarta, 16 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan

Dina Afrianty, Ph.D Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP. 1973041199032002 NIP.197808042009121002

Pembimbing

Kiky Rizky, M.Si. NIP. 197303212008011002

Penguji I Penguji II

(4)

iv

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Juni 2011

(5)

v

Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat melakukan serangan invasi militer ke Irak yang tidak mendapatkan justifikasi dari dunia internasional, meskipun Amerika Serikat telah mengemukakan alasan dan justifikasinya sendiri. Terdapat kecenderungan bahwa alasan kerentanan keamanan energi dalam negeri Amerika Seerikat telah menuntut Amerika Serikat untuk tetap menyerang Irak agar mendapatkan akses terhadap cadangan minyak di Irak

Penelitian ini memiliki temuan bahwa bertambahnya jumlah penduduk dunia, kemajuan industri dan transportasi telah membuat semakin tingginya tingkat ketergantungan terhadap minyak dunia, hal ini akan menyebabkan cadangan minyak dunia akan semakin menipis dan lama kelamaan akan habis. Amerika Serikat sebagai negara industri maju memiliki kepentingan untuk mengamankan suplai minyak di berbagai wilayah di dunia termasuk di Irak, mengingat Irak memiliki cadangan minyak yang cukup besar yakni sekitar 112 miliar barel. Kebijakan invasi pun digunakan Amerika Serikat untuk mencapai kepentingannya tersebut karena selain bertujuan untuk mencapai kepentingan akan minyak milik Irak, keuntungan ekonomi lain pun akan diperoleh Amerika Serikat sebagai dampak dipilihnya kebijakan tersebut.

Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan nasional. Skripsi ini menggunakan metode dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan melalui buku-buku, jurnal, koran, hasil penelitian, dan terbitan-terbitan lainnya.

(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003”.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Agus Nilmada Azmi, S.Ag., M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ali Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.

6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwi.

7. Yang tercinta Ibunda Eneng Rodiah dan Ayahanda Syahrul Basir selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan jerih payah kalian, terutama ibunda tercinta yang selalu sabar tanpa pernah mengeluh dan putus asa menanti ananda tercinta dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

vii

kalian.

9. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI; Ita Fatimah, Ayu Yukhaeroh, Ikrimah, Hazrina, Dzuriah Tiara Hany. Kalian semua telah memberikan pertemanan yang indah dengan segala suka duka dan canda tawa selama lima tahun terakhir ini, serta telah memberikan dorongan semangat di saat penulis

putus asa dalam pembuatan skripsi ini. ”Love you guys....!

10.Ragil Wibisono yang selalu setia dan sabar mendengarkan keluh kesah penulis.

11.Terima kasih kepada sahabat penulis sejak masa kecil Mba Indah Fitriana Hapsari, Dwi Pursitasari, dan Niar Daniar.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Rifqi Sazali, Muhammad Zubir, Maya Damayanti, Sabriela Yolanda, yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembuatan skripsi ini.

13.Seluruh teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas A angkatan 2006, kalian telah banyak memberikan warna dalam kehidupan penulis, serta seluruh teman-teman Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2006.

14.Teman-teman BEMJ Hubungan Internasional 2007/2008, yang telah banyak mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi.

15.Teman-teman Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007, 2008, dan 2009 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(8)

viii

skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.

Jakarta, 6 Juni 2011

(9)

ix

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 8

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT A. Pengertian Energi ... 19

B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat ... 21

C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat ... 23

C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat ... 23

C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat ... 27

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11 ... 31

B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah ... 36

(10)

x

TAHUN 2003 ... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Tragedi penyerangan terhadap gedung kembar pencakar langit World

Trade Center (WTC) di New York serta gedung Pentagon di Washington DC,

Amerika Serikat pada 11 September 2001 telah membawa banyak perubahan pada

kebijakan luar negeri AS.1 Pascatragedi tersebut, AS terus-menerus

mengkampanyekan perang melawan terorisme ke berbagai negara di dunia.

Doktrin pre-emptive strike pun dianut AS. Inti dari doktrin ini adalah bahwa AS

harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negara manapun

yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan

nasional AS.2 Dengan doktrin baru ini, AS melegalkan setiap serangannya

terhadap pihak yang menjadi ancaman bagi AS.

Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, AS mengajak negara-negara

lain untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. AS pun membagi dunia ini

hanya menjadi dua, yaitu kami atau mereka yang dikenal dengan prinsip either or

(either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy

oleh AS adalah kelompok teroris internasional.3 Jadi, siapa pun yang tidak mau

memerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum teroris, apalagi yang

dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional,

maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS dan dengan sendirinya boleh

1

Dalam penelitian ini tragedi penyerangan tersebut selanjutnya disebut sebagai Tragedi 9/11.

2Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,”

Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 36.

(12)

untuk diperangi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden George Walker Bush

tanggal 11 September 2001 yang mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan

antara teroris yang melakukan tindakan teror itu dan mereka yang melindungi.4

Ada yang menarik dari pernyataan Bush itu. Ia membuat pernyataan yang

cenderung tidak membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat

atau melindungi teroris tersebut. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah

dilancarkannya invasi militer terhadap Afganistan pada awal Oktober 2001. Invasi

dilaksanakan AS setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak

untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden yang diyakini

oleh AS sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 9/11.5

Selain melancarkan invasi terhadap Afganistan, implikasi lain dari

kampanye perang melawan terorisme tersebut adalah invasi militer terhadap Irak.

Invasi tersebut dilancarkan setelah tuduhan AS mengenai keterlibatan

pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.6 Menurut AS, Irak

turut serta dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang

dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11 yang menelan ribuan korban

jiwa.7 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata

pemusnah massal. Dalam pidato tahunan Presiden George W. Bush yang dikenal

dengan sebutan pidato state of the union di hadapan Kongres AS pada 29 Januari

2002, Irak disebut-sebut sebagai negara yang memproduksi senjata pemusnah

massal. Irak juga dituding sebagai negara yang mendukung terorisme. Bersama

4

Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h . 96.

5

Ibid., h. 97.

6

Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan AS (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 152.

7

(13)

Korea Utara dan Iran, Irak dimasukkan dalam “poros setan” (axis of evil), dan digolongkan sebagai rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam AS

dengan senjata pemusnah dunia.8 Sehingga bagi Bush tidak ada pilihan lain selain

peran, kendati laporan hasil tim United Nations Monitoring, Verification and

Inspection Comission (UNMOVIC), yaitu tim inspeksi senjata yang diketuai Hans

Blix, maupun Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic

Energy Association (IAEA) sudah menyatakan tidak menemukan bukti-bukti

yang otentik dan akurat perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak.9

Dijadikannya invasi Irak sebagai bagian dari kampanye perang melawan

terorisme AS merupakan hal yang cukup menarik. Meskipun tuduhan-tuduhan

AS terhadap Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal dan Saddam

Hussein dituding memiliki hubungan dengan Al Qaeda tidak berhasil dibuktikan,

dalam kenyataannya AS pun tetap melancarkan invasi militernya ke Irak bahkan

meskipun tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).10

Pada awal Maret 2003, sebelum dilancarkannya invasi tersebut, AS dan

Inggris mengultimatum Irak, jika sampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan

senjata pemusnah massalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang.11 Waktu

itu Gedung Putih mengaku menemukan bukti-bukti baru bahwa Irak belum

menghancurkan senjata pemusnah massalnya. Sebelumnya, dalam konferensi pers

8Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”,

h. 73.

9

Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h.147.

10

AS tetap memutuskan untuk menyerang Irak secara unilateral dengan didukung oleh beberapa negara yang termasuk dalam coalition of the willing, antara lain Inggris dan Australia, pasukan AS menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 8.

11

(14)

yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembali menegaskan niatnya untuk

menginvasi Irak dengan atau tanpa persetujuan DK PBB.12

Presiden George W. Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam Hussein

harus disingkirkan, kalau perlu dengan kekuatan.13 Tidak ada perubahan dari

posisi Presiden Bush yang tetap akan menginvasi Irak dengan atau tanpa payung

PBB. Perang menjadi satu-satunya tujuan untuk mencapai sasaran utamanya yaitu

menguasai minyak Ira.14 Sebaliknya, Irak justru menunjukkan sikapnya yang

kooperatif dengan membuka seluruh akses, termasuk ke Istana Kepresidenan, bagi

UNMOVIC maupun IAEA.15 Menurut juru bicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki,

Irak pun kembali menghancukan tiga rudal dan lima mesin rudal.16 Sebelumnya,

Irak telah menghancurkan enam rudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang

telah memusnahkan puluhan Rudal Al-Samoud II yang dicurigai AS akan

menjangkau Israel.17

Meskipun tuduhan-tuduhan yang sebelumnya telah diutarakan

pemerintahan Presiden Bush terhadap Irak tidak terbukti kebenarannya, AS tetap

melancarkan invasi militernya ke Irak. Jelas terdapat perhitungan ekonomi dan

bisnis yang mendasari invasi AS ke Irak.18 Faktor minyak merupakan alasan lain

yang dapat menjelaskan ambisi besar AS menginvasi Irak, di samping faktor lain

seperti proyek rekonstruksi pascaperang yang akan menguntungkan AS.

12 Ibid.

13 Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 33. 14

Ibid.

15

Pada awal Januari 2003, pemerintah Irak menyatakan menerima Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1441. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November 2002, yang isinya antara lain menuntut Irak untuk mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada UNMOVIC dan IAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang dimiliki Irak. Ibid.

16 Ibid. 17

Ibid.

18

(15)

Potensi minyak Irak menduduki urutan kedua terbesar di dunia. Menurut

Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki

112 miliar barel cadangan minyak.19 Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakan

lebih tinggi dari angka itu. Dengan kepemilikan jumlah cadangan minyak sebesar

itu, Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia.

Minyak merupakan faktor yang cukup diperhitungkan pada kebijakan luar

negeri AS dalam hubungannya dengan berbagai kawasan di dunia, khususnya

dengan kawasan Timur Tengah termasuk Irak.20 Timur Tengah memiliki arti

yang menjadi lebih besar terlebih dengan cadangan minyak yang dimilikinya.

Minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan

dalam peradaban industrial kontemporer. Sampai sekarang komoditas minyak

memang belum dapat digantikan oleh energi lain untuk kebutuhan industri. Jadi,

penguasaan minyak sangat strategis untuk negara maju seperti AS. Terlebih

cadangan minyak yang dimiliki negara seperti Irak merupakan terbesar ke dua di

dunia setelah Arab Saudi. Inilah faktor yang menyebabkan AS ingin menguasai

Irak. Selain itu, dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru di

kawasan Teluk Parsi karena setelah Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, AS

kehilangan basis utamanya di kawasan ini.21

Tingginya perhatian AS terhadap minyak di kawasan Timur Tengah

menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan oleh AS,

terlebih semenjak Dolar Amerika digunakan dalam transaksi perdagangan minyak

19 Ibid.

20

Timur Tengah merupakan terjemahan dari Middle East, suatu istilah yang sejak Perang Dunia II digunakan orang-orang Inggris dan AS untuk menyebutkan kawasan yang sebagian besar terletak di Asia Barat Daya dan Afrika Timur Laut, dan oleh sebab itu dapat dibatasi sebagai jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 4.

(16)

internasional.22 Sejak digunakannya Dolar Amerika dalam transaksi perdagangan

minyak internasional, telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia.

Namun demikian, terdapat kekhawatiran tersendiri bagi AS jika suatu saat

negara-negara produsen minyak mulai beralih dengan menggunakan mata uang lain

dalam penjualan minyaknya yakni dengan mengganti penggunaan Dolar Amerika

ke Euro. Dapat diketahui bahwa sejak munculnya Euro sampai terjadinya invasi

AS, Dolar Amerika perlahan demi perlahan mengalami keterpurukan dan Irak

yang menambah keterpurukan Dolar Amerika karena Irak yang pasca-Perang

Teluk II terkena sanksi ekonomi telah mengambil sikap dengan mengganti

penggunaan mata uang dalam transaksi penjualan minyaknya, yakni dari Dolar

Amerika ke Euro pada akhir tahun 2000. Padahal pada waktu itu nilai mata uang

Euro sangat rendah dibandingkan dengan Dolar Amerika. Sikap Irak itu dilihat

semata-mata hanya merupakan suatu gertakan politik, bukan merupakan suatu

pertimbangan ekonomi. Berdasarkan hal ini, maka dalam invasinya ke Irak, AS

sekaligus juga ingin menjaga stabilitas nilai Dolar Amerika terhadap Euro. Selain

itu, dengan cara menginvasi Irak, AS dapat menggertak negara-negara

Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agar tetap menggunakan

Dolar Amerika sebagai alat pembayaran dalam transaksi penjualan minyaknya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan demi keuntungan khususnya

yang terkait dengan masalah ekonomi diperoleh pemerintah AS serta

22

(17)

korporasi yang berasal dari AS pascainvasi militer ke Irak. Perang Irak, perang

yang pada dasarnya didorong oleh imperialisme AS untuk menguasai sumber

minyak di Timur Tengah, yang diharapkan mampu menyediakan pasokan minyak

yang cukup bagi AS, memaksanya untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Namun, jika diamati bahwa besarnya jumlah dana tersebut ternyata sebuah

investasi bisnis jangka panjang bagi kepentingan ekonomi AS di dunia.

Pemerintah AS menganggap, bahwa anggaran yang telah dikeluarkan akan

dikembalikan secara bertahap pascaperang. Uang yang dihasilkan dari adanya

bisnis rekonstruksi Irak ini akan disalurkan juga ke kas negara AS sebagai bentuk

kompensasi dan relasi yang kuat antara pihak korporasi dengan pemerintah.23

Infrastruktur Irak yang hancur setelah invasi AS membutuhkan sebuah program

rekonstruksi yang cepat di segala bidang. Beberapa bidang infrastruktur

merupakan aset ekonomi yang sangat berharga bagi AS. Aset ekonomi seperti

kilang minyak dan jalur pipanya adalah yang menjadi motif dominan serangan AS

atas Irak. Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk

membahas lebih lanjut mengenai pengaruh minyak yang melatarbelakangi

kebijakan luar negeri AS dalam melancarkan Perang Irak tahun 2003.

B. Identifikasi Masalah

Dalam perkembangannya, pertanyaan yang muncul terkait tema yang

diangkat adalah:

Mengapa kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003?”

23

(18)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kepentingan

minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak

tahun 2003.

D. Kerangka Pemikiran

Dalam melihat isu yang akan diteliti, yakni mengenai pengaruh

kepentingan ekonomi pada kebijakan luar negeri AS dalam Perang Irak tahun

2003, penulis menggunakan konsep tentang kebijakan luar negeri dan kepentingan

nasional, mengingat bahwa setiap kebijakan luar negeri yang diambil oleh

pemerintah menghadapi dunia internasional mengacu kepada kepentingan

nasional, sehingga keduanya merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan.

Setiap negara di dunia ini pasti memiliki kebijakan luar negeri dalam

melakukan hubungan internasionalnya dengan negara lain. Konsep mengenai

kebijakan luar negeri sebenarnya telah banyak dibahas oleh para peneliti ilmiah.

K. J. Holsti sebagai contohnya menganalisis kebijakan luar negeri menurut politik

internasional. Holsti menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri dirancang untuk

mempertahankan atau mengubah suatu tujuan, keadaan, atau praktek dalam

lingkungan eksternal.24 Beberapa tujuan dirancang untuk mengubah

keadaan-keadaan luar negeri demi kepentingan mereka, kebanyakan dirancang untuk

memajukan tujuan-tujuan domestik, seperti: 1) keamanan, 2) otonomi, 3)

kesejahteraan ekonomi, 4) status atau prestise.25

24

K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. (New Jersey: Prenctice Hall, Inc., 1992)h. 269.

(19)

Sementara menurut Prakash Chandra, kebijakan luar negeri adalah

aktivitas yang dilakukan oleh komunitas yang bertujuan untuk mempengaruhi dan

mengubah perilaku negara lain serta menyesuaikan diri mereka sendiri ke dalam

lingkungan eksternal.26 Kebijakan luar negeri ini bertujuan untuk memelihara

integritas negara, memajukan kepentingan ekonomi, menjamin keamanan

nasional, menjaga prestise nasional dan memperkuat kekuatan nasional, dan

memelihara tatanan dunia.27

Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada

umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan,

baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah eksternal suatu

negara serta mempromosikan sebuah perubahan. Sehingga studi ini memusatkan

perhatian pada usaha-usaha yang menggambarkan kepentingan, tindakan, dan

elemen-elemen kekuasaan negara-negara.

Berdasarkan kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan

dari lingkungan domestik dan eksternal merupakan suatu input yang kemudian

mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dan dipersepsikan oleh para

pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output.28 Dalam hal ini,

faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri disederhanakan ke dalam

dua variabel di mana proses kebijakan luar negeri diposisikan sebagai variabel

dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diposisikan sebagai variabel

independen.

26

Prakash Chandra, International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81.

27 Ibid.

28

(20)

Kebijakan luar negeri sebagai output merupakan hasil pilihan yang

dilakukan oleh pejabat pemerintah. Untuk menerangkan atau mengerti output ini,

kita harus memperhatikan persepsi, citra, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan, dari

mereka yang bertanggung jawab dalam merumuskan tujuan dan pengaturan

tindakan. Kita dapat mengkombinasikan bermacam-macam faktor yang

mempengaruhi pilihan tujuan, keputusan, dan tindakan, menjadi definisi situasi.29

Definisi situasi harus mencakup faktor eksternal dan domestik, kondisi

kontemporer dan historis yang dianggap pembuat kebijakan relevan dengan setiap

masalah politik tertentu. Hal ini meliputi kejadian-kejadian penting,

kebutuhan-kebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif

ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman,

kesempatan yang dilaksanakan dalam satu situasi, konsekuensi yang telah diduga,

biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan

situasi tertentu.30

Tujuan dan tingkah laku politik luar negeri dapat berhubungan dengan: (1)

kesan, nilai-niilai, kepercayaan, dan personalitas atau kebutuhan politik dari

individu yang bertanggung jawab dalam penentuan tujuan, prioritas di antara

mereka, dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya; (2) struktur dan

kondisi internasional; (3) kebutuhan domestik; (4) atribut dan tingkah laku

nasional; (5) kapabilitas; (6) nilai-nilai sosial yang umum, dan berbagai

kepentingan kelompok khusus; (7) kebutuhan, nilai-nilai dan tradisi-tradisi

organisasi. Relevansi dari semua faktor ini sebagian besar tergantung pada sikap,

29

K. J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 469.

(21)

pendapat, dan maksud dari para pembuat kebijakan yang bertugas dalam

organisasi pengambilan keputusan yang mempunyai sasaran, fungsi, dan aturan.31

Setiap kebijakan luar negeri diformulasikan untuk mencapai suatu tujuan

nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri

merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan

nasional terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang

dimiliki untuk menjangkaunya.

Keputusan dan tindakan dalam menentukan kebijakan luar negeri

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal baik dari lingkungan eksternal

maupun lingkungan internal. Faktor-faktor yang mendasari dan menentukan

rencana-rencana dan pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pembuat keputusan

sangatlah banyak untuk disebutkan. Karena itu, perlu suatu pengelompokkan

faktor-faktor tersebut. Howard Lentner mengklasifikasikannya ke dalam dua

kelompok yaitu determinan luar negeri dan determinan domestik.32 Determinan

luar negeri mengacu kepada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu

waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi di antara

negara-negara yang terbentuk atau dibentuk oleh stuktur interaksi di antara

pelaku-pelaku yang paling kuat.33 Sedangkan konsep situasi diartikan sebagai pola

interaksi yang tidak tercakup atau mencakup keseluruhan sistem internasional.34

Penggunaan kedua konsep tersebut (sistem internasional dan situasi)

dimaksudkan sebagai upaya teoritis untuk menyederhanakan lingkungan

internasional (eksternal) yang demikian kompleks ke dalam model-model

31 Ibid.

32

Howard Lentner, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach (Ohio: Bill and Howell Co., 1974), h. 105.

33

Ibid., h. 5.

(22)

deskripsi yang sistematis dan utuh. Manfaat penggambaran kondisi lingkungan

eksternal ini, yaitu dapat memberikan setting (latar belakang) munculnya

peristiwa-peristiwa dalam politik luar negeri, serta dapat membantu peneliti

memunculkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung (constraining and

facilitating factors) dalam interaksi antar negara.35

Determinan domestik menunjuk pada keadaan di dalam negeri yang

terbagi dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu highly stable

determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi,

serta sumber daya alam.36 Moderately stable determinants; terdiri atas budaya

politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.37 Unstable

determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor

ketidaksengajaan.38

Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara

memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang

diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu

ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.39 Kepentingan nasional

sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk

mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku

internasional.40

Joseph Frankel merumuskan kepentingan nasional sebagai aspirasi dari

suatu negara yang dapat diwujudkan secara operasional dalam upaya mencapai

35

Ibid., h. 105.

36

Ibid., h. 136.

37

Ibid., h. 143.

38

Ibid., h. 168.

39

Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 184.

40

(23)

suatu tujuan yang spesifik.41 Kepentingan nasional menyangkut

kebijakan-kebijakan negara serta rencana-rencana yang hendak dituju. Oleh karena itu,

sering kepentingan nasional menjadi bahan polemik, bahkan sering kepentingan

nasional dipakai untuk memberikan justifikasi bagi tindakan negara-negara.42

Kepentingan nasional ini dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu

memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan dan

hal-hal yang bersifat altruitis lainnya.43

Prakash Candra menilai setidaknya ada lima national interest sebagai

tujuan dari politik luar luar negeri, antara lain, untuk mempertahankan integrasi

negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi national prestige dan

membangun national power, menjaga keamanan nasional, serta mewujudkan

tatanan dunia.44

Frankel menggambarkan kepentingan nasional ke dalam tiga kategori.45

Kepentingan nasional dapat digambarkan sebagai aspirasi dari sebuah negara; dapat juga digunakan sebagai operasional dalam aplikasinya pada kebijakan yang aktual serta program-program yang hendak dicapai; namun dapat juga menjadi

bahan polemik dalam argumen politik, untuk menjelaskan, membenarkan ataupun mengkritik bagi tindakan negara.

Pada tingkat aspirasi, kepentingan nasional dipakai untuk menunjukan

gambaran tentang kehidupan yang baik, serangkaian tujuan ideal yang jika

41

Joseph Frankel, International Relations in A Changing World, 4th ed (Oxford: Oxford University Press,1988), h. 93.

42

R. Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 144.

43 Ibid. 44

Prakash Chandra, International Politics (India: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81-82.

45Mohtar Mas‟oed,

[image:23.595.103.525.89.447.2]
(24)

memungkinkan, hendak dicapai oleh negara.46 Jika kepentingan nasionalnya

hanya diajukan pada tingkat ini, berarti kebijakan tersebut tidak sedang

dilaksanakan, tetapi hanya menunjukan garis besar haluan kebijakan tersebut.

Tingkat aspirasi memiliki tujuh sifat konsepsi, yaitu kepentingan nasional itu

berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi, merupakan sumber kritik

oleh oposisi terhadap pemerintah tetapi bukan merupakan pusat perhatian

pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan atau harapan terhadap kebijakan,

tidak perlu diartikulasikan dan dikoordinasikan secara penuh dan bisa saling

bertentangan, tidak memerlukan studi kelayakan, dan lebih ditentukan oleh

kehendak politik dari pada oleh kemampuan nyata.47

Pada tingkat operasional, kepentingan nasional menunjuk pada

keseluruhan kebijaksanaan yang betul-betul dilaksanakan.48 Pada tingkat ini, ada

delapan hal yang membedakannya dengan kategori sebelumnya, yaitu

kepentingan nasional itu berjangka pendek dan bisa dicapai dalam waktu yang

tidak terlalu lama; sering muncul dari pertimbangan keharusan atau keperluan;

merupakan perhatian utama pemerintah dan partai yang berkuasa; lebih

dipergunakan dalam cara yang deskriptif dari pada yang normatif; karena

keharusan penerapannya, kontradiksi tidak mudah ditolerir; diterjemahkan ke

dalam kebijakan berdasar perhitungan akan prospek keberhasilannya; lebih

ditentukan oleh kemampuan untuk melaksanakan dari pada oleh kehendak politik;

dan kepentingan itu dapat diatur ke dalam program-program.49

46 Ibid. 47

Ibid. 48

Ibid. 49

(25)

Sedangkan pada tingkat polemik, kepentingan nasional dipakai untuk

menjelaskan, mengevaluasi, merasionalisasikan dan mengritik politik luar

negeri.50 Alasan utama penggunaan ini adalah untuk membuktikan kebenaran

argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan. Konsep ini tidak dipakai sebagai

sarana untuk mendeskripsikan dan menganjurkan perilaku, walaupun nampaknya

demikian.

Pengertian atau definisi mengenai konsep kebijakan luar negeri dan

kepentingan nasional yang telah dipaparkan di atas, digunakan untuk menjelaskan

perumusan kebijakan luar negeri sebagai suatu output yang terkait dengan

eksternal dan internal input. Dalam kasus invasi AS ke Irak ini, dapat dipahami

bahwa kebijakan Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh faktor domestik

daripada faktor internasional. Faktor domestik dapat berupa nilai-nilai utama

(core values) yang dianut oleh negara tersebut, keadaan sosial, politik, dan

ekonomi atau pun tarik-menarik kepentingan antar aktor-aktor pemerintah di

dalamnya. Sedangkan faktor internasional dapat berupa kondisi internasional yang

mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan luar negeri.

Atas pemaparan kedua konsep tersebut di atas, yakni konsep kebijakan

luar negeri dan kepentingan nasional maka untuk kepentingan analisa penulis

menggunakan kedua konsep tersebut yang akan diaktualisasikan dalam BAB IV.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif. Istilah penelitian kualitaif pada mulanya

bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan

50

(26)

kuantitatif.51 Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu cara

tertentu. Sedangkan, penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak

mengandalkan perhitungan.

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai

sumber. Penelitian ini mengandalkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh

dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh

pihak atau instansi lain. Menurut Cresswell, dalam penelitian kualitatif, pustaka

harus digunakan secara induktif sehingga tidak mengarahkan pertanyaan yang

diajukan peneliti.52 Salah satu alasan penting yang mendasari hal tersebut karena

penelitian kualitatif bersifat penyelidikan. Sumber-sumber data ini berupa buku,

majalah, jurnal, hasil penelitian, laporan ataupun laman jaringan.

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kerangka pemikiran

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan

51

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 2.

52

(27)

Bab II Kepentingan Minyak Amerika Serikat

A. Pengertian Energi

B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat

C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat

C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat

C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat

Bab III Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11

C. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah

D. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak

Bab IV Pengaruh Kepentingan Minyak pada Kebijakan Luar Negeri AS

Dalam Perang Irak Tahun 2003

(28)

BAB II

KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT

Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat

penting bagi setiap negara, salah satunya Amerika Serikat. Dalam sejarah, minyak

bumi mampu mempengaruhi dinamika hubungan internasional, baik itu dalam

bentuk kerjasama maupun dalam bentuk konflik atau perang. Minyak bumi

bukanlah satu-satunya sumber daya energi yang dimiliki oleh AS, masih ada

sumber daya energi lainnya yang berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi

dalam negei AS, seperti gas alam, batu bara, dan nuklir. Meskipun demikian AS

masih memposisikan minyak bumi sebagai prioritas sumber energi utamanya,

sebab keunggulannya yang lebih mudah diakses dan dimobilisasikan dibanding

gas alam, sifatnya yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi bila

dibandingkan dengan batu bara, serta penggunaannya yang lebih aman dan mudah

diakses dibandingkan nuklir. Oleh karena itu, minyak bumi merupakan sumber

daya energi yang utama bagi AS.

Dalam pembahasan selanjutnya, fokus pembahasan akan lebih diarahkan

pada pembahasan mengenai kepentingan energi terkait dengan minyak bumi,

sebab minyak bumi merupakan sumber daya energi paling utama bagi kebanyakan

negara sehingga sangat berpengaruh dalam tatanan sistem internasional, terutama

kaitannya dengan AS. Bab ini akan membahas mengenai keterkaitan antara

kepentingan minyak dengan keamanan energi Amerika Serikat yang terlebih

(29)

A. Pengertian Energi

Kemajuan ilmu dan teknologi membuat perubahan dalam pemanfaatan

energi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia telah menemukan

cara untuk memperpanjang dan memperluas usaha untuk mencari energi, pertama

dengan memanfaatkan tenaga hewan dan kemudian dengan menciptakan

mesin-mesin untuk memperoleh tenaga dari angin dan air. Selanjutnya muncul

pembangunan sosial dan ekonomi yang membawa dunia menjadi lebih modern

dengan ditemukannya bahan bakar fosil.

Perkembangan penemuan bahan bakar fosil telah membebaskan manusia

dari keterbatasan penggunaan energi dengan ditemukannya batu bara, minyak, dan

gas alam. Hasilnya adalah satu dari transformasi sosial yang sangat besar dalam

sejarah. Dengan adanya energi yang diolah, membawa perubahan yang sangat

besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pengalaman masyarakat tradisional

dalam melakukan transformasi energi dari mulai menggunakan tenaga manusia,

tenaga hewan, dan kemudian kincir angin dan kincir air pada sat itu berjalan

sangat lambat, dan sebagai konsekuensinya sama-sama memperlambat kerja

manusia pada saat itu. Tetapi sebaliknya, pada masa industrialisasi telah

membawa perubahan secara sosial ekonomi pada manusia umumnya.

Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, energi didefinisikan sebagai

the ability to do work.53 Energi menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi

manusia. Manusia memperoleh energi dari sumber daya alam yang ada

disekitarnya dan mengubah sumber daya alam tersebut sehingga dapat digunakan

sebagai energi. Sumber daya alam secara umum dapat dikelompokkan dalam dua

53

(30)

kategori, yaitu sumber daya dapat diperbaharui (renewable resource) dan sumber

daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource).54 Pengelompokkan

tersebut sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang

dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang dapat terus-menerus tersedia

sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Air, hutan, panas

matahari, dan sebagainya termasuk dalam sumber daya alam yang dapat

diperbaharui.55 Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui

adalah sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas

dalam jangka waktu tertentu, yang termasuk di sini adalah minyak bumi, gas

[image:30.595.96.520.183.680.2]

bumi, batu bara, dan sebagainya.

Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi56

Berdasarkan ketersediaan (stock)

Berdasarkan nilai komersial

(commercial)

Berdasarkan pemakaian

(use)

1.Dapat Diperbaharui:

 Panas bumi

 Tenaga air

 Tenaga surya

 Tenaga angin

 dan sebagainya

2.Tidak Dapat Diperbaharui:

 Minyak bumi

 Gas bumi

 Batu bara

 Uranium

 dan sebagainya

1. Komersial:

 Minyak bumi

 Gas bumi

 Batu bara

 Tenaga air panas bumi

 Uranium

 dan sebagainya

2. Nonkomersial:

 Kayu bakar

 Limbah pertanian

 Tenaga surya

 Tenaga angin

 Tenaga samudera

 Biomassa

 Padat, cair, dan gas

 Gambut

1. Primer:

 Minyak bumi

 Gas bumi

 Batu bara

 Tenaga air

 Panas bumi

2. Sekunder:

 Listrik

 LPG

 BBM

 Non-BBM

 Gas bumi

 Briket batu bara

 Dan sebagainya

54

Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000), h. 5.

55

Perlu diingat bahwa sumber daya alam yang dapat diperbaharui suatu saat dapat berubah menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal demikian terjadi karena permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat laju pengurasan sumber daya tersebut menjadi lebih besar dibandingkan laju generasinya.

56

(31)

Di antara semua jenis energi, minyak kenyataannya sampai saat ini masih

menjadi bentuk utama dari energi yang dikonsumsi sejak pasca-Perang Dunia.

Minyak menjadi pilihan utama saat ini karena memiliki kelebihan, yaitu murah,

ketersediaannya, fleksibilitasnya, dan relatif mudah proses pengirimannya. Hal

inilah yang telah membuat minyak menjadi sumber energi utama bagi sebagian

besar negara-negara industri. Penggunaan bahan bakar minyak tidak saja terbatas

pada bidang industri, tetapi juga untuk kepentingan militer. Semua negara

menempatkan perhatian serius terhadap kestabilan suplai energi sebagai aspek

mendasar bagi kepentingan keamanan dalam negeri.57

B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat

Sumber-sumber energi yang dimiliki oleh Amerika Serikat dalam jumlah

yang cukup besar adalah gas alam dan batu bara. Namun, sumber-sumber energi

tersebut pemanfaatannya kurang efisien dan efektif sehingga tidak banyak

[image:31.595.106.521.136.425.2]

digunakan oleh AS dalam bidang industri dan bahan bakar lainnya. Berikut adalah

gambar grafik mengenai konsumsi energi AS menurut sumber energi.

57Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak

(32)
[image:32.595.116.524.102.427.2]

Gambar 2.1 Konsumsi Energi AS Menurut Sumber Energi (1775-2000) (Dalam Quadrillion BTU)

Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.

Sejarah penggunaan energi di AS dapat dilihat pada gambar di atas.

Sebagai contoh, penggunaan kayu sebagai energi telah menjadi bagian yang

sangat penting bagi AS sejak masa kolonial. Pada kenyataannya, bahan bakar

kayu ketersediaannya sangat berlimpah sehingga menjadi sumber energi yang

dominan. Tetapi kemudian, era modern muncul dengan ditemukannya

sumber-sumber energi baru yang tidak pernah dibayangkan pada masa sebelumnya.

Batu bara menggantikan dominasi bahan bakar kayu yang pernah bertahan

lama di AS pada sekitar tahun 1885, batu bara kemudian dilampaui oleh bahan

bakar minyak pada tahun 1951 dan kemudian ditemukan pula gas alam beberapa

tahun kemudian. Tetapi, bagaimanaupun juga minyak dan gas adalah penemuan

(33)

sedikit selama beberapa dekade, tetapi kemudian mulai meningkat kebutuhan

akan minyak secara bertahap pada tahun 1920-an.58

C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, minyak bumi mampu menarik

perhatian masyarakat AS. Penggunaan minyak bumi cenderung lebih mudah dan

lebih efektif. Sepanjang sejarah energi AS, AS memiliki sumber daya energi yang

berlimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Namun,

seiring dengan perkembangannnya, peningkatan tingkat konsumsi energi pun

tidak dapat dielakkan, sehingga pada periode 1950-an merupakan masa di mana

produksi dan konsumsi energi AS hampir mencapai titik keseimbangan. Pada

periode selanjutnya, tingkat konsumsi AS terus meningkat secara tajam sehingga

melebihi tingkat produksi dalam negeri AS. Oleh karena itu AS dituntut untuk

mengeksplorasi sumber daya energi dari wilayah lain dan mengimpornya. Berikut

ini adalah gambar mengenai grafik konsumsi, produksi, dan impor energi AS.

58

(34)
[image:34.595.130.524.83.424.2]

Gambar 2.2 Konsumsi, Produksi, dan Impor Energi AS (Dalam Quadrillion BTU)

Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.

Pada tabel di atas tergambar proses peningkatan kebutuhan energi dalam

negeri AS. Pada periode 1970-an, AS telah mengimpor energi dari luar sebagai

tanda pasokan energi dalam negeri AS tidak mampu menutupi kebutuhan energi

AS sehingga harus mengimpor dari luar. Dari grafik impor dapat dipahami bahwa

peningkatan terus terjadi sejak pertengahan periode 1980-an. Kemudian, seiring

dengan perkembangan inovasi teknologi yang semakin menyerap energi maka

peningkatan konsumsi energi AS pun terjadi, dan hal ini berdampak pada

peningkatan impor energi AS. Peningkatan juga dipengaruhi oleh penurunan

tingkat produksi energi dalam negeri AS sehingga semakin memperlebar gap

antara konsumsi dan produksi energi.

Pada tahun 1973, AS telah mengimpor energi sebesar 15 quadrillion

(35)

BTU, atau sekitar 20% dari total konsumsi AS.59 Upaya untuk mengimpor energi

dikarenakan tingkat konsumsi minyak yang tinggi. Pada tanggal 17 Oktober 1973,

negara Arab Saudi yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting

Countries (OPEC) melakukan embargo minyak bumi terhadap AS, sehingga harga

minyak bumi dunia melambung tinggi dan negara-negara importir minyak bumi

mengalami kejatuhan ekonomi selama dua tahun.

Harga minyak meningkat secara drastis pada tahun 1979 sampai tahun

1981 dan telah menekan impor minyak pada saat itu. Kecenderungan impor AS

terjadi pada tahun 1986, namun kemudian pada tahun 1990, 1991, dan 1995

mengalami sedikit penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan.

Salah satu faktor meningkatnya tingkat konsumsi energi AS adalah

pertumbuhan penduduk yang terus berkembang sehingga menuntut perkembangan

ekonomi yang sejalan. Dengan semakin banyaknya populasi penduduk AS dari

sekitar 149 juta jiwa pada tahun 1949 menjadi 281 juta jiwa pada tahun 2000.60

Artinya, peningkatan yang terjadi sekitar 89%. Sederhananya, peningkatan tingkat

konsumsi energi AS juga akan setara dengan nilai tersebut.

Konsumsi energi yang tinggi tersebut berasal dari kebutuhan energi pada

empat sektor utama, yaitu perumahan, perdagangan, industri, dan transportasi.

Sektor industri merupakan sektor terbesar yang mengkonsumsi energi untuk

kepentingan perkembangan industrialisasi dan ekonomi AS, seperti terlihat pada

gambar berikut :

59

www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.

60Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika

(36)
[image:36.595.138.524.91.415.2]

Gambar 2.3 Konsumsi Energi AS Menurut Kegunaannya

Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25 April 2011, pukul. 08.00.

Pada sektor industri, konsumsi terhadap gas alam dan minyak mengalami

peningkatan dan puncaknya pada saat embargo minyak tahun 1973, setelah

peristiwa tersebut penggunaan minyak mengalami fluktuasi. Konsumsi batu bara

menjadi sektor andalan, namun kemudian mengalami penyusutan. Hal yang sama

terjadi juga pada energi listrik yang mengalami penyusutan, seperti yang terlihat

[image:36.595.160.472.558.704.2]

pada grafik berikut :

Gambar 2.3. Konsumsi Energi AS untuk Keperluan Industri

(37)

Sekitar 3/5 dari konsumsi energi untuk sektor industri digunakan untuk

pabrik-pabrik.61 Sisanya untuk keperluan bidang pertambangan, konstruksi,

pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pada industri pabrik-pabrik energi yang

dibutuhkan dalam jumlah besar adalah produk-produk minyak dan batu bara,

bahan-bahan kimia dan produk sejenis, kertas, dan bahan sejenisnya, dan industri

logam-logam besar.

C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat

Minyak menjadi komoditas penting bagi pembangunan di negara-negara

maju untuk kebutuhan industri, transportasi, dan perumahan. Cadangan minyak

dunia yang terbesar terdapat di negara-negara anggota OPEC, sedangkan

konsumsi minyak dunia terbesar terdapat pada negara-negara industri maju seperti

AS, Jepang, dan negara-negara Eropa.

Jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau

menghentikan produksi minyaknya, maka akan mengacaukan negara-negara

industri maju. Kepentingan negara-negara industri maju berbeda dengan

kepentingan negara-negara berkembang sebagai penghasil minyak utama dunia.

Negara-negara industri maju sebagai pengimpor minyak, sangat memerlukan

suplai minyak untuk kebutuhan dalam negeri seperti untuk transportasi, industri,

perumahan, keperluan militer, dan lain-lain. Sementara itu, negara berkembang

yang memiliki minyak dunia berlaku sebagai penyedia.

Sebagai negara industri maju, AS tentunya memiliki kepentingan

tersendiri terhadap negara berkembang. Negara berkembang yang sebagian besar

61

(38)

terletak pada kawasan strategis dan penting bagi kepentingan AS bersama

sekutu-sekutunya. Sebut saja Timur Tengah, Teluk Persia, Laut Kaspia, Amerika Latin,

dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut menyimpan cadangan minyak bumi dunia

yang banyak dan sangat berpengaruh bagi kepentingan AS, terutama terkait

kepentingan keamanan energi AS. Secara umum, inilah yang menjadi perhatian

AS agar tidak sampai berdampak negatif bagi kepentingan-kepentingan

nasionalnya.

Konsentrasi AS terhadap negara berkembang yang tidak stabil dan rawan

konflik mulai meningkat ketika instabilitas negara berkembang produsen minyak

mampu mempengaruhi akses impor minyak dalam negeri AS sehingga

kecenderungannya meningkat menjadi ancaman bagi keamanan energi AS. Hal ini

terlihat dari ketergantungan AS akan impor minyak yang selalu meningkat seiring

peningkatan tingkat konsumsi dalam negeri AS.

Bagi AS yang merupakan salah satu negara konsumen minyak bumi,

alasan yang selalu dihadapi terkait ketersediaan cadangan minyak dunia adalah

keterbatasan cadangan minyak dunia. Mencermati krisis minyak bumi yang

pernah terjadi, serta instabilitas kawasan yang mengandung cadangan minyak

bumi, maka AS meningkatkan perhatian seriusnya terhadap akses suplai minyak

bumi.

Tingginya intensitas ketergantungan AS terhadap stabilitas cadangan

minyak bumi dunia mendorong AS untuk turut berpartisipasi baik secara politis

maupun militer di sejumlah kawasan yang menyimpan cadangan minyak bumi

dalam jumlah besar, salah satunya adalah Timur Tengah. Sejarah menunjukkan

(39)

perang berdampak pada stabilitas tingkat produksi dan harga minyak bumi dunia.

Dalam kasus Irak, keterlibatan AS secara militer menunjukkan adanya keinginan

untuk mengontrol dan menguasai sumber minyak yang merupakan bagian dari

masalah keamanan energi AS.

Momentum yang paling tepat dalam perubahan kebijakan luar negeri AS

adalah pascatragedi pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001. AS

semakin meningkatkan intensitasnya dalam penempatan tentaranya di kawasan

strategis akan cadangan minyak bumi, dengan dalih perang melawan terorisme.62

Afganistan merupakan negara pertama yang diinvasi AS pasca tragedi tersebut.

Dalam kasus Perang Irak 2003, salah satu dalih yang digunakan AS dalam

penempatan pasukan militer AS di Irak adalah upaya pembelaan rakyat Irak dari

sikap pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dan represif.63

Melalui kebijakan luar negeri AS, isu keamanan energi merupakan salah

satu agenda penting yang harus diperhatikan. Sebagai prioritas utamanya, AS

selalu mengupayakan langkah-langkah antisipasinya terhadap terjadinya

ketidakpastian pasokan dengan mempertahankan hubungan kerjasama ekspor dan

impor minyak bumi dengan negara produsen minyak. Dengan jelas dinyatakan di

dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001) bahwa

“...energy security must be priority of US trade and foreign policy.”64

Di samping itu juga ditegaskan bahwa kepentingan AS akan stabilitas

cadangan minyak bumi dunia akan berdampak pada kepentingan nasional AS. Hal

62

Ibid., h. 57.

63Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaaan Amerika (Yogyakarta: PPMTT

HI FISIPOL UGM), h. 15.

64Lihat “Nationa

(40)

ini semakin menunjukkan tingginya kepentingan dan ketergantungan AS akan

cadangan minyak bumi dunia.

Kebutuhan AS terhadap minyak yang begitu besar dengan cara

mengimpor sekitar 53%, telah mendorong Washington untuk mencari

sumber-sumber cadangan minyak untuk mengamankan kepentingan minyaknya.

Cadangan minyak mentah yang dimiliki oleh AS hanya berjumlah 22 milyar

barel. 65 Apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak

mentahya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam

negerinya selama tiga tahun. Sedangkan pada saat ini, AS menempati urutan

pertama sebagai negara paling banyak mengkonsumsi minyak dunia.66

Alasan AS sebagai negara pengimpor terbesar minyak dunia di antaranya

adalah karena wilayah negara AS yang sangat luas sehingga memerlukan

penggunaan bahan bakar bensin untuk keperluan kendaraan bermotor, keperluan

untuk industri-industri dalam negeri AS, dan bahan bakar untuk pemanas rumah

yang biasanya digunakan warga AS. Di samping itu juga, jumlah penduduk AS

yang terus bertambah, membuat tingkat konsumsi terhadap energi semakin

meningkat.67

Kesulitan bagi AS dalam mencari sumber energi alternatif yang lebih

murah dan aman membuat negara tersebut mulai melihat kawasan Timur Tengah.

Kekhawatiran AS akan kenaikan harga minyak dunia dapat terjadi kapan saja. Hal

ini membuat pemerintahan Bush untuk segera menemukan sumber minyak di

kawasan yang dapat mengamankan kepentingan AS dalam jangka panjang.

65

Mohammad Safari dan Al-Muzammil Yusuf, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya (Jakarta: COMES, 2003), h. 141.

66Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika

Serikat,” h. 66.

67

(41)

BAB III

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

Sebagai satu-satunya negara super power saat ini, Amerika Serikat

tentunya memiliki kebijakan luar negeri yang dirancang untuk mencapai tujuan

nasionalnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun pertahanan dan

keamanan. Jika pada masa Perang Dingin kebijakan luar negeri AS lebih

ditujukan untuk membendung ancaman pengaruh komunisme, maka hal yang

berbeda terjadi pada masa setelah Perang Dingin terlebih dengan terjadinya

Tragedi 9/11 yang tentunya membuat AS harus menata ulang kembali kebijakan

luar negerinya. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan mengenai perubahan

kebijakan luar negeri AS pasca-Tragedi 9/11. Selain itu, bab ini pun akan

membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur

Tengah, khususnya Irak.

A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 9/11

Serangan gerakan teroris internasional pada 11 September 2001 atau yang

terkenal dengan sebutan Tragedi 9/11 dijadikan momentum awal diterapkannya

strategi dan kebijakan baru AS untuk memulihkan kembali perannya sebagai

polisi dunia yang tangguh. Serangan terorisme tersebut, terlepas dari kontroversi

yang muncul, menjadi bukti bahwa betapa negara yang sangat kuat itu masih

dapat diserang. Betapa negara yang diproteksi oleh perlengkapan senjata

(42)

Momen ini direspon oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk

mengubah haluan politik luar negerinya yang telah ditetapkan oleh presiden

pendahulunya, yakni Presiden Bill Clinton. Pada era Presiden Clinton, kebijakan

luar negeri AS lebih bersifat akomodatif terhadap keinginan dunia internasional

yang mendambakan demokratisasi. Presiden Clinton membawa AS tunduk pada

aturan atau rezim internasional. Presiden Clinton sangat mengedepankan

masalah-masalah humanistis dalam kebijakan luar negerinya, termasuk menghukum

rezim-rezim yang dinilai melanggar hak asasi manusia.68 Dalam masa pemerintahannya,

kepemimpinan AS diraih melalui penggunaan soft power dengan tetap

memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat.69

Walaupun AS merupakan satu-satunya negara adidaya, AS tidak dapat seenaknya

memaksakan kehendaknya pada negara lain.

Politik luar negeri AS mengalami perubahan fundamental ketika Presiden

George W. Bush terpilih pada tahun 2001 menggantikan Presiden Clinton.

Meskipun Jenderal Collin Powell yang dianggap tokoh moderat dan pendukung

multilateralisme ditunjuk menjadi menteri luar negeri, Presiden Bush sendiri

cenderung berpendirian unilateralis. Di samping itu, anggota kabinet Presiden

Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanan didominasi oleh tokoh-tokoh

konservatif yang berpandangan unilateralis.70 Mereka ini antara lain, Wakil

Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Kepala Dewan

68

Sugeng Riyanto, “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi,” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005), h. 245.

69

Soft power diartikan dengan menerapkan hegemoni melalui upaya-upaya persuasi dan pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata. Ibid., h. 12.

70

(43)

Kebijakan Pertahanan Richard Perle, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz,

Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Kontrol Senjata John Bolton, dan Kepala

Staf Kantor Wakil Presiden Lewis Libby.71

Presiden Bush menemukan alasan bagi AS untuk menggunakan kekuatan

yang selama ini masih belum dimaksimalkan. Tragedi 9/11 memberikan

legitimasi kepada Bush utuk kembali membawa AS memimpin dunia

melenyapkan apapun yang dianggap membahayakan dunia.

Ancaman keamanan nontradisional yang dihadapi AS, seperti terorisme

internasional, telah membawa konsekuensi pada persepsi dan tingkat ancaman

yang dihadapi AS ketika kekuatan militer semata tidak memadai untuk

melindungi kepentingan keamanan AS. Tabel berikut menggambarkan

[image:43.595.110.521.187.447.2]

kepentingan nasional AS dan persepsi ancaman yang dimilikinya.

Tabel 3.1 Kepentingan nasional Amerika Serikat dan beberapa ancaman utamanya:

Interest Prime Threats Status of Threats

Defense of homeland Grand terror attacks and spread of WMD to hard-to-deter state leaders and fanatical terrorists

Partially present

Deep peace among the Eurasian great powers

Aggressive great powers and hegemons

Not present Secure access to Persian Gulf

oil at stable, reasonable price

A hegemonic Iran and Iraq Not present International economic

opennes

Great power security competitions, great power wars, economic nationalism

Not present

Consolidation of democracy and spread and observance of human rights

Ruthless leaders, civil wars, and the thwarting of economic growth

Partially present

71

[image:43.595.115.511.499.681.2]
(44)

No severe climate change Unconstrained carbon emmisions

Partially present

Sumber: Anak Agung Banyu Perwita, “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005), h. 90.

Tabel di atas menunjukkan ancaman terbesar bagi keamanan global AS

adalah serangan-serangan besar yang dilancarkan aktor nonnegara atau kelompok

terorisme internasional dan penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia. Tabel di

atas sekaligus pula memperlihatkan berbagai bentuk ancaman baik yang bersifat

tradisional maupun nontradisional terhadap kepentingan nasional AS. Lebih jauh,

tabel di atas juga menekankan bahwa empat ancaman pertama (tradisional dan

nontradisional) terhadap AS dapat berupa militer yang tentunya akan

mengharuskan AS untuk mempersiapkan respon yang bersifat militer pula.

Dalam salah satu pidatonya, Presiden George W. Bush mengatakan

bahwa:

“Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah bagian

dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas penting bagi Amerika. Kita menggempur musuh, merusak rencananya dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Di dunia yang telah kita masuki, satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah tindakan, dan

negara ini akan bertindak.”72

Pernyataan Bush dalam pidatonya tersebut kemudian dikenal dengan

istilah pre emptive strike.73 Inti dari doktrin ini adalah bahwa pertahanan yang

paling baik adalah menyerang. Artinya AS harus melancarkan serangan terlebih

dulu terhadap siapa dan negara mana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial

dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam

72George W. Bush, “Pidato di West Point”, lihat A. Zaim Rofiqi,

Amerika dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 427.

73

[image:44.595.114.514.88.211.2]
(45)

putih membagi dunia menjadi dua yaitu kami atau mereka yang kadangkala

dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan

yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris

internasional.74 Dengan kebijakan ini, AS secara leluasa menggerakkan semua

elemen militernya ke berbagai wilayah dunia sebagai penanggung jawab

keamanan global.75 Siapa berani menghalangi pasti kena sanksi.

Presiden Bush menyatakan tidak akan membedakan antara teroris dan

mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris, seperti yang ia katakan

dalam pidatonya pada 11 September 2001, petang harinya setelah Tragedi 9/11.

Dalam pidato ntersebu, Bush mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan

antara teroris yang melakukan tindakan teror itu (11 September 2001) dan mereka

yang melindungi.76 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS

dalam memerangi kelompok teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh

mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat

dianggap sebagai musuh AS, dan dengan sendirinya bebas untuk diperangi.

Namun sayangnya, AS bebas menerjemahkan siapa saja yang berhak

dikategorikan sebagai teroris. Tragedi 9/11 telah memperkuat pembenaran AS

untuk mencapai tujuan hegemoniknya, yaitu dominasi geopolitik dan ekonomi di

dunia.77 Presiden Bush ingin menegaskan kehadiran AS sebagai pemimpin dunia,

apapun caranya. Presiden Bush telah berupaya agar dunia yang mengikutinya,

bukan AS yang tunduk kepadanya.

74 Ibid.

75

Hendrajit, dkk, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia (Jakarta: Global Future Institute, 2010), h. 114.

76

Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 96.

77

(46)

Upaya menangani terorisme ini juga dilakukan dengan mengedepankan

aspek militer. Sangat nyata bahwa Tragedi 9/11 terjadi di AS, tetapi reaksi

Presiden George W. Bush paling menonjol adalah invasi militer ke Afganistan

dan Irak. Ini menunjukkan bahwa Presiden Bush lebih mengedepankan

penggunaan hard power, yakni kekuasaan yang ditegakkan dengan paksaan.78

Presiden George W. Bush telah mendapatkan situasi yang kondusif untuk

melancarkan penggunaan hard power dalam melangsungkan kebijakan luar

negerinya. Terorisme telah dijadikan alasan untuk itu, dan dunia cukup

mempercayainya, setidaknya para sekutu AS. Presiden Bush yakin AS berada

dalam posisi yang benar dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan

kebenaran serta melawan kekuatan jahat (evil) secara unilateral di seluruh penjuru

dunia dengan menggunakan kekuatan militer AS yang tidak tertandingi dan tidak

boleh ditandingi.79 AS di bawah Presiden Bush merupakan misionaris bersenjata

yang percaya bahwa AS ditakdirkan untuk memimpin dunia untuk kebaikan itu

sendiri. Di samping itu, AS pun akan secara aktif mendukung freedom atau

kebebasan di seluruh dunia.80 Penggulingan rezim Taliban di Afganistan dan

rezim Saddam Hussein di Irak yang bertuj

Gambar

gambaran tentang kehidupan yang baik, serangkaian tujuan ideal yang jika
Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi56
gambar grafik mengenai konsumsi energi AS menurut sumber energi.
Gambar 2.1 Konsumsi Energi AS Menurut Sumber Energi (1775-2000)
+5

Referensi

Dokumen terkait

ketoprofen dalam air yang lebih tinggi sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai. formulasi sediaan padat

(ROE) dan ukuran pasar (EPS) secara parsial terhadap return saham pada perusahaan sektor pertanian yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2012 s.d. Untuk

Menyatakan bahwa penelitian yang peneliti buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Fakultas Psikologi UIN Malang dengan judul : Hubungan Konsep Diri Siswa Akselerasi

Teman-teman kelas Magister Manajemen Yayasan Yohannes Gabriel Perwakilan II Surabaya yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama perkuliahan

Generasi Z lebih berfokus pada target daripada proses, sehingga dengan cara yang menguntungkan mereka lebih berani mengambil risiko, meskipun para pendahulunya melihat sebagai

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN

Penilaian auten- tik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik

Lebih lanjut berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005), stimulasi verbal yang dapat dilakukan orang tua untuk mengembangkan kemampuan bicara