DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
oleh
ANNE NORMADIAH
NIM. 106083003623
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ii
DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hubungan Internasional
oleh :
ANNE NORMADIAH
NIM. 106083003623
di Bawah Bimbingan
Pembimbing Penasehat Akademik
Kiky Rizky, M.Si Ali Munhanif, Ph.D
NIP. 197303212008011002 NIP. 196902011994031002
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan
Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional.
Jakarta, 16 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP. 1973041199032002 NIP.197808042009121002
Pembimbing
Kiky Rizky, M.Si. NIP. 197303212008011002
Penguji I Penguji II
iv
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Juni 2011
v
Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat melakukan serangan invasi militer ke Irak yang tidak mendapatkan justifikasi dari dunia internasional, meskipun Amerika Serikat telah mengemukakan alasan dan justifikasinya sendiri. Terdapat kecenderungan bahwa alasan kerentanan keamanan energi dalam negeri Amerika Seerikat telah menuntut Amerika Serikat untuk tetap menyerang Irak agar mendapatkan akses terhadap cadangan minyak di Irak
Penelitian ini memiliki temuan bahwa bertambahnya jumlah penduduk dunia, kemajuan industri dan transportasi telah membuat semakin tingginya tingkat ketergantungan terhadap minyak dunia, hal ini akan menyebabkan cadangan minyak dunia akan semakin menipis dan lama kelamaan akan habis. Amerika Serikat sebagai negara industri maju memiliki kepentingan untuk mengamankan suplai minyak di berbagai wilayah di dunia termasuk di Irak, mengingat Irak memiliki cadangan minyak yang cukup besar yakni sekitar 112 miliar barel. Kebijakan invasi pun digunakan Amerika Serikat untuk mencapai kepentingannya tersebut karena selain bertujuan untuk mencapai kepentingan akan minyak milik Irak, keuntungan ekonomi lain pun akan diperoleh Amerika Serikat sebagai dampak dipilihnya kebijakan tersebut.
Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan nasional. Skripsi ini menggunakan metode dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan melalui buku-buku, jurnal, koran, hasil penelitian, dan terbitan-terbitan lainnya.
vi
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003”.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Agus Nilmada Azmi, S.Ag., M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Ali Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.
6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwi.
7. Yang tercinta Ibunda Eneng Rodiah dan Ayahanda Syahrul Basir selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan jerih payah kalian, terutama ibunda tercinta yang selalu sabar tanpa pernah mengeluh dan putus asa menanti ananda tercinta dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
kalian.
9. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI; Ita Fatimah, Ayu Yukhaeroh, Ikrimah, Hazrina, Dzuriah Tiara Hany. Kalian semua telah memberikan pertemanan yang indah dengan segala suka duka dan canda tawa selama lima tahun terakhir ini, serta telah memberikan dorongan semangat di saat penulis
putus asa dalam pembuatan skripsi ini. ”Love you guys....! ”
10.Ragil Wibisono yang selalu setia dan sabar mendengarkan keluh kesah penulis.
11.Terima kasih kepada sahabat penulis sejak masa kecil Mba Indah Fitriana Hapsari, Dwi Pursitasari, dan Niar Daniar.
12.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Rifqi Sazali, Muhammad Zubir, Maya Damayanti, Sabriela Yolanda, yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembuatan skripsi ini.
13.Seluruh teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas A angkatan 2006, kalian telah banyak memberikan warna dalam kehidupan penulis, serta seluruh teman-teman Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2006.
14.Teman-teman BEMJ Hubungan Internasional 2007/2008, yang telah banyak mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi.
15.Teman-teman Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007, 2008, dan 2009 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.
Jakarta, 6 Juni 2011
ix
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Kerangka Pemikiran ... 8
E. Metode Penelitian ... 16
F. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT A. Pengertian Energi ... 19
B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat ... 21
C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat ... 23
C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat ... 23
C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat ... 27
BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11 ... 31
B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah ... 36
x
TAHUN 2003 ... 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 65
1 A. Latar Belakang Masalah
Tragedi penyerangan terhadap gedung kembar pencakar langit World
Trade Center (WTC) di New York serta gedung Pentagon di Washington DC,
Amerika Serikat pada 11 September 2001 telah membawa banyak perubahan pada
kebijakan luar negeri AS.1 Pascatragedi tersebut, AS terus-menerus
mengkampanyekan perang melawan terorisme ke berbagai negara di dunia.
Doktrin pre-emptive strike pun dianut AS. Inti dari doktrin ini adalah bahwa AS
harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negara manapun
yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan
nasional AS.2 Dengan doktrin baru ini, AS melegalkan setiap serangannya
terhadap pihak yang menjadi ancaman bagi AS.
Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, AS mengajak negara-negara
lain untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. AS pun membagi dunia ini
hanya menjadi dua, yaitu kami atau mereka yang dikenal dengan prinsip either or
(either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy
oleh AS adalah kelompok teroris internasional.3 Jadi, siapa pun yang tidak mau
memerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum teroris, apalagi yang
dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional,
maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS dan dengan sendirinya boleh
1
Dalam penelitian ini tragedi penyerangan tersebut selanjutnya disebut sebagai Tragedi 9/11.
2Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,”
Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 36.
untuk diperangi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden George Walker Bush
tanggal 11 September 2001 yang mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan
antara teroris yang melakukan tindakan teror itu dan mereka yang melindungi.4
Ada yang menarik dari pernyataan Bush itu. Ia membuat pernyataan yang
cenderung tidak membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat
atau melindungi teroris tersebut. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah
dilancarkannya invasi militer terhadap Afganistan pada awal Oktober 2001. Invasi
dilaksanakan AS setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak
untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden yang diyakini
oleh AS sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 9/11.5
Selain melancarkan invasi terhadap Afganistan, implikasi lain dari
kampanye perang melawan terorisme tersebut adalah invasi militer terhadap Irak.
Invasi tersebut dilancarkan setelah tuduhan AS mengenai keterlibatan
pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.6 Menurut AS, Irak
turut serta dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang
dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11 yang menelan ribuan korban
jiwa.7 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata
pemusnah massal. Dalam pidato tahunan Presiden George W. Bush yang dikenal
dengan sebutan pidato state of the union di hadapan Kongres AS pada 29 Januari
2002, Irak disebut-sebut sebagai negara yang memproduksi senjata pemusnah
massal. Irak juga dituding sebagai negara yang mendukung terorisme. Bersama
4
Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h . 96.
5
Ibid., h. 97.
6
Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan AS (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 152.
7
Korea Utara dan Iran, Irak dimasukkan dalam “poros setan” (axis of evil), dan digolongkan sebagai rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam AS
dengan senjata pemusnah dunia.8 Sehingga bagi Bush tidak ada pilihan lain selain
peran, kendati laporan hasil tim United Nations Monitoring, Verification and
Inspection Comission (UNMOVIC), yaitu tim inspeksi senjata yang diketuai Hans
Blix, maupun Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic
Energy Association (IAEA) sudah menyatakan tidak menemukan bukti-bukti
yang otentik dan akurat perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak.9
Dijadikannya invasi Irak sebagai bagian dari kampanye perang melawan
terorisme AS merupakan hal yang cukup menarik. Meskipun tuduhan-tuduhan
AS terhadap Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal dan Saddam
Hussein dituding memiliki hubungan dengan Al Qaeda tidak berhasil dibuktikan,
dalam kenyataannya AS pun tetap melancarkan invasi militernya ke Irak bahkan
meskipun tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).10
Pada awal Maret 2003, sebelum dilancarkannya invasi tersebut, AS dan
Inggris mengultimatum Irak, jika sampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan
senjata pemusnah massalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang.11 Waktu
itu Gedung Putih mengaku menemukan bukti-bukti baru bahwa Irak belum
menghancurkan senjata pemusnah massalnya. Sebelumnya, dalam konferensi pers
8Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”,
h. 73.
9
Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h.147.
10
AS tetap memutuskan untuk menyerang Irak secara unilateral dengan didukung oleh beberapa negara yang termasuk dalam coalition of the willing, antara lain Inggris dan Australia, pasukan AS menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 8.
11
yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembali menegaskan niatnya untuk
menginvasi Irak dengan atau tanpa persetujuan DK PBB.12
Presiden George W. Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam Hussein
harus disingkirkan, kalau perlu dengan kekuatan.13 Tidak ada perubahan dari
posisi Presiden Bush yang tetap akan menginvasi Irak dengan atau tanpa payung
PBB. Perang menjadi satu-satunya tujuan untuk mencapai sasaran utamanya yaitu
menguasai minyak Ira.14 Sebaliknya, Irak justru menunjukkan sikapnya yang
kooperatif dengan membuka seluruh akses, termasuk ke Istana Kepresidenan, bagi
UNMOVIC maupun IAEA.15 Menurut juru bicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki,
Irak pun kembali menghancukan tiga rudal dan lima mesin rudal.16 Sebelumnya,
Irak telah menghancurkan enam rudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang
telah memusnahkan puluhan Rudal Al-Samoud II yang dicurigai AS akan
menjangkau Israel.17
Meskipun tuduhan-tuduhan yang sebelumnya telah diutarakan
pemerintahan Presiden Bush terhadap Irak tidak terbukti kebenarannya, AS tetap
melancarkan invasi militernya ke Irak. Jelas terdapat perhitungan ekonomi dan
bisnis yang mendasari invasi AS ke Irak.18 Faktor minyak merupakan alasan lain
yang dapat menjelaskan ambisi besar AS menginvasi Irak, di samping faktor lain
seperti proyek rekonstruksi pascaperang yang akan menguntungkan AS.
12 Ibid.
13 Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 33. 14
Ibid.
15
Pada awal Januari 2003, pemerintah Irak menyatakan menerima Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1441. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November 2002, yang isinya antara lain menuntut Irak untuk mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada UNMOVIC dan IAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang dimiliki Irak. Ibid.
16 Ibid. 17
Ibid.
18
Potensi minyak Irak menduduki urutan kedua terbesar di dunia. Menurut
Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki
112 miliar barel cadangan minyak.19 Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakan
lebih tinggi dari angka itu. Dengan kepemilikan jumlah cadangan minyak sebesar
itu, Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia.
Minyak merupakan faktor yang cukup diperhitungkan pada kebijakan luar
negeri AS dalam hubungannya dengan berbagai kawasan di dunia, khususnya
dengan kawasan Timur Tengah termasuk Irak.20 Timur Tengah memiliki arti
yang menjadi lebih besar terlebih dengan cadangan minyak yang dimilikinya.
Minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan
dalam peradaban industrial kontemporer. Sampai sekarang komoditas minyak
memang belum dapat digantikan oleh energi lain untuk kebutuhan industri. Jadi,
penguasaan minyak sangat strategis untuk negara maju seperti AS. Terlebih
cadangan minyak yang dimiliki negara seperti Irak merupakan terbesar ke dua di
dunia setelah Arab Saudi. Inilah faktor yang menyebabkan AS ingin menguasai
Irak. Selain itu, dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru di
kawasan Teluk Parsi karena setelah Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, AS
kehilangan basis utamanya di kawasan ini.21
Tingginya perhatian AS terhadap minyak di kawasan Timur Tengah
menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan oleh AS,
terlebih semenjak Dolar Amerika digunakan dalam transaksi perdagangan minyak
19 Ibid.
20
Timur Tengah merupakan terjemahan dari Middle East, suatu istilah yang sejak Perang Dunia II digunakan orang-orang Inggris dan AS untuk menyebutkan kawasan yang sebagian besar terletak di Asia Barat Daya dan Afrika Timur Laut, dan oleh sebab itu dapat dibatasi sebagai jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 4.
internasional.22 Sejak digunakannya Dolar Amerika dalam transaksi perdagangan
minyak internasional, telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia.
Namun demikian, terdapat kekhawatiran tersendiri bagi AS jika suatu saat
negara-negara produsen minyak mulai beralih dengan menggunakan mata uang lain
dalam penjualan minyaknya yakni dengan mengganti penggunaan Dolar Amerika
ke Euro. Dapat diketahui bahwa sejak munculnya Euro sampai terjadinya invasi
AS, Dolar Amerika perlahan demi perlahan mengalami keterpurukan dan Irak
yang menambah keterpurukan Dolar Amerika karena Irak yang pasca-Perang
Teluk II terkena sanksi ekonomi telah mengambil sikap dengan mengganti
penggunaan mata uang dalam transaksi penjualan minyaknya, yakni dari Dolar
Amerika ke Euro pada akhir tahun 2000. Padahal pada waktu itu nilai mata uang
Euro sangat rendah dibandingkan dengan Dolar Amerika. Sikap Irak itu dilihat
semata-mata hanya merupakan suatu gertakan politik, bukan merupakan suatu
pertimbangan ekonomi. Berdasarkan hal ini, maka dalam invasinya ke Irak, AS
sekaligus juga ingin menjaga stabilitas nilai Dolar Amerika terhadap Euro. Selain
itu, dengan cara menginvasi Irak, AS dapat menggertak negara-negara
Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agar tetap menggunakan
Dolar Amerika sebagai alat pembayaran dalam transaksi penjualan minyaknya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan demi keuntungan khususnya
yang terkait dengan masalah ekonomi diperoleh pemerintah AS serta
22
korporasi yang berasal dari AS pascainvasi militer ke Irak. Perang Irak, perang
yang pada dasarnya didorong oleh imperialisme AS untuk menguasai sumber
minyak di Timur Tengah, yang diharapkan mampu menyediakan pasokan minyak
yang cukup bagi AS, memaksanya untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Namun, jika diamati bahwa besarnya jumlah dana tersebut ternyata sebuah
investasi bisnis jangka panjang bagi kepentingan ekonomi AS di dunia.
Pemerintah AS menganggap, bahwa anggaran yang telah dikeluarkan akan
dikembalikan secara bertahap pascaperang. Uang yang dihasilkan dari adanya
bisnis rekonstruksi Irak ini akan disalurkan juga ke kas negara AS sebagai bentuk
kompensasi dan relasi yang kuat antara pihak korporasi dengan pemerintah.23
Infrastruktur Irak yang hancur setelah invasi AS membutuhkan sebuah program
rekonstruksi yang cepat di segala bidang. Beberapa bidang infrastruktur
merupakan aset ekonomi yang sangat berharga bagi AS. Aset ekonomi seperti
kilang minyak dan jalur pipanya adalah yang menjadi motif dominan serangan AS
atas Irak. Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai pengaruh minyak yang melatarbelakangi
kebijakan luar negeri AS dalam melancarkan Perang Irak tahun 2003.
B. Identifikasi Masalah
Dalam perkembangannya, pertanyaan yang muncul terkait tema yang
diangkat adalah:
“Mengapa kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003?”
23
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kepentingan
minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak
tahun 2003.
D. Kerangka Pemikiran
Dalam melihat isu yang akan diteliti, yakni mengenai pengaruh
kepentingan ekonomi pada kebijakan luar negeri AS dalam Perang Irak tahun
2003, penulis menggunakan konsep tentang kebijakan luar negeri dan kepentingan
nasional, mengingat bahwa setiap kebijakan luar negeri yang diambil oleh
pemerintah menghadapi dunia internasional mengacu kepada kepentingan
nasional, sehingga keduanya merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan.
Setiap negara di dunia ini pasti memiliki kebijakan luar negeri dalam
melakukan hubungan internasionalnya dengan negara lain. Konsep mengenai
kebijakan luar negeri sebenarnya telah banyak dibahas oleh para peneliti ilmiah.
K. J. Holsti sebagai contohnya menganalisis kebijakan luar negeri menurut politik
internasional. Holsti menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri dirancang untuk
mempertahankan atau mengubah suatu tujuan, keadaan, atau praktek dalam
lingkungan eksternal.24 Beberapa tujuan dirancang untuk mengubah
keadaan-keadaan luar negeri demi kepentingan mereka, kebanyakan dirancang untuk
memajukan tujuan-tujuan domestik, seperti: 1) keamanan, 2) otonomi, 3)
kesejahteraan ekonomi, 4) status atau prestise.25
24
K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. (New Jersey: Prenctice Hall, Inc., 1992)h. 269.
Sementara menurut Prakash Chandra, kebijakan luar negeri adalah
aktivitas yang dilakukan oleh komunitas yang bertujuan untuk mempengaruhi dan
mengubah perilaku negara lain serta menyesuaikan diri mereka sendiri ke dalam
lingkungan eksternal.26 Kebijakan luar negeri ini bertujuan untuk memelihara
integritas negara, memajukan kepentingan ekonomi, menjamin keamanan
nasional, menjaga prestise nasional dan memperkuat kekuatan nasional, dan
memelihara tatanan dunia.27
Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada
umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan,
baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah eksternal suatu
negara serta mempromosikan sebuah perubahan. Sehingga studi ini memusatkan
perhatian pada usaha-usaha yang menggambarkan kepentingan, tindakan, dan
elemen-elemen kekuasaan negara-negara.
Berdasarkan kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan
dari lingkungan domestik dan eksternal merupakan suatu input yang kemudian
mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dan dipersepsikan oleh para
pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output.28 Dalam hal ini,
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri disederhanakan ke dalam
dua variabel di mana proses kebijakan luar negeri diposisikan sebagai variabel
dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diposisikan sebagai variabel
independen.
26
Prakash Chandra, International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81.
27 Ibid.
28
Kebijakan luar negeri sebagai output merupakan hasil pilihan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah. Untuk menerangkan atau mengerti output ini,
kita harus memperhatikan persepsi, citra, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan, dari
mereka yang bertanggung jawab dalam merumuskan tujuan dan pengaturan
tindakan. Kita dapat mengkombinasikan bermacam-macam faktor yang
mempengaruhi pilihan tujuan, keputusan, dan tindakan, menjadi definisi situasi.29
Definisi situasi harus mencakup faktor eksternal dan domestik, kondisi
kontemporer dan historis yang dianggap pembuat kebijakan relevan dengan setiap
masalah politik tertentu. Hal ini meliputi kejadian-kejadian penting,
kebutuhan-kebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif
ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman,
kesempatan yang dilaksanakan dalam satu situasi, konsekuensi yang telah diduga,
biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan
situasi tertentu.30
Tujuan dan tingkah laku politik luar negeri dapat berhubungan dengan: (1)
kesan, nilai-niilai, kepercayaan, dan personalitas atau kebutuhan politik dari
individu yang bertanggung jawab dalam penentuan tujuan, prioritas di antara
mereka, dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya; (2) struktur dan
kondisi internasional; (3) kebutuhan domestik; (4) atribut dan tingkah laku
nasional; (5) kapabilitas; (6) nilai-nilai sosial yang umum, dan berbagai
kepentingan kelompok khusus; (7) kebutuhan, nilai-nilai dan tradisi-tradisi
organisasi. Relevansi dari semua faktor ini sebagian besar tergantung pada sikap,
29
K. J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 469.
pendapat, dan maksud dari para pembuat kebijakan yang bertugas dalam
organisasi pengambilan keputusan yang mempunyai sasaran, fungsi, dan aturan.31
Setiap kebijakan luar negeri diformulasikan untuk mencapai suatu tujuan
nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri
merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan
nasional terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang
dimiliki untuk menjangkaunya.
Keputusan dan tindakan dalam menentukan kebijakan luar negeri
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal baik dari lingkungan eksternal
maupun lingkungan internal. Faktor-faktor yang mendasari dan menentukan
rencana-rencana dan pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pembuat keputusan
sangatlah banyak untuk disebutkan. Karena itu, perlu suatu pengelompokkan
faktor-faktor tersebut. Howard Lentner mengklasifikasikannya ke dalam dua
kelompok yaitu determinan luar negeri dan determinan domestik.32 Determinan
luar negeri mengacu kepada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu
waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi di antara
negara-negara yang terbentuk atau dibentuk oleh stuktur interaksi di antara
pelaku-pelaku yang paling kuat.33 Sedangkan konsep situasi diartikan sebagai pola
interaksi yang tidak tercakup atau mencakup keseluruhan sistem internasional.34
Penggunaan kedua konsep tersebut (sistem internasional dan situasi)
dimaksudkan sebagai upaya teoritis untuk menyederhanakan lingkungan
internasional (eksternal) yang demikian kompleks ke dalam model-model
31 Ibid.
32
Howard Lentner, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach (Ohio: Bill and Howell Co., 1974), h. 105.
33
Ibid., h. 5.
deskripsi yang sistematis dan utuh. Manfaat penggambaran kondisi lingkungan
eksternal ini, yaitu dapat memberikan setting (latar belakang) munculnya
peristiwa-peristiwa dalam politik luar negeri, serta dapat membantu peneliti
memunculkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung (constraining and
facilitating factors) dalam interaksi antar negara.35
Determinan domestik menunjuk pada keadaan di dalam negeri yang
terbagi dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu highly stable
determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi,
serta sumber daya alam.36 Moderately stable determinants; terdiri atas budaya
politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.37 Unstable
determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor
ketidaksengajaan.38
Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara
memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang
diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu
ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.39 Kepentingan nasional
sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk
mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku
internasional.40
Joseph Frankel merumuskan kepentingan nasional sebagai aspirasi dari
suatu negara yang dapat diwujudkan secara operasional dalam upaya mencapai
35
Ibid., h. 105.
36
Ibid., h. 136.
37
Ibid., h. 143.
38
Ibid., h. 168.
39
Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 184.
40
suatu tujuan yang spesifik.41 Kepentingan nasional menyangkut
kebijakan-kebijakan negara serta rencana-rencana yang hendak dituju. Oleh karena itu,
sering kepentingan nasional menjadi bahan polemik, bahkan sering kepentingan
nasional dipakai untuk memberikan justifikasi bagi tindakan negara-negara.42
Kepentingan nasional ini dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu
memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan dan
hal-hal yang bersifat altruitis lainnya.43
Prakash Candra menilai setidaknya ada lima national interest sebagai
tujuan dari politik luar luar negeri, antara lain, untuk mempertahankan integrasi
negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi national prestige dan
membangun national power, menjaga keamanan nasional, serta mewujudkan
tatanan dunia.44
Frankel menggambarkan kepentingan nasional ke dalam tiga kategori.45
Kepentingan nasional dapat digambarkan sebagai aspirasi dari sebuah negara; dapat juga digunakan sebagai operasional dalam aplikasinya pada kebijakan yang aktual serta program-program yang hendak dicapai; namun dapat juga menjadi
bahan polemik dalam argumen politik, untuk menjelaskan, membenarkan ataupun mengkritik bagi tindakan negara.
Pada tingkat aspirasi, kepentingan nasional dipakai untuk menunjukan
gambaran tentang kehidupan yang baik, serangkaian tujuan ideal yang jika
41
Joseph Frankel, International Relations in A Changing World, 4th ed (Oxford: Oxford University Press,1988), h. 93.
42
R. Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 144.
43 Ibid. 44
Prakash Chandra, International Politics (India: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81-82.
45Mohtar Mas‟oed,
[image:23.595.103.525.89.447.2]memungkinkan, hendak dicapai oleh negara.46 Jika kepentingan nasionalnya
hanya diajukan pada tingkat ini, berarti kebijakan tersebut tidak sedang
dilaksanakan, tetapi hanya menunjukan garis besar haluan kebijakan tersebut.
Tingkat aspirasi memiliki tujuh sifat konsepsi, yaitu kepentingan nasional itu
berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi, merupakan sumber kritik
oleh oposisi terhadap pemerintah tetapi bukan merupakan pusat perhatian
pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan atau harapan terhadap kebijakan,
tidak perlu diartikulasikan dan dikoordinasikan secara penuh dan bisa saling
bertentangan, tidak memerlukan studi kelayakan, dan lebih ditentukan oleh
kehendak politik dari pada oleh kemampuan nyata.47
Pada tingkat operasional, kepentingan nasional menunjuk pada
keseluruhan kebijaksanaan yang betul-betul dilaksanakan.48 Pada tingkat ini, ada
delapan hal yang membedakannya dengan kategori sebelumnya, yaitu
kepentingan nasional itu berjangka pendek dan bisa dicapai dalam waktu yang
tidak terlalu lama; sering muncul dari pertimbangan keharusan atau keperluan;
merupakan perhatian utama pemerintah dan partai yang berkuasa; lebih
dipergunakan dalam cara yang deskriptif dari pada yang normatif; karena
keharusan penerapannya, kontradiksi tidak mudah ditolerir; diterjemahkan ke
dalam kebijakan berdasar perhitungan akan prospek keberhasilannya; lebih
ditentukan oleh kemampuan untuk melaksanakan dari pada oleh kehendak politik;
dan kepentingan itu dapat diatur ke dalam program-program.49
46 Ibid. 47
Ibid. 48
Ibid. 49
Sedangkan pada tingkat polemik, kepentingan nasional dipakai untuk
menjelaskan, mengevaluasi, merasionalisasikan dan mengritik politik luar
negeri.50 Alasan utama penggunaan ini adalah untuk membuktikan kebenaran
argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan. Konsep ini tidak dipakai sebagai
sarana untuk mendeskripsikan dan menganjurkan perilaku, walaupun nampaknya
demikian.
Pengertian atau definisi mengenai konsep kebijakan luar negeri dan
kepentingan nasional yang telah dipaparkan di atas, digunakan untuk menjelaskan
perumusan kebijakan luar negeri sebagai suatu output yang terkait dengan
eksternal dan internal input. Dalam kasus invasi AS ke Irak ini, dapat dipahami
bahwa kebijakan Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh faktor domestik
daripada faktor internasional. Faktor domestik dapat berupa nilai-nilai utama
(core values) yang dianut oleh negara tersebut, keadaan sosial, politik, dan
ekonomi atau pun tarik-menarik kepentingan antar aktor-aktor pemerintah di
dalamnya. Sedangkan faktor internasional dapat berupa kondisi internasional yang
mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan luar negeri.
Atas pemaparan kedua konsep tersebut di atas, yakni konsep kebijakan
luar negeri dan kepentingan nasional maka untuk kepentingan analisa penulis
menggunakan kedua konsep tersebut yang akan diaktualisasikan dalam BAB IV.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Istilah penelitian kualitaif pada mulanya
bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan
50
kuantitatif.51 Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu cara
tertentu. Sedangkan, penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak
mengandalkan perhitungan.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai
sumber. Penelitian ini mengandalkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh
pihak atau instansi lain. Menurut Cresswell, dalam penelitian kualitatif, pustaka
harus digunakan secara induktif sehingga tidak mengarahkan pertanyaan yang
diajukan peneliti.52 Salah satu alasan penting yang mendasari hal tersebut karena
penelitian kualitatif bersifat penyelidikan. Sumber-sumber data ini berupa buku,
majalah, jurnal, hasil penelitian, laporan ataupun laman jaringan.
F. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka pemikiran
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
51
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 2.
52
Bab II Kepentingan Minyak Amerika Serikat
A. Pengertian Energi
B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat
C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat
C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat
C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat
Bab III Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat
A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11
C. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah
D. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak
Bab IV Pengaruh Kepentingan Minyak pada Kebijakan Luar Negeri AS
Dalam Perang Irak Tahun 2003
BAB II
KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT
Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat
penting bagi setiap negara, salah satunya Amerika Serikat. Dalam sejarah, minyak
bumi mampu mempengaruhi dinamika hubungan internasional, baik itu dalam
bentuk kerjasama maupun dalam bentuk konflik atau perang. Minyak bumi
bukanlah satu-satunya sumber daya energi yang dimiliki oleh AS, masih ada
sumber daya energi lainnya yang berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi
dalam negei AS, seperti gas alam, batu bara, dan nuklir. Meskipun demikian AS
masih memposisikan minyak bumi sebagai prioritas sumber energi utamanya,
sebab keunggulannya yang lebih mudah diakses dan dimobilisasikan dibanding
gas alam, sifatnya yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi bila
dibandingkan dengan batu bara, serta penggunaannya yang lebih aman dan mudah
diakses dibandingkan nuklir. Oleh karena itu, minyak bumi merupakan sumber
daya energi yang utama bagi AS.
Dalam pembahasan selanjutnya, fokus pembahasan akan lebih diarahkan
pada pembahasan mengenai kepentingan energi terkait dengan minyak bumi,
sebab minyak bumi merupakan sumber daya energi paling utama bagi kebanyakan
negara sehingga sangat berpengaruh dalam tatanan sistem internasional, terutama
kaitannya dengan AS. Bab ini akan membahas mengenai keterkaitan antara
kepentingan minyak dengan keamanan energi Amerika Serikat yang terlebih
A. Pengertian Energi
Kemajuan ilmu dan teknologi membuat perubahan dalam pemanfaatan
energi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia telah menemukan
cara untuk memperpanjang dan memperluas usaha untuk mencari energi, pertama
dengan memanfaatkan tenaga hewan dan kemudian dengan menciptakan
mesin-mesin untuk memperoleh tenaga dari angin dan air. Selanjutnya muncul
pembangunan sosial dan ekonomi yang membawa dunia menjadi lebih modern
dengan ditemukannya bahan bakar fosil.
Perkembangan penemuan bahan bakar fosil telah membebaskan manusia
dari keterbatasan penggunaan energi dengan ditemukannya batu bara, minyak, dan
gas alam. Hasilnya adalah satu dari transformasi sosial yang sangat besar dalam
sejarah. Dengan adanya energi yang diolah, membawa perubahan yang sangat
besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pengalaman masyarakat tradisional
dalam melakukan transformasi energi dari mulai menggunakan tenaga manusia,
tenaga hewan, dan kemudian kincir angin dan kincir air pada sat itu berjalan
sangat lambat, dan sebagai konsekuensinya sama-sama memperlambat kerja
manusia pada saat itu. Tetapi sebaliknya, pada masa industrialisasi telah
membawa perubahan secara sosial ekonomi pada manusia umumnya.
Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, energi didefinisikan sebagai
the ability to do work.53 Energi menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi
manusia. Manusia memperoleh energi dari sumber daya alam yang ada
disekitarnya dan mengubah sumber daya alam tersebut sehingga dapat digunakan
sebagai energi. Sumber daya alam secara umum dapat dikelompokkan dalam dua
53
kategori, yaitu sumber daya dapat diperbaharui (renewable resource) dan sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource).54 Pengelompokkan
tersebut sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang
dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang dapat terus-menerus tersedia
sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Air, hutan, panas
matahari, dan sebagainya termasuk dalam sumber daya alam yang dapat
diperbaharui.55 Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
adalah sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas
dalam jangka waktu tertentu, yang termasuk di sini adalah minyak bumi, gas
[image:30.595.96.520.183.680.2]bumi, batu bara, dan sebagainya.
Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi56
Berdasarkan ketersediaan (stock)
Berdasarkan nilai komersial
(commercial)
Berdasarkan pemakaian
(use)
1.Dapat Diperbaharui:
Panas bumi
Tenaga air
Tenaga surya
Tenaga angin
dan sebagainya
2.Tidak Dapat Diperbaharui:
Minyak bumi
Gas bumi
Batu bara
Uranium
dan sebagainya
1. Komersial:
Minyak bumi
Gas bumi
Batu bara
Tenaga air panas bumi
Uranium
dan sebagainya
2. Nonkomersial:
Kayu bakar
Limbah pertanian
Tenaga surya
Tenaga angin
Tenaga samudera
Biomassa
Padat, cair, dan gas
Gambut
1. Primer:
Minyak bumi
Gas bumi
Batu bara
Tenaga air
Panas bumi
2. Sekunder:
Listrik
LPG
BBM
Non-BBM
Gas bumi
Briket batu bara
Dan sebagainya
54
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000), h. 5.
55
Perlu diingat bahwa sumber daya alam yang dapat diperbaharui suatu saat dapat berubah menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal demikian terjadi karena permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat laju pengurasan sumber daya tersebut menjadi lebih besar dibandingkan laju generasinya.
56
Di antara semua jenis energi, minyak kenyataannya sampai saat ini masih
menjadi bentuk utama dari energi yang dikonsumsi sejak pasca-Perang Dunia.
Minyak menjadi pilihan utama saat ini karena memiliki kelebihan, yaitu murah,
ketersediaannya, fleksibilitasnya, dan relatif mudah proses pengirimannya. Hal
inilah yang telah membuat minyak menjadi sumber energi utama bagi sebagian
besar negara-negara industri. Penggunaan bahan bakar minyak tidak saja terbatas
pada bidang industri, tetapi juga untuk kepentingan militer. Semua negara
menempatkan perhatian serius terhadap kestabilan suplai energi sebagai aspek
mendasar bagi kepentingan keamanan dalam negeri.57
B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat
Sumber-sumber energi yang dimiliki oleh Amerika Serikat dalam jumlah
yang cukup besar adalah gas alam dan batu bara. Namun, sumber-sumber energi
tersebut pemanfaatannya kurang efisien dan efektif sehingga tidak banyak
[image:31.595.106.521.136.425.2]digunakan oleh AS dalam bidang industri dan bahan bakar lainnya. Berikut adalah
gambar grafik mengenai konsumsi energi AS menurut sumber energi.
57Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak
Gambar 2.1 Konsumsi Energi AS Menurut Sumber Energi (1775-2000) (Dalam Quadrillion BTU)
Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.
Sejarah penggunaan energi di AS dapat dilihat pada gambar di atas.
Sebagai contoh, penggunaan kayu sebagai energi telah menjadi bagian yang
sangat penting bagi AS sejak masa kolonial. Pada kenyataannya, bahan bakar
kayu ketersediaannya sangat berlimpah sehingga menjadi sumber energi yang
dominan. Tetapi kemudian, era modern muncul dengan ditemukannya
sumber-sumber energi baru yang tidak pernah dibayangkan pada masa sebelumnya.
Batu bara menggantikan dominasi bahan bakar kayu yang pernah bertahan
lama di AS pada sekitar tahun 1885, batu bara kemudian dilampaui oleh bahan
bakar minyak pada tahun 1951 dan kemudian ditemukan pula gas alam beberapa
tahun kemudian. Tetapi, bagaimanaupun juga minyak dan gas adalah penemuan
sedikit selama beberapa dekade, tetapi kemudian mulai meningkat kebutuhan
akan minyak secara bertahap pada tahun 1920-an.58
C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, minyak bumi mampu menarik
perhatian masyarakat AS. Penggunaan minyak bumi cenderung lebih mudah dan
lebih efektif. Sepanjang sejarah energi AS, AS memiliki sumber daya energi yang
berlimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Namun,
seiring dengan perkembangannnya, peningkatan tingkat konsumsi energi pun
tidak dapat dielakkan, sehingga pada periode 1950-an merupakan masa di mana
produksi dan konsumsi energi AS hampir mencapai titik keseimbangan. Pada
periode selanjutnya, tingkat konsumsi AS terus meningkat secara tajam sehingga
melebihi tingkat produksi dalam negeri AS. Oleh karena itu AS dituntut untuk
mengeksplorasi sumber daya energi dari wilayah lain dan mengimpornya. Berikut
ini adalah gambar mengenai grafik konsumsi, produksi, dan impor energi AS.
58
Gambar 2.2 Konsumsi, Produksi, dan Impor Energi AS (Dalam Quadrillion BTU)
Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.
Pada tabel di atas tergambar proses peningkatan kebutuhan energi dalam
negeri AS. Pada periode 1970-an, AS telah mengimpor energi dari luar sebagai
tanda pasokan energi dalam negeri AS tidak mampu menutupi kebutuhan energi
AS sehingga harus mengimpor dari luar. Dari grafik impor dapat dipahami bahwa
peningkatan terus terjadi sejak pertengahan periode 1980-an. Kemudian, seiring
dengan perkembangan inovasi teknologi yang semakin menyerap energi maka
peningkatan konsumsi energi AS pun terjadi, dan hal ini berdampak pada
peningkatan impor energi AS. Peningkatan juga dipengaruhi oleh penurunan
tingkat produksi energi dalam negeri AS sehingga semakin memperlebar gap
antara konsumsi dan produksi energi.
Pada tahun 1973, AS telah mengimpor energi sebesar 15 quadrillion
BTU, atau sekitar 20% dari total konsumsi AS.59 Upaya untuk mengimpor energi
dikarenakan tingkat konsumsi minyak yang tinggi. Pada tanggal 17 Oktober 1973,
negara Arab Saudi yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) melakukan embargo minyak bumi terhadap AS, sehingga harga
minyak bumi dunia melambung tinggi dan negara-negara importir minyak bumi
mengalami kejatuhan ekonomi selama dua tahun.
Harga minyak meningkat secara drastis pada tahun 1979 sampai tahun
1981 dan telah menekan impor minyak pada saat itu. Kecenderungan impor AS
terjadi pada tahun 1986, namun kemudian pada tahun 1990, 1991, dan 1995
mengalami sedikit penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan.
Salah satu faktor meningkatnya tingkat konsumsi energi AS adalah
pertumbuhan penduduk yang terus berkembang sehingga menuntut perkembangan
ekonomi yang sejalan. Dengan semakin banyaknya populasi penduduk AS dari
sekitar 149 juta jiwa pada tahun 1949 menjadi 281 juta jiwa pada tahun 2000.60
Artinya, peningkatan yang terjadi sekitar 89%. Sederhananya, peningkatan tingkat
konsumsi energi AS juga akan setara dengan nilai tersebut.
Konsumsi energi yang tinggi tersebut berasal dari kebutuhan energi pada
empat sektor utama, yaitu perumahan, perdagangan, industri, dan transportasi.
Sektor industri merupakan sektor terbesar yang mengkonsumsi energi untuk
kepentingan perkembangan industrialisasi dan ekonomi AS, seperti terlihat pada
gambar berikut :
59
www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.
60Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika
Gambar 2.3 Konsumsi Energi AS Menurut Kegunaannya
Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25 April 2011, pukul. 08.00.
Pada sektor industri, konsumsi terhadap gas alam dan minyak mengalami
peningkatan dan puncaknya pada saat embargo minyak tahun 1973, setelah
peristiwa tersebut penggunaan minyak mengalami fluktuasi. Konsumsi batu bara
menjadi sektor andalan, namun kemudian mengalami penyusutan. Hal yang sama
terjadi juga pada energi listrik yang mengalami penyusutan, seperti yang terlihat
[image:36.595.160.472.558.704.2]pada grafik berikut :
Gambar 2.3. Konsumsi Energi AS untuk Keperluan Industri
Sekitar 3/5 dari konsumsi energi untuk sektor industri digunakan untuk
pabrik-pabrik.61 Sisanya untuk keperluan bidang pertambangan, konstruksi,
pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pada industri pabrik-pabrik energi yang
dibutuhkan dalam jumlah besar adalah produk-produk minyak dan batu bara,
bahan-bahan kimia dan produk sejenis, kertas, dan bahan sejenisnya, dan industri
logam-logam besar.
C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat
Minyak menjadi komoditas penting bagi pembangunan di negara-negara
maju untuk kebutuhan industri, transportasi, dan perumahan. Cadangan minyak
dunia yang terbesar terdapat di negara-negara anggota OPEC, sedangkan
konsumsi minyak dunia terbesar terdapat pada negara-negara industri maju seperti
AS, Jepang, dan negara-negara Eropa.
Jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau
menghentikan produksi minyaknya, maka akan mengacaukan negara-negara
industri maju. Kepentingan negara-negara industri maju berbeda dengan
kepentingan negara-negara berkembang sebagai penghasil minyak utama dunia.
Negara-negara industri maju sebagai pengimpor minyak, sangat memerlukan
suplai minyak untuk kebutuhan dalam negeri seperti untuk transportasi, industri,
perumahan, keperluan militer, dan lain-lain. Sementara itu, negara berkembang
yang memiliki minyak dunia berlaku sebagai penyedia.
Sebagai negara industri maju, AS tentunya memiliki kepentingan
tersendiri terhadap negara berkembang. Negara berkembang yang sebagian besar
61
terletak pada kawasan strategis dan penting bagi kepentingan AS bersama
sekutu-sekutunya. Sebut saja Timur Tengah, Teluk Persia, Laut Kaspia, Amerika Latin,
dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut menyimpan cadangan minyak bumi dunia
yang banyak dan sangat berpengaruh bagi kepentingan AS, terutama terkait
kepentingan keamanan energi AS. Secara umum, inilah yang menjadi perhatian
AS agar tidak sampai berdampak negatif bagi kepentingan-kepentingan
nasionalnya.
Konsentrasi AS terhadap negara berkembang yang tidak stabil dan rawan
konflik mulai meningkat ketika instabilitas negara berkembang produsen minyak
mampu mempengaruhi akses impor minyak dalam negeri AS sehingga
kecenderungannya meningkat menjadi ancaman bagi keamanan energi AS. Hal ini
terlihat dari ketergantungan AS akan impor minyak yang selalu meningkat seiring
peningkatan tingkat konsumsi dalam negeri AS.
Bagi AS yang merupakan salah satu negara konsumen minyak bumi,
alasan yang selalu dihadapi terkait ketersediaan cadangan minyak dunia adalah
keterbatasan cadangan minyak dunia. Mencermati krisis minyak bumi yang
pernah terjadi, serta instabilitas kawasan yang mengandung cadangan minyak
bumi, maka AS meningkatkan perhatian seriusnya terhadap akses suplai minyak
bumi.
Tingginya intensitas ketergantungan AS terhadap stabilitas cadangan
minyak bumi dunia mendorong AS untuk turut berpartisipasi baik secara politis
maupun militer di sejumlah kawasan yang menyimpan cadangan minyak bumi
dalam jumlah besar, salah satunya adalah Timur Tengah. Sejarah menunjukkan
perang berdampak pada stabilitas tingkat produksi dan harga minyak bumi dunia.
Dalam kasus Irak, keterlibatan AS secara militer menunjukkan adanya keinginan
untuk mengontrol dan menguasai sumber minyak yang merupakan bagian dari
masalah keamanan energi AS.
Momentum yang paling tepat dalam perubahan kebijakan luar negeri AS
adalah pascatragedi pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001. AS
semakin meningkatkan intensitasnya dalam penempatan tentaranya di kawasan
strategis akan cadangan minyak bumi, dengan dalih perang melawan terorisme.62
Afganistan merupakan negara pertama yang diinvasi AS pasca tragedi tersebut.
Dalam kasus Perang Irak 2003, salah satu dalih yang digunakan AS dalam
penempatan pasukan militer AS di Irak adalah upaya pembelaan rakyat Irak dari
sikap pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dan represif.63
Melalui kebijakan luar negeri AS, isu keamanan energi merupakan salah
satu agenda penting yang harus diperhatikan. Sebagai prioritas utamanya, AS
selalu mengupayakan langkah-langkah antisipasinya terhadap terjadinya
ketidakpastian pasokan dengan mempertahankan hubungan kerjasama ekspor dan
impor minyak bumi dengan negara produsen minyak. Dengan jelas dinyatakan di
dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001) bahwa
“...energy security must be priority of US trade and foreign policy.”64
Di samping itu juga ditegaskan bahwa kepentingan AS akan stabilitas
cadangan minyak bumi dunia akan berdampak pada kepentingan nasional AS. Hal
62
Ibid., h. 57.
63Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaaan Amerika (Yogyakarta: PPMTT
HI FISIPOL UGM), h. 15.
64Lihat “Nationa
ini semakin menunjukkan tingginya kepentingan dan ketergantungan AS akan
cadangan minyak bumi dunia.
Kebutuhan AS terhadap minyak yang begitu besar dengan cara
mengimpor sekitar 53%, telah mendorong Washington untuk mencari
sumber-sumber cadangan minyak untuk mengamankan kepentingan minyaknya.
Cadangan minyak mentah yang dimiliki oleh AS hanya berjumlah 22 milyar
barel. 65 Apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak
mentahya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam
negerinya selama tiga tahun. Sedangkan pada saat ini, AS menempati urutan
pertama sebagai negara paling banyak mengkonsumsi minyak dunia.66
Alasan AS sebagai negara pengimpor terbesar minyak dunia di antaranya
adalah karena wilayah negara AS yang sangat luas sehingga memerlukan
penggunaan bahan bakar bensin untuk keperluan kendaraan bermotor, keperluan
untuk industri-industri dalam negeri AS, dan bahan bakar untuk pemanas rumah
yang biasanya digunakan warga AS. Di samping itu juga, jumlah penduduk AS
yang terus bertambah, membuat tingkat konsumsi terhadap energi semakin
meningkat.67
Kesulitan bagi AS dalam mencari sumber energi alternatif yang lebih
murah dan aman membuat negara tersebut mulai melihat kawasan Timur Tengah.
Kekhawatiran AS akan kenaikan harga minyak dunia dapat terjadi kapan saja. Hal
ini membuat pemerintahan Bush untuk segera menemukan sumber minyak di
kawasan yang dapat mengamankan kepentingan AS dalam jangka panjang.
65
Mohammad Safari dan Al-Muzammil Yusuf, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya (Jakarta: COMES, 2003), h. 141.
66Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika
Serikat,” h. 66.
67
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
Sebagai satu-satunya negara super power saat ini, Amerika Serikat
tentunya memiliki kebijakan luar negeri yang dirancang untuk mencapai tujuan
nasionalnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun pertahanan dan
keamanan. Jika pada masa Perang Dingin kebijakan luar negeri AS lebih
ditujukan untuk membendung ancaman pengaruh komunisme, maka hal yang
berbeda terjadi pada masa setelah Perang Dingin terlebih dengan terjadinya
Tragedi 9/11 yang tentunya membuat AS harus menata ulang kembali kebijakan
luar negerinya. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan mengenai perubahan
kebijakan luar negeri AS pasca-Tragedi 9/11. Selain itu, bab ini pun akan
membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur
Tengah, khususnya Irak.
A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 9/11
Serangan gerakan teroris internasional pada 11 September 2001 atau yang
terkenal dengan sebutan Tragedi 9/11 dijadikan momentum awal diterapkannya
strategi dan kebijakan baru AS untuk memulihkan kembali perannya sebagai
polisi dunia yang tangguh. Serangan terorisme tersebut, terlepas dari kontroversi
yang muncul, menjadi bukti bahwa betapa negara yang sangat kuat itu masih
dapat diserang. Betapa negara yang diproteksi oleh perlengkapan senjata
Momen ini direspon oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk
mengubah haluan politik luar negerinya yang telah ditetapkan oleh presiden
pendahulunya, yakni Presiden Bill Clinton. Pada era Presiden Clinton, kebijakan
luar negeri AS lebih bersifat akomodatif terhadap keinginan dunia internasional
yang mendambakan demokratisasi. Presiden Clinton membawa AS tunduk pada
aturan atau rezim internasional. Presiden Clinton sangat mengedepankan
masalah-masalah humanistis dalam kebijakan luar negerinya, termasuk menghukum
rezim-rezim yang dinilai melanggar hak asasi manusia.68 Dalam masa pemerintahannya,
kepemimpinan AS diraih melalui penggunaan soft power dengan tetap
memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat.69
Walaupun AS merupakan satu-satunya negara adidaya, AS tidak dapat seenaknya
memaksakan kehendaknya pada negara lain.
Politik luar negeri AS mengalami perubahan fundamental ketika Presiden
George W. Bush terpilih pada tahun 2001 menggantikan Presiden Clinton.
Meskipun Jenderal Collin Powell yang dianggap tokoh moderat dan pendukung
multilateralisme ditunjuk menjadi menteri luar negeri, Presiden Bush sendiri
cenderung berpendirian unilateralis. Di samping itu, anggota kabinet Presiden
Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanan didominasi oleh tokoh-tokoh
konservatif yang berpandangan unilateralis.70 Mereka ini antara lain, Wakil
Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Kepala Dewan
68
Sugeng Riyanto, “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi,” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005), h. 245.
69
Soft power diartikan dengan menerapkan hegemoni melalui upaya-upaya persuasi dan pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata. Ibid., h. 12.
70
Kebijakan Pertahanan Richard Perle, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz,
Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Kontrol Senjata John Bolton, dan Kepala
Staf Kantor Wakil Presiden Lewis Libby.71
Presiden Bush menemukan alasan bagi AS untuk menggunakan kekuatan
yang selama ini masih belum dimaksimalkan. Tragedi 9/11 memberikan
legitimasi kepada Bush utuk kembali membawa AS memimpin dunia
melenyapkan apapun yang dianggap membahayakan dunia.
Ancaman keamanan nontradisional yang dihadapi AS, seperti terorisme
internasional, telah membawa konsekuensi pada persepsi dan tingkat ancaman
yang dihadapi AS ketika kekuatan militer semata tidak memadai untuk
melindungi kepentingan keamanan AS. Tabel berikut menggambarkan
[image:43.595.110.521.187.447.2]kepentingan nasional AS dan persepsi ancaman yang dimilikinya.
Tabel 3.1 Kepentingan nasional Amerika Serikat dan beberapa ancaman utamanya:
Interest Prime Threats Status of Threats
Defense of homeland Grand terror attacks and spread of WMD to hard-to-deter state leaders and fanatical terrorists
Partially present
Deep peace among the Eurasian great powers
Aggressive great powers and hegemons
Not present Secure access to Persian Gulf
oil at stable, reasonable price
A hegemonic Iran and Iraq Not present International economic
opennes
Great power security competitions, great power wars, economic nationalism
Not present
Consolidation of democracy and spread and observance of human rights
Ruthless leaders, civil wars, and the thwarting of economic growth
Partially present
71
[image:43.595.115.511.499.681.2]No severe climate change Unconstrained carbon emmisions
Partially present
Sumber: Anak Agung Banyu Perwita, “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005), h. 90.
Tabel di atas menunjukkan ancaman terbesar bagi keamanan global AS
adalah serangan-serangan besar yang dilancarkan aktor nonnegara atau kelompok
terorisme internasional dan penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia. Tabel di
atas sekaligus pula memperlihatkan berbagai bentuk ancaman baik yang bersifat
tradisional maupun nontradisional terhadap kepentingan nasional AS. Lebih jauh,
tabel di atas juga menekankan bahwa empat ancaman pertama (tradisional dan
nontradisional) terhadap AS dapat berupa militer yang tentunya akan
mengharuskan AS untuk mempersiapkan respon yang bersifat militer pula.
Dalam salah satu pidatonya, Presiden George W. Bush mengatakan
bahwa:
“Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah bagian
dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas penting bagi Amerika. Kita menggempur musuh, merusak rencananya dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Di dunia yang telah kita masuki, satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah tindakan, dan
negara ini akan bertindak.”72
Pernyataan Bush dalam pidatonya tersebut kemudian dikenal dengan
istilah pre emptive strike.73 Inti dari doktrin ini adalah bahwa pertahanan yang
paling baik adalah menyerang. Artinya AS harus melancarkan serangan terlebih
dulu terhadap siapa dan negara mana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial
dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam
72George W. Bush, “Pidato di West Point”, lihat A. Zaim Rofiqi,
Amerika dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 427.
73
[image:44.595.114.514.88.211.2]putih membagi dunia menjadi dua yaitu kami atau mereka yang kadangkala
dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan
yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris
internasional.74 Dengan kebijakan ini, AS secara leluasa menggerakkan semua
elemen militernya ke berbagai wilayah dunia sebagai penanggung jawab
keamanan global.75 Siapa berani menghalangi pasti kena sanksi.
Presiden Bush menyatakan tidak akan membedakan antara teroris dan
mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris, seperti yang ia katakan
dalam pidatonya pada 11 September 2001, petang harinya setelah Tragedi 9/11.
Dalam pidato ntersebu, Bush mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan
antara teroris yang melakukan tindakan teror itu (11 September 2001) dan mereka
yang melindungi.76 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS
dalam memerangi kelompok teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh
mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat
dianggap sebagai musuh AS, dan dengan sendirinya bebas untuk diperangi.
Namun sayangnya, AS bebas menerjemahkan siapa saja yang berhak
dikategorikan sebagai teroris. Tragedi 9/11 telah memperkuat pembenaran AS
untuk mencapai tujuan hegemoniknya, yaitu dominasi geopolitik dan ekonomi di
dunia.77 Presiden Bush ingin menegaskan kehadiran AS sebagai pemimpin dunia,
apapun caranya. Presiden Bush telah berupaya agar dunia yang mengikutinya,
bukan AS yang tunduk kepadanya.
74 Ibid.
75
Hendrajit, dkk, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia (Jakarta: Global Future Institute, 2010), h. 114.
76
Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 96.
77
Upaya menangani terorisme ini juga dilakukan dengan mengedepankan
aspek militer. Sangat nyata bahwa Tragedi 9/11 terjadi di AS, tetapi reaksi
Presiden George W. Bush paling menonjol adalah invasi militer ke Afganistan
dan Irak. Ini menunjukkan bahwa Presiden Bush lebih mengedepankan
penggunaan hard power, yakni kekuasaan yang ditegakkan dengan paksaan.78
Presiden George W. Bush telah mendapatkan situasi yang kondusif untuk
melancarkan penggunaan hard power dalam melangsungkan kebijakan luar
negerinya. Terorisme telah dijadikan alasan untuk itu, dan dunia cukup
mempercayainya, setidaknya para sekutu AS. Presiden Bush yakin AS berada
dalam posisi yang benar dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan
kebenaran serta melawan kekuatan jahat (evil) secara unilateral di seluruh penjuru
dunia dengan menggunakan kekuatan militer AS yang tidak tertandingi dan tidak
boleh ditandingi.79 AS di bawah Presiden Bush merupakan misionaris bersenjata
yang percaya bahwa AS ditakdirkan untuk memimpin dunia untuk kebaikan itu
sendiri. Di samping itu, AS pun akan secara aktif mendukung freedom atau
kebebasan di seluruh dunia.80 Penggulingan rezim Taliban di Afganistan dan
rezim Saddam Hussein di Irak yang bertuj