• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Moneter

2.1.1 Konsep Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indoensia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja)

serta strategi untuk mencapainya (exchange Rate targeting, monetary targeting,

Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Warjiyo dan Solikin, 2004).

Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara

diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan

hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera. Untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.

Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menerapkan pola kebijakan moneter yang diformulasikan dalam rangka mencapai sasaran tingkat inflasi yang ditargetkan. Landasan hukum kebijakan Bank Indonesia ini adalah UU no 23 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan bahwa sasaran laju inflasi merupakan sasaran akhir kebijakan moneter Indonesia. Pola kebijakan ini

dikenal juga dengan nama Inflation Targeting Framework.

2.1.2 Inflation Targeting Framework (ITF)

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja

kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Warjiyo dan Solikin, 2004), yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Inflation Targeting Framework merupakan sebuah kerangka kebijakan

yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia

sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Alasan

pemilihan Inflation Targeting Framework sebagai berikut :

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas

beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a.Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).

b.Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.

c.Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.

d.Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan

Inflation Targeting Framework berhasil menurunkan inflasi tanpa

meningkatkan volatilitas output.

e.Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui

komitmen pencapaian target.

2. Penerapan Inflation Targeting Framework bukan berarti bahwa bank sentral

hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara

keseluruhan. Inflation Targeting Framework bukanlah suatu kaidah yang kaku

dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa

perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).

3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,

karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

Enam elemen mendasar dalam langkah-langkah penguatan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru mulai Juli 2005 agar konsisten dengan penerapan

Inflation Targeting Framework (ITF):

1. Penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai reference Rate dalam

pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.

2. Penguatan proses perumusan kebijakan moneter dengan strategi antisipatif

(forward looking strategi) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini

3. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi.

4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk meminimalkan tekanan

inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi

kebijakan ekonomi secara keseluruhan.

5. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan Inflation Targeting Framework

(ITF) sebagai kerangka kebijakan Moneter.

6. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijakan

moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.

Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan Inflation Targeting

Framework (ITF) :

1. Memiliki sasaran utama yaitu sasaran inflasi yang dijadikan sebagai prioritas

pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter.

2. Bersifat antisipatif (preventive atau forward looking) dengan mengarahkan respon

kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.

3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam

menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained discretion).

4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu

2.1.2.1 Pendekatan Harga

Sejak tahun 2000, dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 BI telah menentukan dan mengumumkan sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Dengan amandemen UU Bank Indonesia No. 3 Tahun 2004, Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2005, 2006, dan 2007. BI telah menempuh sejumlah

langkah dalam memperkuat persyaratan untuk penerapan Inflation Targeting

Framework (ITF), termasuk: Pengembangan indikator, riset, pemodelan ekonomi

untuk dasar analisis, prakiraan, dan perumusan kebijakan. Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebagai proses perumusan kebijakan moneter. Pengembangan laporan dan strategi komunikasi untuk transparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter kepada publik. Dalam hal ini BI menggunakan pendekatan harga untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Pendekatan Harga

Berdasarkan kerangka kerja pendekatan harga, instrumen-instrumen

kebijakan moneter seperti operasi pasar terbuka (open market operation), fasilitas

diskonto (discount facility), cadangan minimum (reserve requirement), intervensi

nilai tukar (foreign exchange intervension) akan mempengaruhi tingkat bunga

(interes Rate) sebagai target operasionalnya. Setelah target operasional tercapai maka

akan mempengaruhi kapasitas dan aktivitas perekonomian yang pada akhirnya akan berdampak terhadap perubahan inflasi.

Sebelum Juli 2005, operasi moneter masih menggunakan uang primer (base

money) sebagai sasaran operasional. Cara ini dirasakan semakin tidak sejalan dengan

penerapan kebijakan moneter dengan Inflation Targetting Framework (ITF), terutama

karena:

1. Hubungan antara uang primer dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi semakin

tidak stabil dan mengalami hubungan terbalik.

2. Sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan masyarakat kurang efektif,

3. Respon kebijakan moneter cenderung mengarah ke belakang (backward looking)

dan lebih sulit dilakukan.

4. Uang primer lebih sulit dikendalikan oleh bank sentral karena perilaku

permintaan uang kartal masyarakat di Indonesia.

5. Sejak 1999-sebelum Juli 2005, dalam literature, Indonesia dikategorikan sebagai

negara yang menerapkan InflationTargetting Lite.

Dengan melihat perbandingan pendekatan dalam pengendalian inflasi, bisa

disimpulkan bahwa pendekatan price based approach secara empiris lebih efektif

digunakan untuk mengendalikan inflasi dari pada metode metode pendekatan

kuantitas. Hal ini, menurut hemat penulis bisa dijadikan sebagai pendukung empiris

dari pemilihan pendekatan ini dalam kerangka kebijakan moneter untuk pengendalian

inflasi (Inflation Targetting Framework). Namun, yang perlu dijadikan pertimbangan

adalah instrumen-instrumen kebijakan moneter yang dipilih untuk mempengaruhi sasaran operasionalnya. Tampaknya, BI patut mengembangkan instrumen-instrumen yang memberikan pengaruh yang lebih efektif untuk keberhasilan transmisi efek yang

diinginkan. Sehingga akhirnya akan terbentuk sebuah kerangka kebijakan yang efektif dalam rangka mencapai sasaran akhir pengendalian inflasi menuju stabilitas moneter dalam perekonomian nasional.

2.1.3 Indikator dan Respon Kebijakan Moneter

Indikator kebijakan moneter dilakukan dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut :

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan

analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-

langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk

mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Respon kebijakan moneter selalu berorientasi kepada kebijakan sebagai dasar dan tujuan kebijakan moneter sebagai berikut :

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:

a.Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan

inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

b.Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak

berubahnya BI Rate.

c.Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan

bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan yaitu :

a.BI Rate adalah suku bunga instrument signaling Bank Indonesia yang

ditetapkan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rata- rata tertimbang hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada setiap kali

lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal

kebijakan moneter Bank Indonesia.

b.BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam Rapat Dewan

Gubernur (RDG) sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan

tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

c.BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian

moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga Sertifikat

adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga pasar uang (SBPU) dan suku bunga jangka panjang.

3. Proses penetapan respon kebijakan moneter sebagai berikut :

a.Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur

(RDG) triwulanan.

b.Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.

c.Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek

tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.

d.Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

a.BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar

tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan

terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap)

dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

b. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan

mempertimbangkan:

1) Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam

2) Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi

anekdotal, variabel informasi, expert opinion, assesmen faktor risiko dan

ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.

5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1

bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar

terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan

lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

2.1.4 Operasi Pengendalian Moneter

Operasional pengendalian moneter memiliki 3 prinsip dasar sebagai berikut : Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran

operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal

kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Kemudian pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas

otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib

minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion). Pengendalian moneter

diarahkan pula agar perkembangan suku bunga pasar uang (PUAB) berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan

efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

2.1.5 Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga dan Harga

Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat berpengaruh terhadap aktivitas

ekonomi dan bisnis melalui alur tingkat bunga atau interest rate channel dan alur

harga aktiva atau asset price channel. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dari

ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi dan penurunan tingkat bunga riil. Penurunan tingkat bunga riil akan meningkatkan investasi dan menurunkan biaya modal dalam proses produksi sehingga output agregat naik. Mekanisme transmisi alur harga aktiva dari ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi, nilai perusahaan dan kekayaan individu. Peningkatan ekspektasi inflasi akan menurunkan tingkat bunga riil sehingga nilai tukar mata uang depresiasi, ekspor neto naik dan kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Tingkat bunga merupakan kunci mekanisme transmisi moneter dalam model IS, model LM, model AD dan model AS. Peningkatan stok uang akan menurunkan tingkat bunga riil dan biaya modal serta meningkatkan investasi bisnis. Peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat. Penurunan tingkat bunga riil juga akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian rumah dan barang tahan lama. Oleh sebab itu penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan belanja atau konsumsi dan permintaan agregat. Pada tingkat bunga nominal yang

sangat rendah, ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi tingkat harga dan inflasi, akibatnya tingkat bunga riil turun. Penurunan tingkat bunga riil akan menurunkan biaya modal dan biaya memegang uang, kemudian menstimulasi pengeluaran bisnis dan konsumen. Peningkatan pengeluaran bisnis dan konsumen pada akhirnya akan mingkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu :

dimana:

m = stok uang nominal, r = tingkat bunga riil,

p = ekspektasi tingkat harga, i = investasi riil, dan

y = output riil agregat.

Mekanisme transmisi alur harga aktiva terdiri dari efek nilai tukar atau

exchange Rate effect, Tobin’s q theory dan efek kekayaan atau wealth effect.

Pertumbuhan ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata uang suatu negara. Ekspansi moneter pada awalnya akan menurunkan tingkat bunga riil domestik dan kemudian mengakibatkan deposit mata uang luar negeri naik. Peningkatan nilai

m ↑→ r ↓→ i↑→ y

m ↑→ p ↑→ r ↓→ i ↑→ y

(2.1)

deposit mata uang luar negeri terhadap deposit mata uang domestik akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar matauang luar negeri dan depresiasi nilai tukar mata uang domestik. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik mengakibatkan harga relatif produk atau ekspor lebih murah sehingga ekspor Neto naik dan akhirnya meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar dirumuskan sebagai berikut:

dimana:

e = Nilai tukar mata uang, dan x = Ekspor riil neto.

Tobin telah mengembangkan teori bagaimana kebijakan moneter dapat

mempengaruhi penilaian saham, yang disebut Tobin’s q theory. Tobin

mendefinisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal naik. Peningkatan q ini akan meningkatkan pengeluaran untuk peralatan dan pabrik baru atau investasi.

Peningkatan pengeluaran investasi perusahaan akan meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur Tobin’s q theory dirumuskan sebagai berikut:

dimana:

s = Ekspektasi harga saham, dan

q = Rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal. i = Investasi

Mekanisme transmisi moneter juga mempengaruhi kekayaan masyarakat. Keputusan pengeluaran dari konsumen mungkin akan mempengaruhi neraca

konsumen. Modigliani menggunakan hipotesis siklus hidup atau life cycle hypotheses

dari konsumsi barang tahan lama dan jasa-jasa untuk menjelaskan efek kekayaan. Premis utama dari Modigliani adalah bahwa konsumsi tidak konstan dalam periode jangka panjang. Hal ini terutama disebabkan oleh kekayaan keuangan dari konsumen, seperti saham, obligasi dan deposit tidak konstan selama hidup. Ekspansi moneter akan meningkatkan harga aktiva keuangan sehingga kekayaan keuangan naik. Peningkatan kekayaan keuangan akan meningkatkan sumberdaya ekonomi selama hidup konsumen dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi dan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan sebagai berikut:

dimana:

w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen c = konsumsi riil rumahtangga

m ↑→ s ↑→ q ↑→ i ↑→ y

m ↑→ s ↑→ w ↑→ c ↑→ y

(2.4)

Dokumen terkait