• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. NEGARA DAN PEREMPUAN

2. Kebijakan Negara terhadap Perempuan

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya kapasitas sumber daya manusia, situasi rentan yang membuat orang jatuh miskin, lemahnya dukungan kelembagaan, atau lemahnya akses mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-proses politik.40

Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda daripada perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki, yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memosisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara dan menjadi sumber Dalam hal ini, situasi kemiskinan sebenarnya dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

40Muhadjir , Op.cit.,hal.161.

pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi risorsis yang bias gender. Muara dari masalah kultural ini adalah kecenderungan terjadinya pelecehan, diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. 41 1. Marginalisasi ( Pemiskinan ekonomi ) perempuan

Proses marginalisasi ( pemiskinan ekonomi ) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksplotasi dan lain sebagainya. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.

Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa mereka kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran.

41Muhadjir, Ibid., hal.166.

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Banyak kasus bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi semacam ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga karena kemampuannya perempuan bisa menempati posisi penting sebagai pemimpin, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa tertekan.

3. Pandangan Stereotip

Pelabelan atau penadaan ( stereotip ) yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender, karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik, sebagai akibatnya ketika berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan ’perpanjangan’ peran domestiknya itu.

4. Kekerasan

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ” kekerasan ” yang merupakan terjemahan dari ” violence ” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat, negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang lebih ringan kepada pelaku kekerasan terhadap dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.

Sistem pemerintahan yang hirarkis, hegemonis dan patriarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan – laki-laki sehingga kebijakan, program dan lembaga yang dirancang menjadi buta gender ( gender blind ) dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan. Peminggiran perempuan oleh

negara ini pada gilirannya akan dapat menghambat optimalisasi pencapaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.42

Peraturan undangan bias gender adalah peraturan perundang-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan

Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara pada kultur patriarki. Untuk menyebut diantaranya adalah angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan buruknya sanitasi air bersih.

Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat, tidak di atasi terlebih dahulu.

2.2.TINJAUAN KEBIJAKAN

Apabila konsep gender telah dipahami, maka kriteria peraturan perundang-undangan yang berwawasan gender adalah kriteria yang tidak bias gender yang dimana salah satu jenis kelamin tidak dirugikan karena pemberlakukan sistem dan/atau struktur tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah peraturan perundangan-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.

42Muhadjir, Ibid.,hal.167.

keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.

Untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut bias gender tertentu diperlukan pengkajian yang komprehensif obyektif dengan menggunakan tolak-ukur minimal sebagai berikut :

1. Faktor Akses

Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses dan dapat mempergunakannya dengan cara yang sama pula dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Faktor Kontrol

Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol ( penguasaan ) yang sama terhadap sumber-sumber daya guna implementasi dan/atau pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan.

3. Faktor Partisipasi

Apakah partisipasi atau peran serta perempuan dan laki-laki telah dibuka dengan peluang-peluang yang sama sejak rumusan awal ( rancangan ), pembahasan, pengesahan dan kemudian pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut.

4. Faktor Manfaat

Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh dan/atau menikmati manfaat yang sama dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Metode Penafsiran Peraturan Perundang-undangan yang Berperspektif Gender adalah tool atau alat yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan.

Dokumen terkait