NEGARA DAN KESETARAAN GENDER :
SUATU STUDI WACANA PEREMPUAN INDONESIA
DALAM POLITIK INDONESIA
SKRIPSI
OLEH :
ROSPITA NDK
050906047
Dosen Pembimbing : Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si
Dosen Pembaca : Dra. Evi Novida Ginting
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur dan atas kerendahan hati penulis panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
tugas akhir, yang merupakan salah satu syarat yang harus penulis laksanakan
untuk memenuhi persyaratan akademis sebagai mahasiswa Ilmu Politik di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara guna
memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun yang menjadi
judul skripsi ini adalah NEGARA DAN KESETARAAN GENDER : SUATU
STUDI WACANA PEREMPUAN INDONESIA DALAM POLITIK
INDONESIA.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari telah banyak mendapat
dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran dari berbagai pihak, sehingga
penulis akhirnya dapat merampungkan hasil skripsi ini. Tetapi penulis juga
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari siapa saja yang membaca skripsi
UCAPAN TERIMA KASIH :
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini,
yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA, sebagai Ketua Departemen Ilmu Politik
3. Bapak Drs.P.Anthonius Sitepu, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing yang
telah banyak meluangkan banyak waktu dalam membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini
4. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, sebagai Dosen Pembaca yang banyak
memberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun, yang sangat
bermanfaat bagi penulis dalam merampungkan skripsi ini menjadi lebih
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ... 1
1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Perumusan Masalah ... 12
3. Tujuan Penelitian ... 12
4. Manfaat Penelitian ... 13
5. Kerangka Teori... 14
5.1. Teori Gender ... 14
5.2. Teori Negara ... 20
6. Metodologi Penelitian ... 25
6.1. Sifat Penelitian ... 25
6.2. Teknik Pengumpulan Data ... 25
6.3. Teknik Analisa Data ... 25
7. Sistematika Penulisan ... 27
II. NEGARA DAN PEREMPUAN... 28
1. Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum ... 28
Periode 1945-1959 ... 31
Periode 1959-1966 ... 31
Periode 1966-1998 ... 32
Periode 1998-sekarang ... 32
2. Kebijakan Negara terhadap Perempuan ... 33
2.1. Diskriminasi Perempuan ... 33
A. Masa Soekarno ... 39
B. Masa Suharto ... 44
C. Masa Reformasi ... 62
BAB III. ANALISIS ... 87
1. Gender ... 87
1.1. Gender Pada Masa Orde Lama ... 90
1.2. Gender Pada Masa Orde Baru ... 91
1.3. Gender Pada Masa Reformasi ... 97
2. Negara ... 98
2.1.Kebijakan Negara Terhadap Perempuan ... 99
2.1.1. Bidang Hukum ... 99
2.1.2. Bidang Politik ... 104
2.1.3. Bidang Tenaga Kerja... 106
2.1.4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 ... 107
2.2. Kedudukan Perempuan dalam Negara ... 108
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 113
1. Kesimpulan ... 113
2. Saran ... 115
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Keberadaan perempuan dalam pergerakan kebangsaan memiliki sejarah
yang panjang dan peran yang signifikan bagi perkembangan kemajuan bangsa.
Peran perempuan ini sejak semula telah berakar menurut adat di Indonesia pada
tiga ciri : sistem matrilineal, sistem patrilineal, sistem bilineal.
Semua sistem kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan yang
kemudian mem(re)produksi hukum yang mengatur perkawinan. Perempuan yang
menikah, yang disebut ibu, membentuk posisi khusus dalam struktur kekerabatan
dengan fungsi dan peran yang secara permanen diatur oleh adat, terutama melalui
hukum perkawinan ( dan perceraian ) yang merujuk pada fiqih Islam. Ketiga ciri
sistem kekerabatan itu sama-sama menempatkan perempuan sebagai “ penjaga
rumah “, tetapi tidak berarti mempunyai pengambilan keputusan atas properti,
yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status sosial sebuah keluarga.
Dalam fungsi dan peranannya sebagai “ penjaga rumah “ di ketiga sistem
kekerabatan itu, ada dua problem yang krusial dialami oleh kaum perempuan.
Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang
Kedua, berkenaan dengan tak adanya hak untuk bisa sekolah. Maka, gambaran
tentang perempuan ialah buta huruf, bodoh dan hidup sebagai “ penjaga rumah “.
Hukum perkawinan prinsipnya mengatur mas kawin, akad perkawinan,
perceraian dan pewarisan. Dicontohkan sistem matrilineal pada masyarakat
suaminya. Ia beranak-pinak sambil menjaga rumah gadang yang diwariskan
keluarga ibunya. Para ” penjaga rumah gadang ” itu dipimpin oleh ninik-mamak,
ialah saudara mereka yang laki-laki. Karena perempuan Minang itu yang menarik
masuk laki-laki ke dalam kekerabatnya, maka mas kawin dibayar oleh perempuan.
Sedangkan dalam sistem patrilineal, perempuan itu masuk ke keluarga suaminya
dan si suami ini membayar mas kawin kepada isterinya. Sering terjadi, jika
suaminya meninggal, maka adik suaminya yang laki-laki menikahi janda
abangnya itu. Dalam patrilineal, fungsi dan peran perempuan penjaga rumah
warisan keluarga suaminya.
Dalam sistem bilineal, contohnya di Jawa, perempuan yang kawin bisa
ikut suaminya. Akan tetapi, bisa juga perempuan itu menarik masuk suaminya ke
dalam keluarganya. Dengan demikian, fungsi dan peran perempuan tetaplah
”penjaga rumah” warisan suaminya atau warisan bapaknya untuk dia dan saudara
laki-lakinya. Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut ialah poligami dan hak
perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai
dan pewarisan. Terdapat asumsi, bahwa jika perempuan itu sekolah maka usia
perkawinannya dapat ditunda, sekaligus mereka tahu dimana kedudukannya
dalam hukum perkawinan. Problem itulah yang mengawali pertumbuhan
organisasi perempuan awal abad ke-20.1
Maka berdasarkan sejarah tradisi dan budaya Indonesia, kedudukan
perempuan sangat terbatas, mulai dari diri perempuan itu sendiri yang telah
ditempa sedemikian rupa di sekitar lingkungan yaitu didominasi sistem patriarki
yang menjadikannya sebagai perempuan dengan kepribadian ’ ngemoh ’ atau
1Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia : Gerakan dan
menerima apa adanya sampai faktor eksternal yang juga memainkan peran yang
cukup signifikan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik dan di
parlemen.
Merujuk peran perempuan di atas maka perempuan dikatakan sebagai the
“Second Human Being“ (manusia kelas kedua), yang berada di bawah superioritas
laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat.2
Sebenarnya, sudah banyak upaya dilakukan untuk memerangi ideologi
patriarki ini, dimulai sejak zaman Kartini hingga zaman reformasi sekarang ini.
Sehingga perempuan Indonesia telah mengalami banyak kemajuan, meskipun
pada tingkat tertentu masih terjadi ketimpangan gender. Hal ini dapat dilihat dari
pencapaian Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ) dan Indeks Pembangunan
Gender ( IPG ). Pada tahun 2002 angka IPM nasional adalah 65,8 sementara
angka IPG adalah 59,2. kenyataan bahwa angka IPG lebih rendah dibandingkan
dengan IPM menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu di Indonesia masih terjadi
ketimpangan gender. Berdasarkan Human Development Report 2003, IPM
Indonesia hanya menempati urutan ke-112 dari 175 negara. Posisi Indonesia
berada di bawah Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan juga Vietnam pada tahun Sejarah sistem politik di sebagian besar negara menunjukkan adanya diskriminasi
terhadap perempuan dalam proses politik mulai di tingkat lokal sampai tingkat
nasional. Adanya pembagian antara peran publik dan domestik menjadikan
perempuan terpotong aksesnya dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam
sistem politik.
2 Siti Musdah Mulia, Perempuan dan Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Umum,
2001 yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dibandingkan dengan
Indonesia. 3
3Hatmadji, “ Pembangunan Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam perspektif
Kependudukan”, 2004, hal.1.
Dalam bidang pendidikan terjadi kemajuan yang berarti. Secara umum,
laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk sekolah, namun
perataan pendidikan berdasarkan gender sebenarnya belum sepenuhnya tercapai.
Dari segi kemampuan baca tulis, perempuan sudah terbebas dari masalah buta
huruf. Kemajuan perempuan juga dapat di ukur dari partisipasi perempuan di
dunia kerja. Jika pada masa lampau sebagian besar perempuan terpenjara di ranah
domestik dan berfungsi sebatas ibu rumah tangga, maka saat ini semakin sedikit
perempuan peran satu-satunya adalah menjadi ibu rumah tangga dan lebih banyak
perempuan bekerja di luar rumah.
Dapat dikatakan bahwa pada masa ini khususnya Indonesia perempuan
bisa lebih memaksimalkan diri dengan minat dan bakatnya. Segala kesempatan
terbuka walaupun belum semuanya bisa diakses dengan mudah, tetapi paling tidak
jalan untuk berkembang itu telah terbuka. Dalam bidang politik masalah
keterwakilan politik ( political representativeness ) bagi perempuan adalah satu
hal yang cukup penting, khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilihan umum
( pemilu ). Alasan mendasar bagi tuntutan representase politik yang lebih adil ini
dinyatakan, seperti ” Gender sebagai suatu kategori politik yang penting yang
harus terwakili secara penuh dalam institusi-istitusi pemerintahan.” Apapun
pilihan politiknya, kaum perempuan mempunyai hak untuk diwakili hanya oleh
Dalam kerangka perpolitikan demokrasi saat ini maka peningkatan jumlah
representasi perempuan dalam lembaga perwakilan hanya dapat dilakukan melalui
dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan di
jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur yang paling efektif yang dapat
digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan
( partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat
ikut dalam pemilihan umum ). Sehingga saat ini partai politik sudah membuka diri
untuk perempuan bisa masuk dan peran lebih. Sepertinya partai politik sadar
bahwa selain jumlah perempuan secara kuantitas besar, secara kualitas perempuan
tidak kalah dengan pria. Kaum terpelajar dari kaum perempuan sudah sedemikian
banyak, keberanian untuk berperan di ranah publik pun semakin besar.4
Oleh karena itu, masyarakat kita sudah terbuka tentang wacana gender,
namun persoalan perempuan tidak akan pernah tuntas untuk dibahas.
Dibandingkan era sebelumnya, sesungguhnya persoalan perempuan pada saat ini
memiliki bentuk yang serupa, hanya dengan warna dan wajah yang berbeda.
Berangkat dari hal tersebut diatas, mari kita bersama-sama melakukan oto kritik Di era sekarang hampir semua ranah publik perempuan sudah bisa
mengakses dengan lebih terbuka. Dari lembaga pemerintah, lembaga pendidikan,
lembaga sosial sampai lembaga internasional pun perempuan sudah tidak asing
lagi. Di Tata Kelola Negara tidak sekedar anggota partai politik yang pasif.
Perempuan tidak jadi sekedar penambah suara, tetapi juga penentu suara dan
layak jadi wakil rakyat.
pada diri sendiri. Sebagai kaum perempuan, sampai dimanakah perjuangan kita
selama ini ?
Sekalipun perempuan telah mendapatkan kesempatan di ranah publik
namun pada kenyataannya sekarang ini perempuan berada di bawah himpitan
globalisasi, kapitalisme dan modernisasi. Tuntutan akan perubahan gaya hidup,
tingginya kebutuhan akan keping-keping uang, konsumtivisme, memunculkan
tekanan-tekanan hebat bagi individu dalam keluarga, yang berakhir dengan
munculnya bermacam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Demikian pula
dengan persoalan yang dihadapi para buruh perempuan. Kekerasan fisik,
kekerasan ekonomi, kekerasan seksual dan PHK sepihak yang mereka alami
merupakan bentuk nyata penjajahan dari para pemilik modal.
Secara spesifik, tindak kekerasan muncul atas dasar perbedaan etnis, suku,
religi bahkan berbasis gender. Andrew Karmen ( 1984 ) menjelaskan bahwa
viktimasi terjadi pada kasus-kasus pembunuhan, perkosaan, perampokan dan
berbagai bentuk serangan kejahatan secara tiba-tiba. Viktimasi dapat dikenali dari
adanya unsur-unsur penderitaan yang cukup menonjol dan serius.
Khusus mengenai korban kejahatan dan tindak kekerasan yang berkhas
dan ditujukan pada perempuan karena mereka bertubuh perempuan yang biasa
disebut kekerasan berbasis gender ( gender based violence ). Kekerasan berbasis
gender ( gender based violence ) merupakan tindak kekerasan diakibatkan oleh
relasi yang timpang antara perempuan dengan laki-laki dan ditandai dengan relasi
yang powerless dan powerful antara keduanya.5
5Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan
Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun
di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai
keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari
terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat,
negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh
perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang ringan
kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan tidak memberi perlindungan
serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.
Berbicara tentang kekerasan dan negara maka sekarang kita akan
menjelaskan ” Adakah hubungan negara dengan kekerasan ?” Menurut Gadis,
negara pada dasarnya adalah kekerasan. Keberadaan negara ditopang oleh
kekerasan. Artinya, negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan
mengolah kekerasan. Adapun sumber dari kemampuan negara mengolah
kekerasan bermuara pada kekuasaan politik. Jadi kekerasan dikokohkan untuk
mempertahankan kekuasaan.
Jika pemahaman terhadap kekerasan negara tidak hanya berhenti pada
”hakekat” tetapi pada ” politik ”, maka bisa dimengerti bagaimana negara
merekayasa suatu sistem ” nilai ” ( values ) dan ” kepercayaan ” ( beliefs ) dalam
sistem Aturan Simbolis masyarakat tersebut. Legitimasi kekerasan pertama harus
dilakukan lewat ideologi dominan dengan pokok pikiran bahwa ideologi berfungsi
untuk melegitimasikan kekuasaan politik tertentu. Kekerasaan terhadap
perempuan yang dilakukan oleh negara adalah tamparan keras bagi perempuan
Gadis menjelaskan juga dalam artikelnya mengenai ” Logika Kekerasan
Negara terhadap Perempuan ” bahwa negara melalui aparatnya secara langsung
atau tidak ’ merestui ’/ ’ mendiamkan ’ kekerasan-kekerasan yang khususnya
ditujukan kepada perempuan.
Sedang menurut Kartini Syahrir dalam buku ” Negara dan Kekerasan
terhadap Perempuan ” menjelaskan bahwa negara Indonesia telah mengalami
evolusi dari negara yang sederhana ( Tribe ), ke bentuk negara yang memiliki
strata sosial ( Huta/Nagari ), lalu memasuki fase penjajahan Belanda, yang
’mengajarkan’ bangsa kita menjadi negara modern dan diatur dengan sistem
birokrasi tertentu. Selama proses ini berlangsung kesinambungan pengaturan nilai
yang mengatur hubungan pria dan wanita. Namun sayangnya tidak tercermin
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang malah amat bercorak
militerisme pada masa Orde Baru.
Selain itu, menurut Kartini, kekerasan dan negara menjadi dua hal yang
identik satu sama lain, terutama negara yang dipimpin secara militer. Negara yang
bersifat lebih tradisional memiliki masyarakat yang rasional. Dalam arti, di dalam
masyarakat seperti ini hak-hak perempuan lebih terjaga dan menurunkan
kecenderungan kekerasan yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan.
Kartini lalu menjelaskan mengenai perempuan dan gender.
Menurutnya, gender sendiri merupakan istilah barat yang didapat dari
Revolusi Industri, dimana terjadi pembedaan pekerjaan untuk pria dan wanita.
Apa yang terjadi dari revolusi ini menjadi pilar utama peradaban Barat dan secara
otomatis mempengaruhi Indonesia, yang mengalami jajahan kolonialisme
hukum diperkuat dengan pencantuman GBHN pada rezim Orde Baru. Adanya
rezim ini menumbuh-suburkan kekerasan terhadap perempuan. Negara
’membiarkan’ kekerasan terhadap perempuan karena perempuan tidak dianggap
hal penting bagi proses produksi, contoh konkritnya, reproduksi pada perempuan
dianggap ancaman yang harus diantisipasi dengan program Keluarga Berencana
yang dilaksanakan oleh BKKBN ( Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional ).6
6http://situs .kesrepro.info/gendervaw/okt/2002/gendervaw03.htm Negara dan Kekerasan
Tehadap Perempuan oleh Gisella Tani Pertiwi.
Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan
bermuara kepada kultur patriarki. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah
angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak
aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil
dan menyusui; pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi,
pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan terhadap perempuan dan buruknya
sanitasi air bersih. Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika
akar permasalahannya, yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di
masyarakat, tidak diatasi terlebih dahulu.
Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran
laki-laki/suami dan perempuan/istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di
wilayah domestik ( domestikasi ), yakni sebagai pengurus rumah tangga
sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah
utama. Peran gender yang memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada
kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai kebijakan yang
Kebijakan-kebijakan itu akhirnya menyisakan ketidakadilan bagi kaum
perempuan. Reformasi yang sedang berlangsung menuju proses demokratisasi
hendaknya juga melibatkan pula proses reformasi dalam rangka mewujudkan
”Jender Equality” dalam berbagai aspek kehidupan negara. Era reformasi
sepatutnya juga adalah masa untuk melakukan revisi hukum dan aturan main
politik yang bisa menyuarakan berbagai kepentingan termasuk perempuan.7 Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum
dengan demikian dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai gender
yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk
menjaga dan menjamin kepentingannya.8
Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender
dirumuskan dalam UUD 1945 pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
28C ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
Secara umum ada bukti empiris bahwa negara telah mengambil peran
penting untuk memajukan perempuan. Kepedulian negara terhadap perempuan
dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa
itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan
umum 1955 maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Pada masa itu juga
telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU No.80
Tahun 1958. Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting dicapai perempuan,
salah satunya dibentuknya Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita pada
Kabinet Pembangunan ( 1974 ).
7 T.O.Ihromi, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Bandung : PT.Alumni, 2006,
hal.300.
pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya serta meningkatkan mutu
hidup dan kesejahteraan umat manusia. Landasan hukum lainnya yang
memastikan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender adalah UU No.7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan gender
dalam kebijakan, program dan kelembagaan serta peraturan lainnya yang
berkaitan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) tidak mampu melindungi
perempuan korban kekerasan, seperti pelecehan seksual, perkosaan, pornografi
dan pornoaksi. UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan
dalam rumah tangga merupakan langkah maju dan jika terimplementasi dengan
baik, seharusnya dapat melindungi perempuan dari perlakuan dan ancaman
kekerasan yang dialaminya.9
Kebijakan-kebijakan yang dibangun negara kita akan membantu kaum
perempuan meningkatkan segala bakat dan kemampuan yang merupakan hak-hak
Merujuk deskripsi di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat wacana
perempuan yang selama ini telah menjadi isu gender yang dilihat dari aspek
hukumnya yaitu bagaimana negara Republik Indonesia menjamin keadilan dan
kesetaraan gender di era reformasi ini. Apakah kebijakan-kebijakan itu telah
diterapkan dengan baik ? Apakah dengan adanya kebijakan tersebut perempuan
bisa menggunakan hak-haknya di segala bidang kehidupan ?
9Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik,
asasi mereka di luar peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Kebijakan-kebijakan
ini juga membantu kita meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan
negara kita.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan permasalahan yang
dibangun penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana deskripsi kebijakan yang dibangun oleh negara dalam wacana
perempuan Indonesia dari masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang
ini
2. Bagaimana refleksi setiap kebijakan yang dibangun oleh negara dari masa
pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini terhadap perempuan
3. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, pertama
bersifat formal akademis dan yang kedua adalah bersifat ilmiah.
Adapun tujuan yang bersifat formal akademis adalah untuk menambah
wawasan mahasiswa dalam bidang politik, khususnya mengenai Negara dan
Kesetaraan Gender.
Tujuan yang bersifat ilmiah adalah
1. untuk menggambarkan kebijakan yang dibangun oleh negara dalam
wacana perempuan Indonesia dari masa pemerintahan Soekarno
2. untuk menjelaskan atau menguraikan setiap kebijakan yang dibangun
negara dari masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini terhadap
perempuan
4. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada tiga jenis manfaat penelitian yaitu :
1. Manfaat bagi Penulis, dapat menambah wawasan penulis tentang
wacana perempuan pada masa pemerintahan Soekarno hingga
sekarang ini
2. Manfaat Akademis dari penelitian ini adalah sebagai suplemen baru
dalam pengembangan studi bagaimana relevansi teori-teori politik
gender, negara demi mewujudkan suatu kesetaraan gender.
3. Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini
menjadi sebuah bahan informasi bagi Pemerintah dan praktisi hukum
terutama Biro Pemberdayaan Perempuan dalam membuat kebijakan
yang berkaitan dengan kesetaraan gender serta masukan bagi kaum
5. Kerangka Teori
Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
5.1.Teori Gender
Dalam wacana perempuan dan analisis tentang isu-isu hubungan antara
pria dan perempuan dalam mengupayakan terwujudnya hasil-hasil pembangunan
nasional, telah lahir kebutuhan untuk menggunakan suatu istilah yaitu gender.
Secara historis, konsep Gender pertama kali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris
yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks
berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi
(menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah
perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak
selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarah kepada
simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu.10
Fakih ( 1996 ) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun kultural. Misal: Perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional
atau keibuan sedang laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan
sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu
10Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press,
ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu
kelas ke kelas lain itulah yang dikenal sebagai konsep gender.11
Gender adalah suatu bangunan konstruksi sosial yang mengatur hubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga atau masyarakat yang terbentuk
melalui proses sosialisasi. Kata gender ering dikaitkan sebagai kelompok laki-laki
atau kelompok perempuan yang dibentuk bukan oleh karena perbedaan biologis
manusia tetapi karena konstruksi sosial. Gender juga sering diartikan sebagai
perbedaan-perbedaan sifat, peran, fungsi, tugas, status dan tanggung jawab
laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat
yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat tersebut serta dapat berubah sesuai
dengan zamannya.12
Kata gender berarti jenis kelamin, sedangkan gene mengandung arti
plasma pembawa sifat di dalam keturunan. Saptari & Holzner
13
Pendapat di atas didukung oleh Christensen yang menyatakan bahwa
perempuan dan laki-laki berbeda secara biologis dan kepribadian. Secara biologis
yang sering disebut seks, ciri seperti prostat, berpenis, berjakun adalah
ciri-ciri yang terdapat pada laki-laki dan tidak dimiliki perempuan. Begitu pula vagina,
hamil, menyusui adalah ciri-ciri dari perempuan yang tidak dimiliki laki-laki.
Sedangkan kepribadian, ciri-ciri seperti kuat, gagah, berani, lemah lembut, halus, menjelaskan
bahwa gender adalah keadaan individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki
dan perempuan, memperoleh ciri-ciri sosial sebagai laki-laki dan perempuan
melalui atribut-atribut maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh
nilai-nilai atau sistem symbol masyarakat yang bersangkutan.
11 Harmona Daulay, Ibid., hal.6.
sabar, peka, merupakan ciri-ciri kepribadian pada masing-masing individu sesuai
jenis kelaminnya.
Jadi gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan (maskulin
dan feminin) yang diciptakan oleh manusia, dapat ditukar atau diubah sesuai
tempat, waktu dan lingkungan sosial. Maka Menurut Kementerian UPW ( 1994 ),
Gender adalah hubungan dalam bentuk pembagian kerja serta alokasi peranan,
kedudukan dan tanggung jawab serta kewajiban dan pola hubungan yang berubah
dari waktu ke waktu dan berbeda antar budaya.14
Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah
sekumpulan pola-pola tingkah laku atau sikap-sikap yang dituntut oleh
Sementara itu definisi peran menurut Theodore Sarbin adalah tingkah laku
yang diharapkan dan ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi sosial dimana
individu berada. Ward merumuskan peran gender dengan pernyataan bahwa peran
jenis kelamin yang ditentukan secara budaya mencerminkan perilaku dan sikap
yang umumnya disetujui sebagai maskulin atau feminin dalam suatu budaya
tertentu.
Menurut Berk, peran gender saling berkaitan dengan stereotip jenis
kelamin yang membedakan secara jelas bahwa peran perempuan berlawanan
dengan peran laki-laki. Sejalan dengan pendapat di atas, Ruble & Ruble
menjelaskan bahwa peran gender adalah stereotip jenis kelamin yang mengacu
kepada kepercayaan yang dianut masyarakat luas tentang karakteristik jenis
kelamin laki-laki yang berlawanan dengan karakteristik jenis kelamin perempuan.
lingkungan dan budaya tempat individu itu berada untuk ditampilkan secara
berbeda oleh laki-laki dan perempuan sesuai jenis kelaminnya.
Sejalan dengan perkembangan kematangan individu dari masa remaja
hingga dewasa, menurut tahapan psikososial Erikson, pandangan terhadap peran
gender secara bertahap mulai terbentuk menjadi lebih terbedakan, lebih tidak
ekstrim dan lebih unik bagi setiap pribadi, yaitu perkembangan ke arah
individualitas yang mantap.
Menurut William dan Best, pandangan peran gender merupakan
kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya penampilan seorang laki-laki
atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki atau perempuan,
dan bagaimana keduanya berinteraksi.
Pembentukan arti dan pembagian tugas antara dua individu dalam suatu
pasangan suami-isteri, secara langsung dipengaruhi oleh pandangan peran gender
pasangan tersebut. Scanzoni membedakan pandangan peran gender menjadi dua
bagian yaitu peran gender tradisional dan peran gender modern
.
a. Peran gender tradisional Pandangan ini membagi tugas secara kaku
berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki yang mempunyai pandangan peran
gender tradisional, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan
minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan,
sedangkan isteri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami
adalah untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam
rumah, setelah menikah perempuan mencurahkan tenaga untuk suami dan
keluarga.
b. Peran gender modern
Dalam peran gender modern, tidak ada lagi pembagian tugas yang
berdasarkan jenis kelamin secara kaku, kedua jenis kelamin diperlakukan
sejajar atau sederajat. Laki-laki mengakui minat dan kepentingan perempuan
sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan
pasangannya dalam setiap masalah rumah tangga dan memutuskan masalah
yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan
modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya
sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami.
Oleh karenanya, perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon
terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, politik dan sumber-sumber
daya strategis, termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya
pembangunan atau penyesuaian program struktural ( structural adjustment
program ) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan ditingkat nasional maupun
global.15
15 Leo Agustino, Op.cit., hal.228
Untuk lebih memahami peran gender itu maka dapat dilihat gambar di
PEMAHAMAN GENDER DAN PERAN GENDER16
5.2. Teori Negara
16 Materi Pokok Kesetaraan Dan Keadilan Gender, Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Tahun 2001, hal.13.
Ciri Laki-laki dan Perempuan Menurut Pandangan Masyarakat
Ciri Laki-laki dan Ciri Perempuan Yang Sesungguhnya
Beda
Gagah Lemah Lembut Kaisar Halus Lebih rasional Emosional Berani Penakut Berotot Gemulai Tabah Cengeng Mudah Selingkuh Setia
Suka berkelahi Senang Ngerumpi
Ciri Laki-laki dan Ciri Perempuan Yang Sesungguhnya
Primer Primer
*Penis/ Zakar *Vagina (Liang Senggama)4 M: *Kantong zakar
(Scatrum) *Ovarium (Indung Telur) Menstruasi *Buah Zakar
(Testis) *Ovum (Sel Telur) Mengandung *Sperma/ mani *Uterus (Rahim) Melahirkan *Prostat/ Kelenjar *Bulu dada *Kulit halus *Jakun *Suara lermbut *Suara berat *Buah dada *Berkumis
Gender
• Konstruksi/ bntk sosial • Tdk dimiliki sejak lahir • Bisa dibentuk/ bisa berubah • Dipengaruh: * Tempat
Waktu/ zaman
Jenis Kelamin Sosial – Nature (Pengasuhan / Lingkungan)
Gender
• Konstruksi/ bntk sosial • Tdk dimiliki sejak lahir • Bisa dibentuk/ bisa berubah • Dipengaruh: * Tempat
Waktu/ zaman
Jenis Kelamin Sosial – Nature (Pengasuhan / Lingkungan)
Peran Gender
Berpengaruh dan tercermin pd seluruh kegiatan, sikap, perilaku, pilihan profesi,
status
Jenis Kelamin Biologis (Seks)
• Bawaan
5.2. Teori Negara
Menurut kodratnya manusia adalah seorang pribadi sosial yang harus
hidup dalam suatu masyarakat bersama dengan manusia yang lain sehingga dapat
berkembang. Dengan demikian mau tidak mau seorang pribadi harus hidup
bersama dengan orang lain. Perkembangan peradaban telah membuat konstruksi
sosial sekelompok orang hidup bersama dalam kesatuan. Kesatuan hidup yang
fundamental dan terkecil adalah keluarga.
Keluarga-keluarga yang tergabung sebagai masyarakat, baik yang
berdasarkan alamiah ( suku, bangsa ) maupun yang berdasarkan kehendak bebas
untuk hidup ( di desa, kota, berorganisasi dan sebagainya ) tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang besar. Dengan demikian dalam tingkat perkembangan
tertentu masyarakat membutuhkan suatu organisasi kemasyarakatan yang mampu
mengatur segala hal secara bersama (respublika) dan memusatkan perhatian serta
kegiatannya pada kesejahteraan umum semua anggota. Organisasi ini disebut
negara. Oleh sebab itu dalam arti luas negara adalah alat dari suatu masyarakat
yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat di samping itu juga menertibkan gejala-gejala kekuasaan yang timbul
oleh karena hubungan-hubungan tersebut dalam masyarakat.17
Kata Negara sendiri diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu ” Staat ”
(Bahasa Belanda dan Jerman), selanjutnya berasal dari bahasa Inggris yaitu
”State” dan juga bahasa Perancis yaitu ” Etat ”. Istilah ” Staat ” mula-mula
dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima
adalah bahwa kata “Staat“ ( State, Etat ) dialihkan dari kata bahasa Latin “Status“
atau “ Statum “.18
Secara etimologis kata “ Status “ dalam bahasa Latin klasik adalah suatu
istilah yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu
yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.19 Negara mempunyai arti formil dan material. Negara dalam arti formil dimaksud negara ditinjau dari aspek
kekuasaan, negara sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu pemerintahan
pusat.20
Menurut Roger Soultau, Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur
atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Pemerintah menjelmakan aspek formil dari negara. Karakteristik dari
negara formil adalah wewenang dari pemerintah untuk menjalankan paksaan fisik
secara legal. Negara dalam arti formil adalah sebagai pemerintah (Staat-Overhed).
Negara dalam arti material adalah negara sebagai masyarakat
(Staat-Gamenschop).
21
Juga demikian halnya apa yang diutarakan oleh Harold J. Laski bahwa,
”Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai Sehingga dapat kita maklumi bahwa semua perikehidupan warga dalam suatu
teritori tertentu amat dipengaruhi oleh peran negara yang mengelolanya. Tidak
heran apabila negara akan membuat suatu aturan yang tegas ( sanksi-sanksi )
kepada setiap warga masyarakat agar persoalan-persoalan kolektif yang dirasa
dapat diselesaikan dengan baik menuju kebaikan bersama seperti apa yang
dirasakan dalam kontrak sosial ketika negara dibentuk.
18 F.Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Bina Cipta, 1980, hal.90. 19 F.Isjawara, Ibid.,hal.90.
kewenangan yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu
atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah
suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara
kalau cara yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi
ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.“22
Merujuk pada defenisi di atas maka Miriam Budiardjo
Dari ungkapan Laski tergambar bahwa Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik yang diamanatkan oleh masyarakat kepada sekelompok kecil
warga masyarakat itu sendiri untuk mengatur hubungan-hubungan antar manusia
guna penciptaan ketertiban.
23
Negara perlu memiliki sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari
kedaulatan ( serta legitimasi ) diantaranya, Pertama, Negara memiliki sifat memahami
Negara sebagai integrasi dari kekuasaan politik di mana ia adalah organisasi
pokok dari kekuasaan rezim politik. Negara, menurutnya lebih lanjut, merupakan
instrumen dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dalam rangka menciptakan ketertiban dari
gejala-gejala perebutan kekuasaan inskonstitusional dalam masyarakat.
Untuk menghadirkan tujuan tersebut, maka negara menetapkan cara-cara
dan batas-batas sampai di mana interelasi kekuasaan dapat digunakan dalam
kehidupan bersama, entah antara individu dengan individu, atau individu dengan
golongan atau asosiasi, maupun negara sendiri dengan institusi yang berada di
wilayahnya.
memaksa. Hal ini dimaksudkan untuk menuntun warga pada pelbagai aturan
perundang-undangan guna menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kedua,
negara memiliki sifat memonopoli. Ketiga, bahwa negara mencakup semua (
all-encompassing ; all-embarcing ), maksudnya semua peraturan
perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.
Merujuk pada defenisi negara seperti tersebut diatas, tampak bahwa negara
bukan hanya sebagai pemerintah. Namun negara juga merupakan sebuah fakta
dominasi dari suatu kelompok masyarakat untuk mencapai suatu tujuan yang
ditetapkan secara politis. Karena itu, tidak heran apabila negara memerlukan
pemerintah, birokrasi, lembaga peradilan, lembaga penjaga keamanan dan
ketertiban, lembaga pertahanan dan macam sebagainya. Edward Greenberg24
24 Leo Agustino, Op.cit., hal.29 .
menjelaskan bahwa ada elemen-elemen yang dianggap penting untuk
merealisasikan tujuan negara dalam bentuk konkret, yakni : negara ( itu sendiri ),
rezim, aparatur birokrasi atau pemerintahan serta kebijakan.
Negara, menurut Greenberg, adalah organisasi yang paling tinggi dan
mencakup pemahaman yang luas. Negara tidak saja merupakan fakta dominasi
atas warga masyarakatnya, tetapi lebih dari itu. Dalam konteks ini Greenberg
menjelaskan, elemen utama dari suatu negara adalah -karena proyeksinya adalah
welfare state- property rules ( atau pengaturan kekayaan ). Artinya dalam hal ini
negara mengatur bagaimana kekayaan diproduksi dan bagaimana kekayaan
didistribusikan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, negara
merupakan sistem kekuasaan untuk suatu tujuan tertentu, dalam hal ini,
Elemen penting kedua dalam negara adalah rezim. Dalam pengertian
umum, rezim diartikan sebagai individu atau kelompok orang yang menguasai
negara. Dalam konteks teoritikal rezim diartikan sebagai prinsip-prinsip,
norma-norma, aturan-aturan dan prosedur-prosedur pengambilan keputusan yang dianut
oleh penguasa sebuah negara.25
25 Leo Agustino, Ibid.,hal.29.
Karena itu, ketika terjadi pergantian prinsip,
norma, aturan serta prosedur pengambilan keputusan, maka sebenarnya telah
terjadi pergantian rezim walau individu atau kelompok orang yang berkuasa
masih tetap sama.
Elemen ketiga, yakni, aparat birokrasi atau pemerintahan. Dalam
pengertian yang popular bahwa birokrasi adalah pelaksana keputusan-keputusan
politik yang ditetapkan oleh negara. Elemen terakhir yang juga penting menurut
Greenberg adalah kebijakan. Kebijakan, secara sederhana, adalah
masalah-masalah publik dan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara untuk
dilaksanakan oleh aparatur birokrasi.
Bila dilihat secara mendalam, maka akan diperoleh ungkapan bahwa
kebijakan merupakan suatu proses politik yang tidak sederhana. Ada pergulatan
kepentingan dan nilai di sana. Sebagai sebuah proses, kebijakan sendiri, meliputi
banyak orang yang terlibat dengan pelbagai macam latar belakang dan nilai yang
mempengaruhi cara pandang mereka, belum lagi bagaimana kebijakan ditetapkan
berdasar pada alternatif-alternatif kebijakan yang telah dirumuskan, banyak hal
tertuang dalam konteks kebijakan. Namun pada dasarnya bahwa kebijakan
6. Metodologi Penelitian
6.1. Sifat Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini
merupakan penelitian yuridis normatif, walaupun pada beberapa sisi akan
ditunjang oleh data empiris. Sedangkan sifat penelitian ini akan menuju deskriptif
analitis dengan pendekatan data yang dipergunakan.
Bersifat deskriptif karena berusaha mengetahui dan memaparkan informasi
faktual secara sistematis dan akurat mengenai kebijakan yang berkaitan dengan
kesetaraan gender.
Bersifat analisis karena akan dilakukan analisa terhadap
kebijakan-kebijakan dan dari segi penerapannya guna mengetahui hal-hal yang berkaitan
kesetaraan gender.
6.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data yang dibutuhkan dilakukan beberapa
teknik pengumpulan data, yaitu studi kepustakaan dengan cara pengumpulan data
dengan menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen serta
sarana info lainnya berhubungan dengan teks kebijakan.26
6.3. Analisa Data
Data dikumpulkan melalui pendekatan yang disesuaikan dengan jenis data
yang diperlukan, yaitu data sekunder diperoleh melalui studi teks / wacana.
Analisis wacana melihat pada ” bagaimana ” ( how ) dari pesan atau teks
26 Hadari Nawawi, Metode Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta :
komunikasi. Melalui Analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi
teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat,
metafora macam apa berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan
struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih melihat makna yang
tersembunyi dari suatu teks.27
Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan
pada analisa atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi
yang harus juga diamati.
Analisis wacana terutama menyerap sumbangan dari studi linguistik- studi
untuk menganalisis bahasa seperti aspek leksikal, gramatikal, sintaksis, semantik
dan sebagainya. Analisis wacana tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga
konteks dan proses produksi dan konsumsi dari suatu teks.
28
Segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen-elemen
diantaranya adalah topik, skema, latar, detail, maksud, praanggapan, nominalisasi,
bentuk kalimat, koherensi, kata ganti, leksikon, grafis, metafora dan ekspresi.
Adapun kerangka analisis wacana menurut Van Dijk adalah Pertama, Apa
yang dikatakan ( Tematik ) ; Kedua, Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai
(Skematik) ; Ketiga, Makna yang ingin ditekankan dalam teks ( Semantik ) ;
Keempat, Bagaimana pendapat disampaikan ( Sintaksis ) ; Kelima, Pilihan kata
apa yang digunakan ( Stilistik ) ; Keenam, Bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan ( Retoris ).
27 Eriyanto, Analisis Wacana : Suatu Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta : LKis,
2001, hal.xv.
Meski terdiri atas berbagai elemen, semua elemen itu merupakan suatu kesatuan,
saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. 29
29 Eriyanto, Ibid., hal.228-229 7. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, maka penulisan penelitian akan
dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup, yaitu :
BAB I Pendahuluan ini berisikan latar belakang maslah mengapa penulis
tertarik mengangkat masalah tentang negara dan kesetaraan gender untuk dibahas
dalam penelitian, terdapat juga mengenai perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teori yang menjadi acuan penulis dalam membuat penulisan
penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Masalah-masalah perempuan, kebijakan yang telah dibangun
negara pada masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini untuk mewujudkan
kesetaraan gender.
BAB III Analisis Data ini menguraikan atau menjelaskan secara garis
besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian.
BAB IV Kesimpulan dan Saran merupakan bab terakhir dari penuliasan
skripsi, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada
bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang berguna bagi penulis secara
BAB II
NEGARA DAN PEREMPUAN
1.KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM
Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi
oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata telah terjadi
tolak-tarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik
otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian
dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter.30 Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum
memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadinya tolak-tarik antara produk
hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter
konservatif dengan kecenderungan linear yang sama.31
30
Moh.Mahfud, “ Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoretis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989, hal.169.
31Moh.Mahfud, Pergulatan Poliik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media,
1999, hal.11.
Konsep demokratis dan otoriter ( non-demokratis ) diidentifikasi
berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian, dan peranan badan perwakilan,
peranan eksekutif, dan kebebasan pers sedangkan konsep hukum
responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian
Berdasarkan indikator-indikator tersebut, konsep-konsep itu kemudian
diberi pengertian konseptual yang khusus dipakai tulisan yaitu32
1. Konfigurasi Politik Demokratis adalah konfigurasi yang membuka
peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut
menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian
pemerintah lebih merupakan “ komite “ yang harus melaksanakan
kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis,
badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional
dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara. :
2. Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan
pemerintah pada posisi sangat dominan dengan sifat yang intervensi dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi
masyarakat teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan,
dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat
dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan
justifikasi ( rubber stamps ) atas kehendak pemerintah.
3. Produk Hukum Responsif/Otonom adalah produk hukum yang karakternya
mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun
berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu
mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses pembuatan
hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi
masyarakat dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat
pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya
cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasi berdasarkan
kehendak dan visi pemerintah sendiri.
4. Produk Hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang
karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant
sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi
masyarakat secara sungguh-sungguh. Biasanya bersifat formalitas
sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau
menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah
Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menjadikan
“demokrasi“ sebagai salah satu asasnya yang menonjol tetapi tidak semua
konstitusi mampu melahirkan konfigurasi politik yang demokratis. Artinya,
sebuah konstitusi yang jelas-jelas menganut paham demokrasi dapat melahirkan
konfigurasi politik yang tidak demokratis atau otoriter. Bahkan, di bawah sebuah
konstitusi yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda-beda pada
periode yang berbeda-beda pula.
UUD 1945 yang berlaku pada periode 1945-1949 melahirkan konfigurasi
yang jauh berbeda dengan konfigurasi politik pada saat UUD tersebut berlaku
pada periode 1959-1966 untuk selanjutnya melahirkan konfigurasi politik yang
berbeda lagi pada periode setelah 1966. Secara lebih rinci, perkembangan
konfigurasi politik dari periode-periode adalah sebagai berikut33
33Moh.Mahfud, Ibid., hal.11-12.
PERIODE 1945-1959
Pada periode 1945-1959 konfigurasi politik yang tampil adalah
konfigurasi politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini dicirikan
sebagai demokrasi liberal.34 Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan
kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya ( parlemen ).35 Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang ” kalah kuat ” dibandingkan dengan
partai-partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik
berjalan secara tidak stabil.36
Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika
tanggal 5 Juli Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggap
sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin. Pada era demokrasi terpimpin
yang berlangsung tahun 1959 sampai 1966 konfigurasi politik yang ditampilkan
adalah konfigurasi politik yang otoriter. Di dalamnya Sukarno menjadi aktor
utama dalam agenda politik nasional sehingga pemerintahan Sukarno dicirikan
sebagai rezim yang otoriter. PERIODE 1959-1966
37
34Moeljarto T., Beberapa Pokok Pikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia,
Yogyakarta : Fakultas Sosiologi UGM, 1969, hal.7. 35
Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, terj.Hasan Basari dan Muhadi Sugiono, Jakarta : LP3ES, 1990, hal.43.
36Moeljarto, op.cit., hal.7.
37Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia : Social and Cultural Revolution, terj. Benedict R.
Anderson, Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1966, hal.173.
Tiga kekuatan politik yaitu Sukarno, Angkatan
Darat, Partai Komunis Indonesia. Presiden Sukarno mengatasi lembaga-lembaga
sering membuat peraturan perundang-undangan yang secara konstitusional tidak
dikenal seperti Penpres dan Perpres.
PERIODE 1966 – 1998
Pada periode ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan pada
bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan,38 konfigurasi politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat. Pada awalnya
Orde Baru memulai langkahnya secara demokratis39
Pada periode ini, konfigurasi politik yang ditampilkan adalah demokrasi.
Demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi pancasila, masih dalam
taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinys terdapat pelbagai
tafsiran dan pandangan. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa beberapa nilai tidak
poko dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam Undang-undang
Dasar 1945. Sesuai dengan apa makna yang tertuang dalam demokrasi, dimana
rakyat menjadi subyek dalam pengambilan kebijakan negara ( Undang-undang )
dan pengambilan keputusan pemerintah. Pemerintah berasal dari rakyat yang tetapi secara pasti
lama-kelamaan membentuk konfigurasi politik yang cenderung otoriter. Eksekutif
sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif dicirikan sebagai lembaga
yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan tangan-tangan eksekutif melalui
Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
PERIODE 1998- SEKARANG
38Moeljarto T., Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987, hal.106.
39Amir Effendi Sitegat, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti,
dipilih melalui proses pemilihan umum dituntut harus dapat melaksanakan apa
yang menjadi kehendak rakyat. Jadi dalam hal ini pemerintah bertindak sesuai
dengan apa yang menjadi keinginan rakyat yang telah memilihnya.
2. KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PEREMPUAN
2.1.DISKRIMINASI PEREMPUAN
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu
ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen
masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang luas kemiskinan dapat
meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan
berusaha, lemahnya kapasitas sumber daya manusia, situasi rentan yang membuat
orang jatuh miskin, lemahnya dukungan kelembagaan, atau lemahnya akses
mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-proses politik.40
Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang
berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap
kehidupan laki-laki juga berbeda daripada perempuan. Sumber dari
permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya
patriarki, yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang
memosisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai
subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara dan menjadi sumber Dalam hal ini, situasi kemiskinan sebenarnya dapat dialami oleh siapa
saja, kapan saja dan dimana saja.
pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem
pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan
dan sistem distribusi risorsis yang bias gender. Muara dari masalah
kultural ini adalah kecenderungan terjadinya pelecehan, diskriminasi,
marginalisasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. 41 1. Marginalisasi ( Pemiskinan ekonomi ) perempuan
Proses marginalisasi ( pemiskinan ekonomi ) yang mengakibatkan
kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti
penggusuran dari kampung halamannya, eksplotasi dan lain sebagainya. Namun
pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis
kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.
Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin
akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya
memfokuskan pada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis
kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang
biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, perkembangan teknologi
telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan
diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki
karena anggapan bahwa mereka kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang
memerlukan kecermatan dan kesabaran.
2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis
kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.
Banyak kasus bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang
istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia
harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia bisa
mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi
semacam ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting
sehingga karena kemampuannya perempuan bisa menempati posisi penting
sebagai pemimpin, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa
tertekan.
3. Pandangan Stereotip
Pelabelan atau penadaan ( stereotip ) yang sering kali bersifat negatif
secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang
melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender,
karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin
tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya
hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau
tugas domestik, sebagai akibatnya ketika berada di ruang publik maka jenis
pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan
4. Kekerasan
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran
muncul dalam berbagai bentuk. Kata ” kekerasan ” yang merupakan terjemahan
dari ” violence ” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi juga
yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga
secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa
terusik batinnya.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun
di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai
keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari
terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat,
negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh
perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang lebih
ringan kepada pelaku kekerasan terhadap dan tidak memberi perlindungan serta
pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.
Sistem pemerintahan yang hirarkis, hegemonis dan patriarkis telah
meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan,
program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik
tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan –
laki-laki sehingga kebijakan, program dan lembaga yang dirancang
menjadi buta gender ( gender blind ) dan menimbulkan kesenjangan
negara ini pada gilirannya akan dapat menghambat optimalisasi
pencapaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.42
Peraturan undangan bias gender adalah peraturan
perundang-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan
bermuara pada kultur patriarki. Untuk menyebut diantaranya adalah angka
kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman,
ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan
menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan
seksual, perdagangan perempuan dan buruknya sanitasi air bersih.
Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar
permasalahannya yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat,
tidak di atasi terlebih dahulu.
2.2.TINJAUAN KEBIJAKAN
Apabila konsep gender telah dipahami, maka kriteria peraturan
perundang-undangan yang berwawasan gender adalah kriteria yang tidak bias gender yang
dimana salah satu jenis kelamin tidak dirugikan karena pemberlakukan sistem
dan/atau struktur tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah
peraturan perundangan-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak
mentransformasikan keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah
pihak yang berhak atas keadilan tersebut.
keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas
keadilan tersebut.
Untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut
bias gender tertentu diperlukan pengkajian yang komprehensif obyektif dengan
menggunakan tolak-ukur minimal sebagai berikut :
1. Faktor Akses
Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses dan dapat
mempergunakannya dengan cara yang sama pula dalam implementasi
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Faktor Kontrol
Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol ( penguasaan ) yang
sama terhadap sumber-sumber daya guna implementasi dan/atau
pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan.
3. Faktor Partisipasi
Apakah partisipasi atau peran serta perempuan dan laki-laki telah dibuka
dengan peluang-peluang yang sama sejak rumusan awal ( rancangan ),
pembahasan, pengesahan dan kemudian pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tersebut.
4. Faktor Manfaat
Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh dan/atau menikmati manfaat
yang sama dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.
Metode Penafsiran Peraturan Perundang-undangan yang Berperspektif
Gender adalah tool atau alat yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk
A. MASA SOEKARNO
Kepedulian negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa
pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno. Pada masa itu,
perempuan telah diakui haknya dalam Politik, baik hak pilih dalam pemilihan
umum 1955, maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Sesudah
kemerdekaan, pemilihan umum mula-mula diatur dalam UU No.27 Tahun 194843
Keputusan 19 Tahun 1952
berhubung dengan UU No.12 Tahun 1949 kemudian dalam UU No.7 Tahun
1953 tentang Pemilihan Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR ).
Hasil Pemilihan Umum 1955 :
Anggota : DPR 17 Wanita; 255 Pria
Konstituante 30 Wanita; 490 Pria
44
Pada masa itu juga telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan
gender, yaitu UU No.80 Tahun 1958.
tentang Tunjangan Pensiun diberikan dua
kali bagi janda-jandanya yang tidak lebih dari empat ( 4 ) orang.
45
43Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984,
hal.159-160.
44Muhadjir, Op.cit., hal.47. 45Muhadjir, Ibid., hal.47.
Undang-undang tersebut menentukan
prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan
laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
UU NO.68 Tahun 1958 tentang Hak Politik Perempuan46
Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 1948 Pasal 1 menetapkan bahwa:
Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar
yang sama dengan pria tanpa diskriminasi
Pasal 2 menentukan bahwa :
Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam semua “ publicly elected
bodies “ yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan nasional, atas
dasar yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi apa pun.
Pasal 3 menentukan bahwa :
Wanita mempunyai hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan
melaksanakan semua fungsi pemerintahan, tanpa diskriminasi apa pun,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.
47
46Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Jakarta : Yayasan
Obor, 2007, hal.198.
47Nani Soewondo, Op.cit., hal.296-298.
Republik Indonesia yang
kemudian dinyatakan berlaku dengan Undang-undang No.1 Tahun 1951.
Disamping itu ditetapkan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1954 tentang
pernyataan berlakunya beberapa pasal dari Undang-undang Kerja Tahun 1948
untuk seluruh Indonesia. Adapun pasal-pasal tentang pekerjaan wanita adalah :
Pasal 7 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam
hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan
Pasal 8 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam
tambang, lubang di dalam tanah atau tempat lain untuk
mengambil logam dan bahan-bahan lain dari tanah.
Pasal 9 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya
bagi kesehatan atau keselamatan, demikian pula pekerjaan
yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi
kesusilaannya.
Pasal 13 ayat ( 1 ) UUK : Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari
pertama dan kedua haid ( datang bulannya )
Mengenai hal itu majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari
buruhnya wanita, bilamana yang berkepentingan tidak memberitahukan hal itu
kepadanya. ( Pasal ayat ( 1 ) PP No.4 Tahun 1954 ).
Pasal 13 Ayat ( 2 ) UUK : Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah
bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan
melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah
melahirkan anak atau gugur kandungan.
Pasal 13 Ayat ( 3 ) UUK : Waktu istirahat sebelum saat pekerja menurut
perhitungan akan melahirkan anak, dapat
diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan,
jikalau di dalam suatu keterangan dokter
dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga
kesehatannya.
Pasal 1 Ayat ( 4 ) PP No.4 Tahun 1954 : Kepada wanita yang diberi istirahat
untuk waktu istirahat itu, kecuali jika dalam pada itu
untuk wanita tadi berlaku peraturan khusus tentang
kedudukan dan gaji pegawai/pekerja negeri.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata buku ketiga titel 7A48
1. Terhadap perjanjian kerja yang diadakan oleh seorang wanita yng
bersuami sebagai buruh, undang-undang menganggap bahwa ia telah
mendapat izin dari suaminya.
tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan terdapat pasal-pasal sebagai
berikut:
2. Oleh karena itu, ia dapat melakukan sendiri semua tindakan yang
berkenaan dengan perjanjian itu, termasuk pula memberi tanda
pelunasan dan menghadap di pengadilan tanpa bantuan suaminya.
3. Ia berhak menggunakan apa yang diterimanya atau apa yang ia berhak
menuntut berdasarkan perjanjian kerja tersebut, guna kepentingan
keluarga ( Pasal 1601 f )
Namun berbeda lagi kebijakan terhadap pegawai wanita atau kata lain
pekerja wanita yang terpelajar. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlakukan satu aturan untuk semua pegawai negeri wanita di
seluruh Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 1951.