• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan taman nasional didasarkan pada berbagai peraturan perundangan, baik sektor kehutanan maupun sektor terkait lainnya (Lampiran 2). Landasan utamanya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan berikut peraturan turunannya. Analisis terhadap isi peraturan perundangan ini akan dapat mengungkapkan intention dan fokus dari kebijakan pengelolaan taman nasional.

Hasil content analysis dari beberapa perundangan dan peraturan yang relevan dengan taman nasional, seperti disajikan pada Tabel 6, menunjukkan bahwa terdapat pergeseran-pergeseran penekanan atau fokus dari kebijakan pengelolaan taman nasional. Kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, penekanan kebijakan kehutanan paling banyak kepada aspek pemanfaatan yang disusul dengan aspek pengelolaan, penelitian, pendidikan, perlindungan, konservasi dan rehabilitasi. Sedangkan aspek-aspek yang kurang atau sedikit mendapatkan penekanan adalah ekosistem, pengawetan, pengamanan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena pada masa lalu, pembangunan sektor kehutanan lebih banyak difokuskan sebagai penyedia hasil hutan, terutama hasil kayu. Aspek pengawetan ekosistem kurang mendapatkan penekanan dan lebih dibebankan pada kawasan hutan konservasi dibanding pada hutan produksi. Hal ini tercermin pada pengklasifikasian hutan, yaitu hutan produksi, lindung dan konservasi yang menghasilkan dikotomi sistem pengelolaan hutan. Jika pengertian konservasi hanya dipersepsikan dan dipahami hanya berlaku pada kawasan hutan konservasi maka masa depan kelestarian sumber daya alam hayati akan sangat tergantung pada keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Sukmadi 2005). Di samping itu, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat belum mendapatkan perhatian dalam kebijakan pembangunan sektor kehutanan, walaupun keadaan ini sekarang sudah berubah.

Tabel 6 Proporsi beberapa aspek kunci dalam perundangan dan peraturan yang terkait dengan taman nasional

No Aspek Kunci Undang-Undang Undang-Undang PP No.68/1998 Permenhut No. 41 tahun 1999 No. 5 tahun 1990 No.3 tahun 2007

1 Pengelolaan 13.8 3.4 16.2 17.9 2 Ekosistem 0.6 26.4 15.2 11.9 3 Konservasi 7.2 14.2 3.4 10.4 4 Pengamanan 0.0 0.0 2.9 10.4 5 Perlindungan 8.4 7.4 4.4 10.4 6 Pengawetan 0.0 9.5 11.3 6.0 7 Pemanfaatan 28.1 13.5 10.3 10.4 8 Penelitian 10.2 4.7 13.2 0.0 9 Pendidikan 9.0 4.7 5.4 0.0 10 Penyuluhan 7.2 0.7 0.0 9.0 11 Informasi 3.0 0.0 0.0 0.0 12 Peran serta 3.6 1.4 0.0 0.0 13 Pemberdayaan masyarakat 1.2 0.0 0.0 9.0 14 Pariwisata alam 0.0 9.5 9.8 4.5 15 Rehabilitasi 7.8 0.7 1.0 0.0 16 Budidaya 0.0 4.1 6.9 0.0

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menunjukkan bahwa aspek ekosistem, konservasi, pemanfaatan, pengawetan, perlindungan dan pariwisata alam mendapatkan proporsi yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemanfaatan, misalnya dalam bentuk pariwisata alam dapat dilakukan bersamaan dengan perlindungan dan pengawetan ekosistem. Kebijakan pengaturan penyelenggaraan, pengusahaan dan pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata alam diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010. Aspek partisipasi masyarakat telah mendapatkan penekanan walaupun proporsinya masih kecil. Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam ketentuan Undang-Undang ini secara tekstual tidak mengenal adanya aspek pengamanan dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, aspek partisipasi, pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan sama sekali tidak dijumpai. Aspek partisipasi

masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati yang diharapkan dapat menumbuhkan dukungan masyarakat dalam upaya konservasi tidak termuat sama sekali dalam peraturan ini karena akan diatur lebih lanjut secara tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan ini juga memuat aspek pengamanan dalam upaya pengawetan dalam pengelolaan taman nasional yang sebelumnya tidak dijumpai dalam ketentuan Undang-Undang diatasnya. Kebijakan perlindungan dan pengamanan menjadi pendekatan dalam pengelolaan taman nasional.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional mengatur kedudukan, tugas, fungsi, klasifikasi, susunan organisasi, dan tata kerja taman nasional. Salah satu tugas dan fungsinya adalah perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional. Aspek perlindungan dan pengamanan cukup mendapat penekanan dalam peraturan ini. Sedangkan aspek partisipasi masyarakat, penelitian, pendidikan dan informasi sama sekali tidak termuat secara tekstual.

Untuk mengelola TNKS dengan kawasan yang luasnya hampir 1.4 juta hektar dengan dukungan 190 personil dirasakan oleh TNKS (2005a) masih sangat belum memadai. Pengelola TNKS hanya didukung lebih kurang 108 tenaga fungsional polisi hutan sehingga cakupan pengamanan ±12 000 hektar per orang. Jika pengelolaan TNKS lebih menekankan pendekatan perlindungan dan pengamanan oleh personil TNKS sendiri maka kemungkinan pemenuhan personil akan sulit dicapai karena luasnya kawasan. Sehingga pendekatan pengamanan semata akan menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan untuk mengurangi kegiatan ilegal yang terjadi. Untuk itu diperlukan pendekatan alternatif, yaitu meningkatkan kerja sama dengan masyarakat lokal dan Pemeritah Daerah untuk melindungi taman nasional dan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat lokal (Locke & Dearden 2005). Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dan para pihak menjadi determinan keberhasilan pengelolaan taman nasional.

Sedangkan keterkaitan kebijakan sektor lain, yaitu kebijakan otonomi daerah, dalam pengelolaan taman nasional mengacu pada ketentuan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berikut turunannya. Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, telah ditetapkan bahwa pelaksanaan zonasi, penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan serta pelaksanaannya menjadi kewenangan Pemerintah. Pemerintah Daerah memberikan pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tetapi tidak memiliki kewenangan dalam penataan batas, zonasi dan pelaksanaan pengelolaan. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan penataan zonasi unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat dilibatkan dalam tim kerja sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sedangkan untuk pengusahaan pariwisata alam di dalam taman nasional, pemberian perizinan berada pada kewenangan Pemerintah dengan pertimbangan teknis dari Pemerintah Daerah. Penunjukan kawasan pelestarian alam dilaksanakan oleh Pemerintah berdasarkan usulan penunjukan dari Pemerintah Kabupaten dengan pertimbangan teknis Pemerintah Propinsi.

Meskipun secara pembagian urusan Pemerintah Kabupaten dan Provinsi tidak memiliki kewenangan pengelolaan taman nasional, Pemda dapat berperan dan berkeinginan untuk mendukung perlindungan taman nasional. Pemerintah Kabupaten Kerinci mewujudkan dukungan terhadap perlindungan TNKS melalui pembentukan Tim Satgas Penertiban Wibawa Sakti melalui Keputusan Bupati. Tim bertugas diantaranya untuk penertiban dan pengawasan terhadap wilayah TNKS dan pengamanan kehutanan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menertibkan sekaligus menindak bagi yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Pembentukan ini dimulai pada tahun 2001. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Kerinci telah melakukan kesepakatan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Merangin tentang pengamanan dan pelestarian TNKS. Inisiatif pemerintah daerah dalam upaya perlindungan, pengamanan dan pelestarian TNKS juga diwujudkan dalam bentuk kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang wilayahnya sebagian

berada dalam kawasan TNKS. Kesepakatan ini dilakukan pada tahun 2002. Hal- hal yang disepakati meliputi:

1) kehendak untuk melakukan operasi bersama antar kabupaten secara terpadu dalam rangka pencegahan dan penanganan kegiatan-kegiatan yang mengancam kelestarian TNKS, terutama penebangan liar, perambahan dan kebakaran hutan.

2) kesepakatan untuk melakukan tuntutan hukum dan tindakan administratif terhadap pelaku langsung maupun tidak langsung terhadap perusakan dan gangguan pelestarian TNKS, seperti perambahan, pengambilan hasil hutan, penambangan, pendirian penggergajian liar dan pembakaran.

Dokumen terkait