• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Sistem Bushi Baru Tokugawa dalam Dominasi Politik

BAB II Deskripsi Sistem Politik Jepang

III.7 Kebijakan Sistem Bushi Baru Tokugawa dalam Dominasi Politik

Dalam sebuah sistem sosial dan politik istilah kebijakan dan strategi menjadi sebuah pemahan teori dan praktek yang sangat penting. Tanpa hal tersebut maka sebuah rencana dan tujuan politik tidak akan lebih dari sekedar perbincangan warung kopi yang setiap hari-hari selalu memperbincangkan permasalah politik dan kebijakan tanpa ada tindakan solusi. Di dalam pembahasan tentang kebijakan dan strategi politik rezim Tokugawa yang pada awal rezim dipimpin oleh Ieasyu melakukan kebijakan penting dalam tujuannya untuk menjadi pemimpinan tungggal di Jepang pada masa itu. Dalam sistem politik terpusat maka dibutuhkan pasukan atau pada masa itu ksatria-ksatria yang teruji kesetiannya untuk menjalankan roda perpolitikan

didaerah-daerah. Adanya Bushi atau pasukan militer sebelum masa era shogunat Tokugawa terdapat beberapa sistem penerapan atau nilai dasar kerja Bushi yang dirubah oleh Tokugawa, hal ini lah salah satu kebijakan penting yang diambil Rezim Tokugawa sebagai langkah pemantapan kekuasaan.

Ada beberapa perbedaan sistem Bushi lama dan Bushi baru di era Tokugawa, hal ini menjadi sangat penting dalam pembahasaan dikarenakan dalam suatu karakter kepemimpinan pada sebuah sistem politik dan sosial diperlukan suatu langkah taktis dalam perwujudan cita-cita politik. Ada pun analisis perbedaan sistem Bushi lama dan baru adalah sebagai berikut:

1. Kesetiaan Bushi Lama

Pengertian bushi (samurai) lama di sini adalah bushi sebelum Zaman Edo. Untuk mengetahui seperti apa kesetiaan bushi sebelum Zaman Edo ini diambil dari cerita-cerita tentang pengabdian bushi terhadap tuannya dan juga diambil dari cerita-cerita tentang ketidakpuasan para bushi yang sudah berusia lanjut pada Zaman Edo karena adanya perubahan kesetiaan bushi pada Zaman Edo menurut ukuran bushi tersebut.

Cerita Benkei Tananobu yang ditulis pada Gikeiki menjadi anutan bushi sampai Zaman Edo. Cerita tersebut menceritakan loyalitas Tadanobu kepada tuannya walaupun harus mengorbankan nyawanya. Tadanobu bersedia ditusuk pakai panah dan tombak asal tuannya selamat. Dalam bushido lama sangat dihormati bushi yang gagah seperti cerita tersebut sehingga dikenal istilah Junshi (bunuh diri untuk mengikuti kematian tuan) dan Adauchi (membalaskan dendam tuan) di kalangan bushi.

Ienaga Saburo (1976) mengatakan awal dari kesetiaan anak buah bushi adalah untuk mendapatkan hadiah dari tuannya untuk menghidupi rumah tangganya, tetapi kemudian karena anak buah tetap bekerja pada tuannya tersebut maka hubungan keluarga tuan dan keluarga anak buah dari generasi ke generasi semakin akrab. Oleh karena itu, keluarga anak buah bersedia mengorbankan jiwa raganya demi tuannya. Yamaga Soko dalam Watsuji (1977) mengatakan awal dari kebiasaan Junshi adalah ikatan hubungan tuan dan pengikutnya yang sangat kuat sehingga kematian dianggap kebaikan dalam masyarakat bushi. Kemudian dijelaskan oleh ajaran Buddha Zen yang dianut para bushi pada waktu itu bahwa hidup mengalami reinkarnasi sehingga anak buah bushi ingin menjadi abdi tuannya selama tujuh kali dalam perjalanan reinkarnasi

tersebut. Dengan demikian, bunuh diri karena kematian tuan tersebut dirasa merupakan suatu kesetiaan pengabdian terhadap tuannya untuk membalaskan jasa-jasa tuannya untuk menghidupi keluarganya.

Dalam perkembangannya, orang-orang sangat menghormati perbuatan Junshi. Bushi yang terpuji ialah bushi yang tidak takut mati. Apabila ada kesempatan maka tidak bisa dilewatkan. Apabila dilewatkan maka tidak ada lagi kesempatan untuk mati secara terpuji. Oleh karena itu, banyak cerita yang menceritakan bahwa hal-hal yang sepele saja bisa mengakibatkan bushi tersebut harus mati dan mati karena melewatkan kesempatan terpuji tersebut dapat dikatakan “mati anjing”.

Dilihat dari kedudukan, tuan yang mempunyai bushi yang mengabdi seperti uraian di atas akan menjadi tuan yang kuat. Salah satu contohnya adalah Tokugawa. Tokugawa berhasil dalam perang Sekigahara mengalahkan pasukan Toyotomi dikarenakan pasukannya yang setia. Di kalangan tuan sendiri pun ada kesulitan apabila para anak buahnya melakukan Junshi, yaitu apabila tuan meninggal dan diikuti oleh Junshi maka sering didapati kesulitan untuk melanjutkan kepemimpinan tuan karena anak buah yang bisa diandalkan menjadi penasehat tuan yang masih muda ikut juga melakukan Junshi. Oleh karena itu, pada tahap perkembangan kemudian masalah Junshi ini menjadi dilarang.

Ihara Saikaku dalam “Budo Shoshinshu” (kumpulan jalan hidup bushi) mengatakan dalam melaksanakan Adauchi bushi tidak memandang baik atau buruk, yang penting melakukan demi tuan dan gejala ini sudah menjadi tradisi bushi dari Zaman Muromachi. Menurutnya setelah melakukan Adauchi biasanya dilanjutkan dengan kewajiban bushi tersebut dalam melakukan Junshi kemudian demi nama baiknya bushi akan melakukan pembunuhan seketika terhadap orang yang mengutarakan kata-kata ejekan.

Contoh sebuah cerita dari Budo Denraiki yang merupakan tulisan Ihara Saikaku yang berjudul “Kaifu Koshi Ni Nakade No Otoko” adalah adanya dua orang bushi muda yang bersahabat baik di Jokamachi Shizuoka (kota benteng Shizuoka). Pada waktu tidak sadar karena mabuk, berdebat hal-hal sepele dan kemudian saling mencabut pedang serta salah seorang dari antara mereka menjadi terbunuh sedangkan pembunuhnya yang bernama Aoya Jujo segera meninggalkan tempat tersebut dan tidak ada yang mengetahuinya entah pergi kemana.

Sedangkan yang mati terluka bernama Esaka Emon meninggalkan seorang istri dan seorang anak berusia 7 tahun yang bernama Sentaro.

Adik laki-laki dan anak laki-laki Esaka Emon (orang yang terbunuh) membantu istri untuk melakukan balas dendam terhadap pembunuh Esaka Emon, tetapi dalam perjalanan panjang dalam suatu kejadian, adik laki-laki tersebut mencintai janda abangnya dan berkata untuk menghentikan giri bushi. Namun janda Esaka Emon tersebut menolak cinta adik suami dan mencabut pedang untuk membunuh adik iparnya tersebut dan kemudian melakukan bunuh diri.

Sentaro yang masih anak kecil sangat sedih dengan kematian kedua orang tuanya dan ingin melanjutkan balas dendam untuk membunuh Aoya Jujo pembunuh ayahnya dan memuji Sentaro sebagai seorang yang benar-benar anak samurai. Kemudian Jujo berkata:

“anak Sanjaemon yang bersemangat muda harus membunuh saya. Selama hidup setiap hari saya mengimpi-ngimpikannya. Jikalau memikirkan jalan hidup bushi setelah membunuh Esaka Emon seharusnya saya juga harus melakukan seppuku (bunuh diri), tetapi saya pergi melarikan diri. Oleh karena itu, saya sudah kehilangan nama baik dan saya harus dibunuh oleh Sentaro”.

Jujo beberapa kali ingin menemui Sentaro, tetapi tidak pernah bertemu karena selalu berselisih jalan. Akhirnya Jujo membuat pengumuman di tepi sungai Ojugawa dan memberi tahu tempat tinggal Jujo di kaki gunung Hokoku, tetapi setelah Sentaro sampai di tempat tersebut, Jujo sudah mati karena sakit. Ini membuat Sentaro sangat menyesal sehingga ia memotong rambut dan melakukan shukke (mengucilkan diri dari masyarakat).

Watsuji (1977) mengatakan bahwa bushi mengincar Adauchi untuk mematuhi bushino michi (jalan hidup bushi). Pembalasan dendam orang tua juga dipatuhi oleh bushi dan cerita ini cocok dengan cerita Shoga Monogatari. Dalam perilaku Adauchi, bushi mendukung giri (balas budi) sehingga mereka rela mati. Dengan demikian, bushi dalam hidupnya selalu mengutamakan nama baik dan balas budi serta tidak menghiraukan jiwa raga.

Cerita berikut menjelaskan bahwa perbuatan sepele dapat mengakibatkan bushi saling membunuh karena takut kehilangan nama baik. Ceritanya mengenai dua orang samurai di daerah Sado yang bernama Minbu dan Hanseki Emon ditugaaskan untuk mengontrol wilayah. Saat di

persimpangan, Minbu sambil menghormat mempersilahkan Hanseki Emon terlebih dahulu melintasi jalan, tetapi apa daya Hanseki Emon salah menanggapi kata-kata sopan Minbu tersebut. Oleh karena itu, Hanseki Emon mengirim surat untuk perang tanding dengan Minbu. Walaupun Minbu tidak percaya akan surat itu, ia tidak dapat menolak tawaran tersebut dengan rendah hati sehingga ia terpaksa menyetujui tawaran tersebut. Akhirnya setelah kedua pihak keluarga menyetujui hal ini, mereka pun saling membunuh. Dari cerita ini, menurut Watsuji bahwa bushi tidak pernah melarikan diri dari jalan hidupnya walaupun mencintai keluarga tetapi harus tetap berani mati.

2. Kesetiaan Bushi Baru

Ketika Tokugawa Ieyashu menjadi shogun pada tahun 1603 sebagai dasar untuk memantapkan kekuasaannya, ia memilih konfusionisme sebagai dasar filosofisnya terutama untuk usaha menanamkan penghormatan bawahan terhadap atasannya sehingga tercipta struktur kekuasaan dimana shogun berada pada posisi tertinggi dan juga sebagai pusat pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Pada zaman sebelumnya, bagi bushi tuannyalah segala-galanya atau tuannya merupakan pusat pengabdian tetapi hal tersebut diperpanjang Tokugawa sehingga ada kesadaran bahwa kehidupan tuan di daerah pun merupakan berkat kebaikan (chu) dari Tokugawa.

Pelajaran konfusionisme ini diwajibkan untuk dipelajari oleh seluruh bushi di wilayah Jepang pada waktu itu. Pelajaran tersebut disebut dengan kangaku dan ahlinya disebut dengan Kangakusha yang pertama-tama diangkat oleh Ieyashu adalah Hayashi Razan dan Fujiwara Seika kemudian ajaran-ajaran tersebut disempurnakan oleh muridnya seperti Nakae Toju dan Yamazaki Ansai denhan Sushigaku (suatu ajaran konfusionis yang disempurnakan oleh Sushi) dan pelajaran mereka disebut dengan pelajaran dotoku (moral) yaitu pelajaran pasrah menerima bagian masing-masing, tuan sebagai tuan dan anak buah sebagai anak buah, anak sebagai anak dan orang tua sebagai orang tua. Penerimaan bagian sendiri ini disebut dengan gorin (lima etika) yaitu hubungan tuan dan anak buah, orang tua dan anak, suami dan istri, abang dan adik, dan juga menjelaskan hubungan orang yang sederajat.

Kemudian muncul Yamaga Soko yang sering dipesan untuk mengajar bushi ke daerah- daerah. Ajaran Yamaga Soko ini nampaknya lebih murni konfusionis bila dibandingkan dengan

pendahulu-pendahulunya. Para pendahulunya memiliki ajaran masih dipengaruhi oleh Buddhisme. Inti ajaran Soko adalah bahwa keempat golongan masyarakat yaitu bushi, petani, pedagang, dan tukang harus mengerjakan bagiannya masing-masing sehingga tidak bercampur dari yang satu dengan yang lainnya.

Kesetiaan bushi yang diajarkan oleh Tokugawa melalui Kangakusha adalah menyadari kesadaran hubungan atas dan bawah dimana shogun merupakan puncak penerima pengabdian yang tertinggi. Kemudian bushi diajarkan untuk berpikir rasional. Bushi dilarang melakukan Junshi dan Adauchi. Bushi yang melakukan junshi disebut inujini (mati konyol) dan apabila ada bushi melakukan junshi maka wilayah akan diambil oleh keshogunan. Karena ajaran Tokugawa melalui Kangakusha tersebut dan juga karena berbagai peraturan Tokugawa maka kesetiaan bushi pada Zaman Edo berubah.