• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAP

 Kinerja Peternakan (GDP, Kesempatan kerja)  Kesejahteraan  Pengeluaran Devisa input domestik produksi SP produksi DSP impor input  tarif/kuota impor  nilai tukar devisa X dan M DSP supply domestik harga permintaan DSP pendapatan RT Peternakan kesempatan kerja Peternakan daya beli RT

 peningkatan produktivitas SP → teknologi IB

 penyediaan bibit →subsidi bunga

 pengaturan stok →pengendalian impor

penyediaan bibit → impor sapi bibit

Spesifikasi Model

Model merupakan suatu representasi dari fenomena aktual yang meliputi sistem atau proses yang riil. Sementara itu model ekonometrika adalah suatu pola khusus dari model aljabar suatu fenomena ekonomi yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih variabel pengganggu (Intriligator 1978). Menurut Koutsoyiannis (1977), model ekonometrika merupakan gabungan atau integrasi dari teori ekonomi, matematika ekonomi, dan statistik. Model ekonometrika, tidak seperti teori ekonomi dan matematika ekonomi, mempertimbangkan adanya pengaruh gangguan yang random sehingga menghasilkan suatu pola perilaku ekonomi yang tidak deterministik. Model ekonometrika dapat digunakan untuk: (1) alat analisis, seperti pengujian atas teori ekonomi, (2) penetapan kebijakan, yaitu menyediakan nilai estimasi parameter perilaku ekonomi, dan (3) peramalan dampak, yaitu menggunakan nilai estimasi tersebut untuk memprediksi kondisi ekonomi mendatang.

Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables) terhadap variabel endogen (endogenous variables). Model yang baik haruslah memenuhi: (1) kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari parameter persamaan yang terbentuk apakah sesuai dengan harapan teoritis secara apriori, (2) kriteria statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) dan secara statistik memuaskan (statistically satisfactory), serta (3) kriteria ekonometrika yang menetapkan apakah estimasi parameter memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, efficiency, consistency, dan sufficiency (Koutsoyiannis 1977).

Spesifikasi model merupakan suatu upaya untuk mempelajari hubungan antar variabel dan kemudian mengekpresikan hubungan tersebut dalam bentuk persamaan matematika. Spesifikasi model ekonometrika dibuat berdasarkan pada teori ekonomi dan berbagai pengalaman empiris yang berhubungan dengan fenomena yang sedang dipelajari. Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa spesifikasi model meliputi penentuan mengenai: (1) dependent dan independent variable (jika menggunakan model persamaan tunggal) atau endogenous dan

exogenous variable (jika menggunakan model persamaan simultan) yang dimasukkan dalam model, (2) harapan secara teori mengenai tanda dan besaran parameter estimasi dari fungsi yang sedang dipelajari, (3) bentuk matematika dan model (jumlah persamaan, apakah bentuk persamaan linier atau non linier, dan sebagainya).

Model ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal adalah persamaan di mana dependent variable dinyatakan sebagai sebuah fungsi dari satu atau lebih independent variables, sehingga hubungan sebab akibat antara dependent dan independent variables

merupakan hubungan satu arah. Sedangkan persamaan simultan adalah suatu persamaan yang membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai variabel dalam persamaan tersebut.

dengan perekonomian Indonesia terdiri dari beberapa persamaan struktural dan persamaan identitas. Persamaan struktural merupakan representasi dari variabel- variabel endogen dan eksogen yang secara operasional menghasilkan tanda dan besaran nilai-nilai parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Untuk menyusun model yang bersifat dinamik dengan memasukkan variabel bedakala ke dalam model (Sitepu dan Sinaga 2006).

Gambar 12 Keterkaitan antar variabel dalam model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia

Produksi Ternak Curah Hujan

Inseminasi Buatan

Suku Bunga Bank

Impor Sapi Bibit Harga Sapi

Bakalan Nilai Tukar

Rupiah Impor Sapi

Bakalan

Impor Ternak Impor Daging dari

Sapi Bakalan Impor Daging Sapi Produksi Daging Sapi Lokal Produksi Daging Sapi Domestik Jumlah Wisman Total Impor Daging Sapi Penawaran Daging Sapi Domestik Ekspor Daging Sapi Populasi Ternak Produksi Daging Sapi Permintaan Daging Sapi Domestik Harga Daging Sapi Domestik Harga Daging Ayam Ras GDP Sapi Potong GDP Peternakan GDP Non-migas GDP Non Sapi Potong GDP Non Peternakan Pertumbuhan GDP Peternakan Upah Peternakan Permintaan TK Peternakan Dummy Kebijakan PSDSK 2014 Dummy Krisis Ekonomi Harga Daging Sapi Impor Excess Demand Daging Sapi Harga Daging Sapi Jakarta Tarif Impor Harga Daging Sapi Australia Produksi Daging

Extra Weight Sapi Bakalan Impor Faktor konversi Trend Harga Daging Sapi Dunia (AS) = variabel endogen = variabel eksogen Keterangan :

Semua variabel endogen merupakan variabel yang diestimasi parameternya dan sekaligus dihipotesiskan dalam persamaan yang menggambarkan produksi sapi potong, penawaran dan permintaan daging sapi, serta kinerja subsektor peternakan di Indonesia. Di kelompok lain, terdapat variabel penjelas yang terdiri atas variabel eksogen (exogenous variables) dan lag endogen (lagged endogenous variables). Variabel eksogen merupakan variabel yang mempengaruhi variabel endogen dalam sistem, tetapi nilai variabel tersebut tidak dipengaruhi oleh sistem. Beberapa persamaan dalam model diadaptasi dari hasil penelitian Ilham (1998), Kariyasa (2004), Sukanata (2008), dan Tseuoa (2011) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan dalam penelitian ini.

Spesifikasi model dalam studi ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu membangun model untuk menganalisis dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia. Model ekonometrika yang dibangun telah mengalami beberapa kali respesifikasi. Model terdiri dari persamaan struktural dan identitas, yang dikelompokkan menjadi 5 blok persamaan, yaitu: (1) blok penawaran ternak sapi potong, (2) blok penawaran daging sapi, (3) blok permintaan permintaan daging sapi, (4) blok harga daging sapi, dan (5) blok kinerja subsektor peternakan. Masing-masing blok terdiri dari persamaan struktural dan persamaan identitas. Keterkaitan antar variabel dalam suatu persamaan pada masing-masing blok dapat dilihat pada Gambar 12.

Blok Penawaran Ternak Sapi Potong Produksi Ternak Sapi Potong

Produksi ternak sapi potong adalah jumlah ternak sapi yang dilahirkan hidup selama jangka waktu tertentu (satu tahun). Hasil produksi tersebut sebagian besar ditawarkan untuk dipotong dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri. Populasi ternak akan tumbuh apabila tingkat pemotongan ternak dan ekspor lebih rendah dibandingkan dengan produksi ternak ditambah impor ternak dari luar negeri.

Produksi ternak sapi berkaitan dengan populasi betina induk, tingkat teknologi yang digunakan, ketersediaan pakan, dan realisasi kreadit untuk pengembangan ternak sapi. Sapi betina induk merupakan mesin biologis untuk memproduksi anak, oleh karena itu peningkatan populasi sapi betina induk diharapkan dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan produksi sapi. Sapi betina induk berasal dari sapi domestik dan impor sapi bibit. Dengan adanya tambahan sapi betina induk yang berasal dari impor diharapkan akan dapat memacu peningkatan produksi ternak sapi domestik. Karena keterbatasan data yang tersedia, jumlah sapi betina produktif menggunakan proksi populasi ternak sapi dengan asumsi semakin besar populasi ternak sapi maka jumlah sapi betina produktif juga semakin besar.

Dalam salah satu kegiatan pokok PSDSK 2014, upaya peningkatan produksi daging sapi domestik dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi berupa optimalisasi IB (Inseminasi Buatan) dan INKA (Intensifikasi Kawin Alam); penyediaan dan pengembangan pakan dan air; dan penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. Tingkat adopsi teknologi dalam budidaya ternak sapi potong

menggunakan proksi jumlah dosis IB. Teknologi IB merupakan upaya untuk mengatasi kesulitan untuk memperoleh pejantan yang berkualitas, sehingga produktivitas ternak sapi potong meningkat dan akan mendorong pertumbuhan produksi ternak sapi.

Pakan sapi merupakan input produksi yang sangat penting. Hampir semua peternak menggunakan pakan hijauan sebagai pakan sapi. Karena keterbatasan data, dalam penelitian ini akan digunakan data curah hujan sebagai proksi ketersediaan hijauan pakan ternak pada usaha peternakan rakyat. Ketersediaan hijauan pakan ternak terkait dengan volume curah hujan. Semakin tinggi curah hujan yang terjadi dalam suatu periode (satu tahun) diharapkan dapat menghasilkan pakan hijauan yang lebih banyak sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan produksi ternak sapi.

Seperti halnya usaha bisnis lainnya, dalam pengembangan usaha peternakan juga diperlukan dana yang cukup besar. Salah satu sumber dana yang ada adalah dari pinjaman bank. Semakin tinggi realisasi kredit dari perbankan untuk pengembangan usaha peternakan sapi, diharapkan akan dapat meningkatkan produksi sapi. Tinggi rendahnya tingkat bunga pinjaman pada bank akan mempengaruhi peternak untuk meminjam modal pada bank. Semakin tinggi tingkat bunga yang berlaku maka akan menurunkan kesediaan peternakan untuk meminjam karena biayanya semakin besar. Dengan demikian tambahan modal untuk peternak yang bersumber dari bank menjadi semakin kecil.

Berdasarkan uraian di atas maka persamaan produksi sapi dapat dirumuskan sebagai berikut:

QTSt = a0 + a1POPTt-2 + a2MSBTt-2 + a3VIBt-1 + a4CHt-1 + a5RIRt + U1 (3.1) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

a1, a2, a3, a4 > 0 dan a5 < 0

keterangan:

QTSt = Jumlah produksi ternak sapi potong POPTt-2 = Populasi ternak sapi potong pada tahun t-2 VIBt-1 = Jumlah dosis IB yang digunakan pada tahun t-1 CHt = Curah hujan

RIRt = Suku bunga riil

MSBTt-2 = Impor sapi bibit pada tahun t-2

Impor Ternak Sapi Potong

Impor ternak sapi meliputi impor sapi untuk bibit dan impor sapi bakalan. Impor sapi bakalan ditujukan untuk produksi daging sapi, sementara impor sapi bibit ditujukan untuk menghasilkan pedet. Usaha penggemukan sapi (feedlot) lebih memilih impor sapi bakalan dari Australia daripada membeli sapi bakalan hasil pembibitan di dalam negeri. Ada beberapa alasan yang mendasari keputusan tersebut, antara lain: (1) sapi bakalan impor lebih murah daripada sapi bakalan domestik, (2) untuk memperoleh sapi bakalan dalam jumlah besar, cara impor lebih cepat dibandingkan dengan pengadaan dari dalam negeri, dan (3) waktu dan biaya transportasi dari Australia (Darwin) lebih murah dibandingkan dengan mendatangkan sapi bakalan dari NTT, NTB, dan Sulawesi Selatan (Hadi dan Ilham 2002).

Impor sapi bakalan merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Impor sapi bakalan dipengaruhi harga impor sapi bakalan, nilai tukar rupiah, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, produksi daging sapi lokal, permintaan daging sapi, kebijakan PSDSK 2014, dan krisis ekonomi. Persamaan impor ternak sapi dapat dirumuskan sebagai berikut:

MSBKt = b0 + b1RHSBKt + b2RNTRt + b3WAt + b4QSDSLt +

b5QDDSt +b6D1t + b7D2t + U2 ... (3.2) MTSt = MSBTt + MSBKt ... (3.3) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

b1, b2, b4, b6, b7 < 0 dan b3, b5 > 0

keterangan:

MSBTt = Impor sapi bibit MSBKt = Impor sapi bakalan MTSt = Total impor ternak sapi

RNTRt = Nilai tukar rupiah riil terhadap US Dollar WAt = Jumlah wisatawan mancanegara

RHSBKt = Harga riil sapi bakalan impor QSDSLt = Produksi daging sapi lokal QDDSt = Permintaan daging sapi

D1t = Dummy swasembada daging sapi, (D = 1, ada kebijakan swasembada dan D = 0, tidak ada kebijakan swasembada)

D2t = Dummy krisis ekonomi, (D = 1, saat krisis dan D = 0, bukan krisis)

Populasi Ternak Sapi Potong

Populasi ternak sapi adalah jumlah ternak sapi pada satu tahun tertentu. Populasi ternak dipengaruhi oleh penambahan dan pengurangan ternak serta populasi ternak tahun sebelumnya. Penambahan ternak berasal dari jumlah produksi ternak dan impor ternak. Sedangkan pengurangan ternak disebabkan oleh pemotongan ternak untuk menghasilkan daging, kematian, dan ekspor ternak ke luar negeri. Ekspor ternak jumlahnya sangat kecil dan data jumlah kematian ternak tidak tersedia dengan baik, sehingga kedua variabel tersebut tidak dimasukkan dalam model. Jumlah pemotongan ternak menggunakan proksi produksi daging sapi, baik yang berasal dari pemotongan sapi lokal maupun sapi bakalan impor. Persamaan populasi ternak sapi adalah sebagai berikut:

POPTt = c0 + c1QTSt + c2MTSt + c3QSDt + c4POPTt-1 + U3 ... (3.4) QSDt = QSDSt + QBMt ... (3.5) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

c3 < 0; c1, c2 > 0; dan 0 < c4 < 1

keterangan:

POPTt = Populasi ternak sapi

QTSt = Jumlah produksi ternak sapi potong MTSt = Total impor ternak sapi

QSDt = Total produksi daging sapi

QSDSt = Total produksi daging sapi dalam negeri QBMt = Impor daging dalam bentuk sapi bakalan POPTt-1 = Populasi ternak sapi potong pada tahun t-1

Blok Penawaran Daging Sapi

Produksi Daging Sapi Domestik

Produksi daging sapi domestik bersumber dari pemotongan sapi bakalan lokal dan tambahan bobot sapi bakalan impor setelah dilakukan pemeliharaan di dalam negeri. Berdasarkan hasil studi “Penyempurnaan Neraca Pangan

Komoditas Peternakan (Karkas)” tahun 2002, rata-rata berat hidup sapi impor

yang dipotong sekitar 487.02 kg/ekor (BPS 2002). Rata-rata berat sapi bakalan impor dalam periode 1999–2008 sekitar 346.34 kg/ekor. Dengan demikian penambahan bobot selama pemeliharaan sekitar 40.62 persen.

Meningkatnya produksi ternak sapi akan meningkatkan penawaran ternak sapi untuk dipotong yang berarti akan meningkatkan produksi daging sapi. pemotongan ternak sapi pada umumnya dilakukan pada ternak dewasa, yaitu yang ternak berumur lebih dari 2 tahun. Peningkatan harga daging dapat merangsang peningkatan jumlah ternak yang dipotong, sehingga peningkatan harga daging sapi berpotensi meningkatkan produksi daging sapi. Volume daging sapi impor yang beredar di pasar domestik juga berpengaruh terhadap produksi daging sapi domestik. Dengan tingkat harga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik, maka daging sapi impor merupakan pesaing bagi daging sapi lokal. Perubahan produksi biasanya dipengaruhi produksi tahun sebelumnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka persamaan produksi daging sapi dapat diformulasikan sebagai berikut:

QSDSLt = d0 + d1RHDSt-1 + d2QTSt-2 + d3QSMt + d4D1t +

d5QSDSLt-1 + U4 ... (3.6) QSDSMt = 0,4062 * QBM ... (3.7) QSDSt = QSDSLt + QSDSMt ... (3.8) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

d3 < 0; d1, d2, d4 > 0; dan 0 < d5 < 1

keterangan:

QSDSt = Total produksi daging sapi dalam negeri QSDSLt = Produksi daging sapi lokal

QSDSMt = Produksi daging sapi dari tambahan bobot tenak sapi bakalan impor QBM = Impor daging dalam bentuk sapi bakalan

QSDSLt-1 = Lag produksi daging sapi lokal

RHDSt-1 = Lag harga riil daging sapi dalam negeri QTSt-2 = Produksi ternak sapi potong tahun t-2 QSMt = Total impor daging sapi

D1t = Dummy swasembada daging sapi, (D = 1, ada kebijakan swasembada dan D = 0, tidak ada kebijakan swasembada)

Impor Daging Sapi Nasional

Impor daging sapi diperoleh dari impor dalam bentuk daging sapi ditambah dengan hasil pemotongan ternak yang berasal dari impor sapi bakalan. Karena keterbatasan data penawaran daging sapi yang berasal dari impor sapi bakalan, maka produksi daging sapi dari impor sapi bakalan dihitung dengan menggunakan faktor konversi terhadap ternak hidup yang diadopsi dari beberapa hasil studi BPS (2002). Hasil studi menunjukkan bahwa setiap ekor ternak sapi

bakalan impor yang dipotong dengan berat 487.02 kg/ekor, rata-rata menghasilkan 232.01 kg karkas. Faktor konversi dari karkas ke daging adalah 0.8 (periode 1990–2001) dan 0.7493 (periode 2002–2011). Faktor konversi dari ternak hidup menjadi potongan daging tanpa tulang merupakan hasil perkalian antara rasio karkas terhadap ternak hidup dengan faktor konversi karkas ke daging. Dengan demikian, jumlah produksi daging sapi yang berasal dari impor sapi bakalan diperoleh dari hasil kali volume impor sapi bakalan setiap tahun (ribu ton) dengan faktor konversi tersebut. Hal ini dilakukan karena pada saat menghitung swasembada daging sapi di Indonesia, maka produksi daging sapi domestik semestinya adalah hasil pemotongan ternak sapi yang diproduksi di dalam negeri.

Secara teoritis, adanya perbedaan harga yang relatif besar antar wilayah merupakan sinyal untuk mendorong terjadinya perdagangan antar wilayah. Kelangkaan pasokan daging sapi lokal dan adanya permintaan dari segmen pasar tertentu (kedutaan negara lain, hotel berbintang, restoran besar, dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas) merupakan alasan untuk membuka peluang impor daging sapi (Bielik and Kunova 2007). Persamaan impor daging sapi Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:

QDMt = e0 + e1RHSMt + e2RNTRt + e3QSDSLt + e4QDDSt +

e5QDMt-1 + U5 ... (3.9) QBMt = kt * MSBKt ... (3.10) QSMt = QDMt + QBMt ... (3.11) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

e 1, e2, e3 < 0; e4 > 0; dan 0 < e5 < 1

keterangan:

QDMt = Impor daging sapi Indonesia

QBMt = Impor daging dalam bentuk sapi bakalan QSMt = Total Impor daging sapi

RHSMt = Harga riil daging sapi impor

RNTRt = Nilai tukar rupiah riil terhadap US Dollar QSDSLt = Produksi daging sapi lokal

QDDSt = Permintaan daging sapi

QDMt-1 = Lag impor daging sapi Indonesia kt = Faktor konversi

MSBKt = Impor sapi bakalan

Penawaran Daging Sapi Nasional

Penawaran daging sapi nasional merupakan penjumlahan dari produksi daging sapi domestik ditambah dengan impor daging sapi dikurangi ekspor daging sapi. Sesuai sifat daging segar yang bervolume besar (voluminuous atau bulky) dan gampang rusak (perisable), maka istilah stok dalam perdagangan daging sapi relatif terbatas dan hanya terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini disebabkan karena biaya penyimpanan dengan cold storage cukup mahal dan tersedia dalam jumlah yang terbatas. Penawaran daging sapi domestik merupakan persamaan identitas yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

keterangan:

QSTt = Total penawaran daging sapi dalam negeri QSDSt = Produksi daging sapi dalam negeri QSMt = Total impor daging sapi Indonesia QSEt = Ekspor daging sapi Indonesia

Blok Permintaan Daging Sapi

Permintaan Daging Sapi Domestik

Permintaan terhadap suatu barang, secara teoritis dipengaruhi oleh harga barang tersebut dan harga barang lain (substitusi/komplemen). Daging ayam, diduga merupakan barang substitusi dari daging sapi. Selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Persamaan permintaan atau konsumsi daging sapi domestik dirumuskan sebagai berikut:

QDDSt = f0 + f1RHDSt + f2RHDAYt + f3GDPt + f4D1t + f5D2t + U6 (3.13) GDPt = GDPPt + GDPNPt ... (3.14) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

f1,f5 < 0 dan f2, f3, f4 > 0

keterangan:

QDDSt = Permintaan daging sapi dalam negeri RHDSt = Harga riil daging sapi dalam negeri HDAYt = Harga riil daging ayam

GDPt = GDP non-migas

GDPPt = GDP subsektor peternakan GDPNPt = GDP non-peternakan

D1t = Dummy swasembada daging sapi, (D = 1, ada kebijakan swasembada dan D = 0, tidak ada kebijakan swasembada)

D2t = Dummy krisis ekonomi, (D = 1, saat krisis dan D = 0, bukan krisis)

Excess Demand Daging Sapi

Excess demand merupakan kelebihan permintaan atas penawaran yang ada. Selama ini Indonesia merupakan negara net importir daging sapi, yang berarti kebutuhan daging sapi dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri sehingga dilakukan impor baik dalam bentuk daging sapi maupun sapi bakalan. Dalam kebijakan swasembada daging sapi, ditargetkan bahwa jumlah impor maksimum 10 persen dari kebutuhan domestik. Kelebihan permintaan atas penawaran (excess demand) daging sapi dalam negeri dapat dirumuskan sebagai berikut:

EQDSt = QDDSt–QSDSt ... (3.15)

keterangan:

EQDSt = Excess demand daging sapi

QDDSt = Permintaan daging sapi dalam negeri QSDSt = Produksi daging sapi dalam negeri

Blok Harga Daging Sapi

Harga Riil Daging Sapi Domestik

Harga suatu komoditas di pasar ditentukan oleh total permintaan dan penawarannya (Henderson and Quandt 1980). Model pasar yang demikian disebut model equilibrium, di mana harga ditentukan pada saat penawaran sama dengan permintaan. Sebagai negara kecil (small country) dan net importir daging sapi, harga daging sapi domestik juga dipengaruhi oleh harga daging sapi impor dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kota Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi dan konsumen daging sapi yang cukup dominan di Indonesia. Dengan demikian, perubahan harga daging sapi di Jakarta diduga akan mempengaruhi harga daging sapi nasional. Persamaan harga daging sapi domestik dapat dirumuskan sebagai berikut:

RHDSt = g0 + g1RHDSJt + g2RHSMt + g3RNTRt + g4QSDSt +

g5QDDSt + g6Tt + g7RHDSt-1 + U7 ... (3.16) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

g4 < 0; g1, g2, g3, g5, g6 > 0 dan 0 < g7 < 0

keterangan:

RHDSt = Harga riil daging sapi dalam negeri RHDSJt = Harga riil daging sapi Jakarta RHSMt = Harga riil daging sapi impor

RNTRt = Nilai tukar rupiah riil terhadap US Dollar QSDSt = Produksi daging sapi dalam negeri QDDSt = Permintaan daging sapi dalam negeri Tt = Trend waktu

RHDSt-1 = Lag harga riil daging sapi dalam negeri

Harga Riil Daging Sapi Impor

Impor daging sapi terutama berasal dari Australia, sehingga harga daging sapi di Australia akan berpengaruh terhadap harga daging sapi impor di Indonesia. Selain itu harga riil daging sapi dunia juga akan mempengaruhi harga riil daging sapi impor. Harga dunia daging sapi impor diwakili oleh harga daging sapi di Amerika Serikat sebagai negara produsen dan konsumen daging sapi terbesar di dunia. Kebijakan tarif impor juga berpengaruh terhadap harga daging sapi impor di Indonesia. Persamaan harga daging sapi impor dapat dirumuskan sebagai berikut:

RHSMt = h0 + h1RHDSWt + h2HDSAt + h3TIt + h4RHSMt-1 + U8 ... (3.17) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

h1, h2, h3 > 0 dan 0 < h4 < 1

keterangan:

RHSMt = Harga riil daging sapi impor RHDSAt = Harga riil daging sapi di Australia RHDSWt = Harga riil daging sapi dunia TIt = Tarif Impor daging sapi

Blok Kinerja Subsektor Peternakan GDP Subsektor Peternakan

Output yang dihasilkan dari suatu proses produksi dipengaruhi oleh jumlah input dan teknologi yang digunakan. Tingkat output sapi potong akan mempengaruhi nilai GDP sapi potong yang merupakan bagian dari GDP subsektor peternakan. Output sapi potong meliputi jumlah kelahiran hidup ternak sapi dan penambahan berat ternak sapi setelah dilakukan pemeliharaan/hasil penggemukan. GDP subsektor peternakan merupakan penjumlahan dari GDP sapi potong dan GDP non-sapi potong. GDP sapi potong dan GDP peternakan dapat dirumuskan sebagai berikut:

GDPSPt = i0 + i1QTSt + i2MSBKt + i3D2t + i4GDPSPt-1 + U9 ... (3.18) GDPPt = GDPSPt + GDPNSPt ... (3.19) Tingkat pertumbuhan GDP peternakan (GROWTHt) merupakan persamaan identitas sebagai berikut:

GROWTHt = (GDPPt  GDPPt-1 ) / GDPPt-1 * 100 ... (3.20) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah sebagai berilut:

i3 < 0 ; i1, i2 > 0 dan 0 < i4 < 0

keterangan:

GDPSPt = GDP sapi potong GDPNSPt = GDP non-sapi potong GDPPt = GDP subsektor peternakan QTSt = Produksi ternak sapi potong MSBKt = Impor sapi bakalan

GDPSPt-1 = Lag GDP sapi potong GDPPt-1 = Lag GDP peternakan

GROWTHt = Pertumbuhan GDP subsektor peternakan

Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan

Permintaan tenaga kerja subsektor peternakan dipengaruhi oleh upah

Dokumen terkait