• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsector peternakan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsector peternakan di Indonesia"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING

SAPI TERHADAP KINERJA EKONOMI

SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA

KUSRIATMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

KUSRIATMI. Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI, YUSMAN SYAUKAT, dan ALI SAID.

Komoditas sapi potong mempunyai peranan yang strategis dalam perekonomian Indonesia. Selain kontribusinya terhadap pembentukan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan, daging sapi juga merupakan salah satu sumber protein hewani. Konsumsi daging sapi di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pertumbuhan produksi daging sapi domestik relatif lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan konsumsi. Hal ini menyebabkan impor semakin meningkat. Untuk mendorong produksi daging sapi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap daging sapi impor, pemerintah mencanangkan Kebijakan Swasembada Daging Sapi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengkaji dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia, 2) mengevaluasi dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia, dan 3) meramalkan produksi dan permintaan daging sapi dalam kerangka pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan. Data yang digunakan merupakan data time series tingkat nasional selama periode 1990 – 2011. Berdasarkan kriteria order condition, persamaan dalam model teridentifikasi secara berlebih (over identified). Estimasi parameter menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS).

Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan teknologi melalui peningkatan dosis IB, peningkatan impor sapi bibit, dan kebijakan subsidi suku bunga pinjaman pada bank akan mendorong produksi ternak sapi dan daging sapi serta menurunkan impor sapi bakalan dan impor daging sapi. Peningkatan produksi ternak sapi mendorong peningkatan GDP dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan. Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dan impor daging sapi akan meningkatkan produksi daging sapi namun menurunkan populasi dan produksi ternak sapi, sehingga menurunkan PDB dan kesempatan kerja pada subsektor peternakan.

Kombinasi kebijakan dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menghemat devisa. Kombinasi kebijakan belum mampu mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia pada tahun 2014. Diperkirakan Indonesia akan mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2021.

Pembatasan impor baik sapi bakalan maupun daging sapi secara bertahap dan diikuti dengan peningkatan teknologi yang lebih baik serta penyediaan sapi bibit yang lebih besar berdampak positif terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan serta pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia.

(6)

SUMMARY

KUSRIATMI. The Impact of Beef Self-sufficiency Policy on Economic Performance of Livestock Subsector in Indonesia. Supervised by RINA OKTAVIANI, YUSMAN SYAUKAT, and ALI SAID.

Beef cattle have a strategic role in the Indonesian economy. In addition to its contribution to GDP and employment in the livestock sub-sector, the beef is also one source of animal protein. Beef consumption tends to increase over time. However, the growth of domestic beef production is slower than the growth in consumption. This has led to the increasing import. In this regard, the government has set self-sufficiency policy to encourage the growth of beef cattle and beef production.

This study is aimed to: 1) analyze the impact of beef self-sufficiency policies on national beef production and performance in livestock subsector, 2) evaluate the impact of beef self-sufficiency policies on producer and consumer welfare in Indonesia and foreign exchange savings, and 3) forecasting production and demand for beef within the framework of achieving beef self-sufficiency in Indonesia.

This study used econometric model with simultaneous equations and utilized time series data from 1990 – 2011 periods. Based on order condition criteria, this model is over identified. Parameter estimation used Two Stages Least Squares method.

Simulation results showed that technological improvements through increasing doses of Artificial Insemination (AI), increased breeder cattle imports, and the subsidies policy of interest rate on bank loans will encourage beef cattle production and domestic beef production as well as lower import feeder cattle and beef imports. Increased beef cattle production will encourage GDP and employment in the livestock subsector. Import restrictions policy on feeder cattle and beef will increase domestic beef production but reduce the population and beef cattle production, resulting in lower GDP and employment in the livestock subsector.

Combination of policies in order to achieve beef self-sufficiency will increase the social welfare and save foreign exchange. Combination policies have not been able to achieve beef self-sufficiency in Indonesia in 2014. Indonesia is expected to achieve beef self-sufficiency in 2021.

Gradually imports restrictions on feeder cattle and beef and was followed by an increase in technology and the provision of breeder cattle have positive impact on the beef industry and livestock sector and the achievement of beef self-sufficiency in Indonesia.

(7)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING

SAPI TERHADAP KINERJA EKONOMI

SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA

KUSRIATMI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dr Ir Harianto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Arief Daryanto, MEc

(11)

Judul Disertasi : Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia

Nama Mahasiswa : Kusriatmi

NRP : H363090231

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Ketua

Dr Ir Yusman Syaukat, MEc Anggota

Dr Ali Said, MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

Nama Jajang

NIM G161090031

..

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Jr. Asep Saefuddin, M.Sc Ketua

/

セ@

Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Statistika

Dr. Jr. Aji Hamim Wigena, M.Sc

Tanggal Ujian : D

5

MAR

201 4

Tanggal Lulus :
(13)
(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan judul “Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan model ekonometrika sistem persamaan simultan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing serta Dr Ir Yusman Syaukat, MEc dan Dr Ali Said, MA selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama proses penyusunan proposal, penelitian, hingga penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU selaku dosen penguji luar komisi serta Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Muhamad Firdaus, SP MSi selaku wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan wakil Rektor IPB atas koreksi dan masukannya pada saat ujian terbuka.

2. Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Ir Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi serta Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji yang mewakili program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas koreksi dan masukannya pada saat ujian tertutup. 3. Kepala BPS Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa

kepada penulis selama menempuh pendidikan pada program Doktor di IPB. 4. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Statistik BPS dan Kepala BPS Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada program Doktor di IPB.

5. Kepala BPS RI, Kepala BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pimpinan BI, beserta staf yang telah membantu penulis selama melakukan penelusuran data untuk keperluan penelitian 6. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Bapak/Ibu staf pengajar, dan

seluruh staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan.

7. Teman-teman EPN angkatan 2009 atas kebersamaan dalam mengikuti kuliah dan sebagai teman diskusi yang baik dalam penyelesaian disertasi ini.

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi ini.

(15)

mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan disertasi.

Segala kekeurangan yang terdapat pada disertasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2014

Kusriatmi

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 11

Ruang Lingkup dan Keterbatasan 11

Kebaruan dan Posisi Penelitian 13

2 TINJAUAN PUSTAKA 15

Strategi Substitusi Impor 15

Kebijakan Swasembada Daging Sapi 17

Potensi Usaha Peternakan dalam Penyediaan Daging Nasional 21

Perkembangan Populasi Ternak 22

Perkembangan Produksi Daging 24

Konsumsi Daging 25

Landasan Teori 26

Teori Ekonomi Swasembada 26

Kebijakan Tarif Impor 27

Kebijakan Kuota Impor 28

Kebijakan Subsidi Produksi Langsung 28

Perubahan Teknologi dan Peningkatan Produktivitas 29

Penawaran dan Permintaan Daging Sapi 31

Fungsi Penawaran Daging Sapi 31

Fungsi Permintaan Daging Sapi 33

Elastisitas 34

Kinerja Perekonomian 35

Pendapatan Nasional 35

Kesempatan Kerja 37

Dampak Teknologi Terhadap Kesejahteraan 38

Hasil Penelitian Terdahulu 40

Kebijakan Perdagangan dan Penawaran Daging Sapi 40

Peranan Teknologi dalam Swasembada Pangan 43

(17)

3 METODOLOGI PENELITIAN 51

Spesifikasi Model 51

Blok Penawaran Ternak Sapi Potong 53

Produksi Ternak Sapi Potong 53

Impor Ternak Sapi Potong 54

Populasi Ternak Sapi Potong 55

Blok Penawaran Daging Sapi 56

Produksi Daging Sapi Domestik 56

Impor Daging Sapi Nasional 56

Penawaran Daging Sapi Nasional 57

Blok Permintaan Daging Sapi 58

Permintaan Daging Sapi Domestik 58

Excess Demand Daging Sapi 58

Blok Harga Daging Sapi 59

Harga Riil Daging Sapi Domestik 59

Harga Riil Daging Sapi Impor 59

Blok Kinerja Subsektor Peternakan 60

GDP Subsektor Peternakan 60

Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan 60

Prosedur Analisis 61

Identifikasi Model 61

Uji Statistik F dan Uji Statistik t 62

Uji Statistik Durbin Watson (Dw) dan Durbin h 62

Validasi Model 63

Simulasi Model 64

Perubahan Kesejahteraan dan Pengeluaran Devisa 66

Jenis dan Sumber Data 67

Definisi Operasional Variabel 68

4 KERAGAAN INDUSTRI SAPI POTONG DAN SUBSEKTOR

PETERNAKAN DI INDONESIA 71

Unit Usaha dan Populasi Ternak Sapi Potong 71

Struktur Populasi Ternak Sapi Potong 73

Akses terhadap Sumber Modal 75

Perkembangan Produksi dan Penyediaan Daging Sapi 76

Peranan Subsektor Peternakan dalam Perekonomian Indonesia 79

Perkembangan PDB Peternakan 79

(18)

5 HASIL ESTIMASI MODEL SWASEMBADA DAGING SAPI DAN

KINERJA EKONOMI SUBSEKTOR PETERNAKAN DI

INDONESIA 83

Keragaan Umum Model Swasembada Daging Sapi dan Kinerja

Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia 83

Blok Penawaran Ternak Sapi Potong 84

Produksi Ternak Sapi Potong 84

Impor Sapi Bakalan 87

Populasi Ternak Sapi 89

Blok Penawaran Daging Sapi 90

Produksi Daging Sapi Lokal 91

Impor Daging Sapi Nasional 92

Blok Permintaan Daging Sapi 94

Blok Harga Daging Sapi 96

Harga Daging Sapi Domestik 96

Harga Daging Sapi Impor 98

Blok Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan 99

Pertumbuhan Ekonomi Subsektor Peternakan 99

Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan 100

6 DAMPAK KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI

TERHADAP KINERJA INDUSTRI SAPI POTONG DAN

SUBSEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA 103

Hasil Validasi Model 103

Simulasi Peramalan Periode 2012–2021 104

Dampak Kenaikan Dosis Inseminasi Buatan Sebesar 25

Persen 105

Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit Sebesar 20 Persen 106 Dampak Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5

Persen 107

Dampak Peningkatan Impor Sapi Bibit 20 Sebesar Persen dan

Penurunan Tingkat Bunga Pinjaman Menjadi 5 Persen 108 Dampak Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Sebesar Persen

dan Impor Daging Sapi 35 Persen 109

Dampak Kenaikan Dosis IB 25 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 20 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging

Sapi 35 Persen 111

Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 25 Persen, dan Impor Daging

(19)

Dampak Kenaikan Dosis IB 30 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging

Sapi 20 Persen 113

Dampak Kenaikan Dosis IB 40 Persen, Kenaikan Impor Sapi Bibit 30 Persen, Penurunan Tingkat Bunga Menjadi 5 Persen, Penurunan Impor Sapi Bakalan 20 Persen, dan Impor Daging

Sapi 20 Persen 115

Rangkuman Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan 116

Dampak Simulasi kebijakan terhadap Kesejahteraan 119

Proyeksi Produksi dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia 121

7 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 125

Kesimpulan 125

Implikasi Kebijakan 126

Saran Penelitian Lanjutan 127

DAFTAR PUSTAKA 129

LAMPIRAN 137

(20)

DAFTAR TABEL

1 Distribusi Produk Domestik Bruto Indonesia atas dasar harga

berlaku menurut lapangan usaha, 2005–2011 (persen) 1 2 Perkembangan produksi, ekspor, dan impor daging sapi di Indonesia,

2004–2011 (000 ton) 4

3 Perkembangan volume ekspor dan impor sapi bibit dan sapi bakalan

di Indonesia, 2004–2011 (ton) 4

4 Persentase target produksi daging sapi domestik dan impor

berdasarkan skenario pesimistic, most likely dan optimistic 20

5 Performa sapi potong pada berbagai skenario program PSDSK 2014 21

6 Perkembangan populasi ternak di Indonesia, 1990–2011 (ribu ekor) 23 7 Perkembangan produksi daging di Indonesia, 1990–2011 (ribu ton) 25 8 Perkembangan produksi, impor, dan konsumsi daging sapi di Indonesia,

1999–2010 (ton) 26

9 Dampak perubahan teknologi terhadap kesejahteraan 39

10 Ringkasan studi terdahulu tentang kebijakan perdagangan dan

penawaran daging sapi 42

11 Ringkasan studi terdahulu tentang peranan teknologi dalam

swasembada pangan 45

12 Banyaknya unit usaha dan populasi ternak menurut jenis unit usaha

sapi potong di Indonesia, 2011 72

13 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin,

umur, dan pulau tahun 2011 74

14 Perkembangan pemotongan ternak sapi potong di Indonesia menurut

asal ternak, 1990–2011 76

15 Peranan sapi lokal, sapi impor, dan daging sapi impor dalam

penyediaan daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (persen) 78 16 Perkembangan jumlah tenaga kerja pertanian dan peternakan di

Indonesia tahun 20012011 81

17 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi ternak

sapi 85

18 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor sapi

bakalan 87

19 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model populasi ternak

(21)

20 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model produksi daging

sapi lokal 92

21 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model impor daging sapi 93 22 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan

daging sapi 95

23 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi

domestik 97

24 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model harga daging sapi

impor 99

25 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model PDB sapi potong 100 26 Hasil pendugaan parameter dan uji statistik model permintaan tenaga

kerja peternakan 101

27 Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia 103

28 Dampak kenaikan dosis IB sebesar 25 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor

peternakan di Indonesia, 2012–2021 105

29 Dampak kenaikan impor sapi bibit Sebesar 20 Persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor

peternakan di Indonesia, 2012–2021 107

30 Dampak penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor

peternakan di Indonesia, 2012–2021 108

31 Dampak kenaikan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia,

2012–2021 109

32 Dampak penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia,

2012–2021 110

33 Dampak kenaikan dosis IB 25 persen, kenaikan impor sapi bibit 20 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 111

34 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen, dan penurunan impor daging sapi 35 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi

(22)

35 Dampak kenaikan dosis IB 30 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 114

36 Dampak kenaikan dosis IB 40 persen, kenaikan impor sapi bibit 30 persen, penurunan tingkat bunga menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan 20 persen, dan penurunan impor daging sapi 20 persen terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 115

37 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi subsektor peternakan di

Indonesia, 2012–2021 117

38 Perbandingan dampak berbagai alternatif kombinasi kebijakan terhadap perkembangan industri sapi potong dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia, 2012–2021 118

39 Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap perubahan surplus

produsen, surplus konsumen, dan cadangan devisa 120

40 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia, 2012–

2021 122

41 Proyeksi permintaan dan produksi daging sapi di Indonesia pada

berbagai kombinasi kebijakan, 2012–2021 123

DAFTAR GAMBAR

1 Laju pertumbuhan PDB nasional, PDB sektor pertanian, dan PDB subsektor peternakan di Indonesia, 1990–2011(persen) 2 2 Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi

penyediaan menurut asal produk, 1999–2010 8

3 Argumen industri muda 16

4 Kegiatan pokok dan kegiatan operasional dalam program PSDSK

2014 19

5 Kebijakan tarif impor pada kasus negara kecil 27

6 Kebijakan kuota impor pada kasus negara kecil 28

7 Dampak subsidi langsung terhadap produksi 29

8 Pengaruh perubahan teknologi terhadap output 30

9 Dampak perbaikan teknologi terhadap penawaran 31

(23)

11 Kerangka analisis penelitian 49 12 Keterkaitan antar variabel dalam model swasembada daging sapi dan

kinerja ekonomi subsektor peternakan di Indonesia 52

13 Populasi sapi potong menurut pulau di Indonesia, 2011 (juta ekor) 72 14 Populasi sapi potong menurut provinsi di Indonesia di Indonesia,

2011 73

15 Persentase populasi sapi potong di Indonesia menurut jenis kelamin,

2011 74

16 Persentase rumah tangga peternakan dan sapi potong menurut akses

ke sumber modal 75

17 Perkembangan impor daging sapi di Indonesia, 1990–2011 (ton) 77 18 Perkembangan PDB subsektor peternakan di Indonesia tahun

20002011 79

19 Kontribusi PDB subsektor peternakan dalam pembentukan PDB

pertanian dan PDB nasional di Indonesia tahun 20002011 80 20 Perkembangan harga sapi domestik dan harga sapi impor di

Indonesia, 1990–2011 (rupiah/kg) 88

21 Perkembangan harga daging sapi domestik dan harga daging sapi

impor di Indonesia, 1990–2011 (rupiah/kg) 94

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data dasar yang digunakan dalam analisis 139

2 Program estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja

ekonomi subsektor peternakan di Indonesia 144

3 Hasil estimasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia 146

4 Program validasi model swasembada daging sapi dan kinerja

ekonomi subsektor peternakan di Indonesia 156

5 Hasil validasi model swasembada daging sapi dan kinerja ekonomi

subsektor peternakan di Indonesia 160

6 Program simulasi peramalan dengan menggunakan metode Newton,

prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 161

7 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB sebesar 25 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 164

8 Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan

(24)

9 Hasil simulasi peramalan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan

program SAS/ETS 9.1 168

10 Hasil simulasi peramalan peningkatan impor sapi bibit sebesar 20 persen dan penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 Persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 170

11 Hasil simulasi peramalan penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 Persen dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 Persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 172

12 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 25 persen, peningkatan impor sapi bibit 20 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 174

13 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 25 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 35 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 176

14 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 30 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 178

15 Hasil simulasi peramalan peningkatan dosis IB 40 persen, peningkatan impor sapi bibit 30 persen, penurunan suku bunga pinjaman menjadi 5 persen, penurunan impor sapi bakalan sebesar 20 persen, dan penurunan impor daging sapi sebesar 20 persen menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program

SAS/ETS 9.1 180

16 Program peramalan variabel eksogen dan variabel endogen tahun 2012-2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan

program SAS/ETS 9.1 182

17 Hasil peramalan variabel endogen tahun 2012–2020 menggunakan metode Newton, prosedur SIMNLIN, dan program SAS/ETS 9.1 185 18 Perkembangan produksi dan ketersediaan protein dari daging sapi

dan daging ayam di Indonesia, 2000-2011 187

(25)

Latar Belakang

Sektor pertanian memainkan peranan penting dalam perekonomian di negara berkembang. Ada beberapa peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi antara lain: 1) sebagai penyedia pangan, 2) sebagai sumber tenaga kerja bagi sektor perekonomian lain, 3) sebagai sumber kapital bagi pertumbuhan ekonomi modern khususnya dalam tahap awal pembangunan, 4) sebagai sumber devisa, dan 5) memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan dari sektor industri (Gillis et al. 1992; Meijerink and Roza 2007).

Dalam perekonomian Indonesia, sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor ini pada tahun 2011 memberikan kontribusi sebesar 14.70 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan sektor pertanian tersebut merupakan nomor dua setelah sektor industri pengolahan yang memberikan sumbangan 24.33 persen terhadap PDB (Tabel 1).

Tabel 1 Distribusi produk domestik bruto Indonesia atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, 2005–2011 (persen)

Lapangan usaha 2005 2007 2009 2011*

1. Pertanian 13.13 13.72 15.29 14.70

a. Tanaman bahan makanan 6.54 6.71 7.48 7.14

b. Tanaman perkebunan 2.03 2.07 1.99 2.07

c. Peternakan 1.59 1.55 1.87 1.74

d. Kehutanan 0.81 0.92 0.80 0.70

e. Perikanan 2.15 2.47 3.15 3.05

2. Pertambangan & penggalian 11.14 11.15 10.56 11.85

3. Industri pengolahan 27.41 27.05 26.36 24.33

4. Listrik, gas, & air bersih 0.96 0.88 0.83 0.77

5. Konstruksi 7.03 7.72 9.90 10.16

6. Perdagangan, hotel & restoran 15.56 14.99 13.28 13.80

7. Pengangkutan dan komunikasi 6.51 6.69 6.31 6.62

8. Keuangan, real estate & jasa perusahaan

8.31 7.73 7.23 7.21

9. Jasa-jasa 9.96 10.08 10.24 10.56

Produk Domestik Bruto 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : http://www.bps.go.id (diolah). Keterangan : * Angka sementara.

Apabila dirinci menurut subsektor, komposisi PDB sektor pertanian selama tujuh tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang berarti. Seperti tahun-tahun sebelumnya, subsektor tanaman bahan makanan masih mendominasi pembentukan nilai tambah sektor pertanian pada tahun 2011 dengan kontribusi sebesar 7.14 persen, sementara subsektor peternakan menempati urutan ke-4 dengan kontribusi sebesar 1.74 persen.

(26)

tersebut perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang luar biasa hebat, yaitu sebesar 13.13 persen tahun 1998. Sementara itu, sektor pertanian hanya mengalami kontraksi sebesar 1.33 persen, namun subsektor peternakan mengalami kontraksi yang cukup besar yaitu mencapai 13.94 persen (Gambar 1). Hal ini disebabkan komponen impor yang cukup besar dalam struktur input subsektor peternakan terutama komoditas ternak unggas.

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah).

Gambar 1 Laju pertumbuhan PDB nasional, PDB sektor pertanian, dan PDB subsektor peternakan di Indonesia, 1990–2011 (persen)

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) bulan Februari 2011, sektor ini menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yaitu sekitar 38.17 persen (http://www.bps.go.id). Dengan demikian, tampak bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor yang diperhitungkan dalam mendukung perekonomian nasional.

Selain peranannya dalam penciptaan PDB dan penyediaan lapangan kerja, sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat. Sebagai kebutuhan dasar, pangan selalu menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan ekonomi nasional. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan setiap orang berhak untuk memperoleh pangan yang cukup (Sekretariat Negara 1996). Pangan yang cukup dan berkualitas merupakan prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik manusia sejak dari kandungan dan juga berpengaruh terhadap perkembangan intelegensinya sesuai dengan potensi genetiknya. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia sebagai generasi penerus bangsa yang akan melaksanakan pembangunan dalam era persaingan yang semakin ketat.

Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan unsur terpenting dan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Perkembangan kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dicirikan dengan peningkatan harapan hidup sangat ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya. Salah satu bahan

-15 -10 -5 0 5 10 15

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

L

aj

u

pert

umbuhan

(

%

)

(27)

pangan yang sangat penting adalah pangan hewani yang merupakan sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel, dan menjaga sel darah merah agar tidak mudah pecah. Dalam membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, produktif, dan berkualitas, peranan protein hewani hampir tidak dapat tergantikan oleh protein nabati (Daryanto 2009).

Subsektor peternakan mempunyai peranan yang besar dalam hal penyediaan pangan hewani yang bermutu tinggi. Produk peternakan mengandung zat gizi yang sangat diperlukan untuk perkembangan tubuh manusia, utamanya protein dan lemak. Produk peternakan berupa daging, susu, dan telur merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat. Protein adalah salah satu nutrien yang sangat penting bagi tubuh yang berfungsi sebagai zat pembangun. Jika tingkat konsumsi protein hewani pada masyarakat berkecukupan, maka pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang mengandung berbagai macam zat gizi yang diperlukan tubuh berupa 10 macam asam amino esensial dan asam lemak (terutama conjungated linoleic acid) yang bermanfaat bagi pertumbuhan neuron pada otak, dan selanjutnya neuron ini menentukan tingkat kecerdasan manusia. Terdapat korelasi positif antara kecerdasan dengan konsumsi daging per kapita suatu negara. Negara yang tingkat konsumsi protein hewaninya tinggi, umumnya memiliki nilai human development index yang tinggi (BAPPENAS 2010). Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat dari negara ASEAN lainnya. Laporan FAO menyatakan bahwa rata-rata konsumsi daging (daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2006 masih cukup rendah, yaitu sebesar 4.5 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi daging di Malaysia sudah mencapai 38.5 kg/kapita/tahun dan konsumsi daging di Thailand mencapai 8.5 kg/kapita/tahun. Sementara itu, peringkat IPM pada tahun 2007/2008 masing-masing adalah 107 (Indonesia), 63 (Malaysia), dan 78 (Thailand) (Daryanto 2009).

Permintaan suatu komoditas dipengaruhi oleh harga produk, harga produk substitusinya, tingkat pendapatan, jumlah penduduk, dan selera masyarakat (Ilham dan Yusdja 2004). Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat permintaan terhadap produk peternakan juga meningkat. Secara nasional konsumsi daging mengalami peningkatan dari 1.46 juta ton pada tahun 2006 menjadi 1.73 juta ton pada tahun 2009 (Kementerian Pertanian 2010b). Dengan demikian terjadi peningkatan rata-rata 5.93 persen per tahun. Hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS juga menunjukkan adanya kenaikan konsumsi daging penduduk Indonesia dalam periode 2009–2010. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk Indonesia untuk konsumsi daging segar sebesar Rp 8 114 pada tahun 2009 kemudian meningkat menjadi Rp 10 370 pada tahun 2010. Rata-rata konsumsi daging sapi/kerbau masyarakat Indonesia mengalami peningkatan dari 0.006 kg/kapita/minggu pada tahun 2009 menjadi 0.007 kg/kapita/minggu pada tahun 2010. Sementara untuk konsumsi daging ayam meningkat dari 0.069 kg/kapita/minggu pada tahun 2009 menjadi 0.080 kg/kapita/minggu pada tahun 2010 (BPS 2010b).

(28)

Kementerian Pertanian selama periode 2004–2011 produksi daging sapi dalam negeri berfluktuasi, meskipun menunjukkan adanya trend kenaikan. Sementara itu neraca perdagangan daging sapi Indonesia selalu mengalami defisit. Defisit neraca perdagangan daging sapi cenderung meningkat dari 12.95 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 90.51 ribu ton pada tahun 2010, kemudian turun menjadi 64.72 ribu ton pada tahun 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan daging sapi di dalam negeri selalu lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri. Untuk menutupi kekurangan supply daging sapi dalam negeri dilakukan impor dari berbagai negara, terutama dari Australia (Tabel 2).

Tabel 2 Perkembangan produksi, ekspor, dan impor daging sapi di Indonesia, 2004–2011 (000 ton)

Tahun Produksi Neraca perdagangan

Ekspor Impor Selisih

20041 447.57 0.02 12.97 -12.95

20051 358.70 0.09 12.75 -12.67

20062 395.84 0.01 24.08 -24.07

20072 339.47 0.04 39.35 -39.31

20082 392.50 0.06 45.71 -45.65

20093 409.30 0.01 67.39 -67.38

20103 436.50 0.00 90.51 -90.51

20114 465.80 0.30 65.02 -64.72

Sumber : 1 Departemen Pertanian 2007. 3 Kementerian Pertanian 2011b. 2

Kementerian Pertanian 2010b. 4 Kementerian Pertanian 2012b. Keterangan : produksi daging dalam bentuk karkas.

Selain melakukan perdagangan terhadap produk daging sapi, Indonesia juga melakukan perdagangan terhadap ternak hidup baik berupa sapi bibit (cattle breed) maupun sapi bakalan (feeder steer/feeder cattle). Seperti halnya perdagangan produk daging sapi, neraca perdagangan ternak hidup Indonesia juga selalu mengalami defisit baik yang berupa sapi bibit maupun sapi bakalan karena volume impor jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ekspor. Ekspor ternak sapi hidup sebagian besar ke Singapura dan Malaysia (BPS 2009c).

Tabel 3 Perkembangan volume ekspor dan impor sapi bibit dan sapi bakalan di Indonesia, 2004–2011 (ton)

Tahun Sapi bibit Sapi bakalan

Ekspor Impor Selisih Ekspor Impor Selisih

20041 0 1 459 -1 459 571 82 538 -81 967

20051 1 1 615 -1 614 0 89 672 -89 672

20062 3 2 172 -2 169 4 92 999 -92 995

20072 13 49 -36 82 145 468 -145 386

20082 32 449 -417 60 198 460 -198 400

20092 0 28 -28 60 229 155 -229 094

20103 0 1 133 -1 133 0 208 584 -208 584

20114 0 0 0 0 118 921 -118 921

Sumber : 1 Departemen Pertanian 2007. 3 Kementerian Pertanian 2011b. 2

(29)

Impor sapi bibit selama tahun 2004–2011 berfluktuasi, sedangkan impor sapi bakalan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar impor ternak sapi berupa sapi bakalan yang akan dipotong untuk menghasilkan daging sapi setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri. Tahun 2004 volume impor sapi bakalan sebesar 82.54 ribu ton dengan volume ekspor sebesar 0.57 ribu ton. Tahun 2009 volume impor sapi bakalan meningkat menjadi 229.16 ribu ton kemudian turun menjadi 208.58 ribu ton pada tahun 2010 dan 118.92 ribu ton pada tahun 2011. Volume ekspor sebesar 0.06 ribu ton pada tahun 2009 dan setelah itu tidak ada lagi ekspor sapi dari Indonesia (volume nol) (Tabel 3).

Peningkatan supply melalui impor sering dihadapkan pada kendala nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Jika terjadi depresiasi rupiah maka akan berpengaruh terhadap penyediaan barang/jasa yang berasal dari impor karena harga barang impor menjadi lebih mahal. Hal ini bisa berpengaruh terhadap stabilitas pangan di dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat ketergantungan produk daging sapi impor, maka produksi daging sapi dalam negeri harus ditingkatkan. Peningkatan produksi daging sapi domestik akan menggantikan supply daging sapi yang berasal dari impor. Kebijakan ini dikenal dengan strategi substitusi impor atau dikenal dengan kebijakan inward-looking yang menekankan pada pengembangan komoditas untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri agar dapat menggantikan produk impor (Bulmer-Thomas 1982; Hess and Ross 1997; Todaro and Smith 2009).

Dalam upaya menjamin ketersediaan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat, pemerintah kembali mencanangkan program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDSK 2014). Program ini merupakan revisi dari program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 di mana kedua program ini telah gagal dicapai (Syamsu 2010).

Kebijakan swasembada daging sapi merupakan salah satu program Kementerian Pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama bagi masyarakat. Program ini sesuai amanat Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 dan tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2 (20102014), di mana pembangunan pertanian tetap memegang peran yang strategis dalam perekonomian nasional sebagai penyedia bahan pangan. Dalam periode ini Kementerian Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula sebagai lima komoditas pangan utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian Pertanian selama 20102014 adalah pencapaian swasembada untuk kedelai, daging sapi, dan gula, serta swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung (Anonim 2011).

(30)

(BPS – Ditjen PKH 2011b). Selain itu, usaha sapi potong juga mempunyai komponen input lokal yang relatif tinggi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga 1998, industri sapi potong di Indonesia relatif bisa bertahan dibandingkan dengan komoditas ternak unggas yang komponen impornya relatif tinggi.

Saat ini PSDSK 2014 merupakan salah satu program dari 21 program utama Kementerian Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya domestik khususnya ternak sapi potong. Swasembada daging sapi merupakan program pemerintah dalam upaya untuk menyediakan minimum 90 persen dari total kebutuhan daging sapi lokal di dalam negeri, sedangkan 10 persen sisanya dipenuhi dari impor baik berupa sapi bakalan maupun daging sapi. Swasembada daging sapi diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap impor baik sapi bakalan maupun daging sapi dengan mengembangkan potensi dalam negeri (Kementerian Pertanian 2010a).

Salah satu tujuan penting PSDSK 2014 adalah perkembangan populasi dan perbaikan produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) secara berkesinambungan. Orientasi swasembada daging sapi tidak semata-mata diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan pengendalian impor (sapi dan daging) tetapi lebih diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak, dan kesinambungan usaha peternak sapi serta meningkatkan daya saing produksi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dampaknya akan mengurangi ketergantungan dari impor daging dan sapi bakalan.

Dengan program ini diharapkan terjadi peningkatan produksi daging sapi dalam negeri untuk menggantikan daging sapi impor, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Swasembada daging secara langsung akan menghemat devisa, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya akan memberi dampak peningkatan kesejahteraan peternak dan merangsang kegiatan ekonomi di perdesaan (Ditjen Peternakan 2011).

Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi tahun 2014 yang telah dicanangkan sejak akhir tahun 2009 terhadap kinerja subsektor peternakan serta kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi di Indonesia serta penghematan devisa.

Perumusan Masalah

(31)

tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sektor pertanian (3.45 persen per tahun).

Subsektor peternakan juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1993, jumlah rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan mencapai 5.47 juta. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan menjadi 5.63 juta pada tahun 2003 dan jumlah rumah tangga usaha ternak sapi potong mencapai 2.57 juta dengan jumlah peternak sebesar 2.76 juta (BPS 2005b).

Selain kontribusinya dalam penciptaan PDB dan penyerapan tenaga kerja, sub sektor peternakan juga berperan dalam penyediaan pangan bagi masyarakat, terutama protein hewani. Ketersediaan pangan merupakan masalah yang krusial bagi pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka permintaan pangan juga semakin meningkat. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 mencapai 205.13 juta jiwa dan jumlah tersebut terus bertambah hingga mencapai 237.56 juta jiwa pada tahun 2010. Dengan demikian, laju pertumbuhan Indonesia mencapai 1.49 persen per tahun (BPS 2009b, 2010a). Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan terus bertambah mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah laju permintaan terhadap pangan lebih cepat daripada penyediaannya. Permintaan yang meningkat cepat merupakan resultan dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan produksi peternakan nasional relatif lambat. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor cenderung meningkat.

Ketergantungan terhadap pangan impor ini diterjemahkan sebagai

ketidakmandirian dalam penyediaan pangan nasional (Saliem et al. 2003).

Dalam beberapa dasawarsa terakhir permintaan produk petemakan cenderung terus meningkat, seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional cenderung meningkat. Selama periode 1999–2010 konsumsi daging sapi mengalami peningkatan rata-rata 4.49 persen per tahun. Sementara itu produksi daging sapi domestik hanya tumbuh rata-rata 2.58 persen per tahun. Kondisi tersebut mengakibatkan impor daging sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata 21.58 persen per tahun.

(32)

sapi dan sapi bakalan dalam konsumsi daging sapi nasional mencapai lebih dari 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional (Ditjen Peternakan 2011).

Sumber : Ditjen Peternakan; BPS (diolah).

Gambar 2 Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi penyediaan menurut asal produk, 1999–2010

Secara agregat, Indonesia merupakan negara importir produk peternakan termasuk produk daging sapi dan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa produksi daging dalam negeri tidak bisa memenuhi permintaan yang ada. Hadi et al. (1999) memperkirakan bahwa jika tidak ada perubahan teknologi secara signifikan dalam proses produksi daging sapi dalam negeri serta tidak adanya peningkatan populasi sapi yang berarti, maka kesenjangan antara produksi daging sapi dalam negeri dengan jumlah permintaan akan semakin melebar, sehingga berdampak pada volume impor yang semakin besar. Hal ini tentu saja akan mengancam ketahanan pangan dari sisi kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat diartikan bahwa kebutuhan pangan nasional minimum 90 persen dari dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana 2004).

Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, kemandirian pangan menjadi lebih penting lagi. Menurut Yusdja dan Ilham (2006), industri peternakan yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku dan teknologi impor mempunyai resiko yang tinggi. Seperti yang terjadi pada masa krisis moneter tahun 1997/1998, industri sapi potong domestik terutama industri peternakan yang dikelola oleh perusahaan (feedloter) mengalami guncangan yang hebat. Hal ini disebabkan melambungnya biaya operasional karena sebagian besar bahan baku pakan berasal dari impor. Selain itu juga disebabkan oleh sulitnya mendapatkan sapi bakalan dari luar negeri untuk usaha penggemukan karena harga yang relatif mahal akibat melemahnya nilai rupiah. Sebagai negara kecil, Indonesia adalah price taker terkait dengan impor produk sapi potong. Dalam hal ini stabilitas nilai tukar rupiah akan berpengaruh terhadap harga daging sapi impor dan pengembangan industri peternakan sapi nasional.

258 299 287 259 287 347 289 321 294 340 375 418 250 270 290 310 330 350 370 390 410 430 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

T o ta l k o ns um si (0 0 0 t o n) P er sent a se peny edia a n

[image:32.595.62.484.56.842.2]
(33)

Selain nilai tukar, tarif impor yang ditetapkan oleh pemerintah juga akan berpengaruh terhadap impor ternak dan daging sapi. Besaran tarif impor mempengaruhi harga komoditas di pasar domestik yang akan berpengaruh terhadap produksi dan jumlah impor. Dalam era perdagangan bebas, hambatan perdagangan antar negara berupa tarif secara bertahap akan dihapuskan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi perkembangan harga produk impor di pasar domestik dan produksi daging sapi nasional serta keberhasilan program swasembada daging sapi yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Hasil penelitian Tseuoa (2011) tentang Dampak ASEAN, Australia and New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) terhadap Industri Daging Sapi di Indonesia menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru akan menurunkan harga daging sapi dalam negeri sehingga permintaan daging sapi dalam negeri meningkat. Namun demikian, produksi daging sapi dalam negeri menurun, sehingga kenaikan penawaran daging sapi dalam negeri disebabkan oleh kenaikan impor daging sapi.

Ketergatungan pada sapi bakalan impor dan daging sapi impor untuk memenuhi konsumsi domestik dapat melemahkan upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam negeri. Jika karena sesuatu hal terjadi hambatan impor seperti depresiasi rupiah yang cukup tajam, kenaikan tarif impor, dan gangguan hubungan bilateral, maka untuk memenuhi konsumsi masyarakat terpaksa memotong sapi domestik yang kondisi perkembangannya relatif lambat. Akibatnya akan menguras sumber daya yang dapat mengarah pada kepunahan (Ilham 2006).

Pertumbuhan produksi daging sapi nasional relatif lambat sebagai akibat rendahnya produktivitas ternak sapi potong dalam negeri. Menurut Subagyo (2009), hal ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya pejantan unggul, ketersediaan dan kualitas pakan yang rendah terutama pada musim kemarau, efisiensi reproduksi ternak yang rendah dengan jarak beranak (calving interval) yang panjang, serta adanya wabah penyakit. Rendahnya pertumbuhan produksi ternak sapi nasional berpengaruh terhadap penyediaan sapi bakalan dan produksi daging sapi domestik.

Produksi ternak sapi sangat ditentukan oleh ketersediaan sapi betina produktif sebagai faktor produksi utama. Tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif akan menghambat laju pertumbuhan produksi ternak sapi nasional. Menurut Ilham (2006), sekitar 28 persen sapi yang dipotong setiap hari merupakan betina produktif. Ada beberapa faktor yang mendorong pemotongan sapi betina produktif, antara lain: (1) peternak memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, (2) harga sapi betina lebih murah daripada sapi jantan, sedangkan harga jual dagingnya sama, (3) adanya pemotongan di luar RPH pemerintah, dan (4) RPH hanya berorientasi pada keuntungan sehingga tidak berkepentingan melarang pemotongan sapi betina produktif. Upaya peningkatan penyediaan sapi induk dapat dilakukan melalui pengendalian pemotongan betina produktif dan impor bibit.

(34)

menyebabkan terjadinya kompetisi antara produk sapi domestik dengan produk sapi impor.

Kebijakan PSDSK 2014 merupakan upaya pemerintah untuk mendorong produksi daging sapi nasional. Program PSDSK 2014 dirinci menjadi lima kegiatan pokok, yaitu (1) penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (4) penyediaan bibit sapi lokal, dan (5) pengaturan stok daging sapi dalam negeri (Ditjen Peternakan 2011).

Dalam penelitian ini, akan dikaji aspek perbaikan teknologi budidaya sapi potong melalui Inseminasi Buatan (IB) untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi, pengendalian impor untuk mengatur stok sapi bakalan dan daging sapi dalam negeri, dan penyediaan bibit sapi melalui subsidi bunga bagi peternak dan impor sapi bibit. Kegiatan tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan produksi daging sapi nasional. Upaya peningkatan produksi daging sapi domestik melalui program PSDSK 2014 akan mempengaruhi perekonomian nasional khususnya subsektor peternakan. Ada beberapa variabel makroekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian suatu wilayah antara lain pendapatan nasional atau GDP/PDB dan kesempatan kerja (Mankiw 2007).

Peningkatan produksi daging sapi akibat adopsi teknologi baru dapat mempengaruhi sektor ekonomi yang lain melalui perubahan harga relatif. Secara sederhana fenomena tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Prasada 2007): 1. Ekspansi output akan mendorong peningkatan penawaran sehingga harga

output turun secara relatif dibandingkan dengan harga komoditas yang lain. 2. Pengaruh kenaikan pendapatan sebagai akibat dari perubahan harga relatif

input dan penerimaan akan menciptakan permintaan yang lebih besar terhadap komoditas yang lain. Hal ini akan menurunkan harga relatif output terhadap komoditas lainnya.

Perubahan output tersebut akan membawa dampak terhadap kesempatan kerja bagi masyarakat. Peningkatan kesempatan kerja akan berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan PDB. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan daya beli masyarakat dan mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan.

Daya beli yang tinggi memungkinkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta memperluas permintaan masyarakat, tidak hanya pada kebutuhan primer namun juga terhadap kebutuhan sekunder. Hal ini akan mendorong pertumbuhan industri sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan manfaat ekonomi ke berbagai lapisan masyarakat (Siregar 2009).

(35)

Secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap kinerja ekonomi subsektor peternakan dan kesejahteraan produsen serta konsumen daging sapi di Indonesia. Secara spesifik permasalahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia?

2. Bagaimana dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap perubahan kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia?

3. Bagaimana prospek swasembada daging sapi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah tentang swasembada daging sapi terhadap perekonomian di Indonesia secara keseluruhan serta kesejahteraan masyarakat. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap produksi daging sapi nasional dan kinerja subsektor peternakan di Indonesia.

2. Mengevaluasi dampak kebijakan swasembada daging sapi terhadap tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen daging sapi serta penghematan devisa di Indonesia.

3. Meramalkan produksi dan permintaan daging sapi dalam kerangka pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan penyusunan rencana pembangunan peternakan khususnya peternakan sapi potong pada masa yang akan datang.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Program PSDSK 2014 meliputi daging sapi dan daging kerbau, namun kajian dalam penelitian ini hanya mencakup daging sapi. Hal ini dengan pertimbangan bahwa konsumsi daging kerbau di Indonesia sangat rendah. Hasil Susenas Panel 2009 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi per kapita daging kerbau di Indonesia kurang dari 0.001 kg/minggu (BPS 2009a).

(36)

Berkaitan dengan judul ada beberapa hal penting yang menjadi cakupan penelitian yaitu kebijakan swasembada daging sapi, pasar daging sapi, kinerja subsektor peternakan, kesejahteraan masyarakat, serta proyeksi penawaran dan permintaan daging sapi untuk memperkirakan pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia. Kebijakan swasembada daging sapi dikaji dari aspek perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong, penyediaan sapi bibit melalui subsidi suku bunga pinjaman, serta pengaturan stok daging sapi di dalam negeri melalui pengendalian impor bakalan dan daging sapi. Karena keterbatasan data yang tersedia, aspek penyediaan bakalan lokal dan penyelamatan sapi betina produktif tidak dimasukkan dalam model. Meskipun secara eksplisit tidak dicantumkan dalam program PSDSK 2014, akan dikaji pula dampak peningkatan impor sapi bibit terhadap kinerja industri sapi potong dan subsektor peternakan di Indonesia.

Program swasembada diartikan sebagai peningkatan produksi domestik agar dapat memenuhi permintaan domestik. Dalam program PSDSK 2014, upaya peningkatan produksi daging sapi domestik antara lain melalui peningkatan produktivitas ternak sapi lokal. Secara operasional kegiatan tersebut diimplemetasikan melalui optimalisasi program Inseminasi Buatan (IB) dan Intesifikasi Kawin Alam (InKA); penyediaan dan pengembangan pakan dan air; serta penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. Kajian tentang aspek perkembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dengan menggunakan proksi jumlah penggunaan dosis IB. Dengan adanya perbaikan teknologi diharapkan akan meningkatkan tingkat produktivitas industri ternak sapi potong.

Sapi bibit merupakan faktor produksi yang menentukan perkembangan populasi ternak sapi dan penyediaan daging sapi nasional. Program bantuan permodalan dengan bunga rendah (karena disubsidi pemerintah) bagi pelaku usaha pembibitan sapi potong diharapkan dapat membantu peternak untuk meningkatkan skala usaha sehingga dapat meningkatkan populasi dan penyediaan bibit secara berkelanjutan. Subsidi suku bunga bank dari pemerintah diimplementasikan melalui program Kredit Usaha Pembibitan Sapi Potong (KUPS) yang bekerja sama dengan beberapa lembaga perbankan nasional.

Pengaturan stok sapi bakalan dan daging sapi dalam negeri bertujuan untuk mendorong pengembangan usaha sapi potong berbasis sumber daya lokal untuk mewujudkan swasembada daging sapi secara berkelanjutan. Secara oprasional kegiatan ini dilakukan melalui pengendalian impor sapi bakalan dan daging sapi dengan menerapkan regulasi impor secara konsisten (Ditjen Peternakan 2011).

(37)

Namun, tambahan berat badan ternak setelah dilakukan pemeliharaan di dalam negeri dihitung sebagai produksi dalam negeri.

Peningkatan produksi ternak sapi mempengaruhi kinerja perekonomian khususnya subsektor peternakan. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan kinerja perekonomian adalah pertumbuhan GDP subsektor peternakan dan penyerapan tenaga kerja. GDP subsektor peternakan diuraikan menjadi GDP sapi potong dan GDP non-sapi potong.

Perubahan produksi daging sapi akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, baik peternak sapi potong sebagai produsen maupun masyarakat di luar peternak sebagai konsumen daging sapi. Dampak kesejahteraan dihitung dengan menggunakan indikator perubahan surplus produsen dan surplus konsumen. Selain itu, peningkatan produksi daging sapi domestik akan berpengaruh terhadap jumlah impor daging sapi dan sapi bakalan sehingga akan mempengaruhi pengeluaran devisa.

Kebaruan dan Posisi Penelitian

Beberapa penelitian tentang penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia telah dilakukan antara lain oleh Ilham (1998), Kariyasa (2004), dan Tseuoa (2011). Ilham (1998) membedakan penawaran daging sapi yang berasal dari peternakan rakyat dan industri peternakan. Sementara Kariyasa (2004) dan Tseuoa (2011) tidak melakukan hal tersebut. Tseuoa (2011) memisahkan daging sapi hasil pemotongan sapi bakalan impor dengan produksi daging sapi lokal. Semua produksi daging sapi yang berasal dari pemotongan sapi bakalan impor setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri dikategorikan sebagai daging sapi impor. Dalam penelitian tersebut belum dilakukan kajian tentang perilaku produksi ternak dan populasi ternak sapi potong. Penelitian tentang perilaku produksi dan populasi ternak dilakukan oleh Sukanata (2008) untuk wilayah Bali.

Dalam penelitian ini akan dikaji tentang perilaku produksi ternak dan populasi ternak sapi potong di Indonesia, karena beberapa implementasi kebijakan swasembada daging sapi diarahkan pada usaha budidaya ternak. Selain itu, produksi daging sapi hasil pemotongan sapi bakalan impor akan dirinci menjadi daging sapi hasil konversi dari berat impor sapi bakalan dan tambahan bobot ternak selama proses penggemukan di dalam negeri. Produksi daging dari tambahan bobot ternak tersebut dikategorikan sebagai produksi domestik karena merupakan nilai tambah dari proses produksi di dalam negeri. Selain itu, juga dilakukan kajian tentang perilaku PDB sapi potong dan permintaan tenaga kerja pada subsektor peternakan di Indonesia.

(38)

Dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh berbagai kebijakan dalam program PSDSK 2014 terhadap produksi ternak sapi potong, produksi daging sapi, dan permintaan daging sapi di Indonesia. Penyediaan daging sapi untuk memenuhi konsumsi domestik berasal dari produksi domestik dan impor. Impor terkait dengan produk sapi potong dibedakan menjadi impor sapi bibit sebagai induk untuk menghasilkan sapi bakalan, impor sapi bakalan yang akan dipotong untuk menghasilkan daging sapi setelah dilakukan penggemukan di dalam negeri, serta impor berupa daging sapi. Produksi daging sapi yang berasal dari pemotongan sapi bakalan impor dibedakan menjadi daging sapi impor yaitu hasil konversi dari berat hidup ternak sapi bakalan impor menjadi daging sapi dan tambahan berat selama proses penggemukan di Indonesia yang dikategorikan sebagai produksi daging sapi domestik.

(39)

Pada bagian ini akan dibahas mengenai konsep, teori, dan studi empiris mengenai strategi substitusi impor, kebijakan swasembada, penawaran dan permintaan daging nasional, kinerja perekonomian, dan kesejahteraan. Pada bagian akhir akan disajikan kerangka konseptual yang merupakan dasar pemikiran dari penelitian ini.

Strategi Substitusi Impor

Strategi substitusi impor (import substitution) adalah serangkaian usaha untuk mencoba mengganti komoditas-komoditas yang semula selalu diimpor, ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri. Strategi ini juga dikenal dengan kebijakan inward-looking yang menekankan pengembangan industri yang berorientasi pada pasar domestik untuk membuat barang-barang yang menggantikan produk impor. Pemilihan strategi ini dilandasi pada pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti produk impor (Todaro and Smith 2009; Tambunan 2001). Menurut Hess and Ross (1997) dan Tambunan (2001) ada beberapa motif yang mendorong suatu negara menerapkan strategi substitusi impor, antara lain:

1. Sumber daya alam (seperti bahan baku) dan faktor produksi (terutama tenaga kerja) cukup tersedia di dalam negeri, sehingga secara teoritis biaya produksi untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut menjadi relatif rendah. Teori klasik dari Adam Smith menyatakan bahwa suatu negara sebaiknya berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang yang bahan baku utamanya berlimpah di negara tersebut, yang berarti negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif atas barang-barang tersebut.

2. Potensi permintaan di dalam negeri yang cukup tinggi.

3. Dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk impor, yang berarti juga mengurangi defisit neraca perdagangan dan menghemat devisa sehingga meningkatkan kemampuan suatu negara untuk mengimpor barang modal. 4. Bagi negara-negara dengan tingkat pengangguran tinggi, strategi substitusi

impor merupakan alat untuk menciptakan lapangan kerja.

5. Dengan proteksi dari pemerintah yang bersifat sementara, diharapkan produsen domestik akan mampu meningkatkan daya saingnya dan akhirnya bisa menjadi eksportir.

Konsep dasar dari strategi substitusi impor meliputi: Pertama, identifikasi pasar domestik yang besar, yang mengindikasikan adanya peningkatan impor dari tahun ke tahun. Kedua, teknologi produksi dapat diterapkan oleh produsen lokal atau para investor luar negeri bersedia mensuplai teknologi, manajemen dan kapital. Ketiga, menerapkan hambatan-hambatan tarif, seperti tarif atau kuota impor, untuk mengatasi biaya awal yang tinggi dari produksi lokal dan membuatnya menguntungkan bagi investor-investor lokal dalam mencapai target industri (Gillis et al. 1992).

(40)

(Sahrial 2005). Pelaksanaan strategi substitusi impor didasarkan pada pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan pengembangan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti (substitusi) impor (Arief 1990).

Penerapan strategi substitusi impor didasarkan pada alasan bahwa secara historis perdagangan berlangsung sebagai mekanisme ketimpangan internasional yang merugikan negara berkembang dan menguntungkan negara maju. Ketimpangan tersebut muncul karena semakin lebarnya nilai tukar perdagangan (Term of Trade=TOT) antara komoditas pertanian dari negara-negara berkembang dan komoditas industri dari negara-negara maju. Hal tersebut diatasi dengan mengembangkan produk substitusi impor yang diproteksi melalui fasilitas bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan barang-barang modal. Sebagai alasan utama penerapan strategi substitusi impor adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa melalui penggantian barang-barang impor dengan produksi dalam negeri (Susilowati 2007).

Pembangunan industri substitusi impor melandaskan pada argumen industri muda (infant–industry argument) di mana industri semacam ini dilakukan hanya untuk kasus negara-negara yang baru berkembang dalam upaya mengatasi keterbatasan mereka sampai dapat tumbuh bersaing secara efektif di pasar internasional (Chacholiades 1990). Secara grafis, infant-industry argument dapat dijelaskan seperti yang disajikan pada Gambar 3. Kondisi awal Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dinyatakan sebagai kurva U1V dengan TOT dunia konstan pada L1P1, produksi berada di P1 dan konsumsi di C1. Dengan adanya proteksi dan subsidi terhadap produk substitusi impor, maka KKP akan bergeser ke kanan ke kurva U2V, akibatnya produksi meningkat ke P2 dan konsumsi ke C2 yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Sumber : Chacholiades 1990 Gambar 3 Argumen industri muda

Untuk mendukung keberhasilan strategi tersebut, pemerintah memberikan proteksi dengan pemberlakuan hambatan tarif (tariff barriers) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selain itu, mereka juga diberi insentif berupa keringanan pajak, serta berbagai macam fasilitas dan rangsangan investasi

Produk substitusi impor

U1 L1

U2

O V

C1

P2

C2

P1

(41)

lainnya. Jika semua berjalan lancar, maka konsumsi barang impor semakin berkurang dan kondisi keuangan negara akan membaik. Pada akhirnya, komoditas tersebut akan mampu bersaing di pasar internasional sehingga proteksinya akan dikurangi sedikit demi sedikit. Begitu komoditas tersebut mampu menurunkan biaya rata-ratanya sehingga harganya menjadi cukup kompetitif di pasar internasional, maka industri tersebut akan mampu menghasilkan devisa (Todaro and Smith 2009).

Kebijakan Swasembada Daging Sapi

Swasembada daging sapi merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri secara mandiri. Jika dari arti kata swasembada berarti 100 persen kebutuhan daging berasal dari produksi dalam negeri. Berdasarkan kenyataan bahwa selama ini neraca perdagangan daging sapi Indonesia selalu mengalami defisit, berarti produksi daging sapi belum bisa memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Oleh karena itu untuk mencapai swasembada, produksi daging sapi dalam negeri harus ditingkatkan sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dalam rangka peningkatan produksi daging sapi nasional, pemerintah menggulirkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK 2014). Program ini merupakan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumber daya domestik khususnya ternak sapi potong. Program ini merupakan revisi dari program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi 2010 yang d

Gambar

Gambar 2 Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia dan proporsi penyediaan
Gambar 4 Kegiatan pokok dan kegiatan operasional dalam program PSDSK 2014
Tabel 6 Perkembangan populasi ternak di Indonesia, 1990–2011 (ribu ekor)
Tabel 7  Perkembangan produksi daging di Indonesia, 19902011 (ribu ton)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses implementasi metode pembiasaan dalam membentuk karakter disiplin di SD Brawijaya Smart School dengan a menerapkan pembentukan karater sejak dini, b berpakaian rapi dan

Berdasarkan hasil perhitungan Regresi linier berganda pada tabel 1, diperoleh nilai R 2 sebesar 0,878 Artinya 87,8% Jumlah Produksi furnitur dari alumunium di Kota

Sulfur dioksida (SO2) bersifat iritan kuat pada kulit dan lendir, pada konsentrasi 6-12 ppm mudah diserap oleh selaput lendir saluran pernafasan bagian atas, dan pada kadar rendah

“Dua orang perempuan tua dari antara wanita-wanita Yahudi mendatangiku (Aisha) dan berkata,”orang mati akan dihukum dalam kubur mereka, tapi kupikir mereka sedang

Rasa sakit dimulai dari pinggang bawah menuju ke pinggul, kemudian ke alat kelamin luar.Intensitas rasa sakit berfluktuasi dan rasa sakit yang luar biasa merupakan

‘Ulambana’ yang sesungguhnya bukanlah dengan melanggar Sila tidak membunuh, melakukan penyembelihan hewan sebagai persembahan kepada setan dan dewa, melainkan ‘menyelamatkan

Belanja Modal Rehab Sedang/Berat Dermaga 818.600.000,00. Rehab Sedang/berat Dermaga

Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga kita senantiasa berada dalam bimbingan dan lindungan Allah SWT, sekali lagi saya ucapkan selamat dan terima