• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG POTENSI KEPARIWISATAAN DI KABUPATEN KARO

3.2 Kebudayaan Kabupaten Karo

Etnis Karo, salah satu suku di Sumatera Utara yang bermukim di kawasan pegunungan, terdapat di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Suku ini terkenal karena keuletannya dalam bertani. Letak geografis dan perbedaan bahasa yang membuat mereka enggan disebut bagian etnis Batak. Pasalnya, mereka mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.

Dalam beberapa literature, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Haru ini berasal dari mana kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad ke 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.

Masyarakat Karo sudah sejak dahulu kala terikat pada adat-stiadat. Ikatan kekeluargaan atau kekerabatan pada masyarakat Karo agak keras, dalam arti jarang sekali ada ynag berani secara terang-terangan melanggar peraturan adat tersebut. Walaupun ketentuan adat tidak bersifat tulisan, namun sudah menjadi kebiasaan sehari-hari untuk terus-menerus menaatinya. Tutur merupakan salah satu warisan leluhur masyarakat Karo, cara menarik garis keturunan ini dimulai dari nenek moyang ke anak, cucu, cicit, dan seterusnya.

Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar (1991:1617), sebelum klan (merga) Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari kedatangan kelompok marga Karo-karo, Giting, Sembiring, Tarigan dan Perangin- angin, akhirnya membuat masyarakat Karo semakin banyak. Interaksi ini yang mendorong terjadinya pembentukan merga si lima.

Rando Sembiring : Peranan Pramuwisata Dalam Pengembangan Kepariwisataan Di Kabupaten Karo, 2009. USU Repository © 2009

Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan menurut garis bapak (secara genealogis patrilineal) seperti di Batak Toba, tetapi kepada proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo Muda, yakni lebih kurang pada tahun 1780. Pembentukan ini berkaitan dengan keamanan, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Haru dengan penduduk asli.

Kini marga si lima (klan yang lima) tak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo. Seiring perkembangan zaman, masyarakat Karo melalui merga si lima yang berdomisili di dataran tinggi, kemudian menyebar ke berbagai wilayah di sekitarnya, seperti ke Deli Serdang, Dairi, Langkat, Simalungun dan Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahkan secara individu kini mulai menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, maupun ke luar negeri.

Dalam masyarakat Karo cara menarik garis keturunan atau yang disebut tutur meliput i :

1. Merga/beru, adalah nama keluarga bagi seseorang dari nama keluarga (merga) ayahnya. Untuk perempuan disebut beru. Bagi anak laki-laki merga ini akan diwariskan secara turun-temurun masyarakat Karo mengenal ada lima marga induk dan masing-masing mempunyai cabangnya (sub marga). Adapun merga-merga induk ini adalah:

a. Perangin-angin, mempunyai 18 sub marga, b. Ginting, mempunyai 16 sub marga,

c. Tarigan, mempunyai 13 sub marga,

d. Karo-karo, mempunyai 18 sub marga, dan e. Sembiring, mempunyai 18 sub marga.

Rando Sembiring : Peranan Pramuwisata Dalam Pengembangan Kepariwisataan Di Kabupaten Karo, 2009. USU Repository © 2009

2. Bere-bere; adalah nama keluarga yang diwariskan seseorang dari beru ibunya. 3. Benuang; adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere

ayahnya.

4. Kempu; (perkempun); adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari

bere-bere ibunya atau beru neneknya dari ibu (ibu dari ibunya).

5. Kampah; adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere nenek dari ibunya (ibu dari ibunya ) atau beru ibu neneknya dari ibu.

Dalam perkembangan selanjutnya marga menurut garis keturunannya masing-masing, maka timbullah suatu ikatan kekeluargaan yang lebih konkrit. Ikatan kekeluargaan tersebut dikenal dalam berbagai nama tetapi berarti sama yaitu Daliken Si Telu Rakut Si Telu / SingkepSi Telu. Daliken artinya tungku tempat menunjukkan betapa pentingnya peranan tiap-tiap tungku, sebab kalau cuma dua tungku maka tidak dapat digunakan untuk memasak. Demikian juga dalam masyarakat Karo terdapat tiga unsur kekerabatan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :

1. Senina / sembuyak; yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang semarga, karena ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama. Fungsi senina ini peneting karena pada waktu musyawarah mereka berbicara mewakili pihak (yang mengadakan hajatan/upacara adat) dan menjadi penanggung jawab pelaksana acara adat dalam batas-batas tertentu.

2. Kalimbubu; yang termasuk kelompok ini adalah pihak orang tua dari isteri dan saudara laki-laki dari isteri yang mengadakan suatu upacara adat. Kalimbbuhu

sering juga disebut Dibata Ni Idah (Tuhan yang kelihatan) karena kedudukannya sangat dihormat.

Rando Sembiring : Peranan Pramuwisata Dalam Pengembangan Kepariwisataan Di Kabupaten Karo, 2009. USU Repository © 2009

3. Anak Beru, yang termasuk kelompok ini adalah kelompok yang mengambil istri dan keluarga (merga) tertentu, termasuk pihak keluarga laki-laki tersebut dan suami serta anak laki-laki dari saudara perempuan. Anak beru ini bertugas menjalankan dan nenyelesaikan keputusan-keputusan dengan baik dalam tiap adat, khususnya dalam melayani pihak kalimbubu. Dalam suatu upacara adat pihak ini sering juga disebut tempatnya yakni “kalimbar. Dalam suatu upacara adat pihak ini sering juga disebut tempatnya yakni “idapor”(di dapur) karena memang tugas mereka adalah memasak gulai dan sayur termasuk dalam melayani pada saat acara makan.

Dalam masyarakat Karo, semua adalah raja dan dihormati (sebagai kalimbubu) dan semua orang adalah pekerja atau pelayan (sebagai anak beru) dan juga sesekali sebagai pihak yang mengadakan suatu pesta/upacara adat (sebagai

Senina sembanyak), maka dengan sendirinya tidak dikenal perbedaan derajat antara satu orang dengan yang lainnya.

Dalam hal alam pemikiran dan kepercayaan masyarakat Karo (khususnya yang belum memeluk agama) masih menganut kepercayaan erkiniteken atau kepercayaan akan adanya Tuhan (Dibat) dalam tiga wujud yaitu:

1. Dibata Idatas (Dibata Karo kaci), yang menguasai alam raya/langit 2. Dibata Itengah (Dibata Paduka Niaji), yang menguasai bumi atau dunia. 3. Dibata Iteruh (Dibata Banua Koling), yang menguasai alam di bawah bumi.

Disamping itu masyarakat Karo juga mempercayai bahwa di dalam tubuh manusia yang hidup terdapat roh yang disebut tendi, dan apabila manusia tersebut sudah meninggal maka tendi tersebut akan berubah menjadi arwah atau begu.

Rando Sembiring : Peranan Pramuwisata Dalam Pengembangan Kepariwisataan Di Kabupaten Karo, 2009. USU Repository © 2009

Dalam pemikiran kepercayaan masyarakat Karo peranan guru (dukun) sangat penting, karena dia dipercaya dapat membantu mengatasi penyakit, membaca hari dan bulan baik, memanggil roh atau arwah orang yang sudah meninggal, memanggil hujan, mengusir roh (begu) yang jahat, dan lain-lain. Semua hal kepercayaan dan religi ini sejak zaman dahulu terus berkembang sampai sekarang, walau hanya sebagian pemikiran akan kepercayaan ini terutama bagi para pemeluk agama, akan tetapi membawa perpecahan ataupun keretakan di dalam kehidupan masyarakat Karo tersebut.

Dokumen terkait