• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan pernah dialami oleh setiap orang dan merupakan bentuk perasaan yang biasanya diiringi oleh suasana hati yang kurang meyenangkan. Banyak ahli psikologi berpendapat bahwa kecemasan adalah perasaan takut, baik nyata maupun tidak nyata, yaitu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam disertai dengan peningkatan reaksi kejiwaan (Calhoun & Acocella, 1989).

Menurut Freud (Feist & Feist, 1998) kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan disertai dengan sensasi fisik atau tubuh yang memperingatkan individu untuk melawan atau menyerang bahaya yang akan datang. Sesuatu yang tidak menyenangkan tersebut seringkali kabur dan sulit untuk ditujukan dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan. Prawirohusodo (1988) juga mengungkapkan bahwa kecemasan adalah pengalaman emosi yang tidak menyenangkan yang datang dari dalam, bersifat meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu. Kecemasan merupakan kondisi psikologis ketika individu merasa terganggu akibat adanya kondisi yang mengancam meskipun masih bersifat kabur. Kecemasan juga dapat

terjadi karena pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan tentang apa yang terjadi (Hall dan Lindzey,1978)

Menurut Johnston (1971) kecemasan adalah reaksi terhadap ancaman, hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaaan tertekan yang disebabkan oleh perasaan kecewa, rasa tidak puas, tidak aman, atau sikap bermusuhan dengan orang lain. Dari keadaan yang mencemaskan maka akan timbul reaksi-reaksi kecemasan yang dapat diubah dalam bentuk gangguan simtomatis, baik berupa gejala psikologis maupun fisiologis. Kecemasan adalah suatu pengalaman yang tidak nyaman berupa kekhawatiran, rasa takut dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi yang disertai dengan beberapa sensasi tubuh, meliputi jantung berdebar dan peningkatan denyut nadi. (Wilson, O’lear & Nathan, 1996).

Jika uraian diatas mengungkapkan tentang pengertian kecemasan yang merupakan keadaan yang tidak menyenangkan dan mengancam maka di sisi lain Stuart dan Sundeen (1998) mengungkapkan bahwa kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan dapat dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.

Kecemasan tidak hanya bersifat merugikan tetapi juga mempunyai sisi positif bagi individu, menurut Corey (1999) kecemasan merupakan keadaan tegang yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal bagi ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi bahaya itu

tidak diambil. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan melalui cara-cara rasional dan langsung, maka akan mengandalkan cara-cara-cara-cara yang tidak realistis, yakni tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah pengalaman emosi atau kondisi psikologis yang tidak menyenangkan dan mengancam diri individu yang ditandai dengan munculnya gejala-gejala psikologis maupun fisiologis. Secara psikis ditandai dengan adanya rasa khawatir,takut dan gelisah sedangkan secara fisik ditandai dengan beberapa sensasi tubuh meliputi jantung berdebar dan peningkatan denyut jantung. Kecemasan juga berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, kondisi ini dialami secara subyektif dan berfungsi sebagai peringatan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal bagi individu tersebut untuk mengambil tindakan dalam mengatasi permasalahannya.

2. Jenis kecemasan

Ada 3 jenis kecemasan menurut Freud (Corey, 1999), yaitu: a. Kecemasan Realistis

Perasaan takut terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan kecemasan ini juga dikenal sebagai kecemasan yang obyektif karena kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman dan bahaya yang ada.

b.Kecemasan Neurotik

Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara id dan ego. Kecemasan neurotik merupakan ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri

yang meyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat mendatangkan hukuman bagi dirinya.

c. Kecemasan Moral

Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara ego dan super ego. Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri. Seseorang yang hati nuraninya berkembang baik, cenderung merasa berdosa apabila ia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.

Lazarus (1991) membedakan kecemasan berdasar reaksi yang muncul dari individu sebagai reaksi terhadap kecemasan yang sedang dialaminya, sebagai berikut:

a. Kecemasan Sebagai Suatu Respon.

Kecemasan merupakan reaksi yang dimunculkan oleh individu sebagai reaksinya terhadap pengalaman tertentu. Keadaan ini dapat diketahui dari apa yang ia katakan, dari bagaimana ia bertindak, atau dari perubahan fisiologis yang dihubungkan dengan reaksi terhadap pengalaman tersebut. Kegelisahan, kekhawatiran, kebingungan dan ketakutan yang muncul pada dirinya sangat berhubungan dengan aspek-aspek subjektif dan emosi, dan hal ini hanya dirasakan oleh yang bersangkutan. Dalam hal ini terbagi dalam 2 aspek:

i). State Anxiety

Kecemasan yang timbul bila individu sedang dihadapkan pada situasi tertentu dan gejala kecemasan tersebut selalu menetap selama situasi yang memicu kecemasan itu tetap ada.

ii).Trait Anxiety

Kecemasan yang muncul pada diri individu sebagai suatu yang menetap pada diri individu. Kecemasan ini sangat berhubungan dengan kepribadian individu yang mengalaminya. Kecemasan ini memiliki pengertian bahwa individu selalu merasa cemas dalam berbagai situasi dan sering mengarah pada kesulitan individu dalam beradaptasi.

b. Kecemasan Sebagai Intervening Variable (variabel perantara)

Kecemasan merupakan suatu keadaan yang diperkirakan terjadi karena kondisi tertentu, tapi juga memiliki konsekuensi tertentu. Kecemasan tersebut merupakan suatu serangkaian stimulus dan respon. Kecemasan ini walaupun tidak dapat diketahui langsung melalui observasi, tetapi dapat diketahui secara tidak langsung dari pengamatan kondisi stimulus dan perilaku yang mendahuluinya serta manifestasinya sebagai akibat dari keadaan tersebut, yang dapat dilihat melalui kondisi fisiologis dari situasi yang mencemaskan tersebut.

3. Komponen kecemasan

Maher (dalam Calhoun & Acocella, 1989) mengungkapkan reaksi kecemasan ada 3 komponen :

a.Emosional

Individu yang bersangkutan secara sadar mempunyai ketakutan yang mendalam

b.Kognitif

Ketakutan menjadi lebih besar kemungkinan akan mempengaruhi kemampuan individu untuk berpikir jernih, memecahkan masalah dan mengatasi tuntutan dari lingkungan.

c.Fisiologis

Tubuh yang merespon ketakutan mengarahkannya pada suatu tindakan. Proses ini lebih karena kerja dari sistem syaraf otonom yang mengontrol beberapa syaraf dan kelenjar tubuh. Di saat pikiran menangkap ketakutan maka sistem syaraf otonom akan mempengaruhi tubuh. Jantung berdegup, denyut nadi dan nafas menjadi lebih cepat, pupil mata membesar, sistem pencernaan terganggu dan tekanan darah meningkat. Kelenjar adrenalin memicu adrenalin ke darah yang akhirnya darah dialirkan ke sistem skeletal sehingga menjadi lebih kencang dan siap untuk melakukan tindakan.

Menurut Bucklew (dalam Sitepu, 2004), para ahli membagi bentuk kecemasan dalam dua tingkat yaitu:

a. Tingkat psikologis

Berupa kecemasan yang berupa gejala-gejala kejiwaan seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan reaksi psikologis lainnya.

b. Tingkat fisiologis

Merupakan kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud dalam gejala-gejala fisiologis, misalnya : tidak dapat tidur, tekanan darah naik, jantung berdebar,gemetaran, perut mual dan sebagainya.

Hurlock (1997) menyatakan individu yang mengalami kecemasan ditandai dengan adanya rasa khawatir, gelisah dan perasaan akan terjadi suatu hal yang kurang menyenangkan yang diikuti perasaan tidak mampu menghadapi tantangan, kurang percaya pada diri sendiri dan tidak dapat menemukan penyelesaian terhadap masalahnya. Darajat (1996) juga menyebutkan gejala-gejala kecemasan yang bersifat fisik dan mental. Gejala fisik berupa ujung jari yang terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak , nafsu makan hilang, kepala pusing, sesak nafas. Gejala mental antara lain sangat takut, merasa akan ditimpali bahaya atau kecelakaan, tidak bisa memusatkan perhatian, tidak berdaya atau rendah diri, hilang kepercayaan diri, tidak tenteram dan ingin lari dari kenyataan hidup.

Dari uraian diatas, maka diambil kesimpulan mengenai komponen kecemasan yaitu :

3 komponen yang terdapat pada kecemasan, adalah : a. Fisiologis

Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan reaksi dari tubuh individu, seperti jantung berdebar, gemetaran, perut mual, tidak dapat tidur, tekanan

darah naik, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran, tubuh terasa panas dingin, kepala pusing dan sesak nafas. a. Kognitif

Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan proses berpikir, seperti kemampuan individu untuk berpikir jernih, kesulitan dalam berkonsentrasi, sukar untuk memecahkan masalah dan sulit dalam mengatasi tuntutan dari lingkungan.

b. Afektif

Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan perasaan seperti adanya rasa takut yang kuat, mudah tersinggung, mudah khawatir, tidak berdaya atau rendah diri, hilang kepercayaan diri, tidak tenteram dan ingin lari dari kenyataan hidup.

4. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Menurut Kretch & Qrutch ( Hartanti & Dwijanti, 1997) timbulnya kecemasan disebabkan kurangnya pengalaman dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang membuat individu kurang siap menghadapi situasi baru. Sumber kecemasan juga terdiri dari dua faktor yaitu:

a. Faktor Internal

Kecemasan berasal dari dalam individu misalnya perasaan tidak mampu, tidak percaya diri, perasaan bersalah dan rendah diri. faktor internal ini umumnya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak rasional.

b. Faktor Eksternal

Kecemasan berasal dari luar individu, dapat berupa penolakan sosial, kritikan dari orang lain, beban tugas atau kerja yang berlebihan, maupun hal-hal lain yang dianggap mengancam.

B. Pria dan wanita 1. Jenis Kelamin

Hurlock (1999) mengemukakan, dalam perkembangan kehidupan manusia, perkembangan perbedaan jenis kelamin merupakan proses yang kompleks. Sel-sel seks pria dan wanita adalah sama, dalam arti bahwa keduanya mengandung kromosum. Setiap sel seks yang matang mempunyai 23 kromosum, dan tiap-tiap kromosum mengandung gen, yaitu pembawa keturunan. Sel-sel seks pria dan wanita juga berbeda dalam 2 hal penting. Pertama, di dalam telur yang matang terdapat 23 kromosum yang berpasangan sedangkan di dalam spermatozoon terdapat 22 kromosum dan 1 kromosum yang tidak berpasangan yang mungkin berbentuk kromosum X atau kromosum Y.

Dua jenis spermatozoa matang diproduksi dalam jumlah yang sama, yang pertama mengandung 22 pasang kromosum ditambah 1 kromosum X, yang kedua mengandung 22 pasang kromosum ditambah 1 kromosum Y. Kromosum X dan Y adalah kromosum penentu jenis kelamin. Telur yang matang selalu mengandung kromosum X. Bila telur ini dibuahi oleh spermatozoon, pembawa kromosum Y, maka terjadi anak laki-laki, kalau

dibuahi oleh spermatozoon pembawa kromosum X, maka anak yang lahir adalah perempuan ( Hurlock, 1999).

Seks atau jenis kelamin secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya (Sahrah, 2004)

Tabel perbedaan pria dan wanita menurut Gilarso (2003) :

Tabel 1.

Perbedaan Pria dan Wanita

Perbedaan biologis

Pria Wanita

1.Pada tubuh pria menonjol garis - garis lurus, tegak, kuat dan kekar, yang melambangkan keperkasaan dan kekuatan. 2.Dada lapang, bahu lebar, untuk

bekerja dan untuk melindungi yang lemah.

3.Pinggul agak kecil dibanding dengan bahu.

4.Kaki kokoh, kuat, tegak lurus tampak otot-ototnya.

5.Lengan dan tangan penuh dengan otot, kekar, kuat, dan keras.

6.Suara besar, ada jakun pada leher.

7.Alat kelamin sebagian terletak di luar rongga tubuh.

8.Bulu rambut pada muka (kumis), lengan, kaki, dada.

1. Tubuh wanita lebih menonjol, garis-garis melingkar, bulat, lambang kelembutan, kasih sayang dan perasaan aman.

2. Bahu relatif kecil dan

melengkung, buah dada berkembang.

3. Pinggang kecil tapi tulang pinggul menonjol bulat.

4. Karena tulang pinggulnya lebih besar, paha besar dan kaki meruncing ke bawah.

5. Lengan dan tangan lembut dan lemas.

6. Suara kecil merdu, dan lehernya rata.

7. Alat kelamin tersembunyi di dalam rongga tubuh.

8. Rambut didada dan kulit hanya tipis.

Perbedaan pria dan wanita secara fisiologis menurut Kimball (1988) adalah pria memiliki hormon androgen yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan reproduksi pria sedangkan wanita memiliki hormon estrogen, yaitu hormon yang mempengaruhi perkembangan kematangan dan fungsi dari reproduksi wanita. Kekurangan estrogen menyebabkan penurunan yang berhubungan dengan keinginan (nafsu) atau pola perilaku lainnya. Hormon estrogen dan androgen memberi perbedaan pada struktur tubuh pria dan wanita, sehingga pria secara fisik terlihat lebih kuat daripada wanita. Pria selain juga memiliki hormon testosteron yang menjadikan pria memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi daripada wanita (Pinel, 1997).

Menurut Pinel (1997) pria cenderung memiliki tingkat aktivitas metabolisme yang lebih tinggi di beberapa bagian dari lobus temporal otak dan sistem limbik, yang berhubungan dengan peningkatan emosi dan mempertajam ingatan. Wanita di sisi lain memiliki tingkat aktivitas yang lebih tinggi di cingulate gyrus, yang meliputi persepsi dari kesedihan dan reaksi emosional untuk stimulus yang tidak menyenangkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan lainnya. Perbedaan ini dapat saja berhubungan dengan perbedaan perilakunya, karena itu semua berhubungan dengan perbedaan fungsi kognitif dan emosional.

2. Peran Gender

Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set perilaku-perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan.

Bervariasinya peran gender diantara berbagai variasi budaya serta jangka waktu menunjukan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita.

Abbot (1992) juga mencoba mendefinisikan peran gender sebagai harapan sosial akan perilaku maskulin dan feminim. Harapan ini diawali dan dikukuhkan oleh institusi dan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Abbot (1992) membedakan peran gender dari peran jenis. Peran jenis didefinisikan sebagai perilaku yang diwarisi secara kodrati karena ciri biologisnya, seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui untuk perempuan atau ejakulasi dan membuahi untuk laki-laki. Melahirkan dan menyusui anak dengan demikian merupakan peran jenis feminim, tetapi memelihara dan mendidik anak merupakan peran gender feminim.

Suswati (2004) di sisi lain juga mengemukakan bahwa peran gender secara tradisional mencirikan laki-laki sebagai makluk yang lebih aktif, kompetitif, agresif, dominan, bebas dan penuh percaya diri. Sementara perempuan dicirikan sebagai makhluk yang lembut, rapi, emosional, ekspresif, perasa dan lebih taktis. Dengan ciri tersebut muncul pembagian kerja berdasar ketidaksetaraan gender, perempuan selalu dikaitkan dengan tugas domestik dan laki-laki pada sektor publik. Permasalahan yang menyangkut sektor produksi adalah tanggung jawab laki-laki dan perempuan bertanggung jawab pada permasalahan yang menyangkut reproduksi. Budaya paternalistik yang kuat dan meliputi seluruh struktur stratifikasi sosial dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, memposisikan “bapak” sebagai pemimpin dan

sumber kekuasaan serta “ibu” sebagai pendamping dengan posisi yang lebih rendah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita dibedakan berdasarkan seks (jenis kelamin) dan peran gender. Seks (jenis kelamin) berarti pembedaan secara biologis dan fisiologis yang berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan yang fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Di sisi lain, peran gender adalah pencirian laki-laki dan perempuan yang merupakan harapan sosial akan perilaku maskulin dan feminim. Budaya dalam hal ini juga membentuk peran gender.

Dokumen terkait