PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PERAWAT PRIA DAN WANITA MENIKAH DALAM MENGHADAPI PASIEN
DI RUMAH SAKIT JIWA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Yulia Eka Sari Maria Goretti NIM : 029114028
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
▸ Baca selengkapnya: seorang pria penderita polidaktili heterozigot menikah dengan wanita
(2)PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PERAWAT PRIA DAN WANITA MENIKAH DALAM MENGHADAPI PASIEN
DI RUMAH SAKIT JIWA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Yulia Eka Sari Maria Goretti NIM : 029114028
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
“ …Tak t er bat as k uas a- Mu Tuhan
Semua dapat Kau l ak uk an
Apa y ang k el i hat an mus t ahi l
bagi k u
I t u s angat mungk i n bagi - Mu
Di s aat k u t ak ber day a
Kuas a- Mu y ang s empur na
Sel ama Tuhan ada
muj i z at i t u ny at a
Buk an k ar ena k ek uat an
Namun r oh- Mu y a Tuhan
Sel ama k u ber doa
Muj i z at i t u ny at a…”
( t ak en f r om: s ong “ Muj i z at i t u ny at a” )
“Li f e i s a j our ney
I t c an t ak e y ou any wher e y ou c hoos e t o go As l ong as y ou' r e l ear ni ng
You' l l f i nd al l y ou' l l ev er need t o k now”
Halaman Persembahan
Karya sederhana ini aku persembahkan untuk :
Sang Maha Bijaksana….Allah Bapa di surga
Kedua Orang tuaku dan adikku
Sahabat dan teman-temanku
Orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku
Almamaterku
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 25 Juli 2007
Penulis
Yulia Eka Sari Maria Goretti
ABSTRAK
Yulia Eka Sari Maria Goretti (2007) Perbedaan tingkat kecemasan perawat pria dan wanita menikah dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa.Yogyakarta: Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi; Program Studi Psikologi; Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan perawat pria dan wanita menikah dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa. Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan tingkat kecemasan menghadapi pasien antara perawat pria dan wanita menikah di rumah sakit jiwa, dengan asumsi kecemasan perawat wanita lebih tinggi daripada perawat pria.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 orang, terdiri dari 30 orang perawat pria dan 30 orang perawat wanita. Metode pengumpulan data dengan menggunakan skala. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat kecemasan yang disusun oleh peneliti. Hasil perhitungan koefisien reliabilitas dengan menggunakan metode Alpha – Cronbach adalah 0,971.
Metode Analisis data dengan menggunakan uji-t dengan teknik Independen Sample t Test. Hasil dari analisis data diperoleh t - hitung – 0,116 dan t – tabel 1,67. Hasil ini menunjukkan p > 0,05 (1,67 > -0,116) yang berarti tidak ada perbedaan tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien antara perawat pria dan wanita di rumah sakit jiwa. Kedua kelompok subjek rata-rata memiliki tingkat kecemasan yang rendah dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa.
ABSTRACT
Yulia Eka Sari Maria Goretti (2007) The difference anxiety level of male and female married nurse in facing the patient in Mental Hospital. Yogyakarta: Faculty of Psychology; Department of Psychology; Study Program of Psychology; Sanata Dharma University.
This research aimed to find out the difference of anxiety level between male and female married nurse in facing the patient in Mental Hospital. The hypothesis proposed was there was difference between male and female married nurse in facing the patient in Mental Hospital, with assumption the anxiety level of female nurse is higher.
The subject of this research was 60 persons, included 30 male nurses and 30 female nurses. The method used for gathering data was using scale. The tool used in this research was the anxiety scale arranged by the researcher. The coefficient reliability result with Alpha-Cronbach methods was 0,971.
The analysis method used t-test with independent t-test sample technique. The result of the data analysis was t-test -0,116 and t-table 1,67. the result showed p> 0,05 (1,67 > -0,116) which mean there wasn’t any differences of anxiety level between male and female married nurse in facing the patient in Mental Hospital. Both subject groups’s rate had low anxiety level in facing the patient in Mental Hospital.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan limpahan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perbedaan tingkat kecemasan perawat pria dan wanita menikah dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa” guna memperoleh gelar sarjana Psikologi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna dan tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, maka penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang terdalam kepada:
1. Bpk P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Silvia Carolina, S.Psi., M.Si selaku kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi dan bpk C. Wijoyo Adi Nugroho, S.Psi selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mendampingi penulis selama kuliah di fakultas psikologi.
4. Ibu Tanti Arini, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing atas segala masukan, nasehat, bimbingan dan kesabarannya selama penulis penyelesaikan skripsi ini
5. Ibu M.L Anantasari, S.Psi., M.si dan Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku dosen penguji atas masukan dan bimbingan yang diberikan pada penulis.
6. Seluruh karyawan di fakultas Psikologi, mas Gandung, mbak Nanik, pak Gik, mas Muji, mas Dony, makasih atas segala bantuan dan keramahannya.
7. Bpk Drs Sumaryanto, M.Si dan segenap perawat di R.S Grhasia Yogyakarta atas kesediaannya menjadi subjek try out dalam penelitian ini. 8. Bpk. dr M. Sigit Wahyu Purnomo, SpKJ atas ijinnya untuk melakukan
penelitian di RSJD DR. Soedjarwadi Klaten, dan segenap perawat di RSJD DR. Soedjarwadi Klaten atas kesediaannya menjadi subjek dalam penelitian ini.
9. Kedua orang tuaku, atas dukungan yang luar biasa dalam bentuk apapun, terutama dalam bentuk cinta dan doa.
10. Adikku, yang terkadang membantuku menyelesaikan skripsi ini dalam hal olah data, makasih yo…ayo cepet nyusul kuliah!
11. Yasinta Ajeng, Sahabat yang extraordinary. Dari awal masuk kuliah sampai lulus kuliah, kesediaannya untuk selalu mengerti, aku banyak belajar dari kamu Jenk! Aku butuh satu kata yang bisa menggambarkan lebih dari kata “terimakasih” buat kamu.
12. Stefanus Ganjar, yang selalu jadi orang pertama yang tahu tentang kisah -kisah hidupku, kamu yang kadang bisa membuat aku jadi balance…see, distance doesn’t matter ya. Hatur nuhun pisan.
13. Victoria “Toree” Hapsari, Makasih udah jadi sahabat yang hebat dalam segala hal, walaupun sedikit “camen” but I proud being your friend, kamu lebih dari seorang teman Tor…U great!! Thanks.
14. Kate “Athanasia”, yang selalu hadir dengan penuh keceriaan dan akhir-akhir ini mengklaim dirinya sebagai kakak iparku, hehehe. Matur nuwun yo buat semangatnya biar aku bisa cepet lulus nyusul kamu, mari kita buat tante Nuriana bangga dengan menantu - menantunya.
15.Sahabat-Sahabatku, Irin (sandaranku ketika senang maupun sedih), Martin (si raja cela dan tawa), Hesti (panutan menjadi seorang calon ibu rumah tangga sekaligus wanita karir yang baik), Koez (temen yang gak jelas tapi baek hati), Nandi (yang selalu ngasih support, walau dari jauh), Anna Lucia (temen dari masa kecil, ayo kita berjuang bareng lagi!!) Makasih ya semuanya.
16.Temen – temen “komkaf” dimanapun kalian sekarang berada, keep our fraternity ya.
17.Temen-temen di Psikologi, (Gank di semester 1) Ajeng, Unax, Danang, Vincent, Sani, Niko, Panji, ayo kapan kita ngumpul di Nasgorbi lagi?? Sukses ya buat kalian!! Elvin, Nopex, Thea & Wedha, Lita, Mita, Ntrie, Tanti, Fista, Trisa, Ucix, Ina, Lisna, Siska (temen seperjuangan pas bimbingan) dan temen-temen yang laen, Makasih ya buat kebersamaan kita, aku senang bisa berada di tengah-tengah kalian.
18.Temen-temen kos, Angop, Rosa, Siska, Sinta, Eka, Novi, Mbak Elish dan yang laen-laennya, makasih ya udah boleh hidup bareng kalian.
19.Maha karya Tuhan yang begitu indah, Donnie Cahyadi Sibarani, penyemangat hidup dan juga “energi”, teruslah bernyanyi (hanya) untukku (yang baca jangan protes ya, bedakan antara agape dan romance, hehehe).
20.Last but not least, Andr i Pr amuhar dana…makasih buat arti kata “optimis”, pengalaman cinta dan hidup yang sedikit “complicated”. Aku semakin yakin bahwa mengenalmu dan semua proses yang telah kita jalani itu bukan suatu kebetulan.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………. iii
MOTTO……… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... vi
ABSTRAK……… vii
ABSTRACT………. viii
KATA PENGANTAR………. ix
DAFTAR ISI……… xiii
DAFTAR TABEL……… xvi
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah……….. ….. 1
B. Rumusan Masalah……….. 7
C. Tujuan Penelitian………... 7
D. Manfaat Penelitian………. 7
BAB II KERANGKA TEORI……….. 9
A. Kecemasan………... 9
1. Pengertian Kecemasan……….. 9
2. Jenis Kecemasan………... 11
3. Komponen Kecemasan……….. 13
4. Faktor Penyebab Kecemasan……… 16
B. Pria dan Wanita……….. 17
1. Jenis Kelamin……… 17
2. Peran Gender……… 19
C. Perawat……… 21
1. Pengertian Perawat……… 21
2. Fungsi Perawat Rumah Sakit……… 22
3. Perawat Rumah Sakit Jiwa………... 22
4. Tugas Perawat Rumah Sakit Jiwa……….... 23
D. Perbedaan Kecemasan Menghadapi Pasien antara Perawat Pria dan Wanita di R.S.J………... 24
E. Hipotesis………. 27
SKEMA………... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 29
A. Jenis Penelitian……… 29
B. Identifikasi Masalah Penelitian……….. 29
C. Definisi Operasional Variabel……… 29
1. Tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien di R.S.J………. 29
2. Perawat pria dan wanita……….. 30
D. Subjek Penelitian……… 31
E. Metode Pengumpulan Data……… 31
F. Pengujian Instrumen Penelitian……….. 34
1. Uji Validitas……… 34
2. Daya Beda Item………... 34
3. Uji Reliabilitas……… 38
G. Prosedur Penelitian………. 38
H. Teknik Analisis Data……….. 39
BAB IV HASIL PENELITIAN……….. 41
A. Pelaksanaan Penelitian………. 41
B. Deskripsi Subjek………... 41
C. Analisis Data………. 42
1. Analisis Statistik Deskriptif………. 42
3. Uji Hipotesis………. 44
D. Pembahasan………... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..………. 51
A. Kesimpulan……… 51
B. Saran……….. 51
DAFTAR PUSTAKA……….. 53
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 : Perbedaan pria dan wanita ………. .18
2. Tabel 2 : Spesifikasi skala tingkat kecemasan sebelum uji coba……….32
3. Tabel 3 : Distribusi item skala tingkat kecemasan sebelum uji coba………...32
4. Tabel 4 : Spesifikasi skala tingkat kecemasan setelah uji coba………...36
5. Tabel 5 : Distribusi item skala tingkat kecemasan setelah uji coba………….36
6. Tabel 6 : Spesifikasi skala tingkat kecemasan setelah penyetaraan item…….37
7. Tabel 7 : Distribusi item skala tingkat kecemasan setelah penyetaraan item..37
8. Tabel 8 : Deskripsi subjek pria……….42
9. Tabel 9 : Deskripsi subjek wanita………42
10.Tabel 10: Analisis statistik deskriptif………43
11.Tabel 11: Ringkasan uji-t………..44
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa sekarang ini telah muncul berbagai macam jenis penyakit,
hingga memunculkan kesadaran dalam masyarakat akan pentingnya aspek
kesehatan. Perbedaan status dan golongan tidak membuat masyarakat berbeda
dalam menanggapi betapa pentingnya kesehatan karena penyakit datang tanpa
memandang suku, golongan maupun status dalam masyarakat, apalagi saat ini
banyak penyakit yang sudah menelan korban jiwa. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Walcott (2004) mengungkapkan bahwa, dahulu masyarakat
banyak yang memilih jalur pengobatan tradisional karena dianggap lebih murah
dan mudah ditemukan di berbagai tempat, terutama bagi masyarakat yang tinggal
di daerah-daerah terpencil. Hal ini disebabkan jasa pelayanan kesehatan belum
banyak tersedia di sana, namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat
semakin peduli dengan perkembangan jasa pelayanan kesehatan, karena saat ini
sudah banyak disosialisasikan mengenai pentingnya menjaga kesehatan, selain itu
juga sudah muncul kepercayaan dari masyarakat itu sendiri pada pelayanan jasa
kesehatan secara medis.
Perawat dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit merupakan salah
satu paramedis yang memiliki tugas dan kewajiban untuk melayani pasien dengan
baik. Tenaga keperawatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus
senantiasa memberikan pelayanannya secara kontinyu dan konsisten selama 24
jam. Mereka menghadapi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh pasien
atau keluarganya, di samping itu, mereka juga harus memfokuskan pelayanannya
pada keberlangsungan kegiatan pelayanan itu sendiri (http://www.pdpersi.co.id).
Perawat mempunyai peranan penting karena berhubungan dengan pasien secara
langsung, sehingga dapat dikatakan bahwa perawat merupakan perantara antara
dokter dan pasien.
Proses keperawatan merupakan wahana kerjasama antara perawat dengan
pasien. Umumnya pada tahap awal, perawat berperan lebih besar daripada pasien,
tetapi pada proses selanjutnya diharapkan peran pasien lebih besar daripada peran
perawat sehingga dalam diri pasien tumbuh kemandirian supaya bisa memenuhi
kebutuhannya atau mengatasi permasalahannya. Pelayanan dan asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien merupakan bentuk pelayanan
profesional yang bertujuan untuk membantu pasien dalam pemulihan dan
peningkatan kemampuan dirinya melalui tindakan pemenuhan kebutuhan pasien
secara komprehensif dan berkesinambungan sampai pasien mampu untuk
melakukan kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan (http://www.pdpersi.co.id).
Perawat dalam tugasnya dihadapkan pada berbagai macam situasi dan
keadaan dalam masyarakat. Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan
yang berat pada sebagian besar masyarakat, misalnya masyarakat yang mengalami
krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan fisik berupa gangguan gizi,
terserang berbagai penyakit infeksi tapi juga dapat mengalami gangguan
kesehatan mental yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas serta kualitas
berbagai macam dengan penyebab, gejala, dan pengobatan yang berbeda.
Gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, gangguan perasaan atau gangguan
tingkah laku sehingga dapat menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi
sehari-hari (fungsi sosial dan fungsi pekerjaan) dari orang tersebut (Heerdjan,
1987). Masyarakat yang mengalami gangguan jiwa membutuhkan pelayanan jasa
kesehatan di rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa adalah salah satu bentuk rumah
sakit yang memberikan pelayanan khusus terhadap pasien yang menderita
gangguan jiwa.
Perawat di rumah sakit jiwa, berhubungan langsung dengan pasien yang
menderita gangguan jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area khusus dalam
praktek keperawatan dengan menggunakan ilmu perilaku manusia sesuai dengan
kiat keperawatan yang berfokus pada upaya pencapaian dan tujuan terapiutik
dalam meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat ( Rasmun, 2001). Kelancaran
hubungan pelayanan di rumah sakit berpusat pada perawat sebagai bagian yang
aktif dan keberhasilan seorang perawat ditentukan oleh kemampuannya
berhubungan dengan orang lain, berkomunikasi dan bekerja sama (Gunarsa,
1995).
Menjadi perawat di rumah sakit jiwa membutuhkan keahlian khusus karena
tidak hanya merawat pasien secara fisik melainkan juga kondisi mental pasien
yang tidak dapat dilihat secara langsung gejalanya seperti pada pasien penderita
fisik pada umumnya. Pasien yang mengalami gangguan mental memperlihatkan
gejala yang berbeda dan muncul oleh berbagai penyebab. Keadaan pasien yang
mengamuk, saling berkelahi antar pasien, pasien yang mencoba bunuh diri atau
hal-hal lain yang sifatnya membahayakan bagi perawat tersebut atau bahkan bagi
pasien itu sendiri dapat menimbulkan rasa cemas pada perawat ketika menghadapi
pasien.
Peneliti tidak menemukan penelitian yang mengungkapkan adanya
kecemasan yang dialami oleh perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa, namun
peneliti menemukan penelitian tentang perawat yang bekerja di rumah sakit
umum. Suatu survey yang dilakukan pada para perawat oleh NIOSH atau The
National Institute for Occupational Safety and Health (Usman, 2005)
menyebutkan bahwa banyak perawat yang mengalami stres pada saat melakukan
pekerjaannya. Hal ini diakibatkan selain karena beban kerja yang berlebihan juga
karena harus menghadapi pasien dengan karakteristik yang bermacam-macam.
Stres adalah respon individu terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa
(disebut stressor) yang mengancam individu dan mengurangi kemampuan
individu dalam mengatasi segala bentuk stressor (Santrock, 2002). Kecemasan itu
merupakan suatu bentuk stres dari suatu kondisi yang tidak pasti. Jika perawat
umum mengalami stres karena beban kerja yang berlebihan dan harus menghadapi
karakteristik pasien yang bermacam, maka perawat di rumah sakit jiwa masih
ditambah menghadapi pasien dengan kondisi mental yang tidak stabil dan tidak
dapat diprediksi tindakannya, sehingga perawat di rumah sakit jiwa mungkin saja
menjadi lebih cemas daripada perawat di rumah sakit umum.
Rasa cemas merupakan salah satu gangguan psikologis yang dialami oleh
tentang sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi, timbul karena berbagai
alasan dan situasi, kecemasan menimbulkan rasa yang tidak enak sehingga
membuat seseorang ingin lari dari kenyataan dan enggan berbuat sesuatu (Priest,
1991). Selain itu, seseorang yang mengalami kecemasan memiliki rasa takut dan
khawatir yang berlebihan, hal ini membuat mereka sulit untuk konsentrasi pada
suatu pokok pemikiran (Bootzin, Lotfus & Zojne, 1983). Situasi-situasi tersebut di
atas yang akhirnya akan membuat individu dalam hal ini perawat akan merasa
cemas dan selalu ragu-ragu untuk melakukan sesuatu serta kesulitan untuk
memusatkan perhatian pada pekerjaannya.
Perawat di rumah sakit terdiri dari perawat pria dan wanita. Masyarakat
biasanya cenderung membedakan pria dan wanita dari segi perbedaan secara
jasmani saja, padahal perbedaan itu juga terdapat pada aspek yang lainnya yaitu
pada aspek kejiwaan, sifat-sifatnya, cara berpikir, bentuk tubuh, suara dan gaya,
perasaannya, bakat-bakat dan sebagainya (Gilarso, 2003). Perbedaan jenis
kelamin didapat dari 2 faktor, yaitu: biologis dan lingkungan sosial. Kedua hal
tersebut kemudian memunculkan perkembangan peran seks yang menggolongkan
pria dan wanita. Penggolongan peran seks seperti ini akan berpengaruh pada
perilaku yang cenderung mereka sesuaikan dengan jenis kelaminnya. Adanya
perbedaan perilaku yang muncul ini maka berbeda pula antara pria dan wanita
dalam mempresepsi, memandang dan berpola pikir terhadap stimulus yang
diterimanya, dengan demikian berbeda pula dalam menanggapi dan merespon
Perilaku pria dan wanita akan menjadi lebih kuat ketika mereka sudah
menikah. Pria dan wanita yang menikah mempunyai peran gender yang berbeda.
Wanita yang sudah menikah akan memiliki peran sebagai seorang istri yang
mempunyai tugas untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga serta merawat
anak-anaknya. Pria juga memiliki peran sebagai seorang kepala keluarga yang
mempunyai tugas untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Ketika
wanita ingin menyalurkan bakat dan potensinya serta menjadi partner sejajar pria,
kaum wanita memerlukan kemampuan untuk mengatasi hambatan fisik maupun
psikologis yang ditimbulkan oleh aspek peran gendernya, dalam arti wanita lebih
dituntut untuk mengatasi urusan keluarga dan hal-hal lain yang menyangkut
keluarganya dibanding pria (Anoraga, 1992).
Secara hukum maupun peraturan dalam dunia kerja tidak ada yang
menempatkan pria dan wanita pada status yang berbeda (Kristanto dan
Kurniawati, 2005). Begitu pula di rumah sakit jiwa, perawat pria dan wanita
secara garis besar memiliki tugas dan kewajiban yang sama tanpa ada pembedaan
yang berarti. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada salah satu
karyawan di RSJD. Dr. Soedjarwadi Klaten pada tanggal 9 September 2006,
menyebutkan bahwa di rumah sakit tersebut perawat yang biasanya merawat
pasien dengan kondisi kejiwaan yang tingkat ketidakstabilannya sangat tinggi
adalah perawat-perawat yang sudah senior atau yang dianggap kuat dan mampu
menghadapi kondisi pasien tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian kerja
Akibat peran gender yang dimiliki wanita yang juga bertugas untuk
mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anaknya dapat saja membuat perawat
wanita menjadi kurang siap dibandingkan perawat pria ketika menghadapi pasien.
Hal ini disebabkan karena perawat wanita masih harus membagi waktu dan
tenaganya sehingga ia menjadi tidak fokus dengan pekerjaannya. Perbedaan peran
gender dan kondisi fisik yang dimiliki pria dan wanita kemungkinan membuat
tingkat kecemasan mereka berbeda ketika menghadapi pasien. Wanita mungkin
menjadi lebih cemas ketika menghadapi pasien di rumah sakit jiwa.
Melihat uraian di atas, maka peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan
tingkat kecemasan perawat pria dan wanita menikah menghadapi pasien antara di
rumah sakit jiwa
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini “apakah tingkat kecemasan wanita menikah lebih
tinggi ketika menghadapi pasien di rumah sakit jiwa?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah tingkat kecemasan perawat wanita menikah
lebih tinggi daripada perawat pria dalam menghadapi pasien di rumah sakit
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan dalam penelitian dapat memberikan manfaat :
1. Secara teoretis:
Memberikan sumbangan pengetahuan tentang tingkat kecemasan
menghadapi pasien di rumah sakit jiwa yang dialami perawat pria dan wanita
yang sudah menikah.
2. Secara Praktis:
a. Bagi Rumah Sakit
Memberikan data bagi rumah sakit tentang adanya perbedaan tingkat
kecemasan perawat pria dan wanita menikah dalam menghadapi pasien di
rumah sakit jiwa.
b. Bagi Perawat
Perawat akan memperoleh masukan mengenai adanya perbedaan tingkat
kecemasan antara perawat pria dan wanita, sehingga bisa digunakan
sebagai acuan untuk meningkatkan kinerja mereka, bahwa adanya
perbedaan kecemasan itu tidak menjadi halangan untuk berusaha memberi
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan pernah dialami oleh setiap orang dan merupakan bentuk
perasaan yang biasanya diiringi oleh suasana hati yang kurang meyenangkan.
Banyak ahli psikologi berpendapat bahwa kecemasan adalah perasaan takut,
baik nyata maupun tidak nyata, yaitu perasaan terancam sebagai tanggapan
terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam disertai dengan
peningkatan reaksi kejiwaan (Calhoun & Acocella, 1989).
Menurut Freud (Feist & Feist, 1998) kecemasan adalah suatu perasaan
yang tidak menyenangkan disertai dengan sensasi fisik atau tubuh yang
memperingatkan individu untuk melawan atau menyerang bahaya yang akan
datang. Sesuatu yang tidak menyenangkan tersebut seringkali kabur dan sulit
untuk ditujukan dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan.
Prawirohusodo (1988) juga mengungkapkan bahwa kecemasan adalah
pengalaman emosi yang tidak menyenangkan yang datang dari dalam, bersifat
meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang dihubungkan dengan suatu
ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu. Kecemasan merupakan
kondisi psikologis ketika individu merasa terganggu akibat adanya kondisi
yang mengancam meskipun masih bersifat kabur. Kecemasan juga dapat
terjadi karena pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan tentang apa
yang terjadi (Hall dan Lindzey,1978)
Menurut Johnston (1971) kecemasan adalah reaksi terhadap ancaman,
hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaaan tertekan yang disebabkan
oleh perasaan kecewa, rasa tidak puas, tidak aman, atau sikap bermusuhan
dengan orang lain. Dari keadaan yang mencemaskan maka akan timbul
reaksi-reaksi kecemasan yang dapat diubah dalam bentuk gangguan simtomatis, baik
berupa gejala psikologis maupun fisiologis. Kecemasan adalah suatu
pengalaman yang tidak nyaman berupa kekhawatiran, rasa takut dan ketakutan
pada sesuatu yang akan terjadi yang disertai dengan beberapa sensasi tubuh,
meliputi jantung berdebar dan peningkatan denyut nadi. (Wilson, O’lear &
Nathan, 1996).
Jika uraian diatas mengungkapkan tentang pengertian kecemasan yang
merupakan keadaan yang tidak menyenangkan dan mengancam maka di sisi
lain Stuart dan Sundeen (1998) mengungkapkan bahwa kecemasan sangat
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini
tidak memiliki objek spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan dapat
dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
Kecemasan tidak hanya bersifat merugikan tetapi juga mempunyai sisi
positif bagi individu, menurut Corey (1999) kecemasan merupakan keadaan
tegang yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah
memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal bagi ego yang akan
tidak diambil. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan melalui
cara-cara rasional dan langsung, maka akan mengandalkan cara-cara-cara-cara yang tidak
realistis, yakni tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah
pengalaman emosi atau kondisi psikologis yang tidak menyenangkan dan
mengancam diri individu yang ditandai dengan munculnya gejala-gejala
psikologis maupun fisiologis. Secara psikis ditandai dengan adanya rasa
khawatir,takut dan gelisah sedangkan secara fisik ditandai dengan beberapa
sensasi tubuh meliputi jantung berdebar dan peningkatan denyut jantung.
Kecemasan juga berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya,
kondisi ini dialami secara subyektif dan berfungsi sebagai peringatan adanya
ancaman bahaya, yakni sinyal bagi individu tersebut untuk mengambil
tindakan dalam mengatasi permasalahannya.
2. Jenis kecemasan
Ada 3 jenis kecemasan menurut Freud (Corey, 1999), yaitu:
a. Kecemasan Realistis
Perasaan takut terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan kecemasan ini
juga dikenal sebagai kecemasan yang obyektif karena kecemasannya
sesuai dengan derajat ancaman dan bahaya yang ada.
b.Kecemasan Neurotik
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara id dan ego. Kecemasan
yang meyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat
mendatangkan hukuman bagi dirinya.
c. Kecemasan Moral
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara ego dan super ego.
Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri. Seseorang
yang hati nuraninya berkembang baik, cenderung merasa berdosa apabila
ia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang
dimilikinya.
Lazarus (1991) membedakan kecemasan berdasar reaksi yang muncul dari
individu sebagai reaksi terhadap kecemasan yang sedang dialaminya, sebagai
berikut:
a. Kecemasan Sebagai Suatu Respon.
Kecemasan merupakan reaksi yang dimunculkan oleh individu sebagai
reaksinya terhadap pengalaman tertentu. Keadaan ini dapat diketahui dari
apa yang ia katakan, dari bagaimana ia bertindak, atau dari perubahan
fisiologis yang dihubungkan dengan reaksi terhadap pengalaman tersebut.
Kegelisahan, kekhawatiran, kebingungan dan ketakutan yang muncul pada
dirinya sangat berhubungan dengan aspek-aspek subjektif dan emosi, dan
hal ini hanya dirasakan oleh yang bersangkutan. Dalam hal ini terbagi
i). State Anxiety
Kecemasan yang timbul bila individu sedang dihadapkan pada situasi
tertentu dan gejala kecemasan tersebut selalu menetap selama situasi
yang memicu kecemasan itu tetap ada.
ii).Trait Anxiety
Kecemasan yang muncul pada diri individu sebagai suatu yang
menetap pada diri individu. Kecemasan ini sangat berhubungan dengan
kepribadian individu yang mengalaminya. Kecemasan ini memiliki
pengertian bahwa individu selalu merasa cemas dalam berbagai situasi
dan sering mengarah pada kesulitan individu dalam beradaptasi.
b. Kecemasan Sebagai Intervening Variable (variabel perantara)
Kecemasan merupakan suatu keadaan yang diperkirakan terjadi karena
kondisi tertentu, tapi juga memiliki konsekuensi tertentu. Kecemasan
tersebut merupakan suatu serangkaian stimulus dan respon. Kecemasan ini
walaupun tidak dapat diketahui langsung melalui observasi, tetapi dapat
diketahui secara tidak langsung dari pengamatan kondisi stimulus dan
perilaku yang mendahuluinya serta manifestasinya sebagai akibat dari
keadaan tersebut, yang dapat dilihat melalui kondisi fisiologis dari situasi
yang mencemaskan tersebut.
3. Komponen kecemasan
Maher (dalam Calhoun & Acocella, 1989) mengungkapkan reaksi
a.Emosional
Individu yang bersangkutan secara sadar mempunyai ketakutan yang
mendalam
b.Kognitif
Ketakutan menjadi lebih besar kemungkinan akan mempengaruhi
kemampuan individu untuk berpikir jernih, memecahkan masalah dan
mengatasi tuntutan dari lingkungan.
c.Fisiologis
Tubuh yang merespon ketakutan mengarahkannya pada suatu tindakan.
Proses ini lebih karena kerja dari sistem syaraf otonom yang mengontrol
beberapa syaraf dan kelenjar tubuh. Di saat pikiran menangkap
ketakutan maka sistem syaraf otonom akan mempengaruhi tubuh.
Jantung berdegup, denyut nadi dan nafas menjadi lebih cepat, pupil mata
membesar, sistem pencernaan terganggu dan tekanan darah meningkat.
Kelenjar adrenalin memicu adrenalin ke darah yang akhirnya darah
dialirkan ke sistem skeletal sehingga menjadi lebih kencang dan siap
untuk melakukan tindakan.
Menurut Bucklew (dalam Sitepu, 2004), para ahli membagi bentuk
kecemasan dalam dua tingkat yaitu:
a. Tingkat psikologis
Berupa kecemasan yang berupa gejala-gejala kejiwaan seperti tegang,
bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan
b. Tingkat fisiologis
Merupakan kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud dalam
gejala-gejala fisiologis, misalnya : tidak dapat tidur, tekanan darah naik,
jantung berdebar,gemetaran, perut mual dan sebagainya.
Hurlock (1997) menyatakan individu yang mengalami kecemasan
ditandai dengan adanya rasa khawatir, gelisah dan perasaan akan terjadi suatu
hal yang kurang menyenangkan yang diikuti perasaan tidak mampu
menghadapi tantangan, kurang percaya pada diri sendiri dan tidak dapat
menemukan penyelesaian terhadap masalahnya. Darajat (1996) juga
menyebutkan gejala-gejala kecemasan yang bersifat fisik dan mental. Gejala
fisik berupa ujung jari yang terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak
jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak , nafsu makan hilang,
kepala pusing, sesak nafas. Gejala mental antara lain sangat takut, merasa
akan ditimpali bahaya atau kecelakaan, tidak bisa memusatkan perhatian, tidak
berdaya atau rendah diri, hilang kepercayaan diri, tidak tenteram dan ingin lari
dari kenyataan hidup.
Dari uraian diatas, maka diambil kesimpulan mengenai komponen
kecemasan yaitu :
3 komponen yang terdapat pada kecemasan, adalah :
a. Fisiologis
Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan reaksi dari tubuh individu,
darah naik, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat
bercucuran, tubuh terasa panas dingin, kepala pusing dan sesak nafas.
a. Kognitif
Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan proses berpikir, seperti
kemampuan individu untuk berpikir jernih, kesulitan dalam
berkonsentrasi, sukar untuk memecahkan masalah dan sulit dalam
mengatasi tuntutan dari lingkungan.
b. Afektif
Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan perasaan seperti adanya
rasa takut yang kuat, mudah tersinggung, mudah khawatir, tidak berdaya
atau rendah diri, hilang kepercayaan diri, tidak tenteram dan ingin lari dari
kenyataan hidup.
4. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Menurut Kretch & Qrutch ( Hartanti & Dwijanti, 1997) timbulnya
kecemasan disebabkan kurangnya pengalaman dalam menghadapi berbagai
kemungkinan yang membuat individu kurang siap menghadapi situasi baru.
Sumber kecemasan juga terdiri dari dua faktor yaitu:
a. Faktor Internal
Kecemasan berasal dari dalam individu misalnya perasaan tidak mampu,
tidak percaya diri, perasaan bersalah dan rendah diri. faktor internal ini
b. Faktor Eksternal
Kecemasan berasal dari luar individu, dapat berupa penolakan sosial,
kritikan dari orang lain, beban tugas atau kerja yang berlebihan, maupun
hal-hal lain yang dianggap mengancam.
B. Pria dan wanita 1. Jenis Kelamin
Hurlock (1999) mengemukakan, dalam perkembangan kehidupan
manusia, perkembangan perbedaan jenis kelamin merupakan proses yang
kompleks. Sel-sel seks pria dan wanita adalah sama, dalam arti bahwa
keduanya mengandung kromosum. Setiap sel seks yang matang mempunyai
23 kromosum, dan tiap-tiap kromosum mengandung gen, yaitu pembawa
keturunan. Sel-sel seks pria dan wanita juga berbeda dalam 2 hal penting.
Pertama, di dalam telur yang matang terdapat 23 kromosum yang berpasangan
sedangkan di dalam spermatozoon terdapat 22 kromosum dan 1 kromosum
yang tidak berpasangan yang mungkin berbentuk kromosum X atau
kromosum Y.
Dua jenis spermatozoa matang diproduksi dalam jumlah yang sama, yang
pertama mengandung 22 pasang kromosum ditambah 1 kromosum X, yang
kedua mengandung 22 pasang kromosum ditambah 1 kromosum Y.
Kromosum X dan Y adalah kromosum penentu jenis kelamin. Telur yang
matang selalu mengandung kromosum X. Bila telur ini dibuahi oleh
dibuahi oleh spermatozoon pembawa kromosum X, maka anak yang lahir
adalah perempuan ( Hurlock, 1999).
Seks atau jenis kelamin secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks lebih
banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, yang meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan
karakteristik biologis lainnya (Sahrah, 2004)
Tabel perbedaan pria dan wanita menurut Gilarso (2003) :
Tabel 1.
Perbedaan Pria dan Wanita
Perbedaan biologis
Pria Wanita
1.Pada tubuh pria menonjol garis - garis lurus, tegak, kuat dan kekar, yang melambangkan keperkasaan dan kekuatan. 2.Dada lapang, bahu lebar, untuk
bekerja dan untuk melindungi yang lemah.
3.Pinggul agak kecil dibanding dengan bahu.
4.Kaki kokoh, kuat, tegak lurus tampak otot-ototnya.
5.Lengan dan tangan penuh dengan otot, kekar, kuat, dan keras.
6.Suara besar, ada jakun pada leher.
7.Alat kelamin sebagian terletak di luar rongga tubuh.
8.Bulu rambut pada muka (kumis), lengan, kaki, dada.
1. Tubuh wanita lebih menonjol, garis-garis melingkar, bulat, lambang kelembutan, kasih sayang dan perasaan aman.
2. Bahu relatif kecil dan
melengkung, buah dada berkembang.
3. Pinggang kecil tapi tulang pinggul menonjol bulat.
4. Karena tulang pinggulnya lebih besar, paha besar dan kaki meruncing ke bawah.
5. Lengan dan tangan lembut dan lemas.
6. Suara kecil merdu, dan lehernya rata.
7. Alat kelamin tersembunyi di dalam rongga tubuh.
Perbedaan pria dan wanita secara fisiologis menurut Kimball (1988)
adalah pria memiliki hormon androgen yang mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan reproduksi pria sedangkan wanita memiliki hormon
estrogen, yaitu hormon yang mempengaruhi perkembangan kematangan dan
fungsi dari reproduksi wanita. Kekurangan estrogen menyebabkan penurunan
yang berhubungan dengan keinginan (nafsu) atau pola perilaku lainnya.
Hormon estrogen dan androgen memberi perbedaan pada struktur tubuh pria
dan wanita, sehingga pria secara fisik terlihat lebih kuat daripada wanita. Pria
selain juga memiliki hormon testosteron yang menjadikan pria memiliki
tingkat agresivitas yang lebih tinggi daripada wanita (Pinel, 1997).
Menurut Pinel (1997) pria cenderung memiliki tingkat aktivitas
metabolisme yang lebih tinggi di beberapa bagian dari lobus temporal otak
dan sistem limbik, yang berhubungan dengan peningkatan emosi dan
mempertajam ingatan. Wanita di sisi lain memiliki tingkat aktivitas yang lebih
tinggi di cingulate gyrus, yang meliputi persepsi dari kesedihan dan reaksi
emosional untuk stimulus yang tidak menyenangkan dan pengalaman yang
tidak menyenangkan lainnya. Perbedaan ini dapat saja berhubungan dengan
perbedaan perilakunya, karena itu semua berhubungan dengan perbedaan
fungsi kognitif dan emosional.
2. Peran Gender
Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set
Bervariasinya peran gender diantara berbagai variasi budaya serta jangka
waktu menunjukan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita.
Abbot (1992) juga mencoba mendefinisikan peran gender sebagai harapan
sosial akan perilaku maskulin dan feminim. Harapan ini diawali dan
dikukuhkan oleh institusi dan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Abbot
(1992) membedakan peran gender dari peran jenis. Peran jenis didefinisikan
sebagai perilaku yang diwarisi secara kodrati karena ciri biologisnya, seperti
menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui untuk perempuan atau
ejakulasi dan membuahi untuk laki-laki. Melahirkan dan menyusui anak
dengan demikian merupakan peran jenis feminim, tetapi memelihara dan
mendidik anak merupakan peran gender feminim.
Suswati (2004) di sisi lain juga mengemukakan bahwa peran gender secara
tradisional mencirikan laki-laki sebagai makluk yang lebih aktif, kompetitif,
agresif, dominan, bebas dan penuh percaya diri. Sementara perempuan
dicirikan sebagai makhluk yang lembut, rapi, emosional, ekspresif, perasa dan
lebih taktis. Dengan ciri tersebut muncul pembagian kerja berdasar
ketidaksetaraan gender, perempuan selalu dikaitkan dengan tugas domestik
dan laki-laki pada sektor publik. Permasalahan yang menyangkut sektor
produksi adalah tanggung jawab laki-laki dan perempuan bertanggung jawab
pada permasalahan yang menyangkut reproduksi. Budaya paternalistik yang
kuat dan meliputi seluruh struktur stratifikasi sosial dalam masyarakat
sumber kekuasaan serta “ibu” sebagai pendamping dengan posisi yang lebih
rendah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita dibedakan
berdasarkan seks (jenis kelamin) dan peran gender. Seks (jenis kelamin)
berarti pembedaan secara biologis dan fisiologis yang berkaitan dengan tubuh
laki-laki dan perempuan yang fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Di sisi
lain, peran gender adalah pencirian laki-laki dan perempuan yang merupakan
harapan sosial akan perilaku maskulin dan feminim. Budaya dalam hal ini
juga membentuk peran gender.
C. Perawat
1. Pengertian Perawat
Istilah perawat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang berasal dari kata kerja “rawat” yang berarti pelihara, urus.
Kemudian istilah “perawat” berarti orang yang mendapatkan pendidikan
khusus untuk merawat terutama orang sakit.
(Gunarsa, 1995) mengemukakan, perawat adalah seorang yang telah
dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan
menyembuhkan orang sakit, usaha rehabilitasi dan pencegahan penyakit yang
dilaksanakan secara mandiri atau dibawah pengawasan dan supervisi dokter
atau suster kepala.
Menurut Depkes RI (1983) perawat adalah seorang yang telah
pemerintah serta memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan perawatan
yang bermutu dan penuh tanggung jawab. Pendidikan dasar perawat adalah
suatu program pendidikan terencana yang memberikan landasan yang luas dan
mendasar untuk melaksanakan tugas perawatan secara efektif, serta
merupakan dasar bagi pendidikan perawatan lanjutan.
2. Fungsi Perawat Rumah Sakit
Dalam buku Pedoman Perawatan Psikiatrik (1983), disebutkan bahwa
fungsi perawat adalah :
a. Membantu individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun
sehat dalam melaksanakan kegiatan yang menunjang kesehatan atau
penyembuhan, yang pada hakekatnya dapat mereka laksanakan tanpa
bantuan apabila mereka memiliki kekuatan, kemauan dan pengetahuan
yang diperlukan.
b. Membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan
program pengobatan yang telah ditentukan oleh dokter.
c. Sebagai anggota tim kesehatan, bekerjasama dan saling membantu
dalam merencanakan dan melaksanakan program kesehatan secara
menyeluruh.
3. Perawat Rumah Sakit Jiwa
Perawat rumah sakit jiwa adalah perawat yang mengaplikasikan ilmunya
dan meyumbangkan tenaga serta pelayanan pada orang-orang yang menderita
ANA ( American Nurse Association ) mendefinisikan keperawatan
kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktek keperawatan yang
menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri
sendiri secara terapiutik sebagai kiatnya. Artinya pelayanan keperawatan harus
dilandasi dengan menggunakan ilmu keperawatan dan kiat keperawatan yang
difokuskan pada pemberian asuhan keperawatan sehingga pasien merasa puas
dan nyaman (Stuart dan Sundeen 1998).
4. Tugas Perawat Rumah Sakit Jiwa
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) tugas dari perawat rumah sakit jiwa
adalah :
a. Membuat kajian kesehatan biopsikososial yang sesuai dengan budaya.
b. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan
keluarga dengan masalah kesehatan dan kondisi yang dapat menimbulkan
sakit.
c. Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus, seperti mengorganisasi,
mengkaji, negosiasi, koordinasi dan mengintegrasi pelayanan serta
perbaikan bagi individu maupun keluarga.
d. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan
kelompok untuk menggunakan sumber yang tersedia di rumah sakit
termasuk pemberian pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang
e. Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental serta mengatasi pengaruh
penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
f. Memberi asuhan kepada mereka yang mengalami penyakit fisik dengan
masalah psikologik dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
g. Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga, staf dan pembuat kebijakan.
D. Perbedaan Kecemasan Perawat Pria dan Wanita Menikah dalam Menghadapi Pasien di Rumah Sakit Jiwa
Perbedaan pria dan wanita sudah ada sejak mereka lahir dan dalam
proses perkembangannya lingkungan sosial ikut memperkuat perbedaan dalam
memperlakukan mereka. Secara fisik pria dan wanita memang berbeda, pria
dilahirkan dengan fisik yang lebih kuat yang dapat dilihat dari tubuh yang
kekar, bahu lebar, dada lapang dan otot yang kuat yang biasanya digunakan
untuk bekerja dan untuk melindungi. Wanita dilahirkan dengan tubuh yang
lebih menonjol dengan garis-garis melingkar yang merupakan lambang
kelembutan dan kasih sayang, bahunya relatif kecil serta lengan dan tangan
yang lembut dan lemas. Komposisi tubuh pria lebih banyak diisi dengan otot,
sedangkan komposisi tubuh wanita lebih banyak diisi dengan lemak. Hal ini
membuat tubuh pria menjadi lebih kuat daripada wanita. Pria dan wanita juga
berbeda dari segi fisiologisnya, bahwa pria dan wanita mempunyai komposisi
hormon yang berbeda. Perbedaan hormon itu berpengaruh terhadap kondisi
Wanita pada umumnya, sesuai peran jenis yang dimilikinya akan
menjadi seorang istri dan ibu. Tantangan dalam hidup berkeluarga dimulai
dari kebutuhan rumah tangga, kehamilan dan merawat rumah sampai
meyesuaikan diri dengan peran barunya itu (Aputra & Husni, 1990). Bagi
kaum pria mengaktualisasikan diri dalam lingkungan kerja dianggap lebih
positif dan sudah sepatutnya, hal ini selaras dengan pandangan masyarakat
bahwa pria dilahirkan dan disiapkan sebagai kepala rumah tangga dan pencari
nafkah serta pelindung keluarga (Crittenden, 2002).
Bekerja sebagai perawat dalam proses keperawatan pada klien dengan
masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah
kesehatan jiwa gejalanya mungkin tidak dapat dilihat langsung seperti pada
masalah kesehatan fisik pada umumnya, pasien yang mengalami gangguan
jiwa menunjukkan gejala yang berbeda dan muncul oleh berbagai penyebab.
Banyak pasien yang tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan mungkin
menceritakan hal yang berbeda dan kontradiksi (Keliat dkk, 1998). Keadaan
kejiwaan pasien yang tidak stabil sewaktu-waktu mungkin saja dapat
mengancam keselamatan jiwa perawat tersebut maupun pasien yang lain.
Perawat jiwa dituntut untuk mampu mengidentifikasikan,
menguraikan, dan mengukur hasil asuhan yang mereka berikan pada pasien,
keluarga dan komunitas. Hasil asuhan adalah semua hal yang terjadi pada
pasien dan keluarga ketika mereka berada dalam sistem pelayanan kesehatan.
Hasil tersebut meliputi status kesehatan, ada tidaknya penyakit, dan kualitas
tugas perawat jiwa apapun peran, kualifikasi atau tatanan prakteknya. Tugas
ini membutuhkan kehati-hatian dan ketelitian yang cukup tinggi sehingga
membuat perawat terkadang merasa cemas jika ia melakukan kesalahan
(Stuart dan Sundeen, 1998).
Berawal dari hal-hal tersebut maka dinamika tingkat kecemasan pria
dan wanita yang bekerja dalam hal ini seorang perawat yang bekerja di rumah
sakit jiwa menjadi berbeda. Kondisi fisik wanita yang lebih lemah daripada
pria serta peran jenisnya sebagai seorang istri dan ibu yang memiliki tugas
untuk mengatur rumah tangga serta merawat anak-anaknya, di sisi lain
pekerjaannya sebagai seorang perawat di rumah sakit jiwa juga menuntutnya
untuk dapat berkonsentrasi lebih dengan pekerjaannya, karena harus
menghadapi pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini kemudian
membuat wanita harus membagi energi dan waktunya untuk pekerjaan dan
perannya sebagai seorang istri dan ibu yang bertanggung jawab untuk
mengurusi rumah tangganya. Keadaan yang demikian membuat perawat
wanita mengalami kelelahan fisik dan pikiran yang dapat mengganggunya
dalam berkonsentrasi dengan pekerjaannya.
Seorang perawat pria di saat memasuki kehidupan rumah tangga, akan
mengalami perubahan status dan penambahan peran sebagai seorang suami
dan ayah serta mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya.
Perawat pria dengan peran gendernya itu, maka akan cenderung lebih fokus
dengan pekerjaannya daripada wanita karena memang tugasnya untuk bekerja
dan energinya untuk mengurusi urusan rumah tangga. Selain itu, pria
dilahirkan sebagai makhluk yang mempunyai fisik kuat dan lebih aktif, yang
memang dibutuhkan ketika menghadapi pasien dengan kondisi kejiwaan yang
tidak stabil yang terkadang menjadi agresif dan sekuat tenaga.
Berdasarkan uraian diatas, maka perawat pria menjadi lebih siap dalam
bekerja menghadapi pasien dengan kondisi kejiwaan yang tidak stabil
dibandingkan dengan dengan perawat wanita. Hal ini karena secara fisik lebih
kuat serta tugas peran gendernya sebagai seorang pria yang bertugas untuk
bekerja dan menafkahi keluarganya menjadikannya lebih dapat fokus dengan
pekerjaannya.
Kecemasan perawat pria dan perawat wanita dalam menghadapi pasien
jiwa di rumah sakir jiwa dari sini dapat dikatakan berbeda, karena kondisi fisik
yang berbeda dan beban psikologis yang mereka hadapi juga berbeda. Melihat
hal ini maka kemungkinan perawat wanita mempunyai tingkat kecemasan
yang lebih tinggi daripada perawat pria dalam menghadapi pasien di rumah
sakit jiwa.
E. Hipotesis
Dalam penelitian ini hipotesisnya adalah ada perbedaaan tingkat
kecemasan perawat pria dan wanita menikah dalam menghadapi pasien di
rumah sakit jiwa. Tingkat kecemasan perawat wanita lebih tinggi daripada
SKEMA PERBEDAAN KECEMASAN PERAWAT PRIA DAN WANITA MENIKAH DALAM MENGHADAPI PASIEN DI RUMAH SAKIT JIWA
Wanita
-Fisiknya lebih lembut, bahu relatif kecil, lengan dan tangan lembut dan lemas.
-Komposisi hormonnya membuat perilaku wanita lebih lembut. -Peran gendernya menjadi istri dan
ibu, mengurus rumah tangga dan merawat anak.
Pria
-Fisiknya kuat, tubuh kekar, bahu lebar dan otot yang kuat untuk bekerja dan melindungi.
-Komposisi hormonnya membuat perilaku pria lebih emosional dan agresif
-Peran gendernya sebagai kepala keluarga, bekerja, mencari nafkah dan menjadi pelindung keluarga.
Bekerja sebagai perawat di rumah sakit jiwa
-Wanita secara fisik lebih lemah -Pria secara fisik lebih kuat -Membagi energi dan waktu untuk
bekerja sebagai perawat dan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu.
-Pria lebih fokus dengan pekerjaannya karena memang tugasnya untuk bekerja dan mencari nafkah.
Wanita kurang siap dalam menghadapi pasien di RSJ yang memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil
Pria lebih siap dalam menghadapi pasien di RSJ yang memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah komparasi atau penelitian perbandingan.
Penelitian ini ingin membandingkan variabel yang sama dari 2 populasi yang
berbeda yaitu antara perawat pria dan wanita.
B. Identifikasi Metodologi Penelitian
1. Variabel tergantung : Tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien di
rumah sakit jiwa
2. Variabel bebas : Perawat pria dan wanita
C. Definisi Operasional Variabel
1. Tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa
Tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa adalah
kondisi psikologis atau perasaan tidak menyenangkan dan mengancam dari
individu berkaitan dengan kesiapannya menghadapi pasien di rumah sakit jiwa
yang ditandai dengan munculnya gejala-gejala psikologis maupun fisiologis.
3 komponen yang terdapat pada kecemasan, yaitu :
a. Fisiologis
Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan reaksi dari tubuh individu,
seperti jantung berdebar, gemetaran, perut mual, tidak dapat tidur, tekanan
darah naik, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat
bercucuran, tubuh terasa panas dingin, kepala pusing dan sesak nafas.
b. Kognitif
Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan proses berpikir, seperti
kemampuan individu untuk berpikir jernih, kesulitan dalam
berkonsentrasi, sukar untuk memecahkan masalah dan sulit dalam
mengatasi tuntutan dari lingkungan.
c. Afektif
Merupakan kecemasan yang berkaitan dengan perasaan seperti adanya
rasa takut yang kuat, mudah tersinggung, mudah khawatir, tidak berdaya
atau rendah diri, hilang kepercayaan diri, tidak tenteram dan ingin lari dari
kenyataan hidup.
Tinggi rendahnya tingkat kecemasan yang dialami subjek dilihat dari
skor total skala kecemasan. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek
menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi,
sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat
kecemasan yang rendah.
2. Perawat pria dan wanita
Perawat pria dan wanita adalah seseorang yang telah dipersiapkan melalui
pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang sakit, usaha
rehabilitasi dan pencegahan penyakit yang dilaksanakan secara mandiri atau
Data jenis kelamin perawat pria dan wanita dapat diperoleh dari identitas
subjek yang diisikan pada lembar jawaban.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa.
Dalam penelitian ini peneliti memakai 60 perawat, yang terdiri dari 30
perawat pria dan 30 perawat wanita dengan kriteria :
1. Perawat pria dan wanita yang sudah menikah dan berkeluarga, karena
disesuaikan dengan tugas dan peran gender pria dan wanita.
2. Perawat yang sudah bekerja minimal 1 tahun. Asumsi 1 tahun waktu
yang cukup untuk beradaptasi dengan pekerjaannya, dalam arti kata
kecemasan yang dialami tidak tercampur dengan faktor lain diluar
fokus penelitian.
3. Perawat bangsal pasien jiwa, bukan perawat poliklinik umum.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat
kecemasan. Skala ini digunakan untuk mengungkap tinggi rendahnya tingkat
kecemasan pada perawat.
Skala kecemasan disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan landasan
teori yang sudah ada sebelumnya, skala kecemasan yang disusun ini terdiri
Skala kecemasan dalam menghadapi pasien di rumah sakit jiwa ini terdiri
dari 68 butir pernyataan yang berisi 34 pernyataan favorabel dan 34
pernyataan unfavorabel.
Dibawah ini tabel blue print skala kecemasan dalam menghadapi pasien di
rumah sakit jiwa :
Tabel 2
Spesifikasi skala tingkat kecemasan Sebelum uji coba
No Komponen Favorabel Unfavorabel Total
25
1 Fisiologis 13 12 36,7%
20
2 Kognitif 10 10 29,4%
23
3 Afektif 11 12 33,8%
34 34 68
Total
50% 50% 100%
Tabel 3
Distribusi item skala tingkat kecemasan Sebelum uji coba
No Komponen Favorabel Unfavorabel Total
25 1 Fisiologis
1, 11, 12, 21, 28, 37, 45, 46, 55, 57, 58, 60, 66
5, 6, 14, 18, 23, 24, 32, 35, 40, 49,
52, 65 36,7%
20 2 Kognitif
2, 7, 22, 25, 29, 36, 48, 61, 67, 68
4, 15, 16, 19, 33, 39, 41, 44, 50, 53
29,4%
23 3 Afektif
3, 8, 13, 20, 26, 27, 38,47 ,54, 56, 59
9, 10, 17, 30, 31, 34, 42, 43, 51, 62,
63, 64 33,8%
Skala tersebut disusun dengan menggunakan metode rating yang
dijumlahkan (Summated Rating), yaitu metode penskalaan pernyataan sikap
yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya.
Setiap butir item memuat 4 kategori pilihan jawaban yaitu Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
Penskoran yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk pernyataan-pernyataan Favorable pilihan Sangat Setuju (SS) diberi
skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) diberi skor 2, Sangat
Tidak Setuju (STS) diberi skor 1.
2. Untuk pernyataan-pernyataan Unfavorable pilihan Sangat Setuju (SS)
diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak Setuju (TS) diberi skor 3,
Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 4.
Skor untuk tiap-tiap item pada skala dijumlahkan sehingga menjadi
skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan
bahwa subjek memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi, sebaliknya skor
yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat kecemasan yang
rendah.
Uji coba dilaksanakan mulai tanggal 12 Maret 2007, pada tanggal
tersebut peneliti mulai membagikan skala kepada subjek. Subjek Uji coba ini
adalah perawat pria dan wanita di Rumah Sakit Ghrasia Yogyakarta, yang
berasal dari 6 bangsal rawat inap, 3 bangsal pria dan 3 bangsal wanita dengan
jumlah subjek 62 orang. Subjek yang dipakai dalam penelitian ini juga harus
Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta memilih subjek yang sesuai dengan kriteria
penelitian. Dari seluruh jumlah skala yang ada terdapat 2 skala yang kosong
karena subjek yang bersangkutan sedang berada diluar kota serta 2 subjek
yang gugur karena ada beberapa item soal dalam skala yang tidak dijawab
lengkap, jadi subjek uji coba ini berjumlah 58.
F. Pengujian Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas yang
tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan
hasil ukur yang sesuai dengan maksud pengukuran tersebut. Tes yang
menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan
sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2000).
Uji validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan validitas isi
(content validity). Validitas isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement,
dalam hal ini dilakukan dengan dosen pembimbing. Pertanyaan yang dicari
jawabannya dalam validitas ini adalah sejauhmana item-item tes mewakili
mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang
mencerminkan ciri-ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi) (Azwar,
2001).
2. Daya Beda Item
Prosedur seleksi item didasarkan pada data empiris yaitu data hasil uji
coba item pada kelompok subjek yang karakteristiknya setara dengan subjek
yang hendak dikenai skala. Kualitas item-item diukur dengan analisis butir,
yang menggunakan parameter daya beda item. Daya beda item adalah sejauh
mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang
memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2000).
Indeks daya beda item merupakan konsistensi antar fungsi item dengan
fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi item
total. Pengujian daya beda item dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi
antara distribusi skor skala yang akan menghasilkan koefisien korelasi total,
yang disebut parameter daya beda item. Suatu item dikatakan memiliki daya
beda item yang baik bila koefisien korelasi total mencapai nilai ≥0,30 (Azwar,
2000).
Hasil uji coba yang dilakukan terhadap 68 item skala kecemasan
menghadapi pasien di rumah sakit jiwa ini mempunyai daya beda item berkisar
antara 0,197 sampai dengan 0,823. Uji coba ini terdapat 2 item yang gugur
Tabel 4
Spesifikasi skala tingkat kecemasan Setelah uji coba
No Komponen Favorabel Unfavorabel Total
24
1 Fisiologis 13 11
36,4%
20
2 Kognitif 10 10
30,2%
22
3 Afektif 11 11 33,4%
34 32 66
Total
51,5% 48,5% 100%
Tabel 5
Distribusi item skala tingkat kecemasan Setelah uji coba
No Komponen Favorabel Unfavorabel Total
24 1 Fisiologis
1, 11, 12, 21, 28, 37, 45, 46, 55, 57, 58, 60, 66
5*, 6, 14, 18, 23, 24, 32, 35, 40, 49,
52, 65 36,4%
20 2 Kognitif
2, 7, 22, 25, 29, 36, 48, 61, 67, 68
4, 15, 16, 19, 33, 39, 41, 44, 50, 53
30,2%
22 3 Afektif
3, 8, 13, 20, 26, 27, 38,47 ,54, 56, 59
9, 10, 17, 30, 31, 34, 42, 43, 51, 62,
63*, 64 33,4%
Total 51,5% 48,5% 100%
Keterangan * = item yang gugur
Prosentase item per aspek kurang seimbang, maka untuk menentukan
item-item yang digunakan dalam penelitian sesungguhnya, peneliti dengan dosen
66 item yang sahih,. Pengurangan sebanyak 2 item ini dilakukan dengan asumsi
bahwa 64 item yang terbaik masih mewakili setiap aspek yang hendak diukur dan
dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat kecemasan yang dimiliki
subjek penelitian.
Tabel 6
Spesifikasi skala tingkat kecemasan Setelah penyetaraan item
No Komponen Favorabel Unfavorabel Total
22
1 Fisiologis 12 10
34,4% 20
2 Kognitif 10 10 31,2%
22
3 Afektif 11 11 34,4%
33 31 64
Total
51,6% 48,4% 100%
Tabel 7
Distribusi item skala tingkat kecemasan Setelah penyetaraan item
No Komponen Favorabel Unfavorabel Total
22 1 Fisiologis
1*, 11, 12, 21, 28, 37, 45, 46, 55, 57, 58, 60, 66
6, 14, 18, 23, 24, 32*, 35, 40, 49,
52, 65 34,4%
20 2 Kognitif
2, 7, 22, 25, 29, 36, 48, 61, 67, 68
4, 15, 16, 19, 33,
39, 41, 44, 50, 53 31,2%
22 3 Afektif
3, 8, 13, 20, 26, 27, 38, 47, 54, 56, 59
9, 10, 17, 30, 31, 34, 42, 43, 51, 62,
64 34,4%
Total 51,6% 48,4% 100%
3. Uji Reliabilitas
Istilah reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability,
mempunyai asal kata dari rely dan ability yang pada prinsipnya menunjukkan
sejauhmana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda
bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Azwar,2000).
Reliabilitas sebenarnya mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan
hasil ukur, yang mengandung kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak
reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan
skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor eror (kesalahan)
daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Pengukuran yang tidak reliabel
tentu tidak akan konsisten pula dari waktu ke waktu ( Azwar, 1999).
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya
berada dalam rentang 0 – 1,00. semakin koefisien reliabilitas mendekati 1,00
berarti semakin tinggi reliabilitasnya sebaliknya semakin mendekati angka 0
berarti semakin rendah reliabilitasnya ( Azwar, 1999).
Dari hasil uji coba yang dilakukan, reliabilitas skala kecemasan
menghadapi pasien di rumah sakit jiwa pada item yang terseleksi sebesar 0,971.
G. Prosedur Penelitian
Prosedur atau langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Membuat skala pengukuran tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien di
(summated rating) untuk diuji cobakan pada kelompok uji coba yang memiliki
karekteristik sama dengan kelompok subjek yang sesungguhnya.
2. Mengadakan uji coba skala tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien
rumah sakit jiwa pada individu yang memiliki ciri-ciri sama dengan subjek
penelitian,yaitu di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta.
3. Menganalisis item-item skala tingkat kecemasan dalam menghadapi pasien di
rumah sakit jiwa serta melihat reabilitas skala untuk mendapatkan butir yang
sahih dan skala yang reliabel.
4. Menentukan subjek penelitian sesuai kriteria yaitu di RSJD Dr. Soedjarwadi
Klaten, kemudian diberikan skala tingkat kecemasan dalam menghadapi
pasien di rumah sakit jiwa yang sudah diuji kesahihan dan keandalannya.
5. Menganalisis data penelitian yang masuk dengan statistik uji-t untuk
mengetahui ada atau tidaknya perbedaan tingkat kecemasan dalam
menghadapi pasien di rumah sakit jiwa antara perawat pria dan wanita.
6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut.
H. Teknik Analisis Data
1. Uji Asumsi Analisis Data
Untuk memperoleh kesimpulan yang tidak menyimpang dari tujuan
penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi data penelitian yang
a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi sebaran
variabel bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak.
b. Uji homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians dari sampel
yang akan diuji tersebut adalah sama.
2. Pengujian Hipotesis Penelitian
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Uji-t (T-Test). Uji-t yaitu suatu cara membandingkan 2 kelompok subjek dengan
mencari perbedaaan mean dari kedua jenis subjek yaitu perawat pria dan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9 April 2007 di RSJD
Dr.Soedjarwadi Klaten. Pada tanggal tersebut peneliti membagikan skala kepada
60 subjek penelitian yaitu perawat pria dan wanita. Subjek penelitian memiliki
jadwal shift yang berbeda-beda, maka skala ditinggal untuk beberapa waktu.
Skala dapat terkumpul pada tanggal 13 April 2007 dan 16 April 2007. Dari 60
skala yang terkumpul, seluruhnya memenuhi persyaratan untuk diuji selanjutnya
dalam penelitian ini.
B. Deskripsi Subjek
Subjek dari penelitian ini adalah perawat di RSJD Dr. Soedjarwadi Klaten
yang terdiri dari perawat pria dan wanita yang masing-masing berjumlah 30
orang. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini juga harus memenuhi kriteria
penelitian yaitu sudah menikah, minimal sudah bekerja selama 1 tahun dan
merupakan perawat bangsal pasien, bukan perawat poliklinik umum. Subjek
perawat pria berasal dari 3 ruang bangsal perawatan dan 1 ruang VIP. Subjek
perawat wanita juga berasal dari 3 ruang bangsal perawatan dan 1 ruang VIP.
Data dari subjek dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 8
Deskripsi Subjek Pria
Keterangan Tahun Jumlah Prosentase
Umur 20 – 30 tahun
31 – 40 tahun
41 – 50 tahun
51 – 60 tahun
8 14 7 1 27% 47% 23% 3%
Lama bekerja 1 – 5 tahun
6 – 10 tahun
> 10 tahun
7 3 20 23,3% 10% 66,7% Tabel 9
Deskripsi Subjek Wanita
Keterangan Tahun Jumlah Prosentase
Umur 20 – 30 tahun
31 – 40 tahun
41 – 50 tahun
51 – 60 tahun
8 13 9 - 27% 43% 30% 0%
Lama bekerja 1 – 5 tahun
6 – 10 tahun