• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Emosi

Emosi adalah perasaan apa yang sedang kita alami. Kita sering

menyebut berbagai emosi yang muncul dalam diri kita dengan

berbagai nama seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah,

benci, cinta, dll. Sebutan yang kita berikan kepada perasaan tertentu,

mempengaruhi bagaiman kita berpikir mengenai perasaan itu, dan

bagaimana kita bertindak. Menurut Goleman (2002: 411) emosi

merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan

biologis dan psikologis serta serangkaian kecendrungan untuk

bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.

Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan

dari dalam individu. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong

perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat

tertawa, sedangkan emosi sedih mendorong seseorang untuk berprilaku

menangis.

Chaplin (dalam Safaria, 2009) merumuskan emosi sebagai suatu

perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan-perubahan

perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku

yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi

kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang

sedang mengalami emosi. Jika seseorang mengalami ketakutan

mukanya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar, jadi adanya

perubahan-perubahan kejasmanian sebagai rangkaian dari emosi yang

dialami oleh individu yang bersangkutan Walgito (dalam Safaria,

2009).

Maurus (2007: 16) mendefinisikan emosi sebagai keadaan jiwa

yang sangat mempengaruhi mahluk hidup, yang disulut oleh kesadaran

atas suatu benda atau pristiwa, yang ditandai dengan perasaan yang

dalam, hasrat untuk bertindak, dan perubahan fisiologis pada fungsi

tubuh. Dalam buku Emotion and Personality, Arnold memaparkan defenisi emosi sebagai kecenderungan untuk mendekat pada apapun

yang dirasakan baik (menguntungkan) atau menjauh dari apapun yang

dirasa buruk (berbahaya). The Dictionary of Psychology mengartikan emosi keadaan kompleks dari suatu organisme, termasuk perubahan

dalam banyak hal misalnya pernafasan, denyut nadi, kelenjar dan lain-

lain yang secara kejiwaan ditandai dengan perasaan mendalam serta

Devenisi lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respon

terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis

disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan

untuk meletus. Respon demikian terjadi baik terhadap

perangsang-perangsang eksternal maupun internal. Menurut Daniel Goleman

(2000), sesungguhnya ada ratusan emosi bersama dengan variasi,

campuran, mutasi, dan nuansanya sehingga makna yang dikandungnya

lebih bayak, lebih kompleks, dan lebih halus daripada kata dan defenisi

yang digunakan untuk menjelaskan emosi.

2. Jenis-jenis Emosi

Daniel Goleman (2002: 411) mengemukakan beberapa macam

emosi yaitu:

a. Amarah:

Beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,

terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak

kekerasan dan kebencian patologis.

b. Kesedihan:

Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus

asa, kesepian, ditolak, depresi berat.

c. Rasa Takut:

Cemas, gugup, khawatir, was- was, perasaan takut sekali,

waspada, tidak tenang, ngeri, fobia, dan panik.

Bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga, takjub

dan terpesona.

e. Cinta:

Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa

dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.

f. Terkejut:

Terkesiap, terkejut, takjub, terpana.

g. Jengkel:

Hina, jijik, muak, mual, tidak suka, benci, mau muntah.

h. Malu:

Rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati

hancur lebur.

Seperti yang telah diuraikan di atas, semua emosi pada dasarnya

adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu

mendorong individu untuk memberi respon atau bertingkahlaku

terhadap stimulus yang ada. Menurut Mayer (Goleman, 2002: 65)

orang cenderung menganut gaya- gaya khas dalam menangani dan

mengatasi emosi mereka, yaitu: (1) Sadar diri: peka akan suasana hati

mereka ketika mengalaminya, dapat dimengerti bila orang-orang

memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. (2)

tenggelam dalam permasalahan: mereka adalah orang- orang yang

seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk

alih kekuasaan. (3) pasrah: ada dua cabang jenis pasrah yaitu mereka

yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan

demikian motivasi untuk mengubahnya rendah, dan orang yang

kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek

tetapi menerimanya dengan sikap yang tidak hirau, tidak melakukan

apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan pola yang ditemukan ,

misalnya pada orang-orang yang menderita depresi dan yang

tenggelam dalam keputusan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi

adalah perasaan yang mendorong setiap individu untuk merespon atau

bertingkahlaku terhadap stimulus- stimulus yang berasal dari dalam

diri maupun dari luar diri setiap individu.

3. Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun

1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John

Meyer dari University of New Hampshire (Shapiro, 2001: 5).

Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi

keberhasilan, yaitu:

a. Empati

b. Mengungkapkan dan memahami perasaan

c. Kemandirian

d. Kemampuan menyesuaikan diri

f. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi

g. Ketekunan

h. Kesetiakawanan

i. Keramahan

j. Sikap hormat

Untuk memberikan pemahaman dasar tentang kecerdasan

emosional, Daniel Goleman, menjelaskan dua pengertian kecerdasan

emosional. Pertama, kecerdasan emosional tidak hanya berarti

“bersikap ramah”. Pada saat- saat tertentu yang diperlukan mungkin

bukan “sikap ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali

memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang

selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosional bukan berarti memberi kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa, memanjakan

perasaan, melainkan mengelola perasaan- perasaan sedemikian rupa

sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan

orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama. Kecerdasan

emosional sangat dipengaruhi oleh orang- orang di sekitar, lingkungan,

pergaulan, dan lain-lain. Untuk itu peranan lingkungan sekitar dan

tempat tinggal kita dan orang- orang di sekitar kita sangat

mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan

sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang

dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan

tindakan Shapiro (2001: 8).

Gardner yang dalam bukunya berjudul Frame of Mind (Goleman, 2002: 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan

yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan,

melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas

utama yaitu linguistic, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,

interpersonal, dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh

Gardner (Goleman, 2002: 50-53) sebagai kecerdasan pribadi yang oleh

Daniel Goleman disebut kecerdasan emosional.

Menurut Gardner (Goleman, 2002: 50-53), kecerdasan pribadi

terdiri dari ”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk

memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana

mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan

kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan

yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut

adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan

mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi

sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif Goleman(2002

: 52).

Dalam rumusan lain, Gardner (Goleman, 2002: 50-53),

“kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat

suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Dalam

kecerdasan pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia

mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku (Goleman 2002: 53).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut,

Salovey (Goleman, 2002: 57) memilih kecerdasan interpersonal dan

kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagi dasar untuk

mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya

kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali

emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi

orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan kerjasama

dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002: 512) kecerdasan emosional adalah

kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan

intelegensi (to manage our emotional life with intelegence) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati

dan keterampilan sosial.

Berdasarkan devenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

mosional adalah kemampuan untuk menyadari emosi diri sendiri,

mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi diri sendiri, memotivasi

4. Aspek- aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2000: 58-59) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner

dalam defenisi dasar tentang kecerdasan emosional yang

dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima

kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Sendiri (Self-Awareness)

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan

untuk menggenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Orang

dikatakan berhasil mengenali emosinya apabila ia memiliki

kepekaan yang tinggi atas emosinya. Kemampuan ini merupakan

dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan

kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2000: 64) kesadaran

diri adalah waspada terhadap suasana hati, bila kurang waspada

maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan

dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin

penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting

untuk mengendalikan emosi.

Menurut konsep Goleman orang yang memiliki kesadaran

diri akan lebih peka dan cermat menghadapi suasana hati orang

lain. Kesadaran emosi sangat penting untuk memandu pengambilan

keputusan, memiliki kemampuan diri dan kepercayaan diri yang

Menurut Goleman (2002: 404) aspek mengenali emosi diri sendiri

terdiri dari:

1) Kesadaran Emosi

Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu:

a) Mengetahui emosi mana yang sedang dirasakan dan

mengapa.

b) Menyadari ketertarikan antara perasaan, pikiran, perbuatan,

dan apa yang dikatakannya.

c) Mempengaruhi bagaimana perasaannya mempengaruhi cara

kerjanya.

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk

mencapai nila- nilai tujuannya.

2) Penilaian Diri

Orang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu:

a) Menyadari kekuatan dan kelemahannya.

b) Memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia

menerima pandangan yang baru, mau terus belajar dan

mengembangkan diri.

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang

dirinya sendiri dengan persfektif yang luas.

Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki

kecendrungan:

a) Berani tampil dengan keyakinan diri dan berani

menyatakan kebenarannya.

b) Berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban

demi kebenaran.

c) Bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik

kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi adalah kemampuan setiap individu dalam

menangani setiap perasaan agar dapat terungkap dengan tepat dan

selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri idividu.

Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan

kunci menuju kesejahtraan emosi. Emosi berlebihan, yang

meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak

kestabilan kita (Goleman, 2002: 77-78). Kemampuan ini mencakup

kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,

kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang

ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari

perasaan-perasaan yang menekan. Orang yang buruk pengelolaan emosinya

akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau

Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki

kemampuan mengelola emosi memiliki ciri/tanda sebagai berikut:

1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan

amarah

2) Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di

ruang kelas

3) Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa

berkelahi

4) Berkurangnya larangan masuk sementara dan skorsing

5) Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri

6) Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan

keluarga

7) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa

8) Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan

Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah,

menerima keritik sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan

yang harus diatasi, kurang memiliki kendali diri, mudah

mencemooh atau menghina, bersikap menutup diri atau sikap

bertahan yang pasif, mudah patah semangat (Goleman, 2002:

214-215).

Menurut Goleman (2002) aspek kemampuan mengelola emosi

1) Mengendalikan emosinya sendiri

Orang yang mampu mengendalikan emosinya sendiri secara

tepat mampu:

a) Mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan

b) Tetap teguh, bersikap positif, dan tidak goyah sekalipun

dalam situasi yang paling berat

c) Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam

keadaan tertekan

2) Dapat dipercaya

a) Bertindak seturut etika dan tidk pernah mempermalukan

orang lain

b) Membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan

jujur

c) Mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan

yang tidak dapat diterimanya

d) Berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya

adalah menjadi tidak disukai

c. Mengenali Emosi Orang lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga

empati. Menurut Goleman (2002: 57) kemampuan seseorang untuk

mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan

lebih mampu manangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi

yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga

ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap

perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang

lain.

Menurut Robert Rosenthal (Goleman, 2002: 136) dalam

penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu

membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu

menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah

bergaul, dan lebih peka. Anak-anak yang tidak mampu membaca

atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus

merasa frustasi (Goleman, 2002: 172). Seseorang yang mampu

membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang

tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu

mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut

mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

d. Memotivasi Diri Sendiri

Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan

semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik

dan bermanfaat. Kemampuan ini diperlukan lebih-lebih pada waktu

motivasi kita negatif, yaitu saat kita patah semangat, kehilangan

dan kita menjadi bersemangat dalam hidup. Orang yang mampu

memotivasi dirinya akan lebih berhasil dalam kehidupannya

dibandingkan orang yang menunggu orang lain untuk

memperhatikan dirinya. Salah satu ciri dari kemampuan untuk

memotivasi diri adalah kepercayaan diri (self confidence).Individu yang memiliki motivasi tinggi akan memiliki self confidenceyang tinggi pula. Ciri utama kepercayaan diri adalah optimis dalam

menghadapi berbagai tantangan. Orang yang memiliki kecakapan

ini tidak mudah jatuh dalam suatu kegagalan dan tidak mudah puas

terhadap apa yang dihasilkan, melainkan mempunyai kemampuan

untuk terus berusaha untuk memperbaiki diri. Kemampuan

memotivasi diri sendiri menurut Goleman (2000) meliputi aspek:

1) Dorongan untuk berprestasi

Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki

kemampuan:

a) Berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang

tinggi untuk meraihnya

b) Menetapkan tujuan yang menantang dan berani mengambil

resiko

c) Mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi

ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat

2) Memiliki komitmen

Orang yang memiliiki komitmen tinggi mamapu:

a) Berkorban demi tercapainya tujuan

b) Merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan

yang utama dalam hidupnya

c) Mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam

masyarakat untuk mengambil keputusan

d) Mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya

3) Memiliki inisiatif

Orang yang memiliki inisiatif mampu:

a) Mamanfaatkan peluang untuk memajukan dirinya

b) Mengejar saran lebih daripada dipersyaratkan atau

diharapkan

c) Berani melanggar batas-batar dan aturan yang tidak prinsip

apabila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan

d) Berani mengajak orang lain bekerkasama untuk

menghasilkan sesuatu yang lebih baik

4) Optimis

Orang yang memiliki sifat optimis mampu:

a) Bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun

banyak hambatan

b) Bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak

e. Membina Hubungan

Kemampauan dalam membina hubungan merupakan suatu

keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan

keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002: 59). Keterampilan

dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam

keberhasilan membina hubungan dengan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina

hubungan ini akan sukses dalam bidang-bidang apapun. Orang

berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan

lancar pada orang lain. Orang- orang ini populer dalam

lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena

kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002: 59). Ramah

tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan

petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan

dengan orang lain. Sejauh mana keribadian siswa-siswi

berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang

dilakukannya.

Menurut Goleman (2002: 404 - 405) orang yang memiliki

kemampuan membina hubungan yang tinggi cenderung atau

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan

2) Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam

hubungan

3) Lebih tegas dan tampil dalam berkomunikasi

4) Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat

dengan teman sebaya

5) Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya

6) Lebih menuruh perhatian dan bertenggang rasa

7) Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam

kelompok

8) Lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong

9) Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain

5. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2002: 57) faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional adalah sebagai berikut:

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari indvidu sendiri.

Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional

seseorang. Mula-mula pesan yang diterima melalui indra, seperti

pengelihatan, pendengaran, penciuman, dan lain-lain dicatat oleh

bagian struktur otak yang disebut amygdala, bagian struktur otak

yang paling banyak berurusan dengan pengolahan dan

masuk dan diolah oleh bagian struktur otak yang disebut neocortex,

bagian struktur otak yang berurusan dengan proses kegiatan

rasional. Karena itu ketika menghadapi sesuatu terlebih dahulu

bereaksi secara emosional, sebelum disadari sepenuhnya oleh

rasio. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu untuk

menjaga hubungan komunikasi terbuka. Ini akan membuat orang

mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara

empatik, dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau

lingkungan yang dihadapi (Goleman, 2000: 23-25).

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri individu

dan memepengaruhi individu untuk mengubah sikap. Gottman dan

De Claire, (2003) berpendapat bahwa faktor eksternal yang

mempengaruhi kecerdasan emosional adalah:

1) Keluarga

Keluarga merupakan sekolah yang pertama mempelajari untuk

mempelajari emosi. Orang tua merupakan pelatih emosi anak

pertama kali. Orang tua sebagai pelatih emosi, tidak cukup

hanya bersikap hangat dan positif saja, karena sikap demikian

belum berarti mengajarkan kecerdasan emosional, mengingat

biasanya orangtua tidak mampu secara efektif mengatasi

perasaan-perasaan negative anak mereka. Gottman dan De

gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada anak-anak

mereka, yaitu:

a) Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan,

menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negative

anak mereka.

b) Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis

terhadap ungkapan perasan-perasaan negative anak mereka,

dan baranggkali memarahi atau menghukum mereka,

karena mengungkapkan emosinya.

c) Orangtua Laisse-Faire, menerima emosi anak mereka dan berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan

bimbingan atau menentukan batas-batas pada tingkah laku

anak mereka. Orangtua sebagai pelatih emosi, seharusnya

menerima kesedihan anaknya, menolong memberi nama

emosi itu, membiarkan mengalami perasaan-perasaannya,

dan mendampingi sewaktu menangis, tidak memarahi

apabila anaknya sedih.

Menurut Prasetyo (2003: 27) pola pengasuhan yang

demokratis diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran

anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau

wawasan kehidupan masa depan dengan jelas. Mereka tidak

hanya memikirkan masa kini, tetapi memahami bahwa masa

Menurut Prasetyo orangtua yang demokratis tidak ragu-ragu

dalam mengendalikan anak, berani menegur anak bila

berprilaku buruk. Mereka mengarahkan perilaku anak sesuai

dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengethauan, dan

keterampilan yang dibutuhkan anak untuk mengarungi hidup

dan kehidupan dimasa mendatang.

2) Pengalaman

Pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi (Albin, 1986: 90)

pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman

mengungkapkan emosi, misalnya anak perempuan boleh

mengungkapkan rasa takut, tetapi anak laki-laki diharapkan

tidak menyatakan perasaan tersebut, sebaliknya rasa marah dan

perlawanan boleh dinyatakan oleh anak laki-laki. Pengalaman

dengan orangtua, teman-teman, guru-guru mempengaruhi

watak asli kita dan mejadikan kita orang yang unik dalam

mengalami emosi, dalam mengungkapkannya dan dalam

keterbukaan terhadap orang lain.

3) Lingkungan

Mangunhardjana (1986: 13) mengungkapkan bahwa

perkembangan emosi Nampak pada gairah remaja yang

meledak-ledak, munculnya reaksi adaptis, keras kepala dan

perbuatan yang kurang sopan. Dengan adanya keadaan emosi

dari lingkungan terhadap remaja itu sendiri. Lingkungan

(khususnya lingkungan sosial) mempunyai pengaruh cukup

besar bagi perkembangan kepribadian orang. Pencapaian

kematangan emosi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

dimana remaja berada, baik lingkungan sekolah, maupun

masyarakat. Lingkungan yang harmonis akan mendukung

remaja dalam pencapaian kematangan emosi, sebaliknya

lingkungan yang kurang mendukung akan membuat remaja

mengalami kegelisahan, kecemasan, sikap apatis, sehingga sulit

untuk mencapai kematangan.

6. Langkah- langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui berbagai usaha,

langkah-langkah yang ditempuh menurut Gottman dan De Claire

(2003: 102-105) adalah sebagai berikut:

a. Menyadari emosi-emosi remaja

b. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan

Dokumen terkait