i
TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA PANTI ASUHAN
(Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosional pada Remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen dan Implikasinya Terhadap Usulan
Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memproleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh :
Mika Botti Br Ginting 101114028
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Mudah sekali bagi siapa pun untuk bersabar ketika semuanya berjalan baik, tapi dibutuhkan hati yang baik dan pikiran yang utuh untuk membuat diri Anda tetap berada dalam kesabaran yang baik saat keadaan menjadi buruk (Mario Teguh).
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah,
maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan
dibukakan bagimu (Matius 7:7).
Kita bahagia karena kasih sayang, kita matang karena
masalah, kita lemah karena putus asa, kita maju
karena usaha, dan kita kuat karena doa.
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Tuhan Yesus Kristus yang setia mendampingiku
dalam suka dan duka saat mengerjakan skripsi.
Keluarga tercinta: Bapak dan Mamak, keadua
adek ku (Heppy Ester Br Ginting dan David
Remonda Ginting)
Almamaterku tercinta: Program Studi Bimbingan
dan Konseling Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah mendidik dan
vi
vii
ABSTRAK
TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA PANTI ASUHAN
(Studi Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosional pada Remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen dan Implikasinya Terhadap Usulan
Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)
Mika Botti Br Ginting
2014
Penelitian ini bertujuan untuk memproleh gambaran tingkat kecerdasan emosional siswa-siswi remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen. Hasil dari penelitian ini akan digunakan untuk mengusulkan topik-topik bimbingan pribadi sosial.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Subjek penelitian adalah 32 Siswa remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner yang disusun oleh penulis berdasarkan buku Emotional Intellegence (Goleman, 2002). Kuesioner terdiri dari 56 pernyataan yang mencakup kelima aspek kecerdasan emosional yaitu: (1) kesadaran diri (2) pengaturan diri (3) memotivasi diri sendiri (4) mengenali emosi orang lain (5) membina hubungan. Teknik analisis data yang digunakan adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel, jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah. Tingkat kecerdasan emosional remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen digolongkan menjadi rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi.
viii
ABSTRACT
EMOTIONAL INTELLEGENCE LEVEL OF ADOLESCENT ORPHANAGE
(A Descriptive Study on Emotional Intellegence Level it in Adolescent Orphanage Pondok Harapan Diakonia Bawen and Implications to the
Sugested Topic of Personal and Social Guidance)
Mika Botti Br Ginting
101114028
This research aims to obtain a description of the level emotional intellegence adolescent orphanage at Pondok Harapan Diakonia Bawen. The research of this study will be used to suggest topics of personal social guidance.
This research is descriptive study. The subject of the research is 34 adolescent orphanage at Pondok Harapan Diakonia Bawen. The research istrument used is a questionnaire prepared by the research based th book in Emotional Intellegence (Golemen, 2002). The questionnarire cosists of 56 statements that include the five aspects of emotional intellegence, namely: (1) self-awareness (2) self-regulation (3) motivating yourself (4) recognizing emotions in others (5) relationship. The data analysis technique used is groping data based on a variabele, type of respondent, tabulating the data based on the variabeles of all respondents, presents the data for each variabele studied, performing calculations to answar the problem formulation. The level of emotional intellegence adolescent orphanage at Pondok Harapan Diakonia Bawen
is classified „low‟ „medium‟ „high‟ „very high‟.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat,
anugrah, kasih karunia dan penyertaanNya yang tidak pernah berhenti mengalir
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi disusun untuk memenuhi salah
satu syarat untuk memproleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi
Bimbingan dan Konseling. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat tersusun
berkat bantuan, perhatian, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh
karena itu diucapkan banyak terimaksih kepada:
1. Bapak Dr. Gendon Barus, M.Si, selaku Ketua Program Studi Bimbingan
dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah
membantu dan memberikan kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi
ini, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu
dengan penuh kesabaran dan ketekunan serta ketulusan hati dalam
membimbing, memberikan motivasi dan mendampingi penulis pada setiap
tahap dan seluruh proses penyusunan skripsi ini.
2. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah
mencurahkan ilmunya sepenuh hati selama penulis menuntut ilmu di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Marthen Ngguso sebagai pimpinan di Panti Asuhan Pondok
x
untuk melaksanakan penelitian di Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia
Bawen.
4. Para siswa-siswi remaja SMP dan SMA Panti Asuhan Pondok Harapan
Diakonia Bawen atas waktu dan kesediannya sebagai responden dalam
melaksanakan penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
5. Orangtuaku tercinta Bapak Japen Ginting dan Ibu Asnita Purba atas doa
yang tidak henti-hentinya selalu dipanjatkan, dukungan, perhatian, biaya
yang telah diberikan kepada penulis.
6. Adek- adekku tercinta Heppy Ester Br Ginting dan David Remonda
Ginting yang telah banyak mendukung dan mendoakan sehingga penulis
selalu semangat menyelesaikan skripsi ini.
7. Adekku Kezia Gaviota yang selalu memotivasi, mendukung, mendoakan
dan mendengarkan curhatan penulis saat mengerjakan skripsi.
8. Semua saudaraku Pak Tengah, Mak Tengah, Bibik, Bengkila, Abang,
Kakak, Adek, yang telah mendoakan penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
9. Saudara sepupuku Wanda Harianto Ginting, Devi Riana Ginting, Rut Lina
Uli Simajuntak, Wandi Jupiter Ginting, Lita Khariani, Dewi Sartika yang
telah memberikan semangat dan mendoakan penulis.
10.Keluarga besar Lima Serangkai yang telah memberikan ide-ide kepada
xi
11.Teman- teman di Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2010
untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama penulis menyelesaikan studi.
12.Perpustakaan USD sebagai gudang ilmu beserta karyawan perpustakaan
atas pelayanan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Sahabatku Krista Br Ginting dan teman- temanku Wina Charlina, Marieta,
Eva Christi yang telah memberi semangat, masukan untuk penulis
sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.
14.Teman-temanku di Kost Wila, Nina, Tata, Ian, Ririn yang telah ikut serta
memberikan semangat dan doa kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
berjalan dengan baik.
Akhirnya peneliti berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca khusunya bagi pemerhati bidang pengembangan bimbingan di
luar sekolah khususnya di panti asuhan.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GRAFIK... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian... 5
xiii
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Kecerdasan Emosional... 8
1. Pengertian Emosi... 8
2. Pengertian Kecerdasan Emosional... 12
3. Aspek- Aspek Kecerdasan Emosional... 15
4. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional.. 25
5. Langkah- langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosional... 29
B. Siswa- Siswi Remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen ………. 30
1. Ciri- ciri Masa Remaja... 30
2. Tugas Perkembangan Masa Remaja... 30
3. Pengertian Panti Asuhan... 32
C. Bimbingan Pribadi Sosial... ... 33
xiv
B. Pembahasan Hasil Penelitian... 52
C. Usulan Topik- topik Bimbingan Pribadi Sosial... 56
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan... 63
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Subjek Penelitian...36
Tabel 2 : Kisi- kisi Kuesioner...39
Tabel 3 : Rincian Item yang Valid dan yang Gugur...43
Tabel 4 : Kriteria Goilford...44
Tabel 5 : Norma Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Emosional...46
Tabel 6 : Norma Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Emosional Siswa- siswi Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen...48
Tabel 7 : Norma Kategorisasi Skor Butir Instrumen Kecerdasan Emosional………...48
Tabel 8 :Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Emosional pada Siswa- Siswi SMP dan SMA Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen...49
Tabel 9 :Kategorisasi Skor Item Kecerdasan Emosional pada Siswa- Siswi SMP dan SMA Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen...51
xvi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Kuesioner Kecerdasan Emosional...63
Lampiran 2: Tabulasi Skor Penelitian...67
Lampiran 4: Rincian item yang valid dan yang gugur...68
1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat peneltian, dan defenisi oprasional.
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era
globalisasi seperti saat ini membutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas baik dan tinggi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia
adalah sebagai salah satu syarat yang mutlak agar mencapai tujuan
perkembangan tersebut. Salah satu cara untuk mencapai kualitas sumber
daya manusia yang berkualitas baik dan tinggi adalah kecerdasan
emosional kita.
Kecerdasan emosional merupakan hal penting dalam kehidupan
setiap individu karena setiap individu memang memiliki tingkat emosi
yang berbeda-beda sehingga tingkat kecerdasan emosionalnya juga
berbeda-beda. Tergantung bagaimana setiap individu mengolah,
mengelola dan mengendalikan emosinya agar menjadi lebih baik lagi di
setiap tahapnya sehingga menjadi suatu yang bermanfaat atau bisa disebut
menjadi kecerdasan emosional dalam diri setiap individu. Jika seorang
individu dapat mengelola dan mengolah emosinya menjadi suatu
kecerdasan yang disebut kecerdasan emosional maka individu tersebut
semakin dapat meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik lagi
Tidak terkecuali bagi anak-anak remaja sekarang ini harus bisa dan
mampu melatih emosi mereka masing-masing menjadi suatu yang lebih
bermanfaat bagi kecerdasan emosional mereka.
Anak dan remaja, baik yang mengikuti pendidikan di sekolah
maupun yang tidak, semua berada dalam proses perkembangan.
Perkembangan mencakup seluruh kepribadian individu anak dan remaja.
Kepribadian individu sangat kompleks, terdiri atas banyak aspek yang
saling berintraksi, bukan saja antar aspek, tetapi juga antara aspek-aspek
tersebut dengan faktor –faktor lingkungan. Baik aspek kepribadian
individu maupun aspek lingkungan selalu berubah dan perubahannya
sangat dinamis.
Menurut Goleman (2000: 14) remaja sekarang lebih banyak
mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka
lebih kesepian dan pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih
gugup dan mudah cemas, lebih komfulsif dan agresif. Kecerdasan
emosional sangat berpengaruh bagi perkembangan individu. Menurut
konsep Goleman, orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang
yang matang dalam pengaturan kondisi diri dan emosinya. Begitu juga
dengan Remaja SMP dan SMA Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia
Bawen harus bisa melatih emosi mereka menjadi lebih baik lagi untuk
kecerdasan emosional mereka.
Orang yang memiliki kecerdasan emosional, diharapkan mampu
kecerdasan emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat
merasa gagal, mudah menyerah jika menghadapi kesukaran. Kecerdasan
emosional yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam
prestasi belajar, meningkatkan kualitas belajar, mengembangkan hubungan
yang baik dengan teman sebaya dan orang-orang di sekitar, khususnya
dalam kalangan remaja (Goleman, 2002: 17).
Dengan memiliki kecerdasan emosional, siswa-siswi mampu
melatih kemampuan untuk mengelola perasaannya, kemampuan untuk
memotivasi dirinya sendiri, kemampuan untuk tegar dalam menghadapi
masalah, mengatur suasana hati yang reaktif, dan mampu bekerjasama
dengan orang lain. Kecerdasan inilah yang dapat mendorong siswa-siswi
untuk meningkatkan kualitas belajarnya untuk mendapatkan nilai yang
lebih bagus dan mencapai cita-citanya.
Dengan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan membuat
seseorang menjadi percaya diri, mampu mengelola perasaan, tidak mudah
marah dan berempati dengan sesama. Namun ketika peneliti KKN selama
30 hari di Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen, peneliti
melihat banyak Siswa Remaja yang kurang mampu mengelola emosinya,
ketika mereka tidak suka terhadap sesuatu hal maka mereka akan
marah-marah dengan membanting pintu, mengeluarkan kata-kata kotor, dan
ngomong secara keras, dan lain-lain..
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi
Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen datang dari berbagai latar
belakang yang berbeda-beda. Hidup bersama tentu tidaklah mudah, sering
timbul permasalahan-permasalahan dalam hidup bersama di Panti Asuhan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyusun materi
pelayanan bimbingan yang sesuai dengan taraf perkembangannya,
kebutuhan dan permasalahan yang dialami oleh siswa-siswi Remaja Panti
Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen. Dengan memberi topik
bimbingan yang relevan, para siswa-siswi remaja yang tinggal di Panti
Asuhan Harapan Diakonia Bawen dibantu menjadi pribadi yang mampu
mengatur hidupnya, dapat bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri,
memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri, dan akhirnya mampu
mengambil keputusan secara tepat. Berdasarkan uraian diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA PANTI ASUHAN (Studi
Deskriptif Tingkat Kecerdasan Emosional Pada Remaja Panti Asuhan
Pondok Harapan Diakonia Bawen dan Implikasinya Terhadap Usulan
Topik-topik Bimbingan Pribadi Sosial)”.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang
tingkat kecerdasan emosional siswa-siswi Remaja Panti Asuhan Pondok
Harapan Diakonia Bawen dan implikasinya terhadap topik-topik imbingan
1. Seberapa tinggikah kecerdasan emosional siswa-siswi remaja Panti
Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen?
2. Berdasarkan pencapaian butirpengukuran kecerdasan emosional yang
terindikasi rendah, topik bimbingan apa yang sesuai untuk
meningkatkan kecerdasan emosional siswa-siswi remaja Panti Asuhan
Pondok Harapan Diakonia Bawen?
C. Tujuan Penelitan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan tingkat kecerdasan emosional siswa-siswi remaja
Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen.
2. Mengidentifikasi butir pengukuran kecerdasan emosional yang
terindikasi rendah untuk memberikan topik-topik bimbingan yang
sesuai untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa-siswi remaja
Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan
1. Manfaat praktis
a. Pendamping Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia
Bawen memproleh informasi yang dapat digunakan dalam
mengembangkan kecerdasan emosional remaja Panti
Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen.
b. Para remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia
Bawen memproleh informasi mengenai kecerdasan
emosionalnya dan diharapkan agar termotivasi untuk
meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
c. Peneliti sendiri dapat memproleh pengalaman dalam
mengungkapkan tingkat kecerdasan emosional dan untuk
menyusun topik-topik bimbingan mengenai kecerdasan
emosional.
d. Peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini lebih
mendalam lagi.
E. Definisi Oprasional
Berikut dijelaskan definisi oprasional yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi kita
sendiri dan emosi orang lain, kemampuan memotivasi diri dan
kemampuan mengelola emosi serta kemampuan membina hubungan
2. Panti Asuhan
Panti asuhan adalah lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai
tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial
kepada anak terlantar serta melaksanakan penyantunan dan
pengentasan anak terlantar melalui pelayanan pengganti atau perwalian
anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak
asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai
bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan
sebagai bagian generasi cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut
serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Departemen Sosial
RI, 1995).
3. Bimbingan Pribadi Sosial
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada siswa agar dapat
memahami dirinya, mengenal lingkungan dan merencanakan masa
depan. Bimbingan pribadi sosial adalah bimbingan dalam menghadapi
keadaan batinya sendiri dan mengatasi berbagai pergumulan dalam
batinnya sendiri; dalam mengatur diri sendiri di bidang kerohanian,
perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyauran nafsu seksual
dan sebagainya; serta bimbingan dalam membina hubungan
kemanusiaan dengan sesama di bidang lingkungan atau pergaulan
8
BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini diuraikan kecerdasan emosional, siswa- siswi remaja panti
asuhan pondok harapan diakonia bawen, bimbingan kelompok, pelayanan
bimbingan di panti asuhan harapan diakonia bawen.
A. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Emosi
Emosi adalah perasaan apa yang sedang kita alami. Kita sering
menyebut berbagai emosi yang muncul dalam diri kita dengan
berbagai nama seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah,
benci, cinta, dll. Sebutan yang kita berikan kepada perasaan tertentu,
mempengaruhi bagaiman kita berpikir mengenai perasaan itu, dan
bagaimana kita bertindak. Menurut Goleman (2002: 411) emosi
merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis serta serangkaian kecendrungan untuk
bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan
dari dalam individu. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong
perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat
tertawa, sedangkan emosi sedih mendorong seseorang untuk berprilaku
menangis.
Chaplin (dalam Safaria, 2009) merumuskan emosi sebagai suatu
perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan-perubahan
perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku
yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap
sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi
kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang
sedang mengalami emosi. Jika seseorang mengalami ketakutan
mukanya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar, jadi adanya
perubahan-perubahan kejasmanian sebagai rangkaian dari emosi yang
dialami oleh individu yang bersangkutan Walgito (dalam Safaria,
2009).
Maurus (2007: 16) mendefinisikan emosi sebagai keadaan jiwa
yang sangat mempengaruhi mahluk hidup, yang disulut oleh kesadaran
atas suatu benda atau pristiwa, yang ditandai dengan perasaan yang
dalam, hasrat untuk bertindak, dan perubahan fisiologis pada fungsi
tubuh. Dalam buku Emotion and Personality, Arnold memaparkan
defenisi emosi sebagai kecenderungan untuk mendekat pada apapun
yang dirasakan baik (menguntungkan) atau menjauh dari apapun yang
dirasa buruk (berbahaya). The Dictionary of Psychology mengartikan
emosi keadaan kompleks dari suatu organisme, termasuk perubahan
dalam banyak hal misalnya pernafasan, denyut nadi, kelenjar dan lain-
lain yang secara kejiwaan ditandai dengan perasaan mendalam serta
Devenisi lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respon
terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis
disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan
untuk meletus. Respon demikian terjadi baik terhadap
perangsang-perangsang eksternal maupun internal. Menurut Daniel Goleman
(2000), sesungguhnya ada ratusan emosi bersama dengan variasi,
campuran, mutasi, dan nuansanya sehingga makna yang dikandungnya
lebih bayak, lebih kompleks, dan lebih halus daripada kata dan defenisi
yang digunakan untuk menjelaskan emosi.
2. Jenis-jenis Emosi
Daniel Goleman (2002: 411) mengemukakan beberapa macam
emosi yaitu:
a. Amarah:
Beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,
terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak
kekerasan dan kebencian patologis.
b. Kesedihan:
Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus
asa, kesepian, ditolak, depresi berat.
c. Rasa Takut:
Cemas, gugup, khawatir, was- was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, ngeri, fobia, dan panik.
Bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga, takjub
dan terpesona.
e. Cinta:
Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f. Terkejut:
Terkesiap, terkejut, takjub, terpana.
g. Jengkel:
Hina, jijik, muak, mual, tidak suka, benci, mau muntah.
h. Malu:
Rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati
hancur lebur.
Seperti yang telah diuraikan di atas, semua emosi pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu
mendorong individu untuk memberi respon atau bertingkahlaku
terhadap stimulus yang ada. Menurut Mayer (Goleman, 2002: 65)
orang cenderung menganut gaya- gaya khas dalam menangani dan
mengatasi emosi mereka, yaitu: (1) Sadar diri: peka akan suasana hati
mereka ketika mengalaminya, dapat dimengerti bila orang-orang
memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. (2)
tenggelam dalam permasalahan: mereka adalah orang- orang yang
seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk
alih kekuasaan. (3) pasrah: ada dua cabang jenis pasrah yaitu mereka
yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan
demikian motivasi untuk mengubahnya rendah, dan orang yang
kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek
tetapi menerimanya dengan sikap yang tidak hirau, tidak melakukan
apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan pola yang ditemukan ,
misalnya pada orang-orang yang menderita depresi dan yang
tenggelam dalam keputusan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi
adalah perasaan yang mendorong setiap individu untuk merespon atau
bertingkahlaku terhadap stimulus- stimulus yang berasal dari dalam
diri maupun dari luar diri setiap individu.
3. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun
1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John
Meyer dari University of New Hampshire (Shapiro, 2001: 5).
Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi
keberhasilan, yaitu:
a. Empati
b. Mengungkapkan dan memahami perasaan
c. Kemandirian
d. Kemampuan menyesuaikan diri
f. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
g. Ketekunan
h. Kesetiakawanan
i. Keramahan
j. Sikap hormat
Untuk memberikan pemahaman dasar tentang kecerdasan
emosional, Daniel Goleman, menjelaskan dua pengertian kecerdasan
emosional. Pertama, kecerdasan emosional tidak hanya berarti
“bersikap ramah”. Pada saat- saat tertentu yang diperlukan mungkin
bukan “sikap ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali
memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang
selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosional bukan berarti
memberi kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa, memanjakan
perasaan, melainkan mengelola perasaan- perasaan sedemikian rupa
sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan
orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama. Kecerdasan
emosional sangat dipengaruhi oleh orang- orang di sekitar, lingkungan,
pergaulan, dan lain-lain. Untuk itu peranan lingkungan sekitar dan
tempat tinggal kita dan orang- orang di sekitar kita sangat
mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan
sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan Shapiro (2001: 8).
Gardner yang dalam bukunya berjudul Frame of Mind (Goleman,
2002: 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan
yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan,
melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas
utama yaitu linguistic, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,
interpersonal, dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh
Gardner (Goleman, 2002: 50-53) sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut kecerdasan emosional.
Menurut Gardner (Goleman, 2002: 50-53), kecerdasan pribadi
terdiri dari ”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana
mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan
kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan
yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut
adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan
mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi
sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif Goleman(2002
: 52).
Dalam rumusan lain, Gardner (Goleman, 2002: 50-53),
“kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat
suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Dalam
kecerdasan pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia
mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan tersebut serta
memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku (Goleman 2002: 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut,
Salovey (Goleman, 2002: 57) memilih kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagi dasar untuk
mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan kerjasama
dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002: 512) kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
intelegensi (to manage our emotional life with intelegence) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Berdasarkan devenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
mosional adalah kemampuan untuk menyadari emosi diri sendiri,
mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi diri sendiri, memotivasi
4. Aspek- aspek Kecerdasan Emosional
Goleman (2000: 58-59) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner
dalam defenisi dasar tentang kecerdasan emosional yang
dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima
kemampuan utama, yaitu:
a. Mengenali Emosi Sendiri (Self-Awareness)
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan
untuk menggenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Orang
dikatakan berhasil mengenali emosinya apabila ia memiliki
kepekaan yang tinggi atas emosinya. Kemampuan ini merupakan
dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan
kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan
emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2000: 64) kesadaran
diri adalah waspada terhadap suasana hati, bila kurang waspada
maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan
dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting
untuk mengendalikan emosi.
Menurut konsep Goleman orang yang memiliki kesadaran
diri akan lebih peka dan cermat menghadapi suasana hati orang
lain. Kesadaran emosi sangat penting untuk memandu pengambilan
keputusan, memiliki kemampuan diri dan kepercayaan diri yang
Menurut Goleman (2002: 404) aspek mengenali emosi diri sendiri
terdiri dari:
1) Kesadaran Emosi
Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu:
a) Mengetahui emosi mana yang sedang dirasakan dan
mengapa.
b) Menyadari ketertarikan antara perasaan, pikiran, perbuatan,
dan apa yang dikatakannya.
c) Mempengaruhi bagaimana perasaannya mempengaruhi cara
kerjanya.
d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk
mencapai nila- nilai tujuannya.
2) Penilaian Diri
Orang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu:
a) Menyadari kekuatan dan kelemahannya.
b) Memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri.
c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia
menerima pandangan yang baru, mau terus belajar dan
mengembangkan diri.
d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang
dirinya sendiri dengan persfektif yang luas.
Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki
kecendrungan:
a) Berani tampil dengan keyakinan diri dan berani
menyatakan kebenarannya.
b) Berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban
demi kebenaran.
c) Bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik
kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi adalah kemampuan setiap individu dalam
menangani setiap perasaan agar dapat terungkap dengan tepat dan
selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri idividu.
Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan
kunci menuju kesejahtraan emosi. Emosi berlebihan, yang
meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak
kestabilan kita (Goleman, 2002: 77-78). Kemampuan ini mencakup
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan. Orang yang buruk pengelolaan emosinya
akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau
Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki
kemampuan mengelola emosi memiliki ciri/tanda sebagai berikut:
1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan
amarah
2) Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di
ruang kelas
3) Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa
berkelahi
4) Berkurangnya larangan masuk sementara dan skorsing
5) Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri
6) Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan
keluarga
7) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
8) Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan
Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah,
menerima keritik sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan
yang harus diatasi, kurang memiliki kendali diri, mudah
mencemooh atau menghina, bersikap menutup diri atau sikap
bertahan yang pasif, mudah patah semangat (Goleman, 2002:
214-215).
Menurut Goleman (2002) aspek kemampuan mengelola emosi
1) Mengendalikan emosinya sendiri
Orang yang mampu mengendalikan emosinya sendiri secara
tepat mampu:
a) Mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan
b) Tetap teguh, bersikap positif, dan tidak goyah sekalipun
dalam situasi yang paling berat
c) Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam
keadaan tertekan
2) Dapat dipercaya
a) Bertindak seturut etika dan tidk pernah mempermalukan
orang lain
b) Membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan
jujur
c) Mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan
yang tidak dapat diterimanya
d) Berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya
adalah menjadi tidak disukai
c. Mengenali Emosi Orang lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga
empati. Menurut Goleman (2002: 57) kemampuan seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan
lebih mampu manangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi
yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga
ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang
lain.
Menurut Robert Rosenthal (Goleman, 2002: 136) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu
membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu
menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah
bergaul, dan lebih peka. Anak-anak yang tidak mampu membaca
atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus
merasa frustasi (Goleman, 2002: 172). Seseorang yang mampu
membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang
tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
d. Memotivasi Diri Sendiri
Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan
semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik
dan bermanfaat. Kemampuan ini diperlukan lebih-lebih pada waktu
motivasi kita negatif, yaitu saat kita patah semangat, kehilangan
dan kita menjadi bersemangat dalam hidup. Orang yang mampu
memotivasi dirinya akan lebih berhasil dalam kehidupannya
dibandingkan orang yang menunggu orang lain untuk
memperhatikan dirinya. Salah satu ciri dari kemampuan untuk
memotivasi diri adalah kepercayaan diri (self confidence).Individu
yang memiliki motivasi tinggi akan memiliki self confidenceyang
tinggi pula. Ciri utama kepercayaan diri adalah optimis dalam
menghadapi berbagai tantangan. Orang yang memiliki kecakapan
ini tidak mudah jatuh dalam suatu kegagalan dan tidak mudah puas
terhadap apa yang dihasilkan, melainkan mempunyai kemampuan
untuk terus berusaha untuk memperbaiki diri. Kemampuan
memotivasi diri sendiri menurut Goleman (2000) meliputi aspek:
1) Dorongan untuk berprestasi
Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki
kemampuan:
a) Berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang
tinggi untuk meraihnya
b) Menetapkan tujuan yang menantang dan berani mengambil
resiko
c) Mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat
2) Memiliki komitmen
Orang yang memiliiki komitmen tinggi mamapu:
a) Berkorban demi tercapainya tujuan
b) Merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan
yang utama dalam hidupnya
c) Mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam
masyarakat untuk mengambil keputusan
d) Mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya
3) Memiliki inisiatif
Orang yang memiliki inisiatif mampu:
a) Mamanfaatkan peluang untuk memajukan dirinya
b) Mengejar saran lebih daripada dipersyaratkan atau
diharapkan
c) Berani melanggar batas-batar dan aturan yang tidak prinsip
apabila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan
d) Berani mengajak orang lain bekerkasama untuk
menghasilkan sesuatu yang lebih baik
4) Optimis
Orang yang memiliki sifat optimis mampu:
a) Bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun
banyak hambatan
b) Bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak
e. Membina Hubungan
Kemampauan dalam membina hubungan merupakan suatu
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002: 59). Keterampilan
dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan dengan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina
hubungan ini akan sukses dalam bidang-bidang apapun. Orang
berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan
lancar pada orang lain. Orang- orang ini populer dalam
lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena
kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002: 59). Ramah
tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan
petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan
dengan orang lain. Sejauh mana keribadian siswa-siswi
berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
Menurut Goleman (2002: 404 - 405) orang yang memiliki
kemampuan membina hubungan yang tinggi cenderung atau
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
2) Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam
hubungan
3) Lebih tegas dan tampil dalam berkomunikasi
4) Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat
dengan teman sebaya
5) Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya
6) Lebih menuruh perhatian dan bertenggang rasa
7) Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam
kelompok
8) Lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong
9) Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain
5. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2002: 57) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional adalah sebagai berikut:
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari indvidu sendiri.
Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional
seseorang. Mula-mula pesan yang diterima melalui indra, seperti
pengelihatan, pendengaran, penciuman, dan lain-lain dicatat oleh
bagian struktur otak yang disebut amygdala, bagian struktur otak
yang paling banyak berurusan dengan pengolahan dan
masuk dan diolah oleh bagian struktur otak yang disebut neocortex,
bagian struktur otak yang berurusan dengan proses kegiatan
rasional. Karena itu ketika menghadapi sesuatu terlebih dahulu
bereaksi secara emosional, sebelum disadari sepenuhnya oleh
rasio. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu untuk
menjaga hubungan komunikasi terbuka. Ini akan membuat orang
mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara
empatik, dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau
lingkungan yang dihadapi (Goleman, 2000: 23-25).
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri individu
dan memepengaruhi individu untuk mengubah sikap. Gottman dan
De Claire, (2003) berpendapat bahwa faktor eksternal yang
mempengaruhi kecerdasan emosional adalah:
1) Keluarga
Keluarga merupakan sekolah yang pertama mempelajari untuk
mempelajari emosi. Orang tua merupakan pelatih emosi anak
pertama kali. Orang tua sebagai pelatih emosi, tidak cukup
hanya bersikap hangat dan positif saja, karena sikap demikian
belum berarti mengajarkan kecerdasan emosional, mengingat
biasanya orangtua tidak mampu secara efektif mengatasi
perasaan-perasaan negative anak mereka. Gottman dan De
gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada anak-anak
mereka, yaitu:
a) Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan,
menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negative
anak mereka.
b) Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis
terhadap ungkapan perasan-perasaan negative anak mereka,
dan baranggkali memarahi atau menghukum mereka,
karena mengungkapkan emosinya.
c) Orangtua Laisse-Faire, menerima emosi anak mereka dan
berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan
bimbingan atau menentukan batas-batas pada tingkah laku
anak mereka. Orangtua sebagai pelatih emosi, seharusnya
menerima kesedihan anaknya, menolong memberi nama
emosi itu, membiarkan mengalami perasaan-perasaannya,
dan mendampingi sewaktu menangis, tidak memarahi
apabila anaknya sedih.
Menurut Prasetyo (2003: 27) pola pengasuhan yang
demokratis diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran
anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau
wawasan kehidupan masa depan dengan jelas. Mereka tidak
hanya memikirkan masa kini, tetapi memahami bahwa masa
Menurut Prasetyo orangtua yang demokratis tidak ragu-ragu
dalam mengendalikan anak, berani menegur anak bila
berprilaku buruk. Mereka mengarahkan perilaku anak sesuai
dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengethauan, dan
keterampilan yang dibutuhkan anak untuk mengarungi hidup
dan kehidupan dimasa mendatang.
2) Pengalaman
Pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi (Albin, 1986: 90)
pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
mengungkapkan emosi, misalnya anak perempuan boleh
mengungkapkan rasa takut, tetapi anak laki-laki diharapkan
tidak menyatakan perasaan tersebut, sebaliknya rasa marah dan
perlawanan boleh dinyatakan oleh anak laki-laki. Pengalaman
dengan orangtua, teman-teman, guru-guru mempengaruhi
watak asli kita dan mejadikan kita orang yang unik dalam
mengalami emosi, dalam mengungkapkannya dan dalam
keterbukaan terhadap orang lain.
3) Lingkungan
Mangunhardjana (1986: 13) mengungkapkan bahwa
perkembangan emosi Nampak pada gairah remaja yang
meledak-ledak, munculnya reaksi adaptis, keras kepala dan
perbuatan yang kurang sopan. Dengan adanya keadaan emosi
dari lingkungan terhadap remaja itu sendiri. Lingkungan
(khususnya lingkungan sosial) mempunyai pengaruh cukup
besar bagi perkembangan kepribadian orang. Pencapaian
kematangan emosi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
dimana remaja berada, baik lingkungan sekolah, maupun
masyarakat. Lingkungan yang harmonis akan mendukung
remaja dalam pencapaian kematangan emosi, sebaliknya
lingkungan yang kurang mendukung akan membuat remaja
mengalami kegelisahan, kecemasan, sikap apatis, sehingga sulit
untuk mencapai kematangan.
6. Langkah- langkah Meningkatkan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui berbagai usaha,
langkah-langkah yang ditempuh menurut Gottman dan De Claire
(2003: 102-105) adalah sebagai berikut:
a. Menyadari emosi-emosi remaja
b. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan
mengajar
c. Mendengarkan dengan empatik
d. Menyebutkan nama emosi
e. Membantu menemukan solusi
B. Siswa- Siswi Remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen
Hurlock (1997) berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi
dua bagian yaitu masa remaja awal (dimulai dari usia 13 tahun sampai
dengan 16 atau 17 tahun), dan masa remaja akhir (di mulai dari usia 17
tahun sampai 18 tahun). Sejalan dengan pembagian tahap-tahap masa
remaja seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1997). Siswa-siswi
remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen termasuk
remaja awal yang berumur 13-16 tahun, dan remaja akhir yaitu
berumur 17-18 tahun. Remaja Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia
Bawen memiliki cirri-ciri yang Nampak dalam sikap dan prilakunya.
Ciri-ciri remaja menurut Mangunhardjana (986: 12) adalah sebagai
berikut:
a. Pertumbuhan fisik
b. Perkembangan emosional
c. Perkembangan intelektual
d. Perkembangan sosial
e. perkembangan agama
Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan
manusia yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencoba
gaya hidup baru. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak
ke masa dewasa (Sarwono, 1988: 51). Masa remaja merupakan masa
yang paling penting karena individu harus mempersiapkan diri menjadi
orang tua, dan berani bertanggung jawab sebagai anggota keluarga
(Gunarsa, 1990).
2. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Setiap fase perkembangan manusia, memiliki tugas-tugas
perkembangan yang harus diselesaikan. Hurlock (1994: 10)
mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan remaja meliputi:
a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita. Adanya kemampuan dalam
menjalin relasi membuat remaja maupun bekerjasama dengan
yang lain
b. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita. Ini berarti
bahwa remaja perlu belajar agar mampu memegang tanggung
jawab sebagai pria dan wanita sesuai dengan jenis kelamin.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif, artinya remaja diharapkan mempu mengenal dirinya,
baik kelebihan aupun kekurangan yang dimilikinya,sekaligus
mampu menerima keberadaannya.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab, artinya remaja mampu mengembangkan tugas-tugas
dalam keluarga dan sekaligus dalam masyarakat.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan
orang-orang dewasa lainnya, artinya remaja diharapkan mampu
Kemandirian remaja dapat dilihat dari ketidak tergantungannya
pada orangtua dan orang dewasa lainnya, misalnya dalam
mengambil keputusan. Kemandirian emosional merupakan
salah satu perkembangan remaja.
f. Mempersiapkan karier, artinya remaja sudah mulai mengenal
kemampuan dan keterbatasan dirinya sebagai pribadi dan mulai
memikirkan serta merencanakan kerir yang sesuai bagi dirinya.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga, artinya remaja
belajar untuk mengetahui seluk beluk berkeluarga, memikirkan,
merencanakan masa depan, dan mampu memutuskan pilihan
hidupnya.
h. Memproleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan
untuk berprilaku dalam hidupnya, artinya remaja belajar agar
mampu memilih mana yang penting dan mana yang tidak
penting.
3. Pengertian Panti Asuhan
Panti Asuhan adalah lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai
tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial
kepada anak terlantar serta melaksanakan penyantunan dan
pengentasan anak terlantar melalui pelayanan pengganti atau perwalian
anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak
asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai
sebagai bagian generasi cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut
serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Departemen Sosial
RI, 1995).
C. Bimbingan Pribadi Sosial
Bimbingan mengandung arti bantuan atau pelayanan, artinya
bimbingan itu terjadi karena adanya kesukarelaan dari pembimbing dan
yang dibimbing. (Winkel, 2010: 66) mengatakan bahwa bimbingan adalah
proses membantu orang-orang untuk memahami dirinya dan dunianya.
Senada dengan Prayitno dkk (1997: 23) mendefenisikan bimbingan di
sekolah sebagai bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
menemukan diri pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa
depan.
Rachman Natawidjaja (Winkel, 2010: 67) mengartikan bimbingan
sebagai proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya,
sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai
dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Ini berarti bahwa
bimbingan itu dilaksanakan dalam rentang waktu yang relatif panjang,
tidak hanya sepintas, sewaktu-waktu, tetapi dilakukan secara sistematis,
Bimbingan pribadi-sosial yang diberikan di jenjang pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi sebagian disalurkan melalui bimbingan
kelompok dan sebagian lagi melalui bimbingan individual, serta
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Informasi tentang fase atau tahap perkembangan yang sedang dilalui
oleh siswa remaja dan mahasiswa, antara lain tentang konflik batin
yang timbul dan tentang cara bergaul yang baik. Termasuk di sini apa
yang disebut sex education, yang tidak hanya mencakup penerangan
seksual, tetapi juga corak pergaulan antara jenis kelamin.
2. Penyadaran akan keadaan masyarakat dewasa ini yang semkin
berkembang ke arah masyarakat modern, antara lain ciri- ciri
kehidupan modern, dan apa makna ilmu pengetahuan serta teknologi
bagi kehidupan masyarakat.
3. Pengetahuan diskusi kelompok mengenai kesulitan yang dialami oleh
kebanyakan siswa dan mahasiswa, misalnya menghargai orang tua
yang taraf pendidikannya lebih rendah daripada anak-anaknya.
Khususnya siswa remaja dapat merasa lega bila dia menyadari bahwa
teman-temannya mengalami kesulitan yang sama; dia lalu tidak akan
memandang dirnya sebagai orang abnormal.
4. Pengumpulan data yang relevan untuk mengenal kepribadian siswa,
misalnya sifat kepribadian yang tampak dalam tingkah laku, latar
D. Pelayanan Bimbingan di Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia
Bawen
Pelayanan bimbingan di Panti Asuhan sangat penting untuk
membantu siswa-siswi menjadi pribadi yang lebih dewasa dan dapat
mengatur hidupnya sendiri. Pelayanan bimbingan di panti asuhan perlu
dikembangkan melihat bahwa banyak remaja yang masih
membutuhkan pendampingan dalam tahap perkembangannya. Seorang
pembimbing di panti asuhan dapat memanfaatkan setiap kesempatan
yang ada untuk memberikan layanan bimbingan. Misalnya untuk
mengembangkan kecerdasan emosional setiap individu.
Salah satu cara yang dapat mendukung terciptanya kerukunan,
keharmonisan di panti asuhan adalah bersikap empati. Empati adalah
kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan
dan pikiran orang lain (Stein dan Book, 2002). Orang yang empati
36
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan jenis penelitian, subjek penelitian, instrumen
penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Menurut Furchan
(1982: 447) penelitian deskriptif dirancang untuk memproleh informasi
tentang status gejala saat penelitian dilakukan. Peneliti menggunakan
penelitian deskriptif karena peneliti ingin memproleh gambaran tentang
kecerdasan emosional siswa-siswi remaja Panti Asuhan Pondok Harapan
Diakonia Bawen.
B. Subjek Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian populasi karena semua anggota
menjadi subjek penelitian. Populasi penelitian ini adalah Siswa-siswi SMP
dan SMA Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen. Siswa SMP
berjumlah 18 dan SMA berjumlah 14. Berdasarkan data yang diproleh dari
pengasuh Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen, sebaran
anggota subjek penelitian adalah seperti yang disajikan dalam tabel 1.
Adapun alasan memilih Panti Asuhan Pondok Harapan Diakoni
Bawen sebagai subjek penelitian karena:
1) Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen mempunyai banyak
siswa-siswi remaja, di mana remaja sering menghadapi berbagai
permasalahan yang penyelesiannya membutuhkan kecerdasan
emosional.
2) Hasil dari penelitian ini dapat ditindaklanjuti sebagai acuan
memberikan layanan bimbingan kepada siswa-siswi remaja Panti
Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen.
3) Hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan kualitas dan mutu
pembinaan Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen.
4) Lebih mudah mengurus surat ijin untuk penelitian karena peneliti
sudah pernah KKN di panti asuhan pondok harapan diakonia bawen
C. Alat Pengumpulan Data
1. Jenis alat ukur
Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa
kuesioner kecerdasan emosional. Kuesioner adalah sekumpulan daftar
pertanyaan tertulis yang diberikan pada subjek penelitian. Kuesioner
ini disusun sendiri oleh peneliti. Bentuk kuesioner yang digunakan
yaitu kuesioner tertutup. Kuesioner tertutup adalah kuesioner yang
disusun sedemikian rupa sehingga responden siap memilih jawaban
Adapun alternatif jawaban yang disediakan oleh peneliti yaitu,
selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah. Alternatif jawaban
dibuat hanya empat dengan maksud untuk menghilangkan kelemahan
dalam tingkat tiga (alternatif tengah/ netral).
2. Penentuan skor
Penentuan skor untuk setiap jawaban dari item-item pernyataan
adalah sebagai berikut:
No
Pertanyaan bersifat positif Pertanyaan bersifat negatif Pilihan Skor pilihan Skor
1. Selalu 4 Selalu 1
2. Sering 3 Sering 2
3. Kadang-kadang 2 Kadang-kadang 3
4. Tidak pernah 1 Tidak pernah 4
Siswa diminta untuk memilih satu dari empat alternatif jawaban
yang disediakan peneliti pada setiap pernyataan dengan cara memberi
tanda centang (√) pada kolom alternatif jawaban. Semakin tinggi skor total item yang bersifat favorable, maka semakin tinggi pula kecerdasan
emosional siswa, sebaliknya semakin tinggi skor total item yang
bersifat unfavorable, maka semakin rendah kecerdasan emosional
siswa.
3. Kisi-kisi Kuesioner
Kisi-kisi yang mengungkapkan aspek keserdasan emosional
Tabel 2
Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Kecerdasan Emosional
No
Aspek-a.Mengendalikan emosi sendiri 12, 13 14 3
b.Dapat dipercaya 15, 16 17 3
b.Mampu berempati dan peka terhadap perasaan orang lain 38, 39, 40 37 4
c.Mampu mendengarkan orang lain 43, 44 41, 42 4
5. Membina Hubungan
a.Mampu menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan dengan orang lain 46, 47 45 3
b.Mampu bergaul dengan siapa saja dengan bertenggang rasa 49, 50 48, 51 4
c.Mampu bekerjasama dengan suka menolong 52, 55, 56 53, 54 5
4. Uji coba alat
Sebelum kuesioner digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu
akan diuji cobakan untuk mendapatkan keterangan mengenai
kuesioner tersebut. Pengujian alat ukur dilakukan untuk mengetahui
tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan, sehingga
diperoleh kelayakan sebagai alat ukur dan dapat mengungkapkan hal
yang ingin diteliti.
Disini peneliti menggunakan uji coba terpakai. Adapun alasan
peneliti memakai uji coba terpakai karena keterbatasan waktu,
sehingga peneliti tidak dapat melakukan uji coba. Selain itu peneliti
kesulitan menemukan panti asuhan yang memiliki banyak anak
remaja. Jika melakukan penelitian di panti asuhan yang lain maka
hasilnya akan jauh berbeda karena pola asuh yang mereka terima
berbeda dengan panti asuhan yang lainnya. Uji coba dilaksanakan di
Panti Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen pada hari Senin 9 Juni
2014. Responden adalah semua siswa-siswi remaja yang berjumlah 33
orang.
Peneliti akan terlebih dahulu memberi salam pengantar dan
memberikan penjelasan petunjuk pengisian kuesioner dan setelah itu
peneliti membagikan kuesioner dan juga memberikan kesempatan
kepada responden serta menanyakan hal-hal yang belum jelas. Proses
5. Validitas
Validitas merupakan derajad ketepatan antara data yang terjadi
pada obyek penelitian dengan yang dapat dilaporkan oleh peneliti
(Sugiyono, 2010:363). Menurut Azwar (2009:5) validitas mempunyai
arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen dikatakan valid jika
instrumen yang digunakan dapat mengukur apa yang hendak diukur.
Validitas merupakan dukungan bukti dan teori terhadap penefsiran
skor tes sesuai dengan tujuan penggunaan tes. Oleh karena itu validitas
merupakan fundamen paling dasar dalam mengembangkan dan
mengevaluasi suatu tes. Validitas adalah penafsiran skor tes seperti
yang tercantum pada tujuan penggunaan tes, bukan tes itu sendiri.
Apabila skor tes digunakan ditafsirkan lebih dari satu makna, setiap
penafsiran atau pemaknaan harus valid.
Validitas yang diuji untuk instrumen penelitian ini adalah validitas
isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional dengan cara professional
judgement (Azwar 2011:45). Menurut Ary, Jacobs, dan Razavieh
(2007:296) validitas isi tidak dapat dinyatakan dengan angka namun
pengesahannya berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh ahli
dikonstruksi berdasarkan aspek-aspek yang akan diukur dan
selanjutnya dikonsultasikan pada ahli (dosen pembimbing).
Hasil konsultasi yang dilakukan oleh ahli dilengkapi dengan
pengujian empirik dengan cara mengkorelasikan skor-skor setiap item
instrumen terhadap skor-skor total aspek dengan teknik korelasi
Spearman's rho menggunakan aplikasi program komputer SPSS for
Window. Rumus korelasi Spearman's rhoadalah sebagai berikut :
Keterangan :
Keputusan ditetapkan dengan nilai koefisien validitas yang minimal
sama dengan 0,30 (Azwar, 2007:103). Apabila terdapat item yang
memiliki nilai koefisien dibawah 0,30 maka item tersebut dinyatakan
gugur. Adapun rincian item yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel
Tabel 3
Rincian Item yang Valid dan Gugur
No Aspek Indikator Favorable Unfavorable Item Valid Item Gugur
1. Mengenali
a.Mampu menerima sudut pandang orang lain
a.Mampu menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan dengan orang lain
46, 47 45 46, 47 45
6. Reliabilitas
Reliabilitas artinya adalah tingkat kepercayaan hasil
pengukuran (Azwar, 2007). Pengukuran yang mempunyai reliabilitas
tinggi yaitu yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya,
disebut sebagai reliabel (Azwar, 2007:176). Sukardi (2003: 127)
mengatakan bahwa pengukuran yang menggunakan instrumen
penelitian dikatakan mempunyai nilai reliabilitas yang tinggi, apabila
alat ukur yang dibuat mempunyai hasil yang konsisten dalam
mengukur apa yang hendak diukur.
Perhitungan indeks reliabilitas kuesioner penelitian ini
menggunakan pendekatan koefisien Alpha Cronbach (α). Adapun rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach (α) adalah sebagai
berikut:
α = 2[1- ]
Keterangan rumus :
S12 dan S22 : varians skor belahan 1 dan varians skor belahan 2
Sx2 : varians skor skala
Hasil perhitungan indeks reliabilitas dikonsultasikan dengan
kriteria Guilford (Masidjo, 1995: 209).
Tabel 4 Kriteria Guilford
No Koefisien Korelasi Kualifikasi
1 0,91 – 1,00 Sangat tinggi
2 0,71 – 0,90 Tinggi
3 0,41 – 0,70 Cukup
4 0,21 – 0,40 Rendah
Dari hasil uji coba empirik kepada siswa remaja Panti
Asuhan Pondok Harapan Diakonia Bawen pada tanggal 9 Juni
2014 dengan jumlah subjek 32 siswa, diperoleh perhitungan
koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0.853. Berdasarkan
peninjauan terhadap hasil perhitungan koefisien reliabilitas pada
kriteria Guilford, dapat disimpulkan bahwa koefisien reliabilitas
instrumen masuk dalam kriteria tinggi.
D. Pengumpulan Data
Berikut ini adalah tahap-tahap yang ditempuh dalam pengumpulan
dan analisis data:
1. Menyusun kuesioner kecerdasan emosional
2. Revisi kuesioner yang telah di koreksi oleh Dosen Pembimbing
3. Pengumpulan data penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada siswa SMP dan SMA Panti Asuhan Pondok
Harapan Diakonia Bawen.
4. Analisis data penelitian
E. Teknik Analisis Data
Sugiyono (2011: 207) mengatakan bahwa analisis data merupakan
kegiatan mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden,
mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan
data tiap variabel yang diteliti, serta melakukan perhitungan untuk menjawab
rumusan masalah. Berikut merupakan langkah-langkah teknik analisis data