• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 20032004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 20032004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL

SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI

SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 2003/2004

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK

BIMBINGAN KELOMPOK

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Lucia Martini NIM : 001114008

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .……….. iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v

ABSTRAK ……… vi

ABSTRACT ……….. vii

KATA PENGANTAR ...………... viii

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL ………. xv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi

BAB I: PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Perumusan Masalah ………... 7

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Manfaat Penelitian ………. 8

(3)

BAB II: KAJIAN PUSTAKA ……… 11

A. Hakekat Kecerdasan Emosional ……… 11

1. Pengertian Kecerdasan Emosional ………... 11

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ……….... 14

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 23

B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja ……… 27

1. Ciri-ciri Masa Remaja ……….. 27

2. Tugas Perkembangan Remaja ……….. 34

C. Bimbingan Kelompok ……… 36

D. Pelayanan Bimbingan di Asrama ……….. 39

1. Pengertian Asrama ……… 39

2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya Pengembangan Kecerdasan Emosional ………... 41

3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pelayanan Bimbingan di Asrama ………. 48

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ……… 50

A. Jenis Penelitian ……… 51

B. Subjek Penelitian ………. 51

C. Instrumen Penelitian ……… 52

D. Prosedur Pengumpulan Data ………... 61

1. Tahap Persiapan ……….. 61

(4)

E. Teknik Analisis data ……… 67

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 69

A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……… 69

B. Pembahasan ………. 70

BAB V : USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK DAN CONTOH SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN DI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG SEBAGAI IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ………. 87

A. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang ……… 87

B. Contoh Satuan Pelayanan Bimbingan ………... 93

BAB VI : RINGKASAN, KESIMPULAN, DAN SARAN ……….. 98

A. Ringkasan ………. 98

B. Kesimpulan …...……….. 100

C. Saran ...…...………. 100

DAFTAR PUSTAKA ………... 102

(5)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosiona untuk Penelitian ……. 55 Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item ..……….. 58 Tabel 3: Kisi-kisi Kecerdasan emosional Yang Diuji Cobakan ……….. 64 Tabel 4: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Penghuni

Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 …... 68 Tabel 5: Penggolongan Tingkat kecerdasan Emosional Penghuni

Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……... 69 Tabel 6: Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional

Para Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang

Tahun Ajaran 2003/2004 ……… 70 Tabel 7: Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok Bagi siswi SMA

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Kuesioner Kecerdasan Emosional Siswi SMA

Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang ……… 106

Lampiran 2 : Skor Uji Coba Kuesioner Kecerdasan Emosional ….……… 113 Lampiran 3 : Hasil Perhitungan Taraf Validitas ………. 121

Lampiran 4 : Skor Kecerdasan Emosional Siswi SMA

(7)

ABSTRAK

DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL

SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 2003-2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN

TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

Lucia Martini

Universitas Sanata Dharma, 2004

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripsi dengan survai. Subjek penelitian adalah siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 yang berjumlah 50 orang. Mereka terdiri dari SMA kelas I: 29 orang, kelas II: 21 orang.

Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari buku Emotional Intelligence, yang dikarang oleh Goleman (2002). Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mencakup ke lima aspek kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Jumlah seluruh item ada 90 butir.

Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekwensi dengan pendistribusiannya berdasarkan rumus Penilaian Acuan Patokan tipe I. Tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama Santa Maria Malang digolongkan menjadi 5 yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004: (1) yang memiliki kemampuan mengenali emosi yang: sangat rendah 6%, rendah 30%, cukup 64%, tinggi 0%, dan yang sangat tinggi 0%, (2) yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang sangat rendah 0%, rendah 16%, cukup 60%, tinggi 24%, dan sangat tinggi 0%, (3) yang memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri yang sangat rendah 4%, rendah 24%, cukup 58%, tinggi 14%, sangat tinggi 0%, (4) yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain yang sangat rendah 0%, rendah 2%, cukup 44%, tinggi 26%, dan sangat tinggi 28%, (5) yang memiliki kemampuan membina hubungan yang sangat rendah 2%, rendah 2%, cukup 72%, tinggi 18%, dan sangat tinggi 6%.

(8)

ABSTRACT

THE DESCRIPTION OF THE EMOTIONAL INTELLIGENCE OF THE SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS, THE OCCUPANTS OF THE

GIRL DORMITORY OF SAINT MARY, MALANG, IN THE ACADEMIC YEAR OF 2003/2004 AND THE IMPLICATION

FOR A PROPOSAL OF CLASS GUIDANCE TOPICS

Lucia Martini 2004

The aim of this research was to describe the level of the emotional intelligence of the Senior High School students, the occupants of the Girl Dormitory Sanit Mary, in Malang, ini the academic year of 2003/2004, and the implication for a proposal of slass guidance topics.

This research was a descriptive research applying a survey method. The number of the subjects of this research was 50 students, consisting of 29 firt grade students, and 21 second grade students.

The instrument employed to collect the data was a questionnaire, constructed by the researcher herself, on the basis of the Emotional Intelligence book, written by Goleman (2002). The questionnaire consisted of questions that covered the five aspects of the emotional intelligence, namely: (1) knowing one’s emotions, (2) managing emotions, (3) motivating oneself, (4) recognizing emotions in others, (5) handling relationships.

The data were analyzed by classifying the level of the emotional intelligence of the satudents on the basis of the Norm-Reference Test, type I.

(9)
(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian ini disajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Intelligence quotient adalah istilah populer yang dikenal oleh banyak orang.

Mereka beranggapan bahwa anak dengan kecerdasan intelektual mempunyai

peluang besar untuk sukses. Banyak orang tua mendewakan “NEM” yang tinggi

dan mengandaikan bahwa IQ yang tinggi menjadi penentu sukses dalam

kehidupan. Sekarang kita tidak hanya mengenal IQ (Intelligence Quotient) saja,

tetapi juga telah dikenal istilah EI (Emotional Intelligence). Dewasa ini EI banyak

dibahas dan pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan

John Mayer (Shapiro, 2000: 5). EI dalam bahasa Indonesia adalah kecerdasan

emosional. Sekarang kecerdasan tidak lagi dipandang hanya mencakup kecepatan

berpikir, ketepatan menghitung, melainkan juga pengendalian emosi dan

kemampuan mengendalikan diri dalam hubungan dengan sesama. Mengingat

pentingnya kecerdasan emosional, peneliti berpandangan bahwa pengembangan

kecerdasan emosional sangat perlu bagi remaja baik lewat lembaga pendidikan di

(11)

Dalam buku laporan pelaksanaan bidang karya para Suster Santa Perawan

Maria di Indonesia (1984-1988) disebutkan bahwa sejak awal berdirinya

konggregasi, disadari betapa pentingnya pendidikan dalam suatu asrama.

Pembinaan di asrama merupakan bagian dari medan karya konggregasi para

Suster Santa Perawan Maria yang utama, dan bidang ini ternyata sangat

dibutuhkan oleh masyarakat, karena masyarakat sadar bahwa pembinaan

merupakan kunci perkembangan mental manusia yang mendasari perkembangan

lainnya .

Pengelolaan asrama merupakan salah satu bentuk perwujudan kepedulian

Suster-suster Santa Perawan Maria terhadap generasi muda jaman ini. Hal ini

merupakan realisasi dari Konstitusi yaitu Konstitusi Kongregasi Suster Santa

Perawan Maria (1984, 75 al. 2) yang berbunyi “kita membaktikan diri kepada

kebahagiaan hidup manusia dengan berusaha melaksanakan karya belas kasih

rohani dan jasmani” sesuai dengan tradisi kita terutama berkarya di bidang

pembinaan.

Asrama Santa Maria di Malang adalah salah satu asrama putri yang

menampung siswi Sekolah Menengah Atas. Para remaja penghuni asrama ini

berumur sekitar 15-18 tahun. Mereka berada dalam masa remaja. Menurut

Hurlock (1994: 207) masa remaja adalah masa peralihan. Biasanya orang

mengatakan bahwa masa ini merupakan suatu proses, bukan produk yang sekali

jadi. Karena itu tugas orang tua atau pembimbing adalah membantu remaja

(12)

Sikap dan perilaku remaja diharapkan berkembang seimbang dengan tingkat

perubahan fisiknya. Sejak awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi secara

pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Sebaliknya,

apabila perubahan fisik menurun, perubahan perilaku dan sikap pun menurun.

Remaja berada pada masa peralihan. Karena itu individu yang bersangkutan

bukan lagi anak dan bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti

anak-anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai dengan umurnya,” tetapi kalau

remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, ia seringkali dituduh “terlalu

besar untuk celananya”.

Pada masa kanak-kanak, individu masih merasa aman karena semuanya ada

dalam perlindungan orangtua, namun ketika memasuki masa remaja, individu

mengalami kebingungan, kegelisahan. Remaja mulai meniru perilaku orang

dewasa, misalnya merokok.

Menurut Goleman (1997: 14) generasi sekarang lebih banyak mengalami

kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan

pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih

kompulsif dan agresif. Kecerdasan emosional sangat berpengaruh bagi

perkembangan individu. Menurut konsep Goleman, orang yang memiliki

kecerdasan emosional adalah orang yang matang dalam hal pengaturan kondisi

diri dan emosinya. Lewat penelitian-penelitian para ahli telah ditunjukkan bahwa

ketrampilan emosi dapat membuat siswa bersemangat tinggi dalam belajar,

(13)

sudah memasuki dunia kerja. Peran kecerdasan intelektual atau IQ dalam

keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua setelah kecerdasan

emosional. Menurut penelitian para ahli, IQ hanya menyumbang 20% dari faktor

penentu keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80% adalah faktor-faktor lain

termasuk kecerdasan emosional (Goleman, 1997). Dalam kenyataannya sekarang

ini, dapat dilihat bahwa orang yang ber-IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan

mudah marah, sering kali keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan

hidup karena tidak dapat berkonsentrasi (Suparno, 2004). Menurut Suparno emosi

yang tidak berkembang, tidak terkuasai, sering membuat orang berubah-ubah

dalam menghadapi persoalan dan bersikap terhadap orang lain sehingga banyak

menimbulkan konflik. Di lain pihak ada orang yang IQ-nya tidak tinggi, tetapi

karena ketekunan dan emosinya seimbang, dapat sukses dalam belajar maupun

dalam bekerja.

Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional merupakan sumber daya

sinergis; tanpa yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif.

Kecerdasan intelektual dapat membuat orang berhasil meraih nilai maksimal

tetapi tidak berhasil dalam kehidupan. Hanya kecerdasan emosional yang mampu

memahami pelbagai perasaan secara mendalam, ketika perasaan itu muncul.

Tanpa kemampuan untuk mengenali dan menghargai perasaan, serta bertindak

jujur sesuai dengan perasaan yang bersangkutan tersebut, orang tidak akan

(14)

mudah, dan sering akan terombang-ambing sehingga tidak pernah bersentuhan

dengan perasaannya sendiri.

Orang yang mempunyai kecerdasan emosional, diharapkan mampu

mengungkapkan emosinya secara konstruktif. Sebaliknya, orang yang kecerdasan

emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat merasa gagal, mudah

menyerah jika menghadapi kesukaran.

Mengingat pentingnya kecerdasan emosional remaja khususnya penghuni

asrama, maka perlu ada bimbingan yang dimaksudkan juga untuk

mengembangkan kecerdasan emosional di asrama. Bimbingan dimaksudkan agar

binimbing mampu mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta

mampu menerimanya secara positif sebagai modal pengembangan diri lebih

lanjut. Bagi asrama sendiri, pengembangan kecerdasan emosional merupakan

sesuatu yang baru karena selama ini asrama belum mempunyai program

bimbingan, sehingga dibutuhkan keberanian dan kemauan untuk memulainya

mengingat remaja yang tinggal di asrama adalah generasi penerus bangsa.

Pembimbingan yang dilakukan sungguh-sungguh secara optimal dapat

memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan mereka di masa depan.

Pembimbingan di asrama harus mampu menyentuh aspek-aspek kecerdasan

emosional yang sering kurang diperhatikan dibandingkan aspek kognitif.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi

perkembangan seseorang. Warga asrama biasanya datang dari berbagai latar

(15)

lain-lain. Setiap warga asrama dituntut mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan yang baru, yaitu asrama, di mana mereka tinggal dan hidup bersama.

Hidup bersama tentu tidak mudah; seringkali timbul berbagai permasalahan

dalam hidup bersama di asrama. Keberhasilan menyesuaikan diri dengan

kehidupan di asrama sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam

menjawab atau mengatasi situasi permasalahan yang ada. Warga asrama perlu

memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk memperoleh keberhasilan

dalam kehidupan di asrama.

Salah satu tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1994) ialah

penyesuaian dengan lingkungan. Bagi remaja menyesuaikan diri dengan

lingkungan sering dirasa sulit; untuk dapat mencapai hubungan yang baru dengan

lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional. Berdasarkan pengalaman penulis,

pengembangan bidang kecerdasan emosional di asrama mempunyai peluang yang

lebih besar daripada di sekolah, karena anak-anak tinggal di asrama sehingga

pihak pengelola asrama dapat menyusun program sesuai dengan waktu yang ada;

di sekolah waktu terbatas antara lain karena padatnya kurikulum. Apabila

pengembangan kecerdasan emosional di asrama dapat dilaksanakan dengan baik,

hal ini merupakan sumbangan yang besar bagi kehidupan remaja di masa yang

akan datang. Pihak pengelola asrama hendaknya memiliki topik bimbingan yang

relevan dengan kebutuhan penghuni asrama sehingga program itu dapat sungguh

efektif. Pembimbing dapat memberikan topik-topik pelayanan bimbingan yang

(16)

remaja dan tingkat kecerdasan emosional remaja. Sering dijumpai topik

pembimbingan yang diberikan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan

remaja dan tugas perkembangan remaja sehingga tujuan tidak tercapai.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menyusun materi pelayanan

bimbingan yang sesuai dengan taraf perkembangan, kebutuhan dan permasalahan

yang dialami para remaja penghuni asrama khususnya dalam bidang kecerdasan

emosional. Dengan memberikan topik bimbingan yang relevan, para remaja yang

tinggal di asrama akan dibantu menjadi pribadi yang mampu mengatur hidupnya,

dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, memiliki pandangan sendiri,

memiliki kemandirian, memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri, dan

akhirnya mampu mengambil keputusan secara tepat.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi sangat tertarik dan terdorong

untuk melakukan penelitian mengenai tingkat kecerdasan emosional para

penghuni asrama putri Santa Maria di Malang tahun ajaran 2003/2004 dan

topik-topik bimbingan mana yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan

emosionalnya.

B. Perumusan Masalah

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang, tingkat

masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswi SMA penghuni asrama

(17)

topik-topik bimbingan kelompok dalam bidang kecerdasan emosional. Secara khusus,

pertanyaan yang ingin dijawab adalah :

1. Seberapa tinggikah masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA

penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004?

2. Manakah topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi SMA penghuni asrama

putri Santa Maria Malang untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

1. Mengetahui tingginya masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA

penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004.

2. Dapat menyusun suatu usulan topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi

SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang, untuk mengembangkan

kecerdasan emosionalnya.

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak:

1. Para penghuni asrama putri Santa Maria Malang akan memperoleh informasi

tentang tingkat kecerdasan emosionalnya, dan diharapkan termotivasi untuk

(18)

2. Pendamping asrama putri Santa Maria di Malang dapat memperoleh informasi

yang dapat digunakan dalam mengembangkan kecerdasan emosional para

penghuni asrama .

3. Persatuan Suster Santa Perawan Maria dapat memperoleh masukan yang

berguna untuk pembinaan bidang pengembangan kecerdasan emosional di

asrama-asrama yang ada di lingkup Kongregasi Suster Santa Perawan Maria.

4. Peneliti sendiri memperoleh pengalaman dalam mengungkap tingkat

kecerdasan emosional dan dalam menyusun topik-topik bimbingan tentang

kecerdasan emosional.

E. Definisi Operasional

Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan

dalam penelitian ini:

1. Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas

dan terinci (Depdikbud, 1990: 201).

2. Kecerdasan emosional

Kemampuan mengenali emosi kita sendiri, dan emosi orang lain, kemampuan

memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi serta kemampuan

membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001: 512), seperti yang

(19)

3. Penghuni asrama

Penghuni asrama adalah remaja berumur 15-18 tahun yang tinggal di asrama

putri Santa Maria di Malang pada tahun ajaran 2003/2004.

4. Asrama

Asrama adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi pelajar Sekolah

Menengah Atas, yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

5. Bimbingan

Bimbingan menurut Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) adalah proses

pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan,

supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup

mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan

keadaan keluarga serta masyarakat.

6. Usulan topik-topik bimbingan

Usulan topik-topik bimbingan terbatas pada topik-topik yang tercakup dalam

kecerdasan emosional yang diusulkan untuk digunakan sebagai acuan

pelaksanaan bimbingan kelompok oleh pembimbing di asrama putri Santa

Maria di Malang.

7. Bimbingan kelompok

Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan topik

penelitian yaitu: (1) Hakekat kecerdasan emosional yang meliputi: pengertian

kecerdasan emosional, aspek-aspek kecerdasan emosional, faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional; (2) Penghuni asrama sebagai remaja yang

meliputi: ciri-ciri masa remaja, tugas perkembangan remaja; (3) Pengertian

bimbingan kelompok; (4) Pelayanan bimbingan di asrama meliputi: pengertian

asrama, pentingnya pelayanan bimbingan di asrama khususnya pengembangan

kecerdasan emosional, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan bimbingan di

asrama.

A. Hakekat Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Emotional intelligence atau kecerdasan emosional pertama kali

dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro,

2000: 5). Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada

kemampuan mengenali perasaan kita sendiri, dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan

baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain; mampu

(21)

melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban

stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa

(Goleman, 2001: 512; Goleman, 2002: 45). Senada dengan yang dikatakan

oleh Goleman, Peter Salovey dan Jack Mayer (Stein dan Book, 2002: 30)

menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk

mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu

pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan

secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Sejalan dengan Goleman, Patton (1998: 72-73) memberikan definisi

kecerdasan emosional lebih sederhana. Kecerdasan emosional diartikan

sebagai kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai

tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Salovey

dan Mayer (Shapiro, 2001: 8) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan

memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,

memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing

pikiran dan tindakan.

Cooper dan Sawaf (1998: 15 ) mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan

daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan

pengaruh yang manusiawi. Menurutnya kecerdasan emosional dapat dipelajari

(22)

berapa saja. Dengan kemampuan ini akan didapat pemahaman yang tepat

mengenai pengalaman emosinya serta bagaimana cara mengelola emosi

tersebut.

Sebelum kehadiran konsep kecerdasan emosional, banyak orang

berpegang pada kecerdasan intelektual (IQ) untuk menjelaskan keberhasilan

seseorang. Orang beranggapan bahwa bila IQ seseorang tinggi, maka ia akan

sukses dalam belajarnya dan akhirnya juga sukses dalam kehidupan yang

nyata. Anggapan seperti itu tidak selalu benar. Pada kenyataannya ada banyak

orang yang IQ-nya tinggi, tetapi gagal dalam hidupnya. Ternyata IQ yang

tinggi bukanlah segala-galanya, karena di samping kecerdasan intelektual

(IQ), ada kecerdasan lain yang turut mempengaruhi keberhasilan orang. Orang

yang sukses bukan orang yang cerdas secara IQ, tetapi orang yang secara

emosional cerdas sehingga dapat memperkembangkan kecerdasan-kecerdasan

yang lain (Suparno, 2004).

Shapiro (1997) menekankan konsep kecerdasan emosional sebagai

konsep yang sangat bermakna, meskipun mungkin tidak akan pernah dapat

diukur secara akurat seperti halnya pengukuran IQ. Cooper dan Sawaf (1998)

menganggap bahwa nilai IQ diyakini tidak banyak berubah seumur hidup,

sedangkan kecerdasan emosional dipandang sebagai kecerdasan yang dapat

dipelajari, dapat dikembangkan dan disempurnakan kapan saja dan pada usia

berapa saja. Pendapat ini sejalan dengan teori John Locke yaitu tabularasa,

(23)

belum bertuliskan apa-apa. Akan jadi apa kertas putih tersebut, sangat

tergantung pada proses yang dialami selanjutnya (Sarwono, 1984). Konsep ini

ditekankan pula dalam teori-teori psikologi perkembangan, bahwa proses

belajar akan sangat berpengaruh dalam diri orang dan akan jauh lebih

menentukan dalam proses pembentukan diri dibandingkan dengan faktor

genetika.

Kecerdasan emosional memiliki komponen yang sangat kompleks dan

terkait dengan kemampuan orang dalam menggunakan potensi emosionalnya

dalam kehidupan sehari-hari. Albin (1983) menyatakan bahwa semua manusia

tanpa terkecuali, dianugerahi kemampuan emosional yang unik, sehingga

semua dapat belajar untuk memahami dan menerimanya.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan untuk menyadari dan mengenali

emosi-emosinya sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi

orang lain dan membina hubungan.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional berkembang bersamaan dengan sejarah

manusia itu sendiri (Stein dan Book, 2002). Salovey (Goleman, 2002: 57)

menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dapat

dipelajari. Kecerdasan emosional ini memiliki lima aspek penting yang

(24)

emosional. Kelima wilayah atau aspek kecerdasan emosional tersebut adalah:

(a) mengenali emosi diri; (b) mengelola emosi; (c) memotivasi diri sendiri; (d)

mengenali emosi orang lain; dan (e) membina hubungan. Berikut ini

masing-masing aspek diperjelas.

a. Mengenali emosi sendiri (Self-Awareness)

Kemampuan mengenali emosi merupakan kemampuan mengenali

emosi pada waktu emosi itu muncul, dan mampu memberi nama atau

menyebutkan nama emosi yang bersangkutan. Orang dikatakan berhasil

mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas

emosinya. Mengenali emosi diri merupakan kesadaran orang akan

emosinya. Mengenali emosi merupakan dasar dari kecerdasan emosional.

Para ahli psikologi menggunakan istilah metamood untuk menyebut

kesadaran orang akan perasaannya. Mengenali emosi sewaktu emosi itu

terjadi merupakan inti dari kecerdasan emosional (Goleman, 2002).

Menurut konsep Goleman orang yang memiliki kesadaran diri akan lebih

peka dan cermat menghadapi suasana hati orang lain. Kesadaran emosi

sangat penting untuk memandu pengambilan keputusan, memiliki

kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat (Goleman, 2001: 513).

Menurut Goleman (2000) aspek mengenali emosi sendiri terdiri dari :

1) Kesadaran emosi

Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu :

(25)

b) menyadari keterkaitan antara perasaan, pikiran, perbuatan, dan apa

yang dikatakannya,

c) mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi cara kerjanya,

d) mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk mencapai

nilai-nilai dan tujuannya.

2) Penilaian diri

Orang yang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu:

a) menyadari kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya,

b) memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri,

c) terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima

pandangan yang baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri,

d) mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang dirinya

sendiri dengan perspektif yang luas.

3) Kepercayaan diri

Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki

kecenderungan:

a) berani tampil dengan keyakinan diri,

b) berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban demi

kebenaran,

c) bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati

(26)

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat

terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi merupakan

kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri, yang meliputi

kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan,

atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit

kembali, sedangkan orang yang buruk pengelolaan emosinya akan terus

menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada

hal-hal negatif yang merugikan diri sendiri.

Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan

mengelola emosi memiliki ciri/tanda sebagai berikut:

1) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah,

2) berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas,

3) lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi,

4) berkurangnya larangan masuk sementara dan skors,

5) berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri,

6) perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga,

7) lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa,

8) berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

Wijokongko (1997: 15) mengatakan bahwa ketidakmampuan

mengendalikan emosi bisa membuat orang melakukan banyak perbuatan

(27)

Intinya, bukan menjauhi perasaan yang tidak menyenangkan dengan selalu

bahagia, namun tidak membiarkan perasaan menderita berlangsung secara

tidak terkendali sehingga menghapus semua suasana hati yang

menyenangkan.

Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah, menerima kritik

sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan yang harus diatasi, kurang

memiliki kendali diri, mudah mencemooh atau menghina, bersikap

menutup diri atau sikap bertahan yang pasif, mudah patah semangat

(Goleman (2002: 214-215).

Menurut Goleman (2001) aspek kemampuan mengelola emosi

meliputi:

1) Mengendalikan emosinya sendiri

Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat

mampu:

a) mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan,

b) tetap teguh, bersikap positif, dan tidak goyah sekalipun dalam

situasi yang paling berat,

c) berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam keadaan

tertekan.

2) Dapat dipercaya

Orang yang dapat dipercaya mampu:

(28)

b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,

c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan yang

tidak dapat diterimanya,

d) berpegang kepada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah

menjadi tidak disukai.

c. Kemampuan memotivasi diri sendiri

Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan

semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan

bermanfaat. Dalam hal ini terkandung harapan optimis yang tinggi,

sehingga dirinya memiliki kekuatan dan semangat untuk melakukan

aktivitas tertentu, misalnya belajar, bekerja, menolong orang lain.

Kemampuan memotivasi diri kita perlukan lebih-lebih pada waktu motivasi

kita negatif, yaitu waktu kita patah semangat, kehilangan pandangan ke

masa depan. Tujuannya agar motivasi kita positip dan kita menjadi

bersemangat serta bergairah lagi dalam hidup. Orang yang mampu

memotivasi dirinya akan lebih berhasil dalam kehidupannya dibandingkan

dengan orang yang menunggu orang lain untuk memperhatikan dirinya.

Salah satu ciri dari kemampuan untuk memotivasi diri adalah kepercayaan

diri (Self confidence). Individu yang memiliki motivasi tinggi akan

memiliki self confidence yang tinggi pula. Ciri utama self confidence adalah

sikap optimis dalam menghadapi berbagai tantangan. Orang yang memiliki

(29)

puas terhadap apa yang dihasilkan, melainkan mempunyai kemauan untuk

terus berusaha untuk memperbaiki diri. Kemampuan memotivasi diri

sendiri menurut Goleman (2001) meliputi aspek:

1) Dorongan untuk berprestasi

Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki kemampuan:

a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk

meraihnya,

b) menetapkan tujuan yang manantang dan berani mengambil resiko,

c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi

ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat,

d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi.

2) Memiliki komitmen

Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu:

a) berkorban demi tercapainya tujuan,

b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama

dalam hidupnya,

c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat

untuk mengambil keputusan,

d) mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya.

3) Memiliki inisiatif

Orang yang memiliki inisiatif mampu:

(30)

b) mengejar sasaran lebih daripada yang dipersyaratkan atau

diharapkan,

c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila

perlu, agar tugas dapat dilaksanakan,

d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan

sesuatu yang lebih baik.

4) Optimis

Orang yang memiliki sifat optimis mampu:

a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak

hambatan,

b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak takut

gagal,

c) berani belajar dari kegagalan.

d. Mengenali emosi orang lain

Mengenali emosi orang lain sering disebut empati. Empati adalah

kemampuan menempatkan diri dalam posisi orang lain (Shapiro, 2001:

50). Individu yang empatik adalah individu yang memiliki kemampuan

mengenali emosi orang lain atau menyadari apa yang dirasakan oleh orang

lain, sehingga dapat berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan orang

yang bersangkutan. Orang yang mempunyai empati yang kuat cenderung

tidak begitu agresif dan rela terlibat dalam perbuatan yang lebih

(31)

Remaja yang bersikap empatik lebih disukai oleh teman-teman dan lebih

berhasil baik di sekolah maupun di tempat kerja, dan ia mampu menyadari

perasaan orang lain termasuk perasaan yang terungkap secara nonverbal

misalnya suara, intonasi, atau nada suara. Individu yang empatik mampu

menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan

apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan

mengenali emosi orang lain cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.

2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain.

3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.

e. Membina hubungan/ketrampilan sosial

Membina hubungan merupakan ketrampilan berinteraksi dengan

orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan, dan menempatkan diri

dalam suatu kelompok. Kecakapan ini merupakan ketrampilan yang

menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.

Kemampuan untuk mengungkapkan diri termasuk perasaan merupakan

dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002: 404-405) orang yang memiliki kemampuan

membina hubungan yang tinggi cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai

(32)

1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan

persengketaan,

2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam

hubungan,

3) lebih tegas dan trampil dalam berkomunikasi,

4) lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan teman

sebaya,

5) lebih dibutuhkan oleh teman sebaya,

6) lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa,

7) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok,

8) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong,

9) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ada dua,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu itu

sendiri. Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional orang.

Mula-mula pesan-pesan yang diterima melalui indra, seperti penglihatan,

pendengaran, penciuman, dan lain-lain dicatat oleh bagian struktur otak

(33)

berurusan dengan pengolahan dan penyimpanan data kenangan emosional.

Pesan-pesan itu kemudian masuk dan diolah oleh bagian struktur otak yang

disebut neocortex – bagian struktur otak yang berurusan dengan proses

kegiatan rasional. Karena itu ketika menghadapi sesuatu, terlebih dahulu

orang bereaksi secara emosional, sebelum disadari sepenuhnya oleh rasio.

Kecerdasan emosional tinggi akan membantu untuk menjaga hubungan

komunikasi terbuka antara amygdala dan neocortex. Ini akan membuat

orang mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara empatik,

dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau lingkungan yang

dihadapi (Goleman. 2001: 23-25).

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu dan

mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Gottman dan De Claire,

(2003) berpendapat bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan

emosional adalah:

1) Keluarga

Keluarga merupakan sekolah kita yang pertama untuk

mempelajari emosi. Orang tua merupakan pelatih emosi anak pertama

kali. Orangtua sebagai pelatih emosi, tidak cukup hanya bersikap

hangat dan positip saja, karena sikap demikian belum berarti

mengajarkan kecerdasan emosional, mengingat biasanya orang tua

(34)

mereka. Gottman dan De Claire (2003: 4-5) mengidentifikan 3 tipe

orang tua yang gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada

anak-anak mereka, yaitu:

a) Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan,

menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negatif anak

mereka.

b) Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis terhadap

ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka, dan barang kali

memarahi atau menghukum mereka, karena mengungkapkan

emosinya.

c) Orangtua Laissez-Faire, menerima emosi anak mereka dan

berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan

atau menentukan batas-batas pada tingkah laku anak mereka.

Orangtua sebagai pelatih emosi, seharusnya dapat menerima

kesedihan anaknya, menolong memberi nama emosi itu,

membiarkan mengalami perasaan-perasaannya, dan mendampingi

sewaktu menangis, tidak memarahi apabila anaknya sedih.

Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan yang demokratis

diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan

sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan

masa depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan masa

(35)

tindakan-tindakan masa kini. Menurut Prasetya orangtua yang

demokratis tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, berani

menegur anak bila anak berperilaku buruk. Mereka mengarahkan

perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap,

pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan anak

untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.

2) Pengalaman

Pengalaman-pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi kita

(Albin, 1986: 90). Pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah

pengalaman mengungkapkan emosi, misalnya anak perempuan boleh

mengungkapkan rasa takut, tetapi anak laki-laki diharapkan tidak

menyatakan perasaan itu, sebaliknya rasa marah dan perlawanan boleh

dinyatakan oleh anak laki-laki. Pengalaman dengan orang tua,

teman-teman, guru-guru mempengaruhi watak asli kita dan menjadikan kita

orang yang unik dalam mengalami emosi, dalam mengungkapkannya

dan dalam keterbukaan terhadap orang lain.

3) Lingkungan

Mangunhardjana (1986: 13) mengungkapkan bahwa

perkembangan emosi nampak pada gairah remaja yang meledak-ledak,

munculnya reaksi apatis, keras kepala dan perbuatan yang kurang sopan.

Dengan adanya keadaan emosi remaja yang belum stabil tersebut,

(36)

Lingkungan (khususnya lingkungan sosial) mempunyai pengaruh cukup

besar bagi perkembangan kepribadian orang (Rogers, dalam Hall dkk.,

1993: 138). Pencapaian kematangan emosi sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan di mana remaja berada, baik lingkungan sekolah,

maupun masyarakat. Lingkungan yang harmonis akan mendukung

remaja dalam pencapaian kematangan emosi, sebaliknya lingkungan

yang kurang mendukung akan membuat remaja mengalami kegelisahan,

kecemasan, sikap apatis, sehingga sulit untuk mencapai kematangan.

B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja

1. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia

yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencoba gaya hidup baru.

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Sarwono,

1988: 51). Masa remaja merupakan masa yang sangat penting karena individu

harus mempersiapkan diri menjadi individu yang dewasa, yang tidak lagi

sepenuhnya tergantung pada orang tua, dan berani bertanggung jawab sebagai

anggota keluarga (Gunarsa dan Gunarsa, 1990).

Menurut Monks dkk., (1982: 255) masa remaja secara global berlangsung

antara umur 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal

(umur 12 sampai dengan 15 tahun); masa remaja pertengahan (15 sampai dengan

(37)

berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 2 bagian yaitu masa remaja

awal (dimulai pada usia 13 tahun sampai dengan 16 atau 17 tahun), dan masa

remaja akhir (dimulai pada usia 17 tahun sampai dengan 18 tahun). Blos

(Sarwono, 1988) berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu

tahap remaja awal (early adolescence), tahap remaja madya (middle

adolescence), dan tahap remaja akhir ( late adolescence). Blos tidak

menggolongkannya berdasarkan umur. Batasan usia yang dipakai untuk

menentukan mulai dan berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Biasanya

yang disebut remaja adalah mereka yang berusia 11 tahun sampai dengan 24

tahun dan belum menikah (Sarwono, 1988).

Sejalan dengan pembagian tahap-tahap masa remaja seperti yang

dikemukakan oleh Hurlock (1997), para siswi asrama putri Santa Maria di

Malang termasuk remaja awal yaitu berumur antara 13-16 tahun, dan remaja

akhir yaitu umur 17-18 tahun. Remaja asrama putri Santa Maria di Malang,

memiliki sejumlah ciri-ciri yang nampak dalam sikap dan perilakunya. Kata ciri

mempunyai arti tanda-tanda khas yang membedakan sesuatu dari yang lain

(Depdikbud, 1990: 169). Ciri-ciri remaja menurut Mangunhardjana (1986: 12)

adalah sebagai berikut :

a. Pertumbuhan fisik

Pertumbuhan fisik pada remaja merupakan gejala yang paling nampak,

artinya anak laki-laki makin menampilkan diri sebagai pria dan perempuan

(38)

perkembangan tubuhnya yang tidak ideal, entah karena terlalu besar, entah

karena terlalu kecil. Oleh karena itu pertumbuhan fisik remaja menjadi

masalah; remaja dapat gelisah karena pertumbuhan fisiknya tidak seperti

yang diharapkan, misalnya kaki terlalu panjang, tangan terlalu besar, rambut

sulit diatur dan lain-lain.

b. Perkembangan emosional

Menurut Hurlock (1994) masa remaja dianggap sebagai periode “badai

dan tekanan”, yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai

akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Remaja dapat dikatakan sudah

mencapai kematangan emosi apabila sudah mampu menunggu saat dan

tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya. Hal ini sejalan dengan

pendapat Hurlock (1994:213) yang menyatakan :

(39)

Perkembangan emosional nampak pada semangat mereka yang

meletup-letup, perubahan gejolak hati yang cepat, keras kepala. Remaja

diharapkan mampu menyadari emosinya sehingga mampu pula untuk

mengolah dan mengendalikannya. Pencapaian kematangan emosi sangat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat ia tinggal, baik di lingkungan

keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan yang cukup mendukung

dalam arti lingkungan yang harmonis, di mana ada rasa kekeluargaan, sikap

saling menghargai, sikap saling menghormati, sikap saling mendukung,

kebiasaan berpikir optimis, memungkinkan remaja yang bersangkutan

mencapai kematangan emosionalnya. Lingkungan yang kurang mendukung

menjadikan remaja yang bersangkutan merasa gelisah, cemas, apatis, sepi,

takut, bingung sehingga sulit untuk mencapai kematangan emosionalnya.

Dalam menghadapi ketidaknyamanan secara emosional, kebanyakan

remaja bereaksi negatif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan

dirinya. Reaksi negatif itu tampil dalam tingkah laku salah suai, seperti

perilaku agresif (melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang

mengganggu), melarikan diri dari kenyataan, misalnya melamun,

menyendiri.

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh

gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.

Caranya ialah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadi kepada

(40)

tersebut sangat dipengaruhi oleh rasa aman dalam hubungan dengan orang

lain, tingkat kecocokan dengan orang lain. Hurlock (1990) menyatakan

bahwa orang yang dipercaya remaja adalah sahabat, yaitu orang yang

kepadanya remaja mau mengutarakan pelbagai kesulitannya.

Hartyana (2002) telah melakukan penelitian kecerdasan emosi pada

Siswa Kelas II SMU Kolese De Britto di Yogyakarta. Jenis penelitiannya

adalah penelitian deskritif dengan menggunakan metode survei. Alat

pengumpul datanya adalah skala kecerdasan emosi yang disusun oleh

peneliti sendiri. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 54 orang

mempunyai tingkat kecerdasan emosi tinggi, dan 52 orang mempunyai

tingkat kecerdasan emosi sedang, sedangkan siswa yang mempunyai

kecerdasan emosi rendah tidak ada.

c. Perkembangan intelektual

Remaja telah mampu berpikir secara abstrak, tidak lagi hanya berpikir

secara konkrit. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir abstrak, remaja

dapat merasa tidak puas karena remaja sering mempersalahkan

kejadian-kejadian yang konkrit yang tidak sesuai dengan alam pikirannya sendiri.

Remaja yang seperti itu tidak salah, namun perlu dibantu dan diarahkan

oleh orang tua dan orang dewasa lainnya agar mampu berpikir bijaksana

dalam hidupnya. Perkembangan pikiran remaja sering menimbulkan

(41)

keluarga dan dalam masyarakat setempat. Pertentangan seperti ini muncul

karena sikap kritis yang dimiliki remaja itu sendiri.

d. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial remaja menyangkut perluasan jalinan hubungan

dengan orang lain. Pergaulan remaja tidak lagi terbatas dengan orang-orang

dalam lingkungan keluarga, tetapi meluas ke teman-teman sebaya,

orang-orang di lingkungan tempat tinggal dan masyarakat luas (Mangunhardjana,

1986). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya disebabkan karena remaja lebih

banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebayanya

sebagai kelompok. Karena itu dapat dimengerti apabila pengaruh

teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, panampilan, dan perilaku

lebih besar daripada pengaruh keluarga. Kelompok sebaya sulit ditiadakan

karena para remaja membutuhkan rasa aman dan terlindung yang

diperolehnya dalam lingkungan kelompoknya (Gunarsa dan Gunarsa, 1990:

80). Tidak mengherankan jika sebagian besar waktu luang remaja

dihabiskan bersama-sama teman-teman sebayanya.

e. Perkembangan seksual

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik, remaja juga

mengalami perkembangan seksual. Perkembangan seksual diawali dengan

pemasakan organ-organ seksual. Tanda-tanda perkembangan seksual

meliputi dua hal yaitu tanda-tanda kelamin primer dan tanda-tanda kelamin

(42)

menunjuk pada organ badan yang langsung berhubungan dengan

persetubuhan dan proses reproduksi. Tanda-tanda kelamin sekunder adalah

tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan

persetubuhan dan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang

khas pada wanita dan laki-laki Tanda-tanda kelamin primer pada

perempuan antara lain adalah rahim dan saluran telur, vagina, bibir

kemaluan, klitoris; dan tanda-tanda kelamin primer pada laki-laki antara

lain adalah penis, tes-tes dan skrotum, sedangkan tanda-tanda kelamin

sekunder pada perempuan antara lain adalah melebarnya pinggul dan

adanya penonjolan payudara; sedangkan tanda-tanda kelamin sekunder

pada laki-laki antara lain adalah tumbuhnya kumis, janggut, adanya

perubahan suara, tumbuhnya rambut pada kaki, bahkan kadang-kadang

pada lengan dan juga kadang-kadang pada dada. Perkembangan seksual

laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan pada perempuan adalah

menstruasi. Dalam menghadapi menstruasi dan mimpi basah yang pertama,

remaja itu perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang

tidak selalu bisa dilakukannya dengan mulus, lebih-lebih bila tidak ada

dukungan dari orang tua (Sarwono, 1988: 52).

f. Perkembangan agama (Religius)

Perkembangan agama menyangkut hubungan dengan yang mutlak.

Minat agama pada remaja nampak dengan membahas masalah agama,

(43)

ibadat dan mengikuti berbagai upacara agama. Berkaitan dengan

perkembangan agama remaja, periode ini disebut sebagai periode keraguan

religius artinya remaja mulai meragukan isi religiusitas, seperti ajaran

mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi remaja sendiri

keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama ataupun

mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhannya.

Wagner (Hurlock, 1994) mengatakan :

Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual….ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna-berdasarkan keinginan mereka untuk mendiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Setiap fase perkembangan manusia, memiliki tugas-tugas perkembangan

yang harus diselesaikan. Havighurst (Hurlock, 1994: 9) mendefinisikan tugas

perkembangan sebagai berikut:

(44)

Remaja menghadapi tugas perkembangan sesuai dengan tahap

perkembangannya. Berhasil tidaknya tugas perkembangan pada saat ini akan

mempengaruhi tugas perkembangan berikutnya. Tugas perkembangan muncul

dari kematangan individu, harapan dan tuntutan masyarakat serta apirasi dan

nilai-nilai dari individu itu sendiri. Lambat atau cepat remaja akan sadar bahwa

mereka diharapkan menguasai tugas-tugas tertentu pada berbagai periode

sepanjang hidup mereka. Kesadaran inilah yang akan mempengaruhi sikap dan

perilaku individu yang bersangkutan.

Hurlock (1994: 10) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan

remaja meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik

pria maupun wanita. Hal ini menunjuk pada kemampuan remaja dalam

menjalin relasi dengan teman-teman seusianya, baik pria maupun wanita.

Adanya kemampuan dalam menjalin relasi itu membuat remaja mampu

bekerjasama dengan yang lain.

b. Mencapai peran sosial sebagai pria, atau sebagai wanita. Ini berarti bahwa

remaja perlu belajar agar mampu memegang tanggung jawab sebagai pria dan

wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya remaja wanita sudah mampu

menanak nasi, remaja pria sudah mampu membersihkan kamarnya sendiri.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif,

artinya remaja diharapkan mampu mengenal dirinya, baik kelebihan maupun

(45)

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, artinya

remaja mampu mengemban tugas dalam keluarga dan sekaligus dalam

masyarakat.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya, artinya remaja diharapkan mampu bersikap mandiri dan bertanggung

jawab atas dirinya. Kemandirian remaja di sini dapat dilihat dari

ketidaktergantungannya pada orang tua atau orang dewasa lainnya, misalnya

dalam mengambil keputusan. Kemandirian emosional merupakan salah satu

tugas perkembangan remaja.

f. Mempersiapkan karier, artinya remaja sudah mulai mengenal kemampuan dan

keterbatasan dirinya sebagai pribadi dan mulai memikirkan serta

merencanakan karier yang sesuai bagi dirinya.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga, artinya remaja belajar untuk

mengetahui seluk beluk berkeluarga, memikirkan, merencanakan masa depan,

dan mampu memutuskan pilihan hidupnya.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistim etis sebagai pegangan untuk

berperilaku dalam hidupnya, artinya remaja perlu belajar agar mampu

memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting.

C. Bimbingan Kelompok

Bimbingan mengandung arti bantuan atau pelayanan, artinya bimbingan itu

(46)

Kesukarelaan dari pembimbing bisa diwujudkan dalam sifat dan perilaku yang

tidak memaksakan kehendaknya untuk membimbing individu, melainkan mampu

menciptakan suasana agar individu menyadari bahwa dirinya memerlukan

bimbingan. Kerelaan dari yang dibimbing bisa diwujudkan dengan adanya

keleluasaan dalam menentukan apakah dirinya perlu diberi bimbingan atau tidak,

keleluasaan dalam mengemukakan pikiran dan perasaan, keleluasaan dalam

menentukan pilihan dan lain-lain.

Shertzen dan Stone ( Winkel, 1997: 66) mengatakan bahwa bimbingan adalah

proses membantu orang-orang untuk memahami dirinya dan

dunianya/lingkungan. Senada dengan Shertzen dan Stone, Prayitno dkk., (1997:

23) mendefinisikan bimbingan di sekolah sebagai bantuan yang diberikan kepada

siswa dalam rangka upaya menemukan diri pribadi, mengenal lingkungan dan

merencanakan masa depan.

Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) mengartikan bimbingan sebagai

proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara

berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga

ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan

dan keadaan keluarga serta masyarakat. Ini berarti bahwa bimbingan itu

dilaksanakan dalam rentang waktu yang relatif panjang, tidak hanya sepintas,

sewaktu-waktu, tetapi dilakukan secara sistematis, terencana, dan memiliki

(47)

Winkel (1997: 518) mengemukakan bahwa kegiatan bimbingan dibedakan

menjadi dua yaitu bimbingan individual atau perseorangan dan bimbingan

kelompok/klasikal. Bimbingan individual adalah pelayanan bimbingan yang

diberikan pada satu orang saja. Bimbingan kelompok adalah pelayanan

bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang

bersamaan. Pelayanan bimbingan diberikan kepada semua orang tanpa

memandang umur, jenis kelamin, suku, agama, status sosial ekonomi. Tujuan

pelayanan bimbingan kelompok adalah supaya orang yang dilayani menjadi

mampu mengatur kehidupannya sendiri dan tidak sekedar membebek pendapat

orang lain, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung sendiri efek serta

konsekwensi dari segala tindakannya (Winkel, 1997: 519). Bimbingan kelompok

merupakan sarana untuk menunjang perkembangan optimal masing-masing

individu. Maka bimbingan diberikan oleh orang yang kompeten dalam bidangnya

sehingga dapat membantu individu dalam membuat pilihan, memecahkan

masalah, dan dalam mengadakan penyesuaian.

Pemberian bimbingan kelompok mempunyai manfaat bagi individu yang

dibimbing ( Winkel, 1997: 520) yaitu:

1. Menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi,

2. Lebih rela menerima dirinya sendiri,

3. Lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri bila berada dalam

(48)

4. Lebih bersedia menerima suatu pandangan atau pendapat yang dikemukakan

oleh teman,

5. Tertolong untuk mengatasi suatu masalah yang dirasa sulit untuk dibicarakan.

D. Pelayanan Bimbingan di Asrama

1. Pengertian Asrama

Asrama dapat diartikan sebagai bangunan tempat tinggal bagi kelompok

orang yang bersifat homogen (Depdikbud, 1990: 53). Ada pula orang yang

mengartikan asrama itu sebagai rumah pemondokan atau bisa disamakan tempat

kos. Sebuah asrama biasanya memiliki ciri khas yang berbeda dengan tempat

kos. Biasanya yang disebut asrama ialah sebuah rumah pemondokan yang

besar, dan menerima banyak anak/orang dan sering berhubungan dengan suatu

sekolah atau yayasan tertentu dan memiliki suatu tujuan tertentu pula (Slameto,

1990). Kelompok yang diterima dalam suatu asrama biasanya kelompok tertentu

yang memenuhi persyaratan tertentu pula, misalnya syarat yang berkaitan

dengan jenjang dan jenis pendidikan yang sedang ditempuh, jenis kelamin,

agama. Asrama biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama, seperti tujuan

yang ingin dicapai dalam memasuki asrama yang bersangkutan adalah sama;

para remaja penghuni asrama berasal dari berbagai keluarga, suku, budaya;

penghuni tinggal di asrama dalam jangka waktu tertentu. Di samping

(49)

ingin dicapai tiap-tiap lembaga berbeda-beda sesuai dengan visi dan misinya

masing-masing.

Seorang pembimbing di asrama harus selalu menyadari bahwa meskipun

ada persamaan tujuan, taraf perkembangan, tingkat pendidikan dari penghuni

asrama yang dipimpinnya, tetapi dalam kehidupan bersama di asrama dapat

timbul berbagai masalah yang sangat kompleks. Pembimbing di asrama harus

memahami bahwa setiap penghuni asrama yang dibimbingnya memiliki

keunikan. Kompleksitas kehidupan di asrama dapat disebabkan oleh berbagai

sumber antara lain :

a. Latar belakang kehidupan yang berbeda: ada penghuni yang berasal dari

keluarga yang harmonis dan telah mendapat kasih sayang dan perhatian yang

cukup, ada penghuni yang berasal dari keluarga disharmonis sehingga

kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian, ada penghuni asrama yang

berasal dari keluarga dengan status ekonomi kaya, cukup, sedang, kurang,

dan lain-lain.

b. Kepribadian setiap orang yang berbeda: setiap pribadi mempunyai keunikan

baik sifat, sikap, bakat, minat, kemampuan, hoby, watak, dan perangai.

c. Pandangan hidup yang berbeda: asrama yang menerima penghuni dari

berbagai macam agama, suku, budaya akan berbeda pandangan hidup dan

permasalahan yang dihadapi, apabila dibandingkan dengan asrama yang

(50)

Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi sumber kesulitan yang besar apabila

pembimbing asrama tidak memahaminya dan tidak dapat menjadi pemersatu

bagi semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya jangan menjadi penghambat atau persoalan,

tetapi perbedaan itu hendaknya menjadi sesuatu yang dapat memperkaya setiap

pribadi yang tinggal di asrama dan dapat menjadi lahan yang sangat baik untuk

belajar hidup bersama di masyarakat apabila penghuni asrama mendapat

bimbingan yang tepat dan pembimbing asrama dapat menjadi tempat setiap

penghuni asrama untuk mendapatkan rasa aman, mendapat perhatian, kasih

sayang, dan mendapat bantuan apabila mereka mengalami permasalahan.

Dengan demikian asrama menjadi tempat untuk mengembangkan diri bukan

hanya sekedar tempat untuk hidup bersama.

2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya Pengembangan

Kecerdasan Emosional

Pelayanan bimbingan di asrama sangat penting untuk membantu setiap

penghuni asrama menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mengatur hidupnya

sendiri. Pelayanan bimbingan di asrama perlu dikembangkan mengingat bahwa

yang tinggal di asrama adalah kaum remaja yang masih membutuhkan

pendampingan dalam perkembangannya. Dalam kenyataannya, bimbingan di

sekolah masih mengalami banyak hambatan, antara lain tidak ada alokasi waktu

(51)

dengan jumlah orang yang dibimbing belum seimbang, waktu untuk

memberikan bimbingan pribadi atau wawancara pada jam-jam di sekolah sangat

terbatas.

Pelaksanaan bimbingan di asrama boleh jadi tumpang tindih dengan

pembimbingan yang diberikan di sekolah, tetapi kemungkinan ini dapat

dihindari dengan cara: pembimbing di asrama bekerjasama dengan pembimbing

di sekolah, sehingga apa yang sudah diberikan di sekolah tidak diberikan lagi di

asrama. Pembimbing di asrama dapat memperhatikan program pelayanan

bimbingan di sekolah, sebelum menyusun program, sehingga hal-hal yang

belum tersentuh di sekolah dapat diberikan di asrama. Bisa juga pelayanan

bimbingan di asrama lebih menekankan bidang bimbingan pribadi dan sosial,

karena bidang bimbingan belajar dan karier sudah diberikan di sekolah.

Pembimbingan di asrama dapat melengkapi hal-hal yang belum diberikan di

sekolah.

Kehidupan di asrama dapat dikatakan sebagai “sekolah hidup” bagi setiap

penghuni asrama, karena setiap penghuni asrama dapat belajar hidup bersama

dengan orang lain yang berbeda budaya, suku, agama, ras, kebiasaan, latar

belakang, sifat-sifat, watak dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut

tidak dapat diperoleh lewat teori di sekolah. Semua pembimbingan yang

diberikan itu bertujuan untuk membantu setiap penghuni asrama agar dapat

berkembang menjadi pribadi dewasa yang mampu hidup bersama dengan orang

(52)

dengan sesama. Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi

penghambat atau jurang pemisah satu dengan yang lainnya, tetapi hendaknya

perbedaan tersebut menjadi pemersatu, dan saling menerima masing-masing

perbedaan sehingga dapat menemukan keindahannya dalam hidup bersama,

dapat saling memperkaya.

Seorang pembimbing di asrama dapat memanfaatkan setiap kesempatan

yang ada untuk memberikan layanan bimbingan, misalnya untuk

mengembangkan kecerdasan emosional masing-masing individu diberikan

kesempatan untuk mengungkapkan kemampuan mereka di bidang seni yang

berguna untuk mengekspresikan emosinya.

Salah satu cara yang dapat mendukung terciptanya kerukunan,

keharmonisan dalam asrama adalah sikap empati. Empati adalah kemampuan

untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain

(Stein dan Book, 2002). Orang yang empatik adalah orang yang mampu

membaca sudut pandang dan emosi orang lain. Orang yang demikian akan

peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan perhatiannya pada orang

lain.

Konsep empati memang kedengarannya sederhana, tetapi tidak berarti

mudah dilaksanakan. Sikap empati diharapkan dapat tumbuh dalam diri

masing-masing anggota asrama. Untuk itu perlu ada latihan setiap hari lewat relasi dan

(53)

empati dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional (Gottman dan De

Claire, 2003) yaitu:

a. Menyadari emosi-emosi remaja

Pendamping remaja di asrama sebagai ganti orang tua mereka,

diharapkan mampu menyadari emosi-emosinya dan emosi remaja yang

dibimbingnya. Pendamping yang sadar terhadap emosinya sendiri dapat

menggunakan kepekaan itu untuk menyelaraskan diri dengan emosi remaja.

Menjadi orang yang peka dan sadar secara emosional tidak mudah, karena

sering kali remaja mengungkapkan emosinya secara tidak langsung dan

dengan cara-cara yang membingungkan orang dewasa, misalnya ada remaja

yang marah, kecewa, karena sesuatu hal yang tampak sepele, tetapi remaja

tersebut tidak bisa mengungkapkan perasaannya dan hanya diam atau

melamun.

b. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar

Orangtua kadang mencoba mengabaikan emosi-emosi negatif remaja

dengan harapan agar emosi negatif itu lenyap. Emosi jarang bekerja demikian,

sebaliknya emosi negatif akan lenyap bila remaja dapat membicarakan

emosi-emosi mereka, memberi nama, dan merasa dimengerti. Bagi banyak orangtua,

mengenali emosi remaja mereka, dapat menjadi kesempatan untuk menjalin

(54)

c. Mendengarkan dengan empatik

Mendengarkan dengan empatik merupakan langkah paling penting

dalam proses pelatihan emosi. Mendengarkan jauh lebih penting daripada

mengumpulkan data, karena orang yang mendengarkan dengan empatik

menggunakan matanya untuk mengamati petunjuk fisik emosi-emosi remaja

yang bersangkutan. Orang menggunakan imajinasinya untuk melihat situasi

yang ada dari titik pandang remaja itu, dan merumuskan kembali dengan

menggunakan kata-katanya sendiri. Yang paling penting dalam mendengarkan

dengan empatik adalah menggunakan hati untuk menyadari apa yang sedang

dirasakan oleh individu yang bersangkutan.

d. Menyebutkan nama emosi

Menyebutkan nama emosi merupakan langkah yang mudah dan sangat

penting dalam pelatihan emosi. Remaja dibantu agar dapat memberi nama

emosi mereka sewaktu emosi itu mereka alami. Semakin tepat seorang remaja

mengungkapkan emosi mereka lewat kata-kata, maka akan semakin baik.

Pendamping asrama harus mengusahakan agar dapat membantu remaja

mengidentifikasikan dan mencamkan betul-betul apa yang sedang dirasakan,

misalnya bila mereka sedang marah, bingung, dikhianati, atau cemburu.

Apabila mereka sedih barangkali ia pun merasa sakit hati, ditinggalkan, iri,

(55)

e. Membantu menemukan solusi

Setelah meluangkan waktu untuk mendengarkan remaja, dan

membantunya memberi nama serta memahami emosinya, maka langkah

berikutnya adalah membantu menemukan pemecahan masalah. Prosesnya

adalah: menentukan batas-batas, menentukan sasaran, memikirkan alternatif

pemecahan yang mungkin, mengevaluasi pemecahan yang disarankan

berdasarkan nilai-nilai, menolong remaja memilih satu pemecahan.

Claude Steiner (Nggermanto, 2003) mengusulkan langkah-langkah

pengembangan kecerdasan emosional sebagai berikut:

a. Membuka hati

Membuka hati adalah langkah pertama karena hati adalah simbul pusat

emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita berbahagia, merasakan

kasih sayang, cinta, atau kegembiraan. Sebaliknya hati kita merasa tidak

nyaman ketika sakit, sedih, marah, atau patah hati. Tahap-tahap untuk

membuka hati adalah: latihan memberikan umpan balik kepada orang lain,

meminta umpan balik, menerima atau menolak umpan balik, serta

memberikan umpan balik sendiri.

b. Menjelajahi dataran emosi

Langkah kedua adalah menjelajahi dataran emosi. Setelah orang

mampu membuka hati, maka orang tersebut akan mampu melihat

kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupannya. Orang dapat

Gambar

Tabel 1 Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional untuk Penelitian
Tabel 2
Tabel 3 Kisi-kisi Kuesioner Kecerdasan Emosional Yang Diuji Cobakan
Tabel 4
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengujian menggunakan format MusicXML, program mampu mendeteksi nada A5 yang terlalu tinggi untuk dinyanyikan?. Program akan melakukan penurunan nada dasar menjadi

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa tingkat pengetahuan dan sikap serta dukungan keluarga memiliki hubungan yang secara statistik signifikan dengan partisipasi

Tuna netra pengguna perangkat ini cukup menekan keypad kecil yang terpasang pada tongkat untuk menentukan tujuan pergerakan, selanjutnya sistem kognitif akan menuntun tuna

Klien akan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien atas hal-hal tersebut pada Pasal 28 di atas dan tidak akan melakukan tuntutan dalam bentuk

Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun pertama difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,

Menduplikat halaman ini dimaksudkan untuk membuat halaman yang sama dengan halaman sebelumnya yaitu halaman index, hanya saja isi informasinya yang berbeda.. Gambar

Nilai odds ratio (OR) pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan nelayan/ bertani/berkebun memiliki peluang 3,800 kali lebih besar menderita filariasis dibandingkan

Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah mengontrol temperatur sepanjang Γ w sedemikian hingga temperatur pada batas tersebut sesuai dengan kondisi temperatur yang