DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL
SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI
SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 2003/2004
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK
BIMBINGAN KELOMPOK
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh: Lucia Martini NIM : 001114008
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……….... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .……….. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v
ABSTRAK ……… vi
ABSTRACT ……….. vii
KATA PENGANTAR ...………... viii
DAFTAR ISI ………. xi
DAFTAR TABEL ………. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi
BAB I: PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Perumusan Masalah ………... 7
C. Tujuan Penelitian ………... 8
D. Manfaat Penelitian ………. 8
BAB II: KAJIAN PUSTAKA ……… 11
A. Hakekat Kecerdasan Emosional ……… 11
1. Pengertian Kecerdasan Emosional ………... 11
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ……….... 14
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 23
B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja ……… 27
1. Ciri-ciri Masa Remaja ……….. 27
2. Tugas Perkembangan Remaja ……….. 34
C. Bimbingan Kelompok ……… 36
D. Pelayanan Bimbingan di Asrama ……….. 39
1. Pengertian Asrama ……… 39
2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya Pengembangan Kecerdasan Emosional ………... 41
3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pelayanan Bimbingan di Asrama ………. 48
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ……… 50
A. Jenis Penelitian ……… 51
B. Subjek Penelitian ………. 51
C. Instrumen Penelitian ……… 52
D. Prosedur Pengumpulan Data ………... 61
1. Tahap Persiapan ……….. 61
E. Teknik Analisis data ……… 67
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 69
A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……… 69
B. Pembahasan ………. 70
BAB V : USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK DAN CONTOH SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN DI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG SEBAGAI IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ………. 87
A. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang ……… 87
B. Contoh Satuan Pelayanan Bimbingan ………... 93
BAB VI : RINGKASAN, KESIMPULAN, DAN SARAN ……….. 98
A. Ringkasan ………. 98
B. Kesimpulan …...……….. 100
C. Saran ...…...………. 100
DAFTAR PUSTAKA ………... 102
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 : Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosiona untuk Penelitian ……. 55 Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item ..……….. 58 Tabel 3: Kisi-kisi Kecerdasan emosional Yang Diuji Cobakan ……….. 64 Tabel 4: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Penghuni
Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 …... 68 Tabel 5: Penggolongan Tingkat kecerdasan Emosional Penghuni
Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……... 69 Tabel 6: Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional
Para Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang
Tahun Ajaran 2003/2004 ……… 70 Tabel 7: Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok Bagi siswi SMA
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Kuesioner Kecerdasan Emosional Siswi SMA
Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang ……… 106
Lampiran 2 : Skor Uji Coba Kuesioner Kecerdasan Emosional ….……… 113 Lampiran 3 : Hasil Perhitungan Taraf Validitas ………. 121
Lampiran 4 : Skor Kecerdasan Emosional Siswi SMA
ABSTRAK
DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL
SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 2003-2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN
TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
Lucia Martini
Universitas Sanata Dharma, 2004
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripsi dengan survai. Subjek penelitian adalah siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 yang berjumlah 50 orang. Mereka terdiri dari SMA kelas I: 29 orang, kelas II: 21 orang.
Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari buku Emotional Intelligence, yang dikarang oleh Goleman (2002). Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mencakup ke lima aspek kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Jumlah seluruh item ada 90 butir.
Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekwensi dengan pendistribusiannya berdasarkan rumus Penilaian Acuan Patokan tipe I. Tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama Santa Maria Malang digolongkan menjadi 5 yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004: (1) yang memiliki kemampuan mengenali emosi yang: sangat rendah 6%, rendah 30%, cukup 64%, tinggi 0%, dan yang sangat tinggi 0%, (2) yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang sangat rendah 0%, rendah 16%, cukup 60%, tinggi 24%, dan sangat tinggi 0%, (3) yang memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri yang sangat rendah 4%, rendah 24%, cukup 58%, tinggi 14%, sangat tinggi 0%, (4) yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain yang sangat rendah 0%, rendah 2%, cukup 44%, tinggi 26%, dan sangat tinggi 28%, (5) yang memiliki kemampuan membina hubungan yang sangat rendah 2%, rendah 2%, cukup 72%, tinggi 18%, dan sangat tinggi 6%.
ABSTRACT
THE DESCRIPTION OF THE EMOTIONAL INTELLIGENCE OF THE SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS, THE OCCUPANTS OF THE
GIRL DORMITORY OF SAINT MARY, MALANG, IN THE ACADEMIC YEAR OF 2003/2004 AND THE IMPLICATION
FOR A PROPOSAL OF CLASS GUIDANCE TOPICS
Lucia Martini 2004
The aim of this research was to describe the level of the emotional intelligence of the Senior High School students, the occupants of the Girl Dormitory Sanit Mary, in Malang, ini the academic year of 2003/2004, and the implication for a proposal of slass guidance topics.
This research was a descriptive research applying a survey method. The number of the subjects of this research was 50 students, consisting of 29 firt grade students, and 21 second grade students.
The instrument employed to collect the data was a questionnaire, constructed by the researcher herself, on the basis of the Emotional Intelligence book, written by Goleman (2002). The questionnaire consisted of questions that covered the five aspects of the emotional intelligence, namely: (1) knowing one’s emotions, (2) managing emotions, (3) motivating oneself, (4) recognizing emotions in others, (5) handling relationships.
The data were analyzed by classifying the level of the emotional intelligence of the satudents on the basis of the Norm-Reference Test, type I.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini disajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Intelligence quotient adalah istilah populer yang dikenal oleh banyak orang.
Mereka beranggapan bahwa anak dengan kecerdasan intelektual mempunyai
peluang besar untuk sukses. Banyak orang tua mendewakan “NEM” yang tinggi
dan mengandaikan bahwa IQ yang tinggi menjadi penentu sukses dalam
kehidupan. Sekarang kita tidak hanya mengenal IQ (Intelligence Quotient) saja,
tetapi juga telah dikenal istilah EI (Emotional Intelligence). Dewasa ini EI banyak
dibahas dan pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan
John Mayer (Shapiro, 2000: 5). EI dalam bahasa Indonesia adalah kecerdasan
emosional. Sekarang kecerdasan tidak lagi dipandang hanya mencakup kecepatan
berpikir, ketepatan menghitung, melainkan juga pengendalian emosi dan
kemampuan mengendalikan diri dalam hubungan dengan sesama. Mengingat
pentingnya kecerdasan emosional, peneliti berpandangan bahwa pengembangan
kecerdasan emosional sangat perlu bagi remaja baik lewat lembaga pendidikan di
Dalam buku laporan pelaksanaan bidang karya para Suster Santa Perawan
Maria di Indonesia (1984-1988) disebutkan bahwa sejak awal berdirinya
konggregasi, disadari betapa pentingnya pendidikan dalam suatu asrama.
Pembinaan di asrama merupakan bagian dari medan karya konggregasi para
Suster Santa Perawan Maria yang utama, dan bidang ini ternyata sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, karena masyarakat sadar bahwa pembinaan
merupakan kunci perkembangan mental manusia yang mendasari perkembangan
lainnya .
Pengelolaan asrama merupakan salah satu bentuk perwujudan kepedulian
Suster-suster Santa Perawan Maria terhadap generasi muda jaman ini. Hal ini
merupakan realisasi dari Konstitusi yaitu Konstitusi Kongregasi Suster Santa
Perawan Maria (1984, 75 al. 2) yang berbunyi “kita membaktikan diri kepada
kebahagiaan hidup manusia dengan berusaha melaksanakan karya belas kasih
rohani dan jasmani” sesuai dengan tradisi kita terutama berkarya di bidang
pembinaan.
Asrama Santa Maria di Malang adalah salah satu asrama putri yang
menampung siswi Sekolah Menengah Atas. Para remaja penghuni asrama ini
berumur sekitar 15-18 tahun. Mereka berada dalam masa remaja. Menurut
Hurlock (1994: 207) masa remaja adalah masa peralihan. Biasanya orang
mengatakan bahwa masa ini merupakan suatu proses, bukan produk yang sekali
jadi. Karena itu tugas orang tua atau pembimbing adalah membantu remaja
Sikap dan perilaku remaja diharapkan berkembang seimbang dengan tingkat
perubahan fisiknya. Sejak awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi secara
pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Sebaliknya,
apabila perubahan fisik menurun, perubahan perilaku dan sikap pun menurun.
Remaja berada pada masa peralihan. Karena itu individu yang bersangkutan
bukan lagi anak dan bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti
anak-anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai dengan umurnya,” tetapi kalau
remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, ia seringkali dituduh “terlalu
besar untuk celananya”.
Pada masa kanak-kanak, individu masih merasa aman karena semuanya ada
dalam perlindungan orangtua, namun ketika memasuki masa remaja, individu
mengalami kebingungan, kegelisahan. Remaja mulai meniru perilaku orang
dewasa, misalnya merokok.
Menurut Goleman (1997: 14) generasi sekarang lebih banyak mengalami
kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan
pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih
kompulsif dan agresif. Kecerdasan emosional sangat berpengaruh bagi
perkembangan individu. Menurut konsep Goleman, orang yang memiliki
kecerdasan emosional adalah orang yang matang dalam hal pengaturan kondisi
diri dan emosinya. Lewat penelitian-penelitian para ahli telah ditunjukkan bahwa
ketrampilan emosi dapat membuat siswa bersemangat tinggi dalam belajar,
sudah memasuki dunia kerja. Peran kecerdasan intelektual atau IQ dalam
keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua setelah kecerdasan
emosional. Menurut penelitian para ahli, IQ hanya menyumbang 20% dari faktor
penentu keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80% adalah faktor-faktor lain
termasuk kecerdasan emosional (Goleman, 1997). Dalam kenyataannya sekarang
ini, dapat dilihat bahwa orang yang ber-IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan
mudah marah, sering kali keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan
hidup karena tidak dapat berkonsentrasi (Suparno, 2004). Menurut Suparno emosi
yang tidak berkembang, tidak terkuasai, sering membuat orang berubah-ubah
dalam menghadapi persoalan dan bersikap terhadap orang lain sehingga banyak
menimbulkan konflik. Di lain pihak ada orang yang IQ-nya tidak tinggi, tetapi
karena ketekunan dan emosinya seimbang, dapat sukses dalam belajar maupun
dalam bekerja.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional merupakan sumber daya
sinergis; tanpa yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif.
Kecerdasan intelektual dapat membuat orang berhasil meraih nilai maksimal
tetapi tidak berhasil dalam kehidupan. Hanya kecerdasan emosional yang mampu
memahami pelbagai perasaan secara mendalam, ketika perasaan itu muncul.
Tanpa kemampuan untuk mengenali dan menghargai perasaan, serta bertindak
jujur sesuai dengan perasaan yang bersangkutan tersebut, orang tidak akan
mudah, dan sering akan terombang-ambing sehingga tidak pernah bersentuhan
dengan perasaannya sendiri.
Orang yang mempunyai kecerdasan emosional, diharapkan mampu
mengungkapkan emosinya secara konstruktif. Sebaliknya, orang yang kecerdasan
emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat merasa gagal, mudah
menyerah jika menghadapi kesukaran.
Mengingat pentingnya kecerdasan emosional remaja khususnya penghuni
asrama, maka perlu ada bimbingan yang dimaksudkan juga untuk
mengembangkan kecerdasan emosional di asrama. Bimbingan dimaksudkan agar
binimbing mampu mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta
mampu menerimanya secara positif sebagai modal pengembangan diri lebih
lanjut. Bagi asrama sendiri, pengembangan kecerdasan emosional merupakan
sesuatu yang baru karena selama ini asrama belum mempunyai program
bimbingan, sehingga dibutuhkan keberanian dan kemauan untuk memulainya
mengingat remaja yang tinggal di asrama adalah generasi penerus bangsa.
Pembimbingan yang dilakukan sungguh-sungguh secara optimal dapat
memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan mereka di masa depan.
Pembimbingan di asrama harus mampu menyentuh aspek-aspek kecerdasan
emosional yang sering kurang diperhatikan dibandingkan aspek kognitif.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi
perkembangan seseorang. Warga asrama biasanya datang dari berbagai latar
lain-lain. Setiap warga asrama dituntut mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru, yaitu asrama, di mana mereka tinggal dan hidup bersama.
Hidup bersama tentu tidak mudah; seringkali timbul berbagai permasalahan
dalam hidup bersama di asrama. Keberhasilan menyesuaikan diri dengan
kehidupan di asrama sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam
menjawab atau mengatasi situasi permasalahan yang ada. Warga asrama perlu
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk memperoleh keberhasilan
dalam kehidupan di asrama.
Salah satu tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1994) ialah
penyesuaian dengan lingkungan. Bagi remaja menyesuaikan diri dengan
lingkungan sering dirasa sulit; untuk dapat mencapai hubungan yang baru dengan
lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional. Berdasarkan pengalaman penulis,
pengembangan bidang kecerdasan emosional di asrama mempunyai peluang yang
lebih besar daripada di sekolah, karena anak-anak tinggal di asrama sehingga
pihak pengelola asrama dapat menyusun program sesuai dengan waktu yang ada;
di sekolah waktu terbatas antara lain karena padatnya kurikulum. Apabila
pengembangan kecerdasan emosional di asrama dapat dilaksanakan dengan baik,
hal ini merupakan sumbangan yang besar bagi kehidupan remaja di masa yang
akan datang. Pihak pengelola asrama hendaknya memiliki topik bimbingan yang
relevan dengan kebutuhan penghuni asrama sehingga program itu dapat sungguh
efektif. Pembimbing dapat memberikan topik-topik pelayanan bimbingan yang
remaja dan tingkat kecerdasan emosional remaja. Sering dijumpai topik
pembimbingan yang diberikan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan
remaja dan tugas perkembangan remaja sehingga tujuan tidak tercapai.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menyusun materi pelayanan
bimbingan yang sesuai dengan taraf perkembangan, kebutuhan dan permasalahan
yang dialami para remaja penghuni asrama khususnya dalam bidang kecerdasan
emosional. Dengan memberikan topik bimbingan yang relevan, para remaja yang
tinggal di asrama akan dibantu menjadi pribadi yang mampu mengatur hidupnya,
dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, memiliki pandangan sendiri,
memiliki kemandirian, memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
akhirnya mampu mengambil keputusan secara tepat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi sangat tertarik dan terdorong
untuk melakukan penelitian mengenai tingkat kecerdasan emosional para
penghuni asrama putri Santa Maria di Malang tahun ajaran 2003/2004 dan
topik-topik bimbingan mana yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan
emosionalnya.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang, tingkat
masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswi SMA penghuni asrama
topik-topik bimbingan kelompok dalam bidang kecerdasan emosional. Secara khusus,
pertanyaan yang ingin dijawab adalah :
1. Seberapa tinggikah masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA
penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004?
2. Manakah topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi SMA penghuni asrama
putri Santa Maria Malang untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mengetahui tingginya masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA
penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004.
2. Dapat menyusun suatu usulan topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi
SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang, untuk mengembangkan
kecerdasan emosionalnya.
D. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak:
1. Para penghuni asrama putri Santa Maria Malang akan memperoleh informasi
tentang tingkat kecerdasan emosionalnya, dan diharapkan termotivasi untuk
2. Pendamping asrama putri Santa Maria di Malang dapat memperoleh informasi
yang dapat digunakan dalam mengembangkan kecerdasan emosional para
penghuni asrama .
3. Persatuan Suster Santa Perawan Maria dapat memperoleh masukan yang
berguna untuk pembinaan bidang pengembangan kecerdasan emosional di
asrama-asrama yang ada di lingkup Kongregasi Suster Santa Perawan Maria.
4. Peneliti sendiri memperoleh pengalaman dalam mengungkap tingkat
kecerdasan emosional dan dalam menyusun topik-topik bimbingan tentang
kecerdasan emosional.
E. Definisi Operasional
Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini:
1. Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas
dan terinci (Depdikbud, 1990: 201).
2. Kecerdasan emosional
Kemampuan mengenali emosi kita sendiri, dan emosi orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi serta kemampuan
membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001: 512), seperti yang
3. Penghuni asrama
Penghuni asrama adalah remaja berumur 15-18 tahun yang tinggal di asrama
putri Santa Maria di Malang pada tahun ajaran 2003/2004.
4. Asrama
Asrama adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi pelajar Sekolah
Menengah Atas, yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
5. Bimbingan
Bimbingan menurut Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) adalah proses
pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan,
supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup
mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan
keadaan keluarga serta masyarakat.
6. Usulan topik-topik bimbingan
Usulan topik-topik bimbingan terbatas pada topik-topik yang tercakup dalam
kecerdasan emosional yang diusulkan untuk digunakan sebagai acuan
pelaksanaan bimbingan kelompok oleh pembimbing di asrama putri Santa
Maria di Malang.
7. Bimbingan kelompok
Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan topik
penelitian yaitu: (1) Hakekat kecerdasan emosional yang meliputi: pengertian
kecerdasan emosional, aspek-aspek kecerdasan emosional, faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional; (2) Penghuni asrama sebagai remaja yang
meliputi: ciri-ciri masa remaja, tugas perkembangan remaja; (3) Pengertian
bimbingan kelompok; (4) Pelayanan bimbingan di asrama meliputi: pengertian
asrama, pentingnya pelayanan bimbingan di asrama khususnya pengembangan
kecerdasan emosional, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan bimbingan di
asrama.
A. Hakekat Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Emotional intelligence atau kecerdasan emosional pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro,
2000: 5). Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri, dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain; mampu
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa
(Goleman, 2001: 512; Goleman, 2002: 45). Senada dengan yang dikatakan
oleh Goleman, Peter Salovey dan Jack Mayer (Stein dan Book, 2002: 30)
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu
pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Sejalan dengan Goleman, Patton (1998: 72-73) memberikan definisi
kecerdasan emosional lebih sederhana. Kecerdasan emosional diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai
tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Salovey
dan Mayer (Shapiro, 2001: 8) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan.
Cooper dan Sawaf (1998: 15 ) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi. Menurutnya kecerdasan emosional dapat dipelajari
berapa saja. Dengan kemampuan ini akan didapat pemahaman yang tepat
mengenai pengalaman emosinya serta bagaimana cara mengelola emosi
tersebut.
Sebelum kehadiran konsep kecerdasan emosional, banyak orang
berpegang pada kecerdasan intelektual (IQ) untuk menjelaskan keberhasilan
seseorang. Orang beranggapan bahwa bila IQ seseorang tinggi, maka ia akan
sukses dalam belajarnya dan akhirnya juga sukses dalam kehidupan yang
nyata. Anggapan seperti itu tidak selalu benar. Pada kenyataannya ada banyak
orang yang IQ-nya tinggi, tetapi gagal dalam hidupnya. Ternyata IQ yang
tinggi bukanlah segala-galanya, karena di samping kecerdasan intelektual
(IQ), ada kecerdasan lain yang turut mempengaruhi keberhasilan orang. Orang
yang sukses bukan orang yang cerdas secara IQ, tetapi orang yang secara
emosional cerdas sehingga dapat memperkembangkan kecerdasan-kecerdasan
yang lain (Suparno, 2004).
Shapiro (1997) menekankan konsep kecerdasan emosional sebagai
konsep yang sangat bermakna, meskipun mungkin tidak akan pernah dapat
diukur secara akurat seperti halnya pengukuran IQ. Cooper dan Sawaf (1998)
menganggap bahwa nilai IQ diyakini tidak banyak berubah seumur hidup,
sedangkan kecerdasan emosional dipandang sebagai kecerdasan yang dapat
dipelajari, dapat dikembangkan dan disempurnakan kapan saja dan pada usia
berapa saja. Pendapat ini sejalan dengan teori John Locke yaitu tabularasa,
belum bertuliskan apa-apa. Akan jadi apa kertas putih tersebut, sangat
tergantung pada proses yang dialami selanjutnya (Sarwono, 1984). Konsep ini
ditekankan pula dalam teori-teori psikologi perkembangan, bahwa proses
belajar akan sangat berpengaruh dalam diri orang dan akan jauh lebih
menentukan dalam proses pembentukan diri dibandingkan dengan faktor
genetika.
Kecerdasan emosional memiliki komponen yang sangat kompleks dan
terkait dengan kemampuan orang dalam menggunakan potensi emosionalnya
dalam kehidupan sehari-hari. Albin (1983) menyatakan bahwa semua manusia
tanpa terkecuali, dianugerahi kemampuan emosional yang unik, sehingga
semua dapat belajar untuk memahami dan menerimanya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk menyadari dan mengenali
emosi-emosinya sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain dan membina hubungan.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional berkembang bersamaan dengan sejarah
manusia itu sendiri (Stein dan Book, 2002). Salovey (Goleman, 2002: 57)
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dapat
dipelajari. Kecerdasan emosional ini memiliki lima aspek penting yang
emosional. Kelima wilayah atau aspek kecerdasan emosional tersebut adalah:
(a) mengenali emosi diri; (b) mengelola emosi; (c) memotivasi diri sendiri; (d)
mengenali emosi orang lain; dan (e) membina hubungan. Berikut ini
masing-masing aspek diperjelas.
a. Mengenali emosi sendiri (Self-Awareness)
Kemampuan mengenali emosi merupakan kemampuan mengenali
emosi pada waktu emosi itu muncul, dan mampu memberi nama atau
menyebutkan nama emosi yang bersangkutan. Orang dikatakan berhasil
mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas
emosinya. Mengenali emosi diri merupakan kesadaran orang akan
emosinya. Mengenali emosi merupakan dasar dari kecerdasan emosional.
Para ahli psikologi menggunakan istilah metamood untuk menyebut
kesadaran orang akan perasaannya. Mengenali emosi sewaktu emosi itu
terjadi merupakan inti dari kecerdasan emosional (Goleman, 2002).
Menurut konsep Goleman orang yang memiliki kesadaran diri akan lebih
peka dan cermat menghadapi suasana hati orang lain. Kesadaran emosi
sangat penting untuk memandu pengambilan keputusan, memiliki
kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat (Goleman, 2001: 513).
Menurut Goleman (2000) aspek mengenali emosi sendiri terdiri dari :
1) Kesadaran emosi
Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu :
b) menyadari keterkaitan antara perasaan, pikiran, perbuatan, dan apa
yang dikatakannya,
c) mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi cara kerjanya,
d) mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk mencapai
nilai-nilai dan tujuannya.
2) Penilaian diri
Orang yang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu:
a) menyadari kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya,
b) memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri,
c) terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima
pandangan yang baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri,
d) mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang dirinya
sendiri dengan perspektif yang luas.
3) Kepercayaan diri
Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki
kecenderungan:
a) berani tampil dengan keyakinan diri,
b) berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban demi
kebenaran,
c) bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi merupakan
kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri, yang meliputi
kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan,
atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit
kembali, sedangkan orang yang buruk pengelolaan emosinya akan terus
menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada
hal-hal negatif yang merugikan diri sendiri.
Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan
mengelola emosi memiliki ciri/tanda sebagai berikut:
1) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah,
2) berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas,
3) lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi,
4) berkurangnya larangan masuk sementara dan skors,
5) berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri,
6) perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga,
7) lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa,
8) berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
Wijokongko (1997: 15) mengatakan bahwa ketidakmampuan
mengendalikan emosi bisa membuat orang melakukan banyak perbuatan
Intinya, bukan menjauhi perasaan yang tidak menyenangkan dengan selalu
bahagia, namun tidak membiarkan perasaan menderita berlangsung secara
tidak terkendali sehingga menghapus semua suasana hati yang
menyenangkan.
Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah, menerima kritik
sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan yang harus diatasi, kurang
memiliki kendali diri, mudah mencemooh atau menghina, bersikap
menutup diri atau sikap bertahan yang pasif, mudah patah semangat
(Goleman (2002: 214-215).
Menurut Goleman (2001) aspek kemampuan mengelola emosi
meliputi:
1) Mengendalikan emosinya sendiri
Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat
mampu:
a) mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan,
b) tetap teguh, bersikap positif, dan tidak goyah sekalipun dalam
situasi yang paling berat,
c) berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam keadaan
tertekan.
2) Dapat dipercaya
Orang yang dapat dipercaya mampu:
b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,
c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan yang
tidak dapat diterimanya,
d) berpegang kepada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah
menjadi tidak disukai.
c. Kemampuan memotivasi diri sendiri
Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan
semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan
bermanfaat. Dalam hal ini terkandung harapan optimis yang tinggi,
sehingga dirinya memiliki kekuatan dan semangat untuk melakukan
aktivitas tertentu, misalnya belajar, bekerja, menolong orang lain.
Kemampuan memotivasi diri kita perlukan lebih-lebih pada waktu motivasi
kita negatif, yaitu waktu kita patah semangat, kehilangan pandangan ke
masa depan. Tujuannya agar motivasi kita positip dan kita menjadi
bersemangat serta bergairah lagi dalam hidup. Orang yang mampu
memotivasi dirinya akan lebih berhasil dalam kehidupannya dibandingkan
dengan orang yang menunggu orang lain untuk memperhatikan dirinya.
Salah satu ciri dari kemampuan untuk memotivasi diri adalah kepercayaan
diri (Self confidence). Individu yang memiliki motivasi tinggi akan
memiliki self confidence yang tinggi pula. Ciri utama self confidence adalah
sikap optimis dalam menghadapi berbagai tantangan. Orang yang memiliki
puas terhadap apa yang dihasilkan, melainkan mempunyai kemauan untuk
terus berusaha untuk memperbaiki diri. Kemampuan memotivasi diri
sendiri menurut Goleman (2001) meliputi aspek:
1) Dorongan untuk berprestasi
Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki kemampuan:
a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk
meraihnya,
b) menetapkan tujuan yang manantang dan berani mengambil resiko,
c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat,
d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi.
2) Memiliki komitmen
Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu:
a) berkorban demi tercapainya tujuan,
b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama
dalam hidupnya,
c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat
untuk mengambil keputusan,
d) mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya.
3) Memiliki inisiatif
Orang yang memiliki inisiatif mampu:
b) mengejar sasaran lebih daripada yang dipersyaratkan atau
diharapkan,
c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila
perlu, agar tugas dapat dilaksanakan,
d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan
sesuatu yang lebih baik.
4) Optimis
Orang yang memiliki sifat optimis mampu:
a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak
hambatan,
b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak takut
gagal,
c) berani belajar dari kegagalan.
d. Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain sering disebut empati. Empati adalah
kemampuan menempatkan diri dalam posisi orang lain (Shapiro, 2001:
50). Individu yang empatik adalah individu yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain atau menyadari apa yang dirasakan oleh orang
lain, sehingga dapat berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan orang
yang bersangkutan. Orang yang mempunyai empati yang kuat cenderung
tidak begitu agresif dan rela terlibat dalam perbuatan yang lebih
Remaja yang bersikap empatik lebih disukai oleh teman-teman dan lebih
berhasil baik di sekolah maupun di tempat kerja, dan ia mampu menyadari
perasaan orang lain termasuk perasaan yang terungkap secara nonverbal
misalnya suara, intonasi, atau nada suara. Individu yang empatik mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain.
3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
e. Membina hubungan/ketrampilan sosial
Membina hubungan merupakan ketrampilan berinteraksi dengan
orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan, dan menempatkan diri
dalam suatu kelompok. Kecakapan ini merupakan ketrampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.
Kemampuan untuk mengungkapkan diri termasuk perasaan merupakan
dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002: 404-405) orang yang memiliki kemampuan
membina hubungan yang tinggi cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai
1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan,
2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam
hubungan,
3) lebih tegas dan trampil dalam berkomunikasi,
4) lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan teman
sebaya,
5) lebih dibutuhkan oleh teman sebaya,
6) lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa,
7) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok,
8) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong,
9) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ada dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu itu
sendiri. Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional orang.
Mula-mula pesan-pesan yang diterima melalui indra, seperti penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan lain-lain dicatat oleh bagian struktur otak
berurusan dengan pengolahan dan penyimpanan data kenangan emosional.
Pesan-pesan itu kemudian masuk dan diolah oleh bagian struktur otak yang
disebut neocortex – bagian struktur otak yang berurusan dengan proses
kegiatan rasional. Karena itu ketika menghadapi sesuatu, terlebih dahulu
orang bereaksi secara emosional, sebelum disadari sepenuhnya oleh rasio.
Kecerdasan emosional tinggi akan membantu untuk menjaga hubungan
komunikasi terbuka antara amygdala dan neocortex. Ini akan membuat
orang mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara empatik,
dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau lingkungan yang
dihadapi (Goleman. 2001: 23-25).
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu dan
mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Gottman dan De Claire,
(2003) berpendapat bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan
emosional adalah:
1) Keluarga
Keluarga merupakan sekolah kita yang pertama untuk
mempelajari emosi. Orang tua merupakan pelatih emosi anak pertama
kali. Orangtua sebagai pelatih emosi, tidak cukup hanya bersikap
hangat dan positip saja, karena sikap demikian belum berarti
mengajarkan kecerdasan emosional, mengingat biasanya orang tua
mereka. Gottman dan De Claire (2003: 4-5) mengidentifikan 3 tipe
orang tua yang gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada
anak-anak mereka, yaitu:
a) Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan,
menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negatif anak
mereka.
b) Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis terhadap
ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka, dan barang kali
memarahi atau menghukum mereka, karena mengungkapkan
emosinya.
c) Orangtua Laissez-Faire, menerima emosi anak mereka dan
berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan
atau menentukan batas-batas pada tingkah laku anak mereka.
Orangtua sebagai pelatih emosi, seharusnya dapat menerima
kesedihan anaknya, menolong memberi nama emosi itu,
membiarkan mengalami perasaan-perasaannya, dan mendampingi
sewaktu menangis, tidak memarahi apabila anaknya sedih.
Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan yang demokratis
diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan
sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan
masa depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan masa
tindakan-tindakan masa kini. Menurut Prasetya orangtua yang
demokratis tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, berani
menegur anak bila anak berperilaku buruk. Mereka mengarahkan
perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap,
pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan anak
untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.
2) Pengalaman
Pengalaman-pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi kita
(Albin, 1986: 90). Pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah
pengalaman mengungkapkan emosi, misalnya anak perempuan boleh
mengungkapkan rasa takut, tetapi anak laki-laki diharapkan tidak
menyatakan perasaan itu, sebaliknya rasa marah dan perlawanan boleh
dinyatakan oleh anak laki-laki. Pengalaman dengan orang tua,
teman-teman, guru-guru mempengaruhi watak asli kita dan menjadikan kita
orang yang unik dalam mengalami emosi, dalam mengungkapkannya
dan dalam keterbukaan terhadap orang lain.
3) Lingkungan
Mangunhardjana (1986: 13) mengungkapkan bahwa
perkembangan emosi nampak pada gairah remaja yang meledak-ledak,
munculnya reaksi apatis, keras kepala dan perbuatan yang kurang sopan.
Dengan adanya keadaan emosi remaja yang belum stabil tersebut,
Lingkungan (khususnya lingkungan sosial) mempunyai pengaruh cukup
besar bagi perkembangan kepribadian orang (Rogers, dalam Hall dkk.,
1993: 138). Pencapaian kematangan emosi sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan di mana remaja berada, baik lingkungan sekolah,
maupun masyarakat. Lingkungan yang harmonis akan mendukung
remaja dalam pencapaian kematangan emosi, sebaliknya lingkungan
yang kurang mendukung akan membuat remaja mengalami kegelisahan,
kecemasan, sikap apatis, sehingga sulit untuk mencapai kematangan.
B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja
1. Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia
yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencoba gaya hidup baru.
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Sarwono,
1988: 51). Masa remaja merupakan masa yang sangat penting karena individu
harus mempersiapkan diri menjadi individu yang dewasa, yang tidak lagi
sepenuhnya tergantung pada orang tua, dan berani bertanggung jawab sebagai
anggota keluarga (Gunarsa dan Gunarsa, 1990).
Menurut Monks dkk., (1982: 255) masa remaja secara global berlangsung
antara umur 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal
(umur 12 sampai dengan 15 tahun); masa remaja pertengahan (15 sampai dengan
berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 2 bagian yaitu masa remaja
awal (dimulai pada usia 13 tahun sampai dengan 16 atau 17 tahun), dan masa
remaja akhir (dimulai pada usia 17 tahun sampai dengan 18 tahun). Blos
(Sarwono, 1988) berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu
tahap remaja awal (early adolescence), tahap remaja madya (middle
adolescence), dan tahap remaja akhir ( late adolescence). Blos tidak
menggolongkannya berdasarkan umur. Batasan usia yang dipakai untuk
menentukan mulai dan berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Biasanya
yang disebut remaja adalah mereka yang berusia 11 tahun sampai dengan 24
tahun dan belum menikah (Sarwono, 1988).
Sejalan dengan pembagian tahap-tahap masa remaja seperti yang
dikemukakan oleh Hurlock (1997), para siswi asrama putri Santa Maria di
Malang termasuk remaja awal yaitu berumur antara 13-16 tahun, dan remaja
akhir yaitu umur 17-18 tahun. Remaja asrama putri Santa Maria di Malang,
memiliki sejumlah ciri-ciri yang nampak dalam sikap dan perilakunya. Kata ciri
mempunyai arti tanda-tanda khas yang membedakan sesuatu dari yang lain
(Depdikbud, 1990: 169). Ciri-ciri remaja menurut Mangunhardjana (1986: 12)
adalah sebagai berikut :
a. Pertumbuhan fisik
Pertumbuhan fisik pada remaja merupakan gejala yang paling nampak,
artinya anak laki-laki makin menampilkan diri sebagai pria dan perempuan
perkembangan tubuhnya yang tidak ideal, entah karena terlalu besar, entah
karena terlalu kecil. Oleh karena itu pertumbuhan fisik remaja menjadi
masalah; remaja dapat gelisah karena pertumbuhan fisiknya tidak seperti
yang diharapkan, misalnya kaki terlalu panjang, tangan terlalu besar, rambut
sulit diatur dan lain-lain.
b. Perkembangan emosional
Menurut Hurlock (1994) masa remaja dianggap sebagai periode “badai
dan tekanan”, yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Remaja dapat dikatakan sudah
mencapai kematangan emosi apabila sudah mampu menunggu saat dan
tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Hurlock (1994:213) yang menyatakan :
Perkembangan emosional nampak pada semangat mereka yang
meletup-letup, perubahan gejolak hati yang cepat, keras kepala. Remaja
diharapkan mampu menyadari emosinya sehingga mampu pula untuk
mengolah dan mengendalikannya. Pencapaian kematangan emosi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat ia tinggal, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan yang cukup mendukung
dalam arti lingkungan yang harmonis, di mana ada rasa kekeluargaan, sikap
saling menghargai, sikap saling menghormati, sikap saling mendukung,
kebiasaan berpikir optimis, memungkinkan remaja yang bersangkutan
mencapai kematangan emosionalnya. Lingkungan yang kurang mendukung
menjadikan remaja yang bersangkutan merasa gelisah, cemas, apatis, sepi,
takut, bingung sehingga sulit untuk mencapai kematangan emosionalnya.
Dalam menghadapi ketidaknyamanan secara emosional, kebanyakan
remaja bereaksi negatif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan
dirinya. Reaksi negatif itu tampil dalam tingkah laku salah suai, seperti
perilaku agresif (melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang
mengganggu), melarikan diri dari kenyataan, misalnya melamun,
menyendiri.
Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh
gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.
Caranya ialah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadi kepada
tersebut sangat dipengaruhi oleh rasa aman dalam hubungan dengan orang
lain, tingkat kecocokan dengan orang lain. Hurlock (1990) menyatakan
bahwa orang yang dipercaya remaja adalah sahabat, yaitu orang yang
kepadanya remaja mau mengutarakan pelbagai kesulitannya.
Hartyana (2002) telah melakukan penelitian kecerdasan emosi pada
Siswa Kelas II SMU Kolese De Britto di Yogyakarta. Jenis penelitiannya
adalah penelitian deskritif dengan menggunakan metode survei. Alat
pengumpul datanya adalah skala kecerdasan emosi yang disusun oleh
peneliti sendiri. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 54 orang
mempunyai tingkat kecerdasan emosi tinggi, dan 52 orang mempunyai
tingkat kecerdasan emosi sedang, sedangkan siswa yang mempunyai
kecerdasan emosi rendah tidak ada.
c. Perkembangan intelektual
Remaja telah mampu berpikir secara abstrak, tidak lagi hanya berpikir
secara konkrit. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir abstrak, remaja
dapat merasa tidak puas karena remaja sering mempersalahkan
kejadian-kejadian yang konkrit yang tidak sesuai dengan alam pikirannya sendiri.
Remaja yang seperti itu tidak salah, namun perlu dibantu dan diarahkan
oleh orang tua dan orang dewasa lainnya agar mampu berpikir bijaksana
dalam hidupnya. Perkembangan pikiran remaja sering menimbulkan
keluarga dan dalam masyarakat setempat. Pertentangan seperti ini muncul
karena sikap kritis yang dimiliki remaja itu sendiri.
d. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial remaja menyangkut perluasan jalinan hubungan
dengan orang lain. Pergaulan remaja tidak lagi terbatas dengan orang-orang
dalam lingkungan keluarga, tetapi meluas ke teman-teman sebaya,
orang-orang di lingkungan tempat tinggal dan masyarakat luas (Mangunhardjana,
1986). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya disebabkan karena remaja lebih
banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebayanya
sebagai kelompok. Karena itu dapat dimengerti apabila pengaruh
teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, panampilan, dan perilaku
lebih besar daripada pengaruh keluarga. Kelompok sebaya sulit ditiadakan
karena para remaja membutuhkan rasa aman dan terlindung yang
diperolehnya dalam lingkungan kelompoknya (Gunarsa dan Gunarsa, 1990:
80). Tidak mengherankan jika sebagian besar waktu luang remaja
dihabiskan bersama-sama teman-teman sebayanya.
e. Perkembangan seksual
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik, remaja juga
mengalami perkembangan seksual. Perkembangan seksual diawali dengan
pemasakan organ-organ seksual. Tanda-tanda perkembangan seksual
meliputi dua hal yaitu tanda-tanda kelamin primer dan tanda-tanda kelamin
menunjuk pada organ badan yang langsung berhubungan dengan
persetubuhan dan proses reproduksi. Tanda-tanda kelamin sekunder adalah
tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan
persetubuhan dan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang
khas pada wanita dan laki-laki Tanda-tanda kelamin primer pada
perempuan antara lain adalah rahim dan saluran telur, vagina, bibir
kemaluan, klitoris; dan tanda-tanda kelamin primer pada laki-laki antara
lain adalah penis, tes-tes dan skrotum, sedangkan tanda-tanda kelamin
sekunder pada perempuan antara lain adalah melebarnya pinggul dan
adanya penonjolan payudara; sedangkan tanda-tanda kelamin sekunder
pada laki-laki antara lain adalah tumbuhnya kumis, janggut, adanya
perubahan suara, tumbuhnya rambut pada kaki, bahkan kadang-kadang
pada lengan dan juga kadang-kadang pada dada. Perkembangan seksual
laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan pada perempuan adalah
menstruasi. Dalam menghadapi menstruasi dan mimpi basah yang pertama,
remaja itu perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang
tidak selalu bisa dilakukannya dengan mulus, lebih-lebih bila tidak ada
dukungan dari orang tua (Sarwono, 1988: 52).
f. Perkembangan agama (Religius)
Perkembangan agama menyangkut hubungan dengan yang mutlak.
Minat agama pada remaja nampak dengan membahas masalah agama,
ibadat dan mengikuti berbagai upacara agama. Berkaitan dengan
perkembangan agama remaja, periode ini disebut sebagai periode keraguan
religius artinya remaja mulai meragukan isi religiusitas, seperti ajaran
mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi remaja sendiri
keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama ataupun
mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhannya.
Wagner (Hurlock, 1994) mengatakan :
Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual….ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna-berdasarkan keinginan mereka untuk mendiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Setiap fase perkembangan manusia, memiliki tugas-tugas perkembangan
yang harus diselesaikan. Havighurst (Hurlock, 1994: 9) mendefinisikan tugas
perkembangan sebagai berikut:
Remaja menghadapi tugas perkembangan sesuai dengan tahap
perkembangannya. Berhasil tidaknya tugas perkembangan pada saat ini akan
mempengaruhi tugas perkembangan berikutnya. Tugas perkembangan muncul
dari kematangan individu, harapan dan tuntutan masyarakat serta apirasi dan
nilai-nilai dari individu itu sendiri. Lambat atau cepat remaja akan sadar bahwa
mereka diharapkan menguasai tugas-tugas tertentu pada berbagai periode
sepanjang hidup mereka. Kesadaran inilah yang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku individu yang bersangkutan.
Hurlock (1994: 10) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan
remaja meliputi:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita. Hal ini menunjuk pada kemampuan remaja dalam
menjalin relasi dengan teman-teman seusianya, baik pria maupun wanita.
Adanya kemampuan dalam menjalin relasi itu membuat remaja mampu
bekerjasama dengan yang lain.
b. Mencapai peran sosial sebagai pria, atau sebagai wanita. Ini berarti bahwa
remaja perlu belajar agar mampu memegang tanggung jawab sebagai pria dan
wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya remaja wanita sudah mampu
menanak nasi, remaja pria sudah mampu membersihkan kamarnya sendiri.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif,
artinya remaja diharapkan mampu mengenal dirinya, baik kelebihan maupun
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, artinya
remaja mampu mengemban tugas dalam keluarga dan sekaligus dalam
masyarakat.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya, artinya remaja diharapkan mampu bersikap mandiri dan bertanggung
jawab atas dirinya. Kemandirian remaja di sini dapat dilihat dari
ketidaktergantungannya pada orang tua atau orang dewasa lainnya, misalnya
dalam mengambil keputusan. Kemandirian emosional merupakan salah satu
tugas perkembangan remaja.
f. Mempersiapkan karier, artinya remaja sudah mulai mengenal kemampuan dan
keterbatasan dirinya sebagai pribadi dan mulai memikirkan serta
merencanakan karier yang sesuai bagi dirinya.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga, artinya remaja belajar untuk
mengetahui seluk beluk berkeluarga, memikirkan, merencanakan masa depan,
dan mampu memutuskan pilihan hidupnya.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistim etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dalam hidupnya, artinya remaja perlu belajar agar mampu
memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting.
C. Bimbingan Kelompok
Bimbingan mengandung arti bantuan atau pelayanan, artinya bimbingan itu
Kesukarelaan dari pembimbing bisa diwujudkan dalam sifat dan perilaku yang
tidak memaksakan kehendaknya untuk membimbing individu, melainkan mampu
menciptakan suasana agar individu menyadari bahwa dirinya memerlukan
bimbingan. Kerelaan dari yang dibimbing bisa diwujudkan dengan adanya
keleluasaan dalam menentukan apakah dirinya perlu diberi bimbingan atau tidak,
keleluasaan dalam mengemukakan pikiran dan perasaan, keleluasaan dalam
menentukan pilihan dan lain-lain.
Shertzen dan Stone ( Winkel, 1997: 66) mengatakan bahwa bimbingan adalah
proses membantu orang-orang untuk memahami dirinya dan
dunianya/lingkungan. Senada dengan Shertzen dan Stone, Prayitno dkk., (1997:
23) mendefinisikan bimbingan di sekolah sebagai bantuan yang diberikan kepada
siswa dalam rangka upaya menemukan diri pribadi, mengenal lingkungan dan
merencanakan masa depan.
Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) mengartikan bimbingan sebagai
proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga
ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan
dan keadaan keluarga serta masyarakat. Ini berarti bahwa bimbingan itu
dilaksanakan dalam rentang waktu yang relatif panjang, tidak hanya sepintas,
sewaktu-waktu, tetapi dilakukan secara sistematis, terencana, dan memiliki
Winkel (1997: 518) mengemukakan bahwa kegiatan bimbingan dibedakan
menjadi dua yaitu bimbingan individual atau perseorangan dan bimbingan
kelompok/klasikal. Bimbingan individual adalah pelayanan bimbingan yang
diberikan pada satu orang saja. Bimbingan kelompok adalah pelayanan
bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang
bersamaan. Pelayanan bimbingan diberikan kepada semua orang tanpa
memandang umur, jenis kelamin, suku, agama, status sosial ekonomi. Tujuan
pelayanan bimbingan kelompok adalah supaya orang yang dilayani menjadi
mampu mengatur kehidupannya sendiri dan tidak sekedar membebek pendapat
orang lain, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung sendiri efek serta
konsekwensi dari segala tindakannya (Winkel, 1997: 519). Bimbingan kelompok
merupakan sarana untuk menunjang perkembangan optimal masing-masing
individu. Maka bimbingan diberikan oleh orang yang kompeten dalam bidangnya
sehingga dapat membantu individu dalam membuat pilihan, memecahkan
masalah, dan dalam mengadakan penyesuaian.
Pemberian bimbingan kelompok mempunyai manfaat bagi individu yang
dibimbing ( Winkel, 1997: 520) yaitu:
1. Menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi,
2. Lebih rela menerima dirinya sendiri,
3. Lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri bila berada dalam
4. Lebih bersedia menerima suatu pandangan atau pendapat yang dikemukakan
oleh teman,
5. Tertolong untuk mengatasi suatu masalah yang dirasa sulit untuk dibicarakan.
D. Pelayanan Bimbingan di Asrama
1. Pengertian Asrama
Asrama dapat diartikan sebagai bangunan tempat tinggal bagi kelompok
orang yang bersifat homogen (Depdikbud, 1990: 53). Ada pula orang yang
mengartikan asrama itu sebagai rumah pemondokan atau bisa disamakan tempat
kos. Sebuah asrama biasanya memiliki ciri khas yang berbeda dengan tempat
kos. Biasanya yang disebut asrama ialah sebuah rumah pemondokan yang
besar, dan menerima banyak anak/orang dan sering berhubungan dengan suatu
sekolah atau yayasan tertentu dan memiliki suatu tujuan tertentu pula (Slameto,
1990). Kelompok yang diterima dalam suatu asrama biasanya kelompok tertentu
yang memenuhi persyaratan tertentu pula, misalnya syarat yang berkaitan
dengan jenjang dan jenis pendidikan yang sedang ditempuh, jenis kelamin,
agama. Asrama biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama, seperti tujuan
yang ingin dicapai dalam memasuki asrama yang bersangkutan adalah sama;
para remaja penghuni asrama berasal dari berbagai keluarga, suku, budaya;
penghuni tinggal di asrama dalam jangka waktu tertentu. Di samping
ingin dicapai tiap-tiap lembaga berbeda-beda sesuai dengan visi dan misinya
masing-masing.
Seorang pembimbing di asrama harus selalu menyadari bahwa meskipun
ada persamaan tujuan, taraf perkembangan, tingkat pendidikan dari penghuni
asrama yang dipimpinnya, tetapi dalam kehidupan bersama di asrama dapat
timbul berbagai masalah yang sangat kompleks. Pembimbing di asrama harus
memahami bahwa setiap penghuni asrama yang dibimbingnya memiliki
keunikan. Kompleksitas kehidupan di asrama dapat disebabkan oleh berbagai
sumber antara lain :
a. Latar belakang kehidupan yang berbeda: ada penghuni yang berasal dari
keluarga yang harmonis dan telah mendapat kasih sayang dan perhatian yang
cukup, ada penghuni yang berasal dari keluarga disharmonis sehingga
kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian, ada penghuni asrama yang
berasal dari keluarga dengan status ekonomi kaya, cukup, sedang, kurang,
dan lain-lain.
b. Kepribadian setiap orang yang berbeda: setiap pribadi mempunyai keunikan
baik sifat, sikap, bakat, minat, kemampuan, hoby, watak, dan perangai.
c. Pandangan hidup yang berbeda: asrama yang menerima penghuni dari
berbagai macam agama, suku, budaya akan berbeda pandangan hidup dan
permasalahan yang dihadapi, apabila dibandingkan dengan asrama yang
Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi sumber kesulitan yang besar apabila
pembimbing asrama tidak memahaminya dan tidak dapat menjadi pemersatu
bagi semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya jangan menjadi penghambat atau persoalan,
tetapi perbedaan itu hendaknya menjadi sesuatu yang dapat memperkaya setiap
pribadi yang tinggal di asrama dan dapat menjadi lahan yang sangat baik untuk
belajar hidup bersama di masyarakat apabila penghuni asrama mendapat
bimbingan yang tepat dan pembimbing asrama dapat menjadi tempat setiap
penghuni asrama untuk mendapatkan rasa aman, mendapat perhatian, kasih
sayang, dan mendapat bantuan apabila mereka mengalami permasalahan.
Dengan demikian asrama menjadi tempat untuk mengembangkan diri bukan
hanya sekedar tempat untuk hidup bersama.
2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya Pengembangan
Kecerdasan Emosional
Pelayanan bimbingan di asrama sangat penting untuk membantu setiap
penghuni asrama menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mengatur hidupnya
sendiri. Pelayanan bimbingan di asrama perlu dikembangkan mengingat bahwa
yang tinggal di asrama adalah kaum remaja yang masih membutuhkan
pendampingan dalam perkembangannya. Dalam kenyataannya, bimbingan di
sekolah masih mengalami banyak hambatan, antara lain tidak ada alokasi waktu
dengan jumlah orang yang dibimbing belum seimbang, waktu untuk
memberikan bimbingan pribadi atau wawancara pada jam-jam di sekolah sangat
terbatas.
Pelaksanaan bimbingan di asrama boleh jadi tumpang tindih dengan
pembimbingan yang diberikan di sekolah, tetapi kemungkinan ini dapat
dihindari dengan cara: pembimbing di asrama bekerjasama dengan pembimbing
di sekolah, sehingga apa yang sudah diberikan di sekolah tidak diberikan lagi di
asrama. Pembimbing di asrama dapat memperhatikan program pelayanan
bimbingan di sekolah, sebelum menyusun program, sehingga hal-hal yang
belum tersentuh di sekolah dapat diberikan di asrama. Bisa juga pelayanan
bimbingan di asrama lebih menekankan bidang bimbingan pribadi dan sosial,
karena bidang bimbingan belajar dan karier sudah diberikan di sekolah.
Pembimbingan di asrama dapat melengkapi hal-hal yang belum diberikan di
sekolah.
Kehidupan di asrama dapat dikatakan sebagai “sekolah hidup” bagi setiap
penghuni asrama, karena setiap penghuni asrama dapat belajar hidup bersama
dengan orang lain yang berbeda budaya, suku, agama, ras, kebiasaan, latar
belakang, sifat-sifat, watak dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut
tidak dapat diperoleh lewat teori di sekolah. Semua pembimbingan yang
diberikan itu bertujuan untuk membantu setiap penghuni asrama agar dapat
berkembang menjadi pribadi dewasa yang mampu hidup bersama dengan orang
dengan sesama. Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi
penghambat atau jurang pemisah satu dengan yang lainnya, tetapi hendaknya
perbedaan tersebut menjadi pemersatu, dan saling menerima masing-masing
perbedaan sehingga dapat menemukan keindahannya dalam hidup bersama,
dapat saling memperkaya.
Seorang pembimbing di asrama dapat memanfaatkan setiap kesempatan
yang ada untuk memberikan layanan bimbingan, misalnya untuk
mengembangkan kecerdasan emosional masing-masing individu diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan kemampuan mereka di bidang seni yang
berguna untuk mengekspresikan emosinya.
Salah satu cara yang dapat mendukung terciptanya kerukunan,
keharmonisan dalam asrama adalah sikap empati. Empati adalah kemampuan
untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain
(Stein dan Book, 2002). Orang yang empatik adalah orang yang mampu
membaca sudut pandang dan emosi orang lain. Orang yang demikian akan
peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan perhatiannya pada orang
lain.
Konsep empati memang kedengarannya sederhana, tetapi tidak berarti
mudah dilaksanakan. Sikap empati diharapkan dapat tumbuh dalam diri
masing-masing anggota asrama. Untuk itu perlu ada latihan setiap hari lewat relasi dan
empati dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional (Gottman dan De
Claire, 2003) yaitu:
a. Menyadari emosi-emosi remaja
Pendamping remaja di asrama sebagai ganti orang tua mereka,
diharapkan mampu menyadari emosi-emosinya dan emosi remaja yang
dibimbingnya. Pendamping yang sadar terhadap emosinya sendiri dapat
menggunakan kepekaan itu untuk menyelaraskan diri dengan emosi remaja.
Menjadi orang yang peka dan sadar secara emosional tidak mudah, karena
sering kali remaja mengungkapkan emosinya secara tidak langsung dan
dengan cara-cara yang membingungkan orang dewasa, misalnya ada remaja
yang marah, kecewa, karena sesuatu hal yang tampak sepele, tetapi remaja
tersebut tidak bisa mengungkapkan perasaannya dan hanya diam atau
melamun.
b. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar
Orangtua kadang mencoba mengabaikan emosi-emosi negatif remaja
dengan harapan agar emosi negatif itu lenyap. Emosi jarang bekerja demikian,
sebaliknya emosi negatif akan lenyap bila remaja dapat membicarakan
emosi-emosi mereka, memberi nama, dan merasa dimengerti. Bagi banyak orangtua,
mengenali emosi remaja mereka, dapat menjadi kesempatan untuk menjalin
c. Mendengarkan dengan empatik
Mendengarkan dengan empatik merupakan langkah paling penting
dalam proses pelatihan emosi. Mendengarkan jauh lebih penting daripada
mengumpulkan data, karena orang yang mendengarkan dengan empatik
menggunakan matanya untuk mengamati petunjuk fisik emosi-emosi remaja
yang bersangkutan. Orang menggunakan imajinasinya untuk melihat situasi
yang ada dari titik pandang remaja itu, dan merumuskan kembali dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Yang paling penting dalam mendengarkan
dengan empatik adalah menggunakan hati untuk menyadari apa yang sedang
dirasakan oleh individu yang bersangkutan.
d. Menyebutkan nama emosi
Menyebutkan nama emosi merupakan langkah yang mudah dan sangat
penting dalam pelatihan emosi. Remaja dibantu agar dapat memberi nama
emosi mereka sewaktu emosi itu mereka alami. Semakin tepat seorang remaja
mengungkapkan emosi mereka lewat kata-kata, maka akan semakin baik.
Pendamping asrama harus mengusahakan agar dapat membantu remaja
mengidentifikasikan dan mencamkan betul-betul apa yang sedang dirasakan,
misalnya bila mereka sedang marah, bingung, dikhianati, atau cemburu.
Apabila mereka sedih barangkali ia pun merasa sakit hati, ditinggalkan, iri,
e. Membantu menemukan solusi
Setelah meluangkan waktu untuk mendengarkan remaja, dan
membantunya memberi nama serta memahami emosinya, maka langkah
berikutnya adalah membantu menemukan pemecahan masalah. Prosesnya
adalah: menentukan batas-batas, menentukan sasaran, memikirkan alternatif
pemecahan yang mungkin, mengevaluasi pemecahan yang disarankan
berdasarkan nilai-nilai, menolong remaja memilih satu pemecahan.
Claude Steiner (Nggermanto, 2003) mengusulkan langkah-langkah
pengembangan kecerdasan emosional sebagai berikut:
a. Membuka hati
Membuka hati adalah langkah pertama karena hati adalah simbul pusat
emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita berbahagia, merasakan
kasih sayang, cinta, atau kegembiraan. Sebaliknya hati kita merasa tidak
nyaman ketika sakit, sedih, marah, atau patah hati. Tahap-tahap untuk
membuka hati adalah: latihan memberikan umpan balik kepada orang lain,
meminta umpan balik, menerima atau menolak umpan balik, serta
memberikan umpan balik sendiri.
b. Menjelajahi dataran emosi
Langkah kedua adalah menjelajahi dataran emosi. Setelah orang
mampu membuka hati, maka orang tersebut akan mampu melihat
kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupannya. Orang dapat