BAB II: KAJIAN PUSTAKA
D. Pelayanan Bimbingan di Asrama
2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya
Pelayanan bimbingan di asrama sangat penting untuk membantu setiap penghuni asrama menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mengatur hidupnya sendiri. Pelayanan bimbingan di asrama perlu dikembangkan mengingat bahwa yang tinggal di asrama adalah kaum remaja yang masih membutuhkan pendampingan dalam perkembangannya. Dalam kenyataannya, bimbingan di sekolah masih mengalami banyak hambatan, antara lain tidak ada alokasi waktu untuk memberikan bimbingan kelompok, rasio antara jumlah pembimbing
dengan jumlah orang yang dibimbing belum seimbang, waktu untuk memberikan bimbingan pribadi atau wawancara pada jam-jam di sekolah sangat terbatas.
Pelaksanaan bimbingan di asrama boleh jadi tumpang tindih dengan pembimbingan yang diberikan di sekolah, tetapi kemungkinan ini dapat dihindari dengan cara: pembimbing di asrama bekerjasama dengan pembimbing di sekolah, sehingga apa yang sudah diberikan di sekolah tidak diberikan lagi di asrama. Pembimbing di asrama dapat memperhatikan program pelayanan bimbingan di sekolah, sebelum menyusun program, sehingga hal-hal yang belum tersentuh di sekolah dapat diberikan di asrama. Bisa juga pelayanan bimbingan di asrama lebih menekankan bidang bimbingan pribadi dan sosial, karena bidang bimbingan belajar dan karier sudah diberikan di sekolah. Pembimbingan di asrama dapat melengkapi hal-hal yang belum diberikan di sekolah.
Kehidupan di asrama dapat dikatakan sebagai “sekolah hidup” bagi setiap penghuni asrama, karena setiap penghuni asrama dapat belajar hidup bersama dengan orang lain yang berbeda budaya, suku, agama, ras, kebiasaan, latar belakang, sifat-sifat, watak dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut tidak dapat diperoleh lewat teori di sekolah. Semua pembimbingan yang diberikan itu bertujuan untuk membantu setiap penghuni asrama agar dapat berkembang menjadi pribadi dewasa yang mampu hidup bersama dengan orang lain dan mampu menempatkan diri dengan segala keunikannya dalam sosialisasi
dengan sesama. Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi penghambat atau jurang pemisah satu dengan yang lainnya, tetapi hendaknya perbedaan tersebut menjadi pemersatu, dan saling menerima masing-masing perbedaan sehingga dapat menemukan keindahannya dalam hidup bersama, dapat saling memperkaya.
Seorang pembimbing di asrama dapat memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk memberikan layanan bimbingan, misalnya untuk mengembangkan kecerdasan emosional masing-masing individu diberikan kesempatan untuk mengungkapkan kemampuan mereka di bidang seni yang berguna untuk mengekspresikan emosinya.
Salah satu cara yang dapat mendukung terciptanya kerukunan, keharmonisan dalam asrama adalah sikap empati. Empati adalah kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain (Stein dan Book, 2002). Orang yang empatik adalah orang yang mampu membaca sudut pandang dan emosi orang lain. Orang yang demikian akan peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan perhatiannya pada orang lain.
Konsep empati memang kedengarannya sederhana, tetapi tidak berarti mudah dilaksanakan. Sikap empati diharapkan dapat tumbuh dalam diri masing-masing anggota asrama. Untuk itu perlu ada latihan setiap hari lewat relasi dan pengalaman sehari-hari. Di bawah ini diuraikan langkah-langkah memupuk
empati dalam rangka meningkatkan kecerdasan emosional (Gottman dan De Claire, 2003) yaitu:
a. Menyadari emosi-emosi remaja
Pendamping remaja di asrama sebagai ganti orang tua mereka, diharapkan mampu menyadari emosi-emosinya dan emosi remaja yang dibimbingnya. Pendamping yang sadar terhadap emosinya sendiri dapat menggunakan kepekaan itu untuk menyelaraskan diri dengan emosi remaja. Menjadi orang yang peka dan sadar secara emosional tidak mudah, karena sering kali remaja mengungkapkan emosinya secara tidak langsung dan dengan cara-cara yang membingungkan orang dewasa, misalnya ada remaja yang marah, kecewa, karena sesuatu hal yang tampak sepele, tetapi remaja tersebut tidak bisa mengungkapkan perasaannya dan hanya diam atau melamun.
b. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar
Orangtua kadang mencoba mengabaikan emosi-emosi negatif remaja dengan harapan agar emosi negatif itu lenyap. Emosi jarang bekerja demikian, sebaliknya emosi negatif akan lenyap bila remaja dapat membicarakan emosi-emosi mereka, memberi nama, dan merasa dimengerti. Bagi banyak orangtua, mengenali emosi remaja mereka, dapat menjadi kesempatan untuk menjalin ikatan.
c. Mendengarkan dengan empatik
Mendengarkan dengan empatik merupakan langkah paling penting dalam proses pelatihan emosi. Mendengarkan jauh lebih penting daripada mengumpulkan data, karena orang yang mendengarkan dengan empatik menggunakan matanya untuk mengamati petunjuk fisik emosi-emosi remaja yang bersangkutan. Orang menggunakan imajinasinya untuk melihat situasi yang ada dari titik pandang remaja itu, dan merumuskan kembali dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Yang paling penting dalam mendengarkan dengan empatik adalah menggunakan hati untuk menyadari apa yang sedang dirasakan oleh individu yang bersangkutan.
d. Menyebutkan nama emosi
Menyebutkan nama emosi merupakan langkah yang mudah dan sangat penting dalam pelatihan emosi. Remaja dibantu agar dapat memberi nama emosi mereka sewaktu emosi itu mereka alami. Semakin tepat seorang remaja mengungkapkan emosi mereka lewat kata-kata, maka akan semakin baik. Pendamping asrama harus mengusahakan agar dapat membantu remaja mengidentifikasikan dan mencamkan betul-betul apa yang sedang dirasakan, misalnya bila mereka sedang marah, bingung, dikhianati, atau cemburu. Apabila mereka sedih barangkali ia pun merasa sakit hati, ditinggalkan, iri, dan murung.
e. Membantu menemukan solusi
Setelah meluangkan waktu untuk mendengarkan remaja, dan membantunya memberi nama serta memahami emosinya, maka langkah berikutnya adalah membantu menemukan pemecahan masalah. Prosesnya adalah: menentukan batas-batas, menentukan sasaran, memikirkan alternatif pemecahan yang mungkin, mengevaluasi pemecahan yang disarankan berdasarkan nilai-nilai, menolong remaja memilih satu pemecahan.
Claude Steiner (Nggermanto, 2003) mengusulkan langkah-langkah pengembangan kecerdasan emosional sebagai berikut:
a. Membuka hati
Membuka hati adalah langkah pertama karena hati adalah simbul pusat emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita berbahagia, merasakan kasih sayang, cinta, atau kegembiraan. Sebaliknya hati kita merasa tidak nyaman ketika sakit, sedih, marah, atau patah hati. Tahap-tahap untuk membuka hati adalah: latihan memberikan umpan balik kepada orang lain, meminta umpan balik, menerima atau menolak umpan balik, serta memberikan umpan balik sendiri.
b. Menjelajahi dataran emosi
Langkah kedua adalah menjelajahi dataran emosi. Setelah orang mampu membuka hati, maka orang tersebut akan mampu melihat kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupannya. Orang dapat menyadari dan mengenali keadaan emosinya sendiri dengan cara melatih
diri untuk menyadari apa yang dirasakan, seberapa kuat dan apa alasannya. Orang yang bersangkutan dapat mengetahui emosi yang dialami oleh orang lain dan bagaimana emosi orang lain dipengaruhi oleh tindakannya. Orang akan mulai memahami bagaimana emosi berinteraksi dan kadang-kadang menciptakan gelombang perasaan yang menghantam kita dan orang lain. Dengan demikian, orang akan menjadi bijaksana dalam menanggapi perasaan kita dan perasaan orang-orang di sekitar kita. c. Mengambil tanggung jawab
Langkah ketiga adalah mengambil tanggung jawab. Orang mengambil tanggung jawab, karena dirinya akan memperbaiki dan mengubah kerusakan hubungan dengan orang lain. Orang dapat membuka hati dan memahami emosi orang di sekitarnya, tetapi itu saja belum cukup. Ketika suatu masalah terjadi dengan orang lain, akan sulit untuk melakukan perbaikan tanpa tindakan lebih jauh. Orang harus mengerti permasalahan, mengakui kesalahan dan keteledoran yang terjadi, mampu membuat perbaikan, dan memutuskan bagaimana mengubah segala sesuatu. Langkah-langkah untuk menjadi bertanggung jawab adalah: mengakui kesalahannya sendiri, menerima atau menolak pengakuan dari orang lain, bersedia meminta dan menerima atau menolak permintaan maaf.