• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KECERDASAAN EMOSIONAL REMAJA SISWA KELAS VIII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 20112012 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DESKRIPSI KECERDASAAN EMOSIONAL REMAJA SISWA KELAS VIII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 20112012 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI KECERDASAAN EMOSIONAL REMAJA SISWA

KELAS VIII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN

AJARAN 2011/2012 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh : Benni Sitanggang

NIM: 051114001

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

DESKRIPSI KECERDASAAN EMOSIONAL REMAJA SISWA

KELAS VIII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN

AJARAN 2011/2012 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh : Benni Sitanggang

NIM: 051114001

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

Siapapun bisa marah, marah itu mudah.

Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik bukanlah hal yang mudah.

(Aristoteles)

Tanpa emosi hidup kita akan menjadi kering, dingin, dan klise; dengan menahan emosi, kita kan menjadi literal, terkekang, dan kaku;

jika disemangati emosi-emosi itu akan mengharumkan kehidupan; jika dikecilkan, emosi-emosi itu akan meracuninya. (Joseph Collins)

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Keluarga tercinta Ayah A. Sitanggang dan Ibu N. Br. Hombing atas segala kebesaran kasih dan cinta yang telah diberikan selama ini. Tak ada kata yang mampu

(6)
(7)
(8)

vii ABSTRAK

DESKRIPSI KECERDASAAN EMOSIONAL REMAJA SISWA KELAS VIII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012 DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingginya aspek-aspek kecerdasan emosional remaja siswa kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Sampel penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012. Sampling berjumlah 59 orang yang terdiri dari kelas VIII Sukesih (29 orang) dan kelas VIII Utari ( 30 orang). Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti. Kuesioner yang digunakan untuk penelitian memuat 54 pernyataan. Teknik analisis data yang digunakan adalah Penilaian Acuan Patokan 1 (PAP tipe 1).

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) aspek mengenali emosi diri: sangat rendah 0%, rendah 5%, cukup 51%, tinggi 39% dan sangat tinggi 5%, (2) aspek mengelola emosi: sangat rendah 3%, rendah 15%, cukup 63%, tinggi 17%, dan sangat tinggi 2%, (3) aspek memotivasi diri sendiri: sangat rendah 3%, rendah 10%, cukup 54%, tinggi 26%, dan sangat tinggi 7%, (4) aspek mengenali emosi orang lain: sangat rendah 0%, rendah 7%, cukup 51%, tinggi 32%, dan sangat tinggi 10%, (5) aspek membina hubungan: sangat rendah 2%, rendah 15%, cukup 46%, tinggi 22%, dan sangat tinggi 5%.

(9)

viii ABSTRACT

DESCRIPTION OF THE TEENAGERS’ EMOTIONAL INTELLIGENCE OF THE EIGHTH GRADE STUDENTS AT SMP STELLA DUCE 2

YOGYAKARTA ACADEMIC YEAR 2011/2012 AND ITS IMPLICATIONS TOWARDS THE SUGGESTED TOPICS OF GROUP GUIDANCE

By: eighth grade students at SMP Stella Duce 2 Yogyakarta in 2011/2012 academic year.

This research belongs to a descriptive research. The sample of this study was the eighth grade students at SMP Stella Duce 2 Yogyakarta in 2011/2012 academic year. There were 59 people consisting of class VIII Sukesih (29 people) and class VIII Utari (30 people). The research instrument was a questionnaire prepared by the researcher himself, which consisted of 54 statements. The technique of data analysis used was the assessment of standard reference evaluation (PAP type 1).

The results of this study showed: (1) aspect of knowing emotions: 0% very low, 5% low, 51% average, 39% high and 5% very high, (2) aspect of managing emotions: 3% very low, 15% low, 63% average, 17% high, and 2% very high, (3) aspect of motivating oneself: 3% very low, 10% low, 54% average, 26% high, and 7% very high, (4) aspect of recognizing others’ emotions: 0% very low, 7% low, 51% average, 32% high, and 10% very high, (5) aspect of managing relationships: 2% very low, 15% low, 46% average, 22% high, and 5% very high.

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan sang Maha Guru, atas segala

kebaikan dan kebijaksanaanNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini peneliti banyak menerima bantuan, semangat,

dan doa dari berbagai pihak yang sangat mendukung peneliti dalam penyelesaian

skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan rasa

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam

membimbing serta mendampingi peneliti pada setiap tahap dan seluruh proses

penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Gendon Barus M.Si selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan

Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dan memberikan

kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Para Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

(11)

x

4. Seluruh pihak SMP Stella Duce 2 Yogyakarta yang berkenan menerima dan

memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

5. Ayah A. Sitanggang, Ibu Br. Hombing saudara Hendri Sitanggang dan Kristo

Sitanggang dan saudari Marlina Sitanggang serta seluruh keluarga besar yang

tidak berhenti memberikan dukungan doa dan material sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

6. Rosalina Sirait yang selalu memberikan semangat dan harapan sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Antonius Udhay, Agnes Dwijayanti Ningrum, Anna Miranti, Marselus

Gondu, Siswa Wulandary, Hendrayani, Sendy Laksono dan semua teman BK

angkatan 2005 atas kerjasama dan dukungannya selama peneliti menempuh

masa studi dan menyelesaikan skripsi.

Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembaca.

Yogyakarta, 16 April 2012

(12)

xi A. Latar Belakang Masalah ………...………..……..1

B. Rumusan Masalah ………..………....……...5

(13)

xii

B. Siswa Sebagai Remaja ………18

1. Pengertian Remaja ………18

2. Keadaan Emosi Selama Masa Remaja ……….………20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja ………...………...25

1. Skala Pengukuran Kecerdasan Emosional ……….……...35

2. Indikator Kecerdasan Emosional ……….………….36

3. Susunan Kuesioner ……….………..36

4. Penskoran ……….………….……...….36

5. Validitas dan Reliabilitas ……….……….38

D. Prosedur Pengumpulan Data ……….……...42

1. Tahap Persiapan ……….……...…42

2. Tahap Penelitian ……….………..44

E. Teknik Analisis Data ……….……...45

BAB IV: HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN USULAN-USULAN TOPIK BIMBINGAN A. Deskripsi Tingkat Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Remaja Siswa SMP Kelas VIII Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012 ………...46

(14)

xiii

1. Tingkat Aspek-aspek Kecerdasan Emosional…..……….48 2. Skor Item-item Terendah……….……….52 C. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Remaja Siswa

Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta………57

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ……….……….……..60

B. Saran ……….……….62

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kisi-kisi Kuesioner Penelitian Kecerdasan Emosional .……….37 Tabel 2. Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe 1 ………..47

Tabel 3. Penggolongan Tinggi Masing-masing Aspek Kecerdasan

Emosional Remaja Siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2

Yogyakarta ………..47

Tabel 4. Pengkategorisasisan Aspek Kecerdasan Emosional Remaja Siswa

Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta …..…………..…………49

Tabel 5. Skor Item-item Terrendah ……….…..56

Tabel 6. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok Remaja Siswa

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Satuan Pelayanan Bimbingan Kelompok ………...65

Lampiran 2. Kuesioner Kecerdasan Emosional ……….………..70

Lampiran 3. Tabulasi Skor Ujicoba Kuesioner Kecerdasan

Emosional……….……..….74

Lampiran 4. Item-Total Statistik ……….……77

Lampiran 5. Tabulasi Skor Penelitian ………79

Lampiran 6. Skor Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Remaja

Siswa kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2011/2012 ………..…..…85

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesuksesan hidup manusia dipengaruhi oleh berbagai macam aspek

kemampuan atau kecerdasan dalam dirinya. Berbagai macam kecerdasan itu antara lain adalah IQ, EQ, dan SQ. Intelligence Quotient (IQ) adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun masalah strategis. Emotional Quotient (EQ) adalah kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan

menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Spiritual Quotient (SQ) adalah kemampuan untuk bersikap kreatif, mengubah aturan, mengubah situasi, dan menangkap makna. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa IQ lebih dominan untuk mengantar orang sampai pada

kesuksesan hidup. Perkembangan selanjutnya justru EQ mempunyai peranan yang besar juga untuk menentukan kesuksesan seseorang dalam kehidupannya. Harapannya EQ juga semakin dikenal oleh masyarakat dan

penerapannya dalam masyarakat semakin meluas terutama dalam bidang Bimbingan dan Konseling. Selanjutnya dalam penelitian ini EQlah yang

menjadi dasar teori pemikiran dan sebagai sumber utama dalam menyusun penelitian ini.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan

(18)

perhatiannya terhadap EQ adalah Daniel Goleman. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasaan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20 % bagi kesuksesan,

sedangkan 80 % adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain diantaranya 30 % adalah sumbangan kecerdasaan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan kerjasama. Rasio perbandingan antara kecerdasaan intelektual

dan kecerdasaan emosional tidak jauh berbeda yakni 20 % dan 30 % sehingga dapat dikatakan kedua kecerdasaan tersebut memiliki peranan yang sama penting dan besarnya dalam menentukan keberhasilan.

Penelitian ini difokuskan pada tingkat kecerdasaan emosional remaja awal khususnya pada siswa SMP. Secara umum masa remaja dibagi menjadi

dua bagian, yaitu, awal masa remaja dan akhir masa remaja. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun

atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum. Secara lebih khusus penelitian ini dilakukan pada masa awal remaja

atau siswa SMP kelas delapan. Karena perubahan emosi biasanya terjadi lebih cepat selama masa awal remaja.

Menurut Hurlock (1994) masa remaja dianggap sebagai periode “badai

dan tekanan“, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai

akibat pertumbuhan fisik dan kelenjar. Emosi yang meninggi terutama

(19)

kondisi baru. Sebagian besar remaja mengalami masa badai dan tekanan dan ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha

penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Menurut Gessel dan kawan-kawan, remaja empat belas tahun sering mudah marah, dan emosinya cenderung meledak, tidak berusaha mengendalikan

perasaannya (Hurlock, 1994:213). Tekanan dan badai dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.

Remaja memproses informasi mengenai emosi secara berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Remaja awal (usia 11 sampai 13 tahun) cenderung menggunakan amigdala, bagian otak dalam lobus temporal yang kecil dan berbentuk seperti kacang almond, yang berperan besar dalam reaksi emosional dan instingual. Remaja yang lebih matang, seperti orang dewasa,

cenderung menggunakan lobus frontalis, yang memungkinkan penilaian yang lebih akurat dan beralasan. Maka, pada remaja awal, perkembangan otak yang

belum matang dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat. Hal inilah yang menjadi alasan yang memungkinkan remaja untuk membuat pilihan yang tidak bijaksana, seperti penyalahgunaan alkohol atau narkoba

dan melakukan aktivitas seksual beresiko.

Ketidakstabilan emosi, ketidakmatangan otak, masa transisi dan adanya

periode badai pada remaja turut melahirkan berbagai ekses negatif. Beberapa ekses negatif berupa peningkatan perilaku kekerasaan baik yang dilakukan sesama siswa atau oleh guru kepada siswanya, perkelahian, konsumsi

(20)

umum terjadi di lingkungan pendidikan saat ini. Permasalahan-permasalahan ini muncul karena anak didik semakin kesulitan dalam mengurangi

ekses-ekses gejolak emosi. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat, baik itu para pendidik, orangtua dan siswa sendiri belum menaruh perhatian yang serius terhadap kecerdasaan emosional anak remaja.

Perkembangan budaya dan kemajuan teknologi yang begitu pesat juga melahirkan beragam tuntutan terhadap manusianya terlebih pada remaja. Pada

budaya modernitas individualitas semakin meningkat. Efek lain dari masyarakat modernitas ini adalah semakin sempitnya ruang-ruang sosial yang berperan sebagai wadah untuk remaja berinteraksi secara emosional.

Individualitas dan penyempitan relasi sosial mengakibatkan remaja mengalami pertumbuhan yang lambat secara emosional dan semakin

berkurangnya ruang-ruang pendistribusian emosi secara konstruktif. Emosi merupakan dorongan untuk bertindak mengatasi masalah bila tidak ditata

dengan baik maka akan mempengaruhi tindakan kita. Pada saat ini dimana berbagai tekanan dan kecenderungan mental semakin kompleks sehingga dibutuhkan juga kesiapan diri untuk mengembangkan kecerdasaan

emosionalnya agar mampu menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Problematika yang telah diutarakan sebelumnya juga terjadi pada

lingkup yang lebih kecil yakni dalam lingkungan sekolah SMP Stella Duce 2. Berdasarkan sharing, diskusi dan obrolan ringan bersama teman-teman yang pernah secara langsung maupun tidak langsung pernah melihat dan mengenal

(21)

dimana siswa baik secara perorangan maupun kelompok siswa membutuhkan bantuan pendampingan dalam mengembangkan aspek-aspek kecerdasaan

emosionalnya. Kurangnya kebersamaan dan rendahnya perhatian dalam keluarga, kesulitan dalam mengekspresikan emosi, munculnya kekerasan baik secara fisik maupun verbal berupa ejekan, kelas yang selalu ramai, hasil

akademik yang tidak memuaskan menjadi permasalahan yang harus diselesaikan. Sekian permasalahan yang terjadi di masyarakat kita dan

khususnya SMP Stella Duce 2 serta mengingat sangat pentingnya kecerdasaan emosional dalam menentukan tingkat keberhasilan siswa maka

penulis tertarik untuk meneliti : ” Deskripsi Kecerdasan Emosional Remaja

Siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta dan Implikasinya Terhadap

Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok”.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswa SMP Kelas

VIII Stella Duce 2 Yogyakarta dan melihat implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan dalam bidang kecerdasan emosional.

Secara khusus, pertanyaan yang hendak dijawab adalah :

1. Seberapa tinggikah masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012?

(22)

terindikasi rendah yang dapat diusulkan sebagai topik bimbingan yang sesuai bagi para Siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun

ajaran 2011/2012?

C. Tujuan

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :

1. Mengetahui tingginya masing-masing aspek kecerdasan emosional siswa

Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012. 2. Dapat menyusun suatu usulan topik bimbingan berdasarkan butir-butir

terendah dalam setiap aspek kecerdasan emosional yang sesuai bagi para

siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai tingkat kecerdasan emosional para siswa. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak :

1. Guru pembimbing

Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan demi

peningkatan mutu pelayanan bimbingan mengenai kecerdasan emosional kepada para siswa.

2. Sekolah

(23)

emosional para siswanya.

3. Peneliti

Menambah informasi bagi peneliti mengenai tingkat

aspek-aspek kecerdasaan emosional remaja SMP kelas VIII.

E. Batasan Istilah

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengatur kehidupan emosinya melalui keterampilan mengenali emosi diri, mengelola

(24)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kecerdasaan Emosional 1. Pengertian Emosi

Secara etimologis emosi berasal dari kata kerja latin yakni movere yang berarti ”menggerakkan, bergerak”. Awalan e dalam kata emosi menunjukkan

penambahan arti yakni ”bergerak menjauh”. Arti ini menyiratkan bahwa

kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Dalam makna

yang lebih harafiah, Kamus Lengkap Psikologi mendefinisikan emosi sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan

yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Menurut King, emosi (emotion) adalah perasaan, atau afeksi yang dapat melibatkan ransangan fisiologis (seperti denyut jantung cepat), pengalaman sadar (seperti memikirkan keadaan jatuh cinta dengan seseorang), dan ekspresi perilaku (sebuah senyuman atau raut muka cemberut), (King, 2010: 98). Menurut Goleman, emosi merujuk

pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Pada dasarnya semua emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi

(25)

Goleman (2007: 411) mengelompokkan emosi dalam beberapa golongan, yaitu :

a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan tindak kekerasan dan kebencian patologis. senang, terhibur, bangga, kenikmatan inderawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, maniak.

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasamaran, kasih.

f. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana. g. Jengkel: hina, jijik, mual, benci, tidak suka, mau muntah.

h. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.

Pengelompokan emosi di atas tetap mengalami perkembangan. Pengelompokan emosi pada empat emosi (takut, marah, sedih dan senang)

(26)

2. Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang

untuk mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya ( the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Lebih lanjut kecerdasan emosional diartikan sebagai

kemampuan, seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak

melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa (Goleman, 2007: 45).

3. Aspek-aspek Kecerdasaan Emosional

Kecerdasan emosional terbagi pada lima wilayah utama (Goleman, 2007: 57):

a. Mengenali Emosi Diri

Kesadaran diri-mengenali perasaan sendiri sewaktu perasaan itu terjadi- merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan

dari waku ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita sesungguhnya

(27)

emosi itu terjadi dan mampu mengambil tindakan yang tepat sehingga emosi tidak menghasilkan efek yang negatif bagi orang yang bersangkutan maupun orang yang

berada disekitarnya. Oleh karena itu kesadaran akan diri sendiri sangat diperlukan sebagai langkah awal bagi seseorang untuk mengenali emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002: 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati,

bila kurang waspada maka individu menjadi larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.

Menurut Goleman (2002: 404) aspek mengenali emosi diri terdiri dari : 1) Kesadaran emosi

Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu:

a) Mengetahui emosi mana yang sedang dirasakannya dan mengapa. b) Menyadari keterkaitan antara perasaan, pikiran, perbuatan, dan apa

yang dikatakannya,

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi cara kerjanya,

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk mencapai nilai-nilai dan tujuannya.

2) Penilaian diri

Orang yang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu: a) Menyadari kekuatan dan kelemahannya

b) Memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri,

(28)

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang dirinya sendiri dengan perspektif yang luas.

3) Kepercayaan diri

Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki kecenderungan:

a) berani tampil dengan keyakinan diri dan berani menyatakan keberadaannya

b) berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban demi kebenaran,

c) bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam

keadaan tidak pasti dan tertekan. b. Mengelola Emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan mengelola emosi

ditinjau dari kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karna gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Orang-orang yang buruk kemampuannya

dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali jauh lebih cepat dari

(29)

1) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah,

2) berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas,

3) lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa

berkelahi,

4) berkurangnya larangan masuk sementara dan skors,

5) berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri,

6) perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga,

7) lebih baik dalam menangani ketengangan jiwa,

8) berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah, menerima kritik sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan yang harus diatasi, kurang memiliki

kendali diri, mudah mencemooh atau menghina, bersikap menutup diri atau sikap bertahan yang pasif, mudah patah semangat (Goleman 2002: 214-215).

Menurut Goleman aspek kemampuan mengelola emosi meliputi:

1) Mengendalikan emosinya sendiri

Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat

mampu:

a) mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan,

(30)

yang paling berat,

c) berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam keadaan

tertekan.

2) Dapat dipercaya

Orang yang dapat dipercaya mampu:

a) bertindak seturut etika dan tidak pernah mempermalukan orang lain,

b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,

c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan yang tidak dapat diterimanya,

d) berpegang kepada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah menjadi tidak disukai.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat

penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional-menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati-adalah landasan

keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan, mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang.

(31)

efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan (Goleman, 2007: 58). Kemampuan memotivasi diri sendiri menurut Goleman meliputi aspek:

1) Dorongan untuk berprestasi

Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki kemampuan: a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk

meraihnya,

b) menetapkan tujuan yang menantang dan berani mengambil resiko,

c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat,

d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi.

2) Memiliki komitmen

Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu:

a) berkorban demi tercapainya tujuan,

b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama

dalam hidupnya,

c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat untuk mengambil keputusan,

d) mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya. 3) Memiliki inisiatif

Orang yang memiliki inisiatif mampu:

a) memanfaatkan peluang untuk memajukan dirinya,

(32)

c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan,

d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

4) Optimis

Orang yang memiliki sifat optimis mampu:

a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak

hambatan,

b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak takut gagal,

c) berani belajar dari kegagalan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut empati. Empati

atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu

menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. Orang-orang empatik lebih mampu

(33)

Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain. 2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain. 3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.

e. Membina Hubungan

Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola

emosi orang lain. Kemampuan membina hubungan ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2007: 59).

Menurut Goleman (2002: 404-405) orang yang memiliki kemampuan membina hubungan yang tinggi cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan

persengketaan,

2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan,

3) lebih tegas dan trampil dalam berkomunikasi,

4) lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan

teman sebaya,

5) lebih dibutuhkan oleh teman sebaya,

(34)

7) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok, 8) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong,

9) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

B. Siswa Sebagai Remaja 1. Pengertian Remaja

Adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata

bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1994: 206). Istilah adolescence, seperti

yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki

masa dewasa (Singgih,1979:17). Masa remaja juga diartikan sebagai masa atau periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan

sosio-emosional (Santrock, 2007: 20).

(35)

usia matang secara hukum. Awal masa remaja biasanya disebut sebagai “usia

belasan”, kadang-kadang bahkan disebut ”usia belasan yang tidak

menyenangkan”.

Menurut Ali dan Asrori (2005: 67-72), masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja

mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai

umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah menegah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya.

Remaja berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, status remaja agak kabur, baik bagi dirinya maupun bagi

lingkungan. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir kesepian.

Kharaktersitik remaja awal semakin terlihat melalui perkembangan fisiknya. Selama periode remaja awal perkembangan fisik yang semakin

tampak adalah perubahan fungsi alat kelamin. Karena perubahan alat kelamin semakin nyata, remaja seringkali mengalami kesukaran dalam

(36)

dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau mempedulikannya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan mereka

cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang

kadang-kadang tidak wajar (Ali dan Asrori, 2005: 68)

2. Keadaan Emosi Selama Masa Remaja

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai atau

tekanan,” suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari

perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1994: 206). Pertumbuhan pada

tahun-tahun awal puber terus berlangsung tetapi berjalan agak lambat. Pertumbuhan yang terjadi terutama bersifat melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa

puber. Oleh karena itu, perlu dicari keterangan lain yang menjelaskan ketegangan emosi yang sangat khas pada usia ini.

Penjelasan diperoleh dari kondisi sosial yang mengelilingi remaja

masa kini. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk

(37)

peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa menciptakan identitas atau status remaja kabur, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkunganya.

Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan

harapan sosial yang baru. Misalnya, masalah yang berhubungan dengan percintaan merupakan masalah yang pelik pada periode ini. Bila kisah cinta

berjalan lancar, remaja merasa bahagia, tetapi mereka menjadi sedih bilamana percintaan kurang lancar. Demikan pula, menjelang berakhirnya masa sekolah para remaja mulai mengkhawatirkan masa depan mereka.

Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irrasional, tapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan

perilaku emosional. Remaja empat belas tahun sering kali mudah marah, murah

dirangsang, dan emosinya cenderung “meledak”, tidak berusaha mengendalikan

perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka “tidak punya keprihatinan”. Jadi adanya badai dan tekanan dalam periode ini

berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja (Hurlock: 213). a. Pola emosi pada masa remaja

Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa

(38)

latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Misalnya, perlakuan

sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” membuat remaja sangat

marah dibandingkan dengan hal-hal lain (Hurlock: 213).

Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau

berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Remaja juga iri hati terhadap orang yang memiliki

benda yang lebih banyak. Ia tidak mengeluh dan menyesali diri sendiri, seperti yang dilakukan anak-anak. Remaja suka bekerja sambilan agar dapat memperoleh uang untuk membeli barang yang diinginkan atau bila perlu berhenti sekolah untuk mendapatkannya.

b. Kematangan emosi

Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai

kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan”

emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengunggkapkan emosinya dengan cara-cara

yang lebih dapat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya

(39)

menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya, remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu

emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya.

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar

memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan

pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam

hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang

sasaran” (yaitu orang yang kepadanya remaja mau mengutarakan

pelbagai kesulitannya, dan oleh tingkat penerimaan orang sasaran itu). Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, dia juga harus

belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. Meskipun cara-cara ini

dapat menyalurkan gejolak emosi yang timbul karena usaha pengendalian ungkapan emosi, namun sikap sosial terhadap perilaku menangis adalah kurang baik dibandingkan dengan sikap sosial terhadap

(40)

c. Kompetensi emosional

Di masa remaja, individu cenderung lebih menyadari siklus

emosionalnya, seperti perasaan bersalah karena marah. Kesadaran yang baru ini dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi emosi-emosinya. Remaja juga lebih terampil dalam menampilkan

emosi-emosinya ke orang lain. Sebagai contoh, mereka menjadi menyadari pentingnya menutupi rasa amarah dalam relasi sosial.

Mereka juga lebih memahami bahwa kemampuan mengkomunikasikan emosi-emosinya secara konstruktif dapat meningkatkan kualitas relasi mereka (Santrock, 2007: 202-203).

Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stress dan

fluktuasi emosional secara lebih efektif, banyak remaja tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya, mereka

rentan mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu meregulasi emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah seperti kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja,

atau gangguan makan.

Kompetensi emosional yang penting untuk dikembangkan remaja

meliputi :

(41)

2) Secara adaptif mengatasi emosi-emosi negatif dengan mengunakan strategi regulasi-diri yang dapat menurunkan

intensitas dan lamanya kondisi-kondisi emosional.

3) Memahami bahwa kondisi emosional di dalam diri tidak berkaitan dengan ekspresi keluar. Ketika remaja menjadi lebih

matang, mereka mulai memahami bagaimana perilaku emosionalnya dapat mempengaruhi orang lain, dan belajar

mempertimbangkan cara-cara menampilkan dirinya.

4) Menyadari bahwa kondisi emosionalnya tanpa menjadi perangkap.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja

Perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan

tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian halnya. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat

fluktuasi emosi yang ada pada individu tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita lihat beberapa tingkah laku emosional, misalnya agresif, rasa takut yang berlebihan, sikap apatis, dan tingkah laku menyakiti diri, seperti melukai diri

sendiri dan memukul-mukul kepala sendiri.

King (2010: 104-110) menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi emosi antara lain, faktor kognitif, faktor perilaku, dan faktor sosio-kultural.

(42)

Teori-teori kognitif yang menjelaskan emosi menekankan pada premis bahwa emosi selalu memiliki komponen kognitif. berpikir juga disebut

tanggung jawab pada perasaan cinta dan benci, kegembiraan dan sedih. Dalam teori dua faktor emosi (two-factor theory of emotion) yang dikembangkan oleh Schachter dan Singer (1962), emosi ditentukan oleh

dua faktor: rangsangan fisiologis dan pemberian label kognitif (Laura A. King, 2010: 104).

b. Faktor Perilaku

King menyampaikan bahwa komponen perilaku dapat saja berbentuk

verbal ataupun nonverbal (Laura A. King, 2010: 106). Pengungkapan cinta dinyatakan dengan kata-kata yang baik sedangkan ekspresi marah

diungakapkan dengan kata-kata yang buruk. Perilaku emosi selain ditunjukkan dengan verbal juga dengan nonverbal dari ekspresi wajah,

emosi ditunjukkan dengan menampilkan ekspresi seperti, tersenyum, menaikkan alis, dan mengernyitkan dahi.

Ekspresi wajah tidak hanya menunjukkan emosi tetapi juga mampu

mempengaruhi. Menurut hipotesis umpan balik wajah (facial feedback hypothesis), ekspresi wajah dapat mempengaruhi emosi seperti juga dapat

(43)

emosi yang tengah dirasakan. Sebagai contoh, kita merasa bahagia ketika kita tersenyum dan merasa lebih sedih ketika kita mengernyitkan dahi.

c. Faktor Sosio-kultural

Penelitian mendalam telah melihat universalitas ekspresi wajah dan kemampuan orang-orang dari beragam budaya untuk memberi label emosi

dengan tepat yang mendasari suatu ekspresi wajah tertentu (Laura A. King, 2010: 108). Bentuk ekspresi atau tampilan wajah dari satu budaya ke

budaya lainnya tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Ekspresi wajah dari emosi-emosi dasar memiliki universalitas tetapi aturan-aturan untuk menunjukkan emosi tertentu bervariasi. Aturan menampilkan emosi

(display rules) adalah standar-standar sosio-kultural yang menentukan kapan, dimana, dan bagaimana emosi-emosi ditampilkan. Contohnya,

walau bahagia adalah emosi yang diekspresikan secara universal, kapan, dimana dan bagaimana perasaan ini ditampilkan mungkin bervariasi dari

satu budaya ke budaya yang lain. d. Faktor Perkembangan Otak Remaja

Feldman (2009; 16-19), menyampaikan bahwa otak remaja merupakan

sesuatu yang terus berkembang. Perubahan dramatis pada struktur otak yang berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi perilaku dan kontrol

(44)

Dua perubahan besar dalam pararel otak remaja yang terjadi sebelum kelahiran dan selama masa bayi : pertumbuhan dan seleksi gray matter (substansi abu-abu). Lonjakan kedua dari produksi gray matter-neuron, akson, dan dendrit-dimulai sebelum pubertas dan berhubungan dengan meningkatnya produksi hormon seks di masa ini. Lonjakan pertumbuhan terjadi di lobus frontalis, yang menjalankan

perencanaan, penalaran, penilaian, regulasi emosi, dan kontrol impuls. Setelah lonjakan pertumbuhan, koneksi yang tidak digunakan diputus, dan yang tetap ada

dikuatkan. Seperti seleksi yang terjadi diawal kehidupan, proses ini menjadikan otak lebih efisien.

Pola perkembangan gray matter bertolak belakang dengan pola white matter (substansi putih), jaringan saraf yang menghubungkan bagian-bagian yang jauh pada otak. Koneksi ini menebal dan memielinasi di awal masa kanak-kanak,

dimulai dengan lobus frontalis dan bergerak menuju bagian belakan otak. Antara usia 6 dan 13 tahun, pertumbuhan mencolok terjadi pada koneksi antara lobus

(45)

Remaja memproses informasi mengenai emosi secara berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Dalam satu bidang penelitian, para peneliti memindai

aktivitas otak remaja saat mereka mengidentifikasi emosi dalam gambar wajah pada layar komputer. Remaja awal (usia 11 sampai 13 tahun) cenderung menggunakan amigdala, bagian otak dalam lobus temporal yang kecil dan berbentuk seperti kacang almond, yang berperan besar dalam reaksi emosional dan instingual. Remaja yang lebih matang, seperti orang dewasa, cenderung

menggunakan lobus frontalis, yang memungkinkan penilaian yang lebih akurat dan beralasan. Maka, pada remaja awal, perkembangan otak yang belum matang dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat. Inilah alasan yang

memungkinkan remaja untuk membuat pilihan yang tidak bijaksana, seperti penyalahgunaan alkohol atau narkoba dan melakukan aktivitas seksual beresiko.

Sebagai tambahan, sistem kortikal frontal yang belum berkembang, yang terkait dengan motivasi, impulsivitas, dan ketergantungan terhadap zat dapat membantu

menjelaskan dorongan remaja akan kesenangan, dan mencoba berbagai hal baru juga dapat menjelaskan mengapa banyak remaja sulit untuk berfokus pada tujuan jangka panjang. Ketidakmatangan otak dapat membuat beberapa remaja

mengabaikan peringatan logis dan penuh bujukan bagi orang dewasa.

Otak remaja yang masih dalam tahap perkembangan, memungkinkan mereka

(46)

konsep abstrak, dan mengendalikan dorongan, telah membangun dasar saraf yang dapat membantu kehidupan mereka seumur hidup.

Ada tiga kesimpulan mengenai perkembangan otak remaja yakni, Remaja memiliki kapasitas pengambilan keputusan yang masih berkembang, remaja terutama rentan terhadap situasi yang menekan, misalnya tekanan kelompok

sebaya; dan karakter atau kepribadian mereka belum berkembang sempurna (Feldman, 2009).

a) kekurangan dalam kapasitas pengambilan keputusan

Bahkan jika remaja dapat melakukan penalaran logis (dan banyak yang tidak dapat melakukannya), mereka tidak selalu menggunakannya

dalam membuat keputusan. Hal ini terbukti dalam situasi yang sangat emosional. Remaja rentan untuk melakukan perilaku berresiko; entah karena

keterbatasan kognitif atau keterbatasan pengalaman hidup, kurang memikirkan konsekuensi hipotesis di masa depan dan lebih memikirkan

keuntungan segera. Remaja juga lebih impulsif dibandingkan orang dewasa, serta lebih sulit dalam mengelola suasana hati dan perilaku mereka.

Beberapa perbedaan yang secara umum telah diketahui antara

pengambilan keputusan remaja dan orang dewasa tampaknya memiliki dasar neurologis. Bagian dari otak yang berhubungan dengan perencanaan jangka

(47)

berbagai hal baru dan mengambil resiko dapat menjadi penyebab meningkatnya emosionalitas dan kerentanan terhadapa stress. Korteks

prefrontal yang berhubungan dengan perencanaan jangka panjang dan pengambilan keputusan memang tidak matang sampai akhir masa remaja atau masa dewasa. Pada kondisi ini remaja tidak bisa dianggap bertanggung

jawab secara penuh terhadap tindakannya karena cara berpikir mereka belum matang seperti juga orang dewasa yang memiliki keterbelakangan mental.

b) kerentanan terhadap pengaruh kelompok teman sebaya

Ketidakmatangan otak remaja, membuat remaja dapat dengan mudah menyerah terhadap tekanan yang dapat ditolak oleh orang dewasa. Pengaruh

teman sebaya meningkat saat masa remaja karena mereka mencari kemandirian dari kendali orang tua. Keinginan remaja untuk mendapat

persetujuan dari teman sebaya dan takut mengalami penolakan dari lingkungan mempengaruhi keputusan mereka, bahkan dalam ketiadaan

pemaksaan yang nyata. Kelompok teman sebaya yang populer berfungsi sebagai model bagi perilaku remaja sendiri.

c) karakter yang belum terbentuk

Karater, identitas, dan nilai remaja belum terbentuk secara sempurna. Kenakalan remaja sering kali merupakan fase sementara dari eksperimen dan

(48)

C. Bimbingan Kelompok

Bimbingan mengandung arti bantuan atau pelayanan, artinya bimbingan itu

terjadi karena adanya kesukarelaan dari pembimbing dan yang dibimbing. Shertzen dan Stone (Winkel, 2005: 1) mengatakan bahwa bimbingan adalah suatu proses membantu orang-perorangan untuk memahami dirinya dan lingkungan

hidupnya.

Natawidjaja (Winkel, 2005: 29) mengartikan bimbingan sebagai proses

pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan

keluarga serta masyarakat. Dengan demikian ia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti.

Dalam hal bimbingan kelompok, di Indonesia yang dikenal pada umumnya hanyalah satuan-satuan kelas di jenjang pendidikan menengah yang diberi “pelajaran” bimbingan (grup guidance class); dan berbagai kelompok siswa dari

tingkatan kelas tertentu dari jenis tertentu yang dikumpulkan pada waktu-waktu

tertentu untuk kepentingan khusus (guidance group), seperti Hari Karir dan pendidikan seks. Kelompok atau grup ini berjumlah antara 35-45 siswa untuk satu

(49)

Bimbingan kelompok oleh Shertzen dan Stone (Winkel, 2005: 590) diartikan sebagai suatu proses antar-pribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan

perilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri-ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai seluruh perasaan mendalam yang dialami, saling

percaya, saling perhatian, saling pengertian, dan saling mendukung.

Salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan kecerdasaan

emosional siswa adalah melalui bimbingan kelompok. Topik-topik bimbingan mengenai kecerdasaan emosional diharapkan mampu membantu siswa dalam meningkatkan kecerdasan emosionalnya sehingga siswa dapat berhasil dengan

(50)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian ini memuat beberapa hal antara lain; mengenai jenis penelitian, subyek penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data serta

teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang

status gejala saat penelitian dilakukan. Penelitian ini diarahkan untuk menetapkan sifat suatu situasi pada waktu penyelidikan itu dilakukan. Tujuan

penelitian deskriptif adalah untuk melukiskan variabel atau kondisi “apa yang ada” dalam suatu situasi (Furchan,2007: 447). Pada penelitian ini informasi

yang hendak diperoleh adalah deskripsi tentang tingkat kecerdasan emosional siswa

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah para siswa SMP Kelas VIII Stella Duce 2

(51)

C. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini berbentuk angket/kuesioner yang

mengungkap kecerdasan emosional. Menurut Sugiyono (2010: 199), kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

dijawabnya. Ditinjau dari jawaban yang diberikan, angket atau kuesioner yang dipakai adalah kuesioner langsung. Kuesioner langsung adalah kuesioner yang

dikirim kepada responden dan langsung diisi olehnya sendiri.

Kuesioner dibuat oleh peneliti dengan berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman. Jenis kuesioner yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kuesioner berstruktur atau bentuk tertutup. Kuosioner bentuk tertutup berisi pertanyaan-pertanyaan yang disertai dengan

pilihan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. (Furchan, 2007: 260). Berikut ini dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kuesioner:

1. Skala Pengukuran Kecerdasan Emosional

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip Skala Likert : Method of Summated Rating atau metode skoring yang dijumlahkan. Skala jenis Likert merupakan sejumlah penyataan positif dan negatif mengenai suatu obyek sikap (Furchan, 2007:

(52)

2. Indikator Kecerdasan Emosional

Indikator yang digunakan untuk menyusun kuesioner kecerdasan

emosional ini berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2002) yaitu: Aspek mengelola emosi diri, indikatornya adalah kesadaran emosi, penilaian diri, dan kepercayaan diri. Aspek mengelola

emosi, indikatornya adalah mengendalikan emosi sendiri dan dapat dipercaya. Aspek memotivasi diri sendiri, indikatornya adalah dorongan

untuk berprestasi, memiliki komitmen, memiliki inisiatif, dan optimis. Aspek mengenali emosi orang lain, indikatornya adalah mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan mampu

mendengarkan orang lain. Aspek membina hubungan, indikatornya adalah mampu menyelesaikan persoalan yang timbul, mampu bergaul dan

bertenggang rasa, dan mampu bekerjasama dan suka menolong orang lain. 3. Susunan Kuesioner

Item-item kecerdasaan emosional terbagi menjadi item favorable (favorabel) dan item unfavorable (unfavorabel). Item favorable apabila isinya mendukung, memihak atau menunjukkan adanya atribut yang diukur.

Item unfavorable bila isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur.

4. Penskoran

(53)

Sering (SRG): 3, Jarang (JRG): 2, Tidak Pernah (TP): 1, sedangkan untuk pernyataan yang unfavorable skor jawaban Selalu (SLL): 1, Sering (SRG): 2, Jarang (JRG): 3, Tidak Pernah (TP): 4.

Tabel 1

Kisi-kisi Kuesioner Penelitian Kecerdasan Emosional Aspek Kecerdasan

Emosional

Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1. Mengenali emosi diri

a. Kesadaran emosi 1, 14 4, 22, 26, 49 6

b. Penilaian diri 46 33, 36, 42 4

c. Kepercayan diri 15, 20 9, 23 4

(54)

5. Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Kecerdasan Emosional

Penelitian selalu bergantung kepada pengukuran. Ada dua ciri penting

yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur : yaitu validitas dan reliabilitas. a. Validitas

Validitas menunjuk kepada sejauh mana suatu alat mampu

mengukur apa yang seharusnya diukur (Furchan, 200:293). Jadi alat ukur dikatakan valid apabila alat itu mampu mengukur apa yang

seharusnya diukur dengan memperhatikan kecermatan dan ketepatan. Validitas terbagi atas tiga macam, yaitu: validitas isi, validitas konstruk, dan validitas kriteria. Peneliti menggunakan validitas konstruk dalam

penelitian ini.

Validitas Bangunan-Pengertian (Construct Validitas) atau konstruk menunjuk kepada seberapa jauh suatu tes mengukur sifat atau bangunan-pengertian (construct) tertentu. Validitas ini adalah jenis validitas yang penting bagi tes-tes yang digunakan untuk menilai kemampuan dan sifat-kejiwaan seseorang (Furchan, 2007: 301).

Ujicoba validitas dilakukan dengan metode Pearson atau metode

Product Moment Pearson yaitu dengan mengkorelasikan skor butir pada kuesioner dengan skor totalnya. Adapun rumusnya sebagai berikut:

(55)

Keterangan :

rxy = Koefisien reliabilitas bagian ganjil dan genap N = Jumlah Responden

X = Item Ganjil Y = Item Genap

Valid atau tidaknya suatu item ditentukan oleh koefisien validitasnya. Cronbach (Azwar, 1999:103) mengatakan koefisien

validitas < 0,30 dianggap tidak memuaskan. Koefisien yang berkisar antara 0,30 sampai dengan 0,50 telah dapat memberikan kontribusi baik. Berdasarkan patokan tersebut, apabila suatu nilai korelasinya lebih dari

0,30 maka item tersebut dikatakan valid. Hasil perhitungan ujicoba yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 80 item, ada 54 item yang koefisien

validitasnya >0,30 b. Reliabilitas

Menurut Azwar (2004:83), reliabilitas adalah konsistensi atau

keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang

angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas atau mendekati 1,00 berarti semakin tinggi

(56)

dengan nilai r metode Product Moment Pearson dalam tabel statistik atas taraf signifikan 5%.

Pengujian teknik reliabilitas ini ditempuh dengan menggunakan metode belah dua (Split-half method). Metode belah dua merupakan metode yang lebih efisien, karena dalam penentuan taraf reliabilitas

suatu tes hanya mempergunakan satu tes untuk satu kali pengukuran (Masidjo, 1995:218). Metode ini sering disebut pula metode gasal

genap. Metode belah dua yang dipakai berdasarkan urutan item bernomor gasal dan genap, dengan skor-skor yang bernomor gasal dijadikan belahan pertama (X) dan skor-skor bernomor genap

dijadikan belahan kedua (Y). Selanjutnya hasil koefisien korelasi tersebut dikoreksi dengan menggunakan formula koreksi dari

Spearman-Brown formula dengan rumus sebagai berikut:

rxy xrxy rtt

1 2

Keterangan :

rtt = Koefisien reliabilitas

rxy= Koefisien korelasi belah ganjil dan genap

(57)

perhitungan skor-skor item gasal genap ujicoba adalah

. Penghitungan reliabilitas ujicoaba ujicobanya sebagai berikut:

Dengan demikian, koefisien korelasinya adalah 0,89. Koefisien korelasi tersebut kemudian dikoreksi dengan menggunakan formula

(58)

Untuk mengetahui tinggi rendahnya koefisien korelasi reliabilitas dan validitas dalam ujicoba alat ini, maka digunakan suatu

acuan yaitu daftar indeks kualifikasi reliabilitas (Masidjo, 1995:209) sebagai berikut.

No Koefisien Korelasi Kualifikasi

1. 0,91-1,00 Sangat Tinggi

2. 0,71-0,90 Tinggi

3. 0,41-0,70 Cukup

4. 0,21-0,40 Rendah

5. Negatif-0,20 Rendah sekali

Mengacu pada tabel di atas dan hasil perhitungan dengan menggunakan formula koreksi Spearman-Brown, maka dapat

dikatakan bahwa taraf reliabilitas ujicoba kuesioner kecerdasan emosional para siswa kelas VIII SMP Bopkri 2 Yogyakarta tahun

ajaran 2011/2012 sebesar 0,94 termasuk dalam kualifikasi sangat tinggi.

D. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah

(59)

Pada tahap ini peneliti melakukan beberapa hal sebagai persiapan sebelum melaksanakan penelitian, yaitu penyusunan kuesioner dan ujicoba

kuesioner.

a. Penyusunan Kuesioner

Kuesioner kecerdasan emosional pada penelitian ini disusun berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman. Pada tahap persiapan ini peneliti melakukan berbagai usaha

yaitu:

1) Menentukan variabel

2) Menentukan aspek-aspek kecerdasan emosional

3) Menentukan indikator-indikator dari kecerdasan emosional 4) Merumuskan indikator-indikator tersebut dalam butir-butir item.

5) Mengkonsultasikan instrument yang telah dibuat kepada dosen pembimbing.

6) Setelah mengkonsultasikan alat tersebut kepada dosen pembimbing, selanjutnya dilakukan uji coba.

b. Pelaksana Uji coba Kuesioner

Sebelum peneliti melakukan uji coba peneliti menghubungi pihak

(60)

pada hari sabtu, tanggal 19 November 2011 sesuai dengan jadwal yang diberikan oleh sekolah. Uji coba dilakukan pada kelas 8 B yang

berjumlah 31 siswa. Waktu uji coba adalah pukul 07.00-07.40. Skor-skor hasil uji coba dapat dilihat pada lampiran.

2. Tahap Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu menghubungi pihak sekolah SMP Stella Duce 2 Yogyakarta untuk menentukan jadwal

penelitian.

Penelitian dilakukan pada hari Sabtu, 18 February 2012. Penelitian dilakukan di kelas Sukesih pada pukul 07.00-07.40 dan kelas Utari pada pukul

08.20-09.00. Jumlah siswa pada kelas Sukesih adalah 29 dan jumlah siswa pada kelas Utari adalah 30 siswa.

Tahap pelaksanaan penelitian diawali dengan peneliti masuk ke kelas didampingi mahasiswa yang sedang PPL. Sebelum pengambilan data dimulai

peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan tujuan penelitian serta menjelaskan petunjuk tentang cara pengisian kuesioner. Peneliti meminta supaya subyek mengisi kuesioner dengan sungguh-sunggu

(61)

E. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah yang ditempuh peneliti untuk menganalisis data penelitian

tentang kecerdasan emosional para siswa kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012 adalah sebagai berikut:

1. Menentukan skor dari masing-masing alternatif jawaban yang sudah

diberikan oleh responden.

2. Menghitung jumlah skor dari masing-masing aspek.

3. Membuat tabulasi data.

4. Menghitung frekuensi berdasarkan skor untuk setiap aspek.

5. Menghitung persentase berdasarkan frekuensi yang telah diperoleh dari

setiap aspek.

6. Menentukan penggolongan tingkat masing-masing aspek kecerdasan

(62)

46 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil penelitian yang merupakan jawaban atas masalah

penelitian pertama yaitu “Seberapa tinggikah masing-masing aspek kecerdasaan

emosional para siswa SMP Kelas VIII Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran

2011/2012?”. Sedangkan jawaban terhadap masalah penelitian kedua “Manakah

butir-butir dalam setiap aspek kecerdasan emosional itu yang terindikasi rendah yang dapat

diusulkan sebagai topik bimbingan yang sesuai bagi para Siswa Kelas VIII SMP Stella Duce

2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012?” untuk mengembangkan kecerdasaan emosionalnya?” akan disajikan berdasarkan analisis terhadap skor item terrendah.

Skor item terrendah yang akan digunakan dalam pembuatan topik bimbingan yang sesuai bagi para SMP Kelas VIII Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012 dapat dilihat pada tabel 5. Usulan-usulan topik bimbingan yang sesuai bagi para SMP

Kelas VIII Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012 akan disajikan pada tabel 6.

A. Deskripsi Tingkat Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional para Siswa SMP Kelas VIII Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012.

Tingkat masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswa SMP Kelas

(63)

Penilaian Acuan Patokan tipe 1. Penilaian Acuan Patokan tipe 1 dapat dilihat

Berdasarkan patokan tersebut, tingkat masing-masing aspek kecerdasan emosioanal para siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran

2011/2012 adalah seperti yang disajikan dalam tabel 3. Tabel 3

Tingkat masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional para Siswa Kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2011/2012 No Aspek Kecerdasan Emosional Sangat

(64)

B. Pembahasan

1. Tinggi aspek-aspek kecerdasan emosional

Sebagai penelitian deskriptif, penelitian ini akan memamparkan kondisi atau

keadaan siswa apa adanya. Pembahasan ini berdasar pada teori yang ada di bab II dan

difokuskan pada tiga hal yaitu: penyebab rendahnya aspek kecerdasan emosional, akibat

yang disebabkan oleh rendahnya aspek kecerdasan emosional, dan usaha yang perlu

dilakukan untuk meningkatkan aspek-aspek kecerdasan emosional.

Pembahasan akan dilakukan pada setiap aspek kecerdasan emosional. Untuk

menghindari pengulangan yang tidak perlu, maka dalam pembahasan masing-masing

aspek kecerdasan emosional, kategori sangat rendah, rendah, dan cukup disatukan.

Kategori cukup disatukan dengan kategori sangat rendah dan rendah karena aspek-aspek

pada kategori cukup dipandang belum memberikan kepuasan. Kategori tinggi dan sangat

tinggi dari setiap aspek-aspek disatukan, karena aspek-aspek dari kedua kategori ini

dirasakan mampu memberikan kepuasan atau menunjukkan tingginya aspek-aspek

kecerdasan emosional. Kategori sangat rendah, rendah dan cukup untuk seterusnya

disebut kategori 1 dan kategori tinggi dan sangat tinggi disebut kategori 2. Tujuan

pengelompokan ini untuk memudahkan dalam pembahasan.

Berdasarkan pembagian kategori tersebut dapat dilihat tinggi rendahnya

(65)

Tabel 4

Pengkategorisasian Aspek-aspek kecerdasan emosional para siswa kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2011/2012

Di bawah ini akan disajikan pembahasan dalam setiap aspek-aspek kecerdasan

emosional. Kategori yang dibahas dalam hal ini hanyalah kategori 1 yakni aspek-aspek

kecerdasan emosional yang sangat rendah, rendah dan cukup.

a. Aspek mengenali emosi diri

Persentase aspek mengenali emosi diri para siswa SMP Stella Duce 2 Yogyakarta adalah 56% terdiri dari 0% sangat rendah, 5% rendah, 51% cukup. Para siswa pada aspek ini dirasa cukup memiliki kemampuan dalam

mengenali emosi dirinya walaupun belum memberikan kepuasan. Penyebab utama ketidakmampuan siswa dalam mengenali emosinya adalah kurangnya

kesadaran diri-mengenali perasaan sendiri sewaktu perasaan itu terjadi. Para siswa kurang memiliki kemampuan dalam memantau perasaannya dari waktu

(66)

Akibat dari kurangnya kemampuan mengenali emosi diri adalah membuat siswa berada dalam kekuasaan perasaan. Para siswa mudah larut

dalam aliran emosi dan sering kali dikuasai oleh emosi itu. Hal ini akan menyebabkan mereka kesulitan dalam pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Pengambilan keputusan yang salah pada saat mengalami

emosi akan menghasilkan efek negatif bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Siswa juga menjadi bereaksi secara berlebihan dan

melebih-lebihkan apa yang dialaminya. Reaksi berlebihan akan menyebabkan energi siswa terkuras dan ada kemungkinan mengalami gangguan fisiologis berupa pusing.

Usaha yang perlu dilakukan agar dapat meningkatkan kemampuan mengenali emosi diri adalah semakin meningkatkan kesadaran diri dalam

mengenali perasaan. Usaha ini dapat berupa pengadaan refleksi diri, membuat jurnal pribadi atau buku harian. Siswa juga dapat melatih diri dengan

menyebutkan nama-nama perasaan yang sedang dialaminya. Hal ini akan membantunya menyadari lebih cepat emosi apa yang sedang dirasakannya. b. Aspek mengelola emosi

Penyebab utama ketidakmampuan mengelola emosi adalah kesulitan dalam mengekspresikan emosi secara tepat, ketidakmampuan menangani

(67)

sendiri, kesulitan melepaskan kecemasan-kecemansan yang dialami, terlalu lama dalam kemurungan, mudah tersinggung.

Akibat dari ketidakmampuan mengelola emosi adalah tingkat frustasi yang lebih tinggi, perilaku agresif berupa perkelahian dan ejekan verbal, perasaan negative tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga, meningkatnya

perasaan kesepian dan kecemasan dalam pergaulan. Akibat lainnya adalah menerima kritik sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan yang harus

diatasi, bersikap menutup diri atau sikap bertahan yang pasif, dan mudah patah semangat.

Siswa diharapkan mampu menemukan “katarsis” yang tepat saat ia

marah. Pelepasan amarah yang tepat penting bagi siswa dalam meningkatkan kemampuan mengelola emosi. Kegiatan fisik berupa olahraga sangat penting

untuk melepaskan ketegangan-ketegangan yang dialami siswa. c. Aspek memotivasi diri sendiri

Penyebab utama rendahnya kemampuan memotivasi diri sendiri adalah kurangnya kendali diri emosional. Kendali diri emosional berupa kemampuan menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan

hati. Luapan emosi yang mengganggu dapat merusak perjumpaan atau pertemanan.

Gambar

Tabel 1.  Kisi-kisi Kuesioner Penelitian Kecerdasan Emosional .…………….37
Tabel 1 Kisi-kisi Kuesioner Penelitian Kecerdasan Emosional
tabel 6. A. Deskripsi Tingkat Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional para Siswa
Tabel 2 PAP tipe 1
+4

Referensi

Dokumen terkait

membuat aplikasi dalam Android adalah Adobe Flash dengan. bahasa pemrograman Actionscript

Selanjutnya, ide ini diterapkan dalam pemberian perawatan pada orang lain secara nyata menggunakan pendekatan yang sistematik dengan menggunakan proses keperawatan mulai dari

Manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan interaktif company profile perusahaan jasa konstruksi CV.. Menjadi referensi bagi kalangan desainer 3D maupun animator

Untuk mengatasinya digunakan alat yang memakai prinsip pantulan dari cermin, dimana perubahan posisi cermin yang sangat kecil ( akibat perpanjangan batang) menyebabkan

Karena fitur keamanan yang ada pada standar 802.11 tidak menyediakan integritas pesan yang kuat, bentuk lain dari serangan aktif yang membobol integritas sistem sangat

Baiquni pada tahun 2007 dalam Sahputra (2009: 11) menyatakan dalam situasi belajar yang sifatnya kompleks dan menyeluruh serta membutuhkan dan melibatkan interaksi, sering

Penelitian tentang degree diameter problem menghasilkan dua kegiatan penelitian yang utama, yaitu mengkonstruksi graf berarah dengan ordo lebih besar dari ordo graf berarah yang

1) Mendukung konsep materi dalam kegiatan belajar mengajar. 2) Mudah dan aman digunakan baik oleh siswa maupun guru. 3) Sesuai dengan tingkat perkembangan anak. 4) Mendukung