• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecukupan Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga

III. METODE PENELITIAN

4.1. Kecukupan Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga

Hasil wawancara langsung terhadap unit usaha jasa boga dan unit usaha pengguna jasa boga diperoleh dengan memberikan pertanyaan seputar pengetahuan tentang sertifikasi keamanan pangan jasa boga. Data yang diperoleh digolongkan dalam 2 kategori yaitu unit usaha jasa boga atau catering, dan unit usaha pengguna jasa boga. Tabel 10 menunjukkan hasil wawancara terhadap pelaku usaha jasa boga atau katering yang menunjukkan pengetahuan pelaku jasa boga terhadap program keamanan pangan.

Pada kategori unit usaha jasa boga, semua unit usaha mengenal sertifikat laik hygiene sanitasi dan HACCP, dan hanya unit usaha golongan B yang pernah mendengar mengenai program CPPB dari Badan POM tetapi tidak mengetahui secara jelas mengenai tahap-tahap pelaksanaanya.

Tabel 10. Hasil wawancara unit usaha jasa boga (n=3) Unit Usaha

Jasa Boga

Golongan Usaha

Jasa Boga Hasil Wawancara

1 A3

- Mengenal dan memiliki sertifikat laik

hygiene dan sanitasi

- Mengenal HACCP dengan baik

- Tidak mengetahui tentang program piagam

bintang keamanan pangan dan program CPPB

2 A3

- Mengenal dan memiliki sertifikat laik

hygiene dan sanitasi

- Mengenal HACCP dengan baik

- Tidak mengetahui tentang program piagam

bintang keamanan pangan dan program CPPB

3 B

- Mengenal dan memiliki sertifikat laik

hygiene dan sanitasi

- Mengenal HACCP dengan baik

- Pernah mendengar mengenai program CPPB

tetapi tidak mengetahui isi dari program tersebut

- Tidak mengetahui tentang program piagam

bintang keamanan pangan

Pengetahuan unit usaha jasa boga yang diwawancarai terhadap sertifikat laik hygiene sanitasi sangat baik. Hal ini dapat difahami karena

semua unit usaha jasa boga yang diwawancarai telah memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi sesuai dengan peraturan pemerintah yang tertuang pada Permenkes Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011. Untuk sertifikat HACCP yang dikenal oleh semua responden dikarenakan sertifikat ini merupakan persyaratan yang diminta oleh calon pengguna jasa boga. Sedangkan Program Piagam Bintang Keamanan Pangan hampir tidak dikenal oleh unit usaha jasa boga, demikian pula dengan CPPB. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun program piagam bintang kemanan pangan dan CPPB telah lama di gulirkan oleh pemerintah, tetapi sosialisasinya terutama kepada pelaku usaha jasa boga masih sangat kurang. Walaupun CPPB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk HACCP, namun belum ada CPPB yang khusus diperuntukan bagi usaha jasa boga, karenanya dalam pelaksanaan pengelolaan pangan jasa boga yang baik, perusahaan menerapkan pelaksanaan hygiene sanitasi sesuai dengan Permenkes 2011. Hal ini menyebabkan unit usaha jasa boga tidak mengenal istilah CPPB tetapi mengenal HACCP.

Dalam hal kategori unit usaha pengguna jasa boga, terdapat 1 unit usaha yang tidak mengenal semua sertifikat keamanan pangan yang ditanyakan, 26 unit usaha hanya mengenal sertifikat HACCP, dan 1 unit usaha mengenal sertifikat HACCP dan pernah mendengar tentang program CPPB. Tabel 11 menunjukkan hasil wawancara terhadap unit usaha pengguna jasa boga dimana pengetahuan pengguna jasa boga terhadap sertifikat HACCP cukup baik, tetapi pengetahuan tentang program piagam bintang keamanan pangan dan CPPB sangat kurang. Selain itu, tidak ada dari responden yang diwawancarai mengetahui tentang sertifikat laik hygiene sanitasi yang berarti bahwa responden juga tidak mengetahui keharusan usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi sebagai persyaratan ijin usahanya, padahal pemerintah mengeluarkan Permenkes Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 mengenai laik hygiene dan sanitasi jasa boga bertujuan untuk melindungi masyarakat pengguna jasa boga dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan termasuk melindungi masyarakat dari penyakit yang ditularkan melalui pangan seperti keracunan akibat pangan.

Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi sistem HACCP cukup efektif sampai kepada masyarakat terutama unit usaha pengguna jasa boga, sebaliknya sosialisasi program piagam bintang keamanan pangan, CPPB, dan sertifikat laik hygiene sanitasi masih kurang.

Tabel 11. Hasil wawancara unit usaha pengguna jasa boga (n=28) Kategori Pengguna Jasa Boga Jumlah Unit Usaha Pengguna Jasa Boga Asal Pengetahuan Sertifikat

Jenis Usaha Pengguna Jasa Boga Tidak mengenal

sama sekali 1 - Pabrik Non Pangan

Mengenal sertifikat HACCP 26 Informasi dari media cetak dan relasi Asrama Polisi = 1, Asrama AD & AL =2, Kantor Non Pangan = 4,

Sekolah = 5, Pabrik Non Pangan = 14 Mengenal

sertifikat HACCP dan program

CPPB

1 Pelatihan Pabrik Pangan

Keluhan dan

kasus KLB 0 -

Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa media cetak serta informasi dari rekanan cukup efektif sebagai media promosi HACCP. Selain itu, bila dilihat dari latar belakang jenis usaha pengguna jasa boga, 1 unit usaha yang mengenal HACCP dan CPPB melalui pelatihan, hal ini dapat difahami karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut merupakan unit usaha yang bergerak dalam produksi pangan. Untuk 1 unit usaha yang tidak mengenal semua sertifikat keamanan pangan yang ditanyakan, hal ini dapat dimengerti karena unit usaha pengguna jasa boga tersebut bergerak dalam bidang non pangan yaitu alat-alat berat untuk pembangunan jalan, sehingga informasi mengenai jaminan kemanan pangan jasa boga sangat terbatas. Sedangkan untuk 26 unit usaha yang hanya mengenal HACCP melalui media cetak dapat dimaklumi karena jenis usaha pengguna jasa boga yang juga dibidang non pangan.

Untuk menumbuhkan pengetahuan pengguna jasa boga akan sertifikat keamanan pangan terutama sertifikat laik hygiene sanitasi oleh jasa boga, diperlukan sosialisasi pemerintah yang lebih luas lagi dan dapat menjangkau unit usaha pengguna jasa boga padat karya yang jumlah pekerjanya lebih

banyak lagi. Media promosi dapat digunakan sebagai alternatif alat sosialisasi mengenai program keamanan pangan. Menurut Kennedy (2009), peran media sangat dibutuhkan dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, dengan adanya media akan mempermudah khalayak untuk memahami pesan yang disampaikan kepada mereka. Dengan menggunakan media promosi, diharapkan sosialisasi serta penyuluhan keamanan pangan akan lebih efektif, hanya saja menurut Efriza (2009), dalam menggunakan media promosi untuk penyuluhan dan menyampaikan pesan kepada masyarakat, perlu diperhatikan golongan responden yang akan menerima pesan serta memilih media promosi yang tepat supaya pesan yang disampaikan dapat diterima dan diimplementasikan.

Pendalaman lebih lanjut melalui wawancara dengan responden menunjukkan bahwa semua unit usaha pengguna jasa boga, selama menggunakan jasa boga tidak terdapat keluhan keracunan pangan atau kasus KLB keracunan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang telah dimiliki oleh jasa boga cukup efektif untuk menekan kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan oleh jasa boga. Adapun pengetahuan dan kebutuhan jasa boga akan penerapan dan sertifikasi HACCP lebih disebabkan karena tuntutan pengguna jasa boga yang kebanyakan lebih mengenal sistem HACCP.

Tahap penelitian selanjutnya, dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit atau keracunan yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga dan data jumlah pertumbuhan usaha jasa boga.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan POM RI tahun 2012, Antara tahun 2001 sampai 2011 terjadi kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan yang terlaporkan dengan jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Data yang ditunjukkan pada Tabel 12 memberikan informasi bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan walaupun fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya

meningkat dari tahun 2001 sebanyak 26 KLB menjadi 128 KLB pada tahun 2011. Demikian pula dengan jumlah korban KLB keracunan pangan juga mengalami fluktuatif tetapi secara umum jumlahnya terus meningkat, dari tahun 2001 sebanyak 1183 korban menjadi 6901 korban pada tahun 2011.

Tabel 12. Total KLB keracunan pangan yang terlaporkan, jumlah orang yang mengkonsumsi dan jumlah korban KLB keracunan pangan

tahun 2001 – 2011

TAHUN JUMLAH

KLB MAKAN KASUS/KORBAN MENINGGAL

2001 26 1965 1183 16 2002 43 6543 3635 10 2003 34 8651 1843 12 2004 164 22297 7366 51 2005 184 23864 8949 49 2006 159 21145 8733 40 2007 179 19120 7471 54 2008 197 25268 8943 79 2009 115 7815 3239 17 2010 163 10195 5510 68 2011 128 18144 6901 11

Sama halnya dengan jumlah korban yang meninggal akibat KLB keracunan pangan, dari tahun 2001 sebanyak 16 korban meninggal dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebanyak 79 korban meninggal. Angka ini terus fluktuatif hingga tahun 2011 menjadi 11 korban meninggal, walaupun angka ini turun tetapi tetap tinggi untuk kasus kehilangan nyawa akibat keracunan pangan.

Perlu digaris bawahi bahwa semua data jumlah KLB keracunan pangan ini adalah kasus KLB yang terlaporkan. WHO menyebutkan bahwa setiap satu kasus yang berkaitan dengan KLB keracunan pangan di suatu Negara berkembang, maka paling tidak terdapat 99 kasus lain yang tidak dilaporkan. Ini berarti, jumlah korban KLB keracunan pangan yang sebenarnya jauh di atas angka yang dihimpun oleh BPOM.

Untuk jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat dari Tabel 13. Presentase jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan untuk pangan jasa boga secara umum menempati urutan kedua terbesar setelah masakan rumah tangga yaitu sebesar 21.62% (Tabel 13). Persentase ini cukup tinggi untuk suatu usaha yang pengelolaannya diatur oleh pemerintah melalui Permenkes. Tingginya angka jenis pangan jasa boga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dibandingkan masakan rumah tangga pada rentang tahun 2001 sampai 2002 dapat disebabkan pada kurun waktu tersebut belum adanya Peraturan Menteri Kesehatan mengenai hygiene dan sanitasi untuk usaha jasa boga. Angka ini berbalik menurun menjadi lebih kecil dibandingkan masakan rumah tangga pada tahun 2003 sampai 2011 kemungkinan hal ini dapat disebabkan pada tahun 2003 Permenkes mengenai hygiene sanitasi jasa boga telah dikeluarkan oleh pemerintah, dan dapat juga dimungkinkan oleh system pelaporan dan monitoring yang sudah lebih baik.

Tabel 13. Jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan tahun 2001 – 2011

Tahun Jenis Pangan Total KLB Masakan Rumah Tangga Pangan Olahan Pangan Jasa Boga Jajanan Lain-lain Tidak dilaporkan 2001 5 5 11 5 0 0 26 2002 8 8 15 7 0 5 43 2003 11 9 10 2 0 2 34 2004 88 25 25 20 0 6 164 2005 78 28 39 33 0 6 184 2006 68 21 43 26 1 0 159 2007 104 22 27 18 8 0 179 2008 82 31 51 31 2 0 197 2009 47 28 18 22 0 0 115 2010 71 28 32 22 4 6 163 2011 58 16 30 16 8 0 128 Total 620 221 301 202 23 25 1392 % 44.54 15.88 21.62 14.51 1.65 1.80 100.00

Pada Tabel 13 terlihat bahwa presentase tertinggi jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan justru disebabkan oleh masakan rumah tangga yaitu sebesar 44.54%. Tingginya masakan rumah tangga sebagai penyebab KLB keracunan pangan dapat disebabkan masakan rumah tangga yang dimasak secara massal yang diperuntukkan untuk orang banyak, tidak terdapat regulasi mengenai hygiene dan sanitasi yang wajib diikuti oleh pengolah masakan rumah tangga, dan seyogyanya disediakan oleh jasa boga. Perlu bagi pihak-pihak yang berwenang untuk memikirkan bagaimana mengatur pengelola masakan rumah tangga yang dimasak secara massal dan diperuntukkan bagi konsumen dengan jumlah yang cukup banyak, agar mengetahui wawasan mengenai hygiene dan sanitasi pengelolaan pangan yang baik.

Gambar 4. Persentase Jenis Pangan Penyebab KLB Keracunan Pangan Terlapor Tahun 2001-2011.

Jika difokuskan pada tiga terbesar kontribusi persentase jenis pangan penyebab KLB Keracunan Pangan terhadap total kasus KLB yang dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu masakan rumah tangga, pangan olahan, dan pangan jasa boga yang terlaporkan sepanjang tahun 2001 sampai 2011 terlihat bahwa pangan jasa boga sebagai penyebab KLB memiliki kecendrungan turun selama rentang tahun 2001 sampai 2004, berbeda dengan

dua penyebab lainnya yang memiliki kecendrungan naik selama rentang tahun yang sama.

Namun demikian, untuk ketiga jenis penyebab KLB, persentase ini menunjukkan fluktuatif selama tahun 2004 sampai 2011. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut data yang dihimpun oleh BPOM, penyebab KLB keracunan pangan termasuk pangan produk jasa boga sepanjang tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 14 yang menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan yang dapat dideteksi adalah karena adanya cemaran mikroba yang tinggi termasuk cemaran mikroba patogen (19.76%) dan bahan kimia (12.64%).

Tabel 14. Penyebab KLB keracunan pangan yang terlaporkan tahun 2001 – 2011

Tahun

Penyebab

Total Mikroba Kimia Tidak Terdeteksi/Tidak dapat

ditentukan 2001 6 5 15 26 2002 12 6 25 43 2003 9 1 24 34 2004 36 22 106 164 2005 28 14 142 184 2006 25 15 119 159 2007 29 25 125 179 2008 54 37 106 197 2009 22 10 83 115 2010 16 22 125 163 2011 38 19 71 128 Total 275 176 941 1392 % 19.76 12.64 67.60 100.00

Adanya mikroba pada pangan salah satunya dapat disebabkan oleh kondisi sanitasi dan hygiene sarana produksi dan tempat mengolah pangan yang buruk. Menurut Cahyono, 2009, pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan

sanitasi, sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi kategori golongan. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau usaha berskala besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gumilar (1999) yang menyatakan bahwa tingkat kontaminasi makanan ternyata lebih banyak pada penanggungjawab usaha jasa boga yang tidak pernah mengikuti pelatihan penyuluhan.

Presentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan Tabel 14, justru tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan penyebabnya sebesar 67.60%. Hal ini dapat disebabkan antara lain oleh kesalahan penanganan sampel, keterbatasan kapasitas SDM dan fasilitas laboratorium, ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan pelaporan KLB keracunan pangan, dan keterbatasan dalam akses ke laboratorium rujukan (BPOM, 2009).

Sedangkan profil persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi atau tidak dapat ditentukan ini dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Persentase penyebab KLB keracunan pangan yang tidak terdeteksi tahun 2001 – 2011.

Tahun Total KLB Penyebab yang tidak

terdeteksi/tidak dapat ditentukan %

2001 26 15 57.69 2002 43 25 58.14 2003 34 24 70.59 2004 164 106 64.63 2005 184 142 77.17 2006 159 119 74.84 2007 179 125 69.83 2008 197 106 53.81 2009 115 83 72.17 2010 163 125 76.69 2011 128 71 55.47

Dari data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa walaupun persentase tertinggi penyebab KLB keracunan pangan adalah dikarenakan hal-hal yang tidak bisa ditentukan atau penyebabnya tidak terdeteksi, profil persentase penyebab yang tidak terdeteksi inipun tiap tahun nya mengalami fluktuatif. Namun demikian nilainya setiap tahun selalu cukup tinggi yaitu lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir belum ada metode penanganan sampel yang efektif serta system deteksi dini guna penanganan investigasi KLB keracunan pangan.

Mencermati perkembangan pola dan frekuensi kejadian keracunan pangan di tengah-tengah masyarakat, maka sistem deteksi dini dan investigasi KLB keracunan pangan merupakan hal yang sangat penting karena dapat memberikan sumbangsih besar dalam menjaga keamanan pangan, terutama dalam mengungkap kelemahan mata rantai produksi pangan termasuk pangan siap saji (Imari, 2011).

Dalam rangka mengatasi hal ini, Badan POM RI telah menyusun langkah-langkah guna meningkatkan kemampuan SDM untuk surveilan KLB keracunan pangan dan program-program terkait penanganan KLB keracunan pangan (BPOM, 2011). Hanya saja, sebaik-baiknya program yang telah disusun, perlu ada evaluasi untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan sistem yang dibangun. Pada era otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan ujung tombak terhadap penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di daerah, karena itu program yang telah disusun oleh pemerintah harus melibatkan tiga tingkatan administrasi pemerintahan yaitu tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.

Untuk mengetahui indikasi tingkat kecukupan sistem keamanan pangan pada industri jasa boga, dapat dilihat tren data pertumbuhan jumlah usaha jasa boga/katering dan data korban kasus KLB keracunan pangan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2008 sampai 2011 yang dapat dilihat pada Gambar 5.

Dari Gambar 5 diketahui bahwa tren pertumbuhan usaha jasa boga (bersertifikat dan tidak) pada rentang tahun 2008 – 2011 seiring dengan

peningkatan korban kasus KLB keracunan pangan. Walaupun penyebab KLB Keracunan Pangan di Kota Depok yang terlaporkan sepanjang tahun 2008 – 2011 melibatkan masakan rumah tangga, jajanan, dan jasa boga, namun demikian berdasarkan investigasi langsung ke lapangan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa semua jasa boga atau katering yang menyebabkan KLB keracunan pangan belum memiliki sertifikat laik hygiene dan sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok. Hal ini menunjukkan bahwa Sertifikat ini penting dan cukup dalam upaya menekan kasus KLB keracunan pangan oleh pangan jasa boga. Hal penting lainnya adalah masih kurangnya pengetahuan pengguna jasa boga tentang sertifikasi keamanan pangan yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi, tercermin dari tidak adanya pengguna jasa boga yang mempersyaratkan unit usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat keamanan pangan ini (Tabel 11) sebelum melakukan kerjasama. Padahal pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan (Cahyono, 2009).

Gambar 5. Tren Pertumbuhan Usaha Jasa Boga dan

Korban KLB Keracunan Pangan Terlapor di Kota Depok Tahun 2008-2011. Jika diamati dari Gambar 5 diketahui bahwa sampai tahun 2011, tercatat ada sebanyak 100 usaha jasa boga yang beroperasi di wilayah Kota Depok. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Depok, hingga akhir tahun 2011

ada sebanyak 63 usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat dan 37 usaha jasa boga yang belum memiliki Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian pengusaha jasa boga terhadap jaminan keamanan pangan yang diwujudkan dalam kepemilikan sertifikat laik hygiene sanitasi. Selain itu perlu ada pengawasan dan tindakan tegas dari instansi berwenang di tingkat wilayah tempat jasa boga beroperasi. Pengawasan dan tindak lanjut pengawasan yang dilakukan oleh instansi berwenang harus ditingkatkan dan memberikan efek jera (Rahayu, 2007), dengan mengeluarkan perda misalnya, sehingga instansi pemerintah yang berwenang di tingkat daerah memiliki kekuatan hukum dalam mengambil tindakan terhadap temuan untuk usaha jasa boga yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi serta jika ditemui kasus KLB keracunan pangan yang dihasilkan oleh jasa boga. Hasil Kajian BPKN bidang pangan (2011), merekomendasikan perlu adanya pembinaan dan pengawasan intensif dari instansi berwenang untuk usaha jasa boga supaya senantiasa dapat menghasilkan pangan siap saji yang aman dan bergizi.

Meskipun program keamanan pangan untuk jasa boga khususnya kewajiban Sertifikat Laik Hygiene dan Sanitasi dinilai cukup, namun demikian kenyataan di lapangan masih saja terjadi kasus KLB keracunan pangan. Berdasarkan data yang diperoleh sepanjang tahun 2012 ini, diperoleh beberapa kasus KLB akibat keracunan pangan di beberapa tempat berbeda yang dapat dilihat pada Tabel 16.

Dari keenam data kejadian KLB keracunan pangan yang dihimpun sepanjang tahun 2012 (Tabel 16), terlihat bahwa sebagian besar kasus KLB keracunan pangan terutama pangan siap saji disebabkan oleh masakan rumah tangga dan warung yang memang tidak memiliki kewajiban bersertifikat laik hygiene sanitasi. Untuk kasus keempat dari Tabel 16 terlihat bahwa usaha jasa boga/katering yang menyebabkan kasus KLB keracunan pangan adalah usaha jasa boga/katering yang tidak memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi jasa boga yang memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi terhadap kasus KLB keracunan pangan sangat kecil sehingga

dapat dilihat bahwa sertifikat laik hyhiene sanitasi cukup untuk menekan kemungkinan KLB keracunan pangan.

Berdasarkan data kasus-kasus KLB keracunan pangan, perlu untuk membedakan antara kecukupan sistem keamanan pangan dengan pelaksanaan sistem keamanan pangan di lapangan. Menurut kajian di atas, diketahui bahwa sistem keamanan yang telah diprogramkan pemerintah untuk industri jasa boga cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan akibat jasa boga. Tetapi berbeda halnya dalam pelaksanaan di lapangan.

Tabel 16. Kasus KLB keracunan kangan sepanjang tahun 2012 di beberapa tempat berbeda.

Waktu dan Lokasi Jumlah Korban /

Tempat Kasus Sumber

5 Mei 2012, Kampung Kandang Sapi Lor, Tangerang Selatan, Banten

Belasan warga kampong / Acara Pesta Khitanan

KLB akibat keracunan pangan ini terjadi setelah warga menyantap pangan di sebuah pesta khitanan yang dimasak oleh para kerabat keluarga di lokasi dekat tempat pesta tersebut Dinkes Tangerang 10 Mei 2012, Desa Hargosari, Kecamatan Sine, Ngawi 14 warga / Sawah tanam padi

Korban merasa pusing, perut mual, dan munah-muntah setelah makan makanan yang dimasak di rumah oleh pemilik sawah

metrotv.com

27 Mei 2012, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan

41 orang / Acara Ulang Tahun

KLB akibat keracunan pangan setelah menyantap nasi kuning di acara ulang tahun seorang anak setempat, korban merasa mual, muntah, pusing, suhu badan naik dan mengalami keringat dingin.

Tribun Jakarta, Edisi 28 Mei 2012

7 Juni 2012, pabrik elektronik di daerah jalan raya bogor

81 orang / Pabrik elektronik

KLB akibat keracunan pangan dengan gejala diare dan mual setelah menyantap makan siang yang disediakan oleh usaha jasa boga/katering perusahaan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, usaha jasa boga/katering tersebut belum memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi.

Dinkes Depok 17 Juni 2012, Kampung Pabuaran, Desa Kertajaya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor 38 orang / Acara Hajatan

KLB akibat keracunan pangan sehabis menyantap hidangan hajatan, korban mengalami mual dan kepala pusing setelah menyantap hidangan pada hajatan tersebut yang dimasak oleh bantuan para tetangga di lokasi dekat acara hejatan tersebut

Media Bogor+, Edisi 19 Juni 2012

Dari data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Depok, diketahui bahwa untuk jasa boga yang sudah mendaftar tetapi belum memenuhi persyaratan hygiene dan santasi sesuai Permenkes No. 1096/Menkes/PER/VI/2011, maka jasa boga yang bersangkutan belum mendapatkan sertifikat. Kenyataan di lapangan, belum ada tindak lanjut yang

jelas untuk jasa boga seperti ini, sementara jasa boga yang bersangkutan tetap melakukan usahanya walaupun sertifikat laik hygiene sanitasinya belum terbit. Tidak adanya aspek perangkat hukum untuk jasa boga yang telah beroperasi tetapi belum memiliki sertifikat merupakan kendala utama yang dirasa oleh Dinas Kesehatan Kota Depok ketika melakukan pengawasan, demikian pula di lapangan ditemukan kesulitan dalam mengambil tindak lanjut pengawasan yang harus dilakukan untuk jasa boga tidak bersertifikat yang diketahui telah menyebabkan KLB keracunan pangan. Oleh karena itu

Dokumen terkait