• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO 2 pada Lahan Gambut

Kedalaman muka air tanah dipengaruhi oleh adanya proses drainase lahan gambut yang diperlukan untuk pengelolaan kebun kelapa sawit, baik untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit juga untuk digunakan sebagai akses jalan. Perubahan kedalaman muka air tanah pada lahan gambut ini mempengaruhi proses keluarnya CO2 ke atmosfer melalui suasana oksidasi dan reduksi yang terbentuk. Handayani (2009) menyebutkan bahwa dari hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang (muka air tanah lebih dangkal).

Pengukuran kedalaman muka air ini dilakukan pada musim hujan, sehingga perubahan kedalaman muka airnya kurang terlihat jelas. Data hasil

0 200 400 600 800 1000 1200 Fluks CO2 (mg/m2/jam) Piringan Luar Piringan

18 pengukuran dari setiap kebun seperti yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan kedalaman muka air tanah cenderung menurun mulai dari jarak 5-10 m, 75 m sampai 150 m. Kedalaman muka air tanah dapat mempengaruhi terciptanya suasana oksidasi, di mana pada kondisi tersebut proses dekomposisi menjadi lebih cepat. Hal berbeda terjadi pada Kebun Sulin-1 di mana kedalaman muka air tanah pada setiap jarak sama yakni 35 cm. Hal ini diduga karena pengukuran yang dilakukan pada musim hujan sehingga menyebabkan muka air pada saluran drainase yang dangkal mempengaruhi kedalaman muka air tanah pada transek tersebut. Kedalaman muka air tanah pada musim hujan kurang dapat menunjukkan dengan jelas perubahan kedalaman muka air tanah yang terjadi. Kedalaman muka air tanah pada setiap kebun berbeda-beda, berkisar antara 30-59 cm.

Tabel 4. Fluks CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi Penelitian

Kebun Jarak (m) Kedalaman Muka Air (cm) Fluks CO2 (mg/m2/jam) Piringan Luar piringan

Sulin 1 5-10 35 564,85 690,78 75 35 583,50 481,47 150 35 731,11 523,21 Sulin 2 5-10 38 629,69 436,42 75 35 810,50 815,27 150 36 706,89 1046,00 Nahiyang 1 5-10 50 452,01 768,14 75 50 395,49 714,43 150 40 717,15 863,90 Nahiyang 2 5-10 50 708,27 571,21 75 45 454,41 280,08 150 45 404,30 790,10 Tanjung Paring 5-10 59 1258,89 516,40 75 36 546,14 997,68 150 30 1334,00 510,88

Fluks CO2 yang dihasilkan dari setiap kebun beragam. Apabila seluruh nilai fluks yang diamati dikelompokan akan diperoleh diagram pencar seperti Gambar 2. Fluks yang terukur pada kedalaman muka air tanah yang berbeda-beda,

19 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 F luks C O2 (m g/m 2 /ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Fluks CO2di Dalam dan di Luar Piringan

Piringan Luar piringan

serta lokasi yang berada baik di piringan maupun di luar pringan tidak membentuk pola yang dapat menunjukkan adanya hubungan diantara fluks CO2, kedalaman muka air, maupun lokasi pengukuran. Rata-rata kedalaman muka air tanah dari semua kebun berkisar antara 35-60 cm, sedangkan fluks yang dihasilkan berkisar antara 200-1300 mg/m2/jam.

Gambar 2. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi Penelitian

Analisis sulit dilakukan jika nilai fluks CO2 digabungsecara keseluruhan. Oleh karena itu, fluks CO2 yang dihasilkan dari pengukuran dibedakan berdasarkan lokasinya dari tanaman, yaitu di piringan dan di luar piringan (Gambar 3 dan Gambar 4). Gambar 3 menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan. Fluks CO2 yang terukur paling tinggi terdapat pada Kebun Tanjung Paring yaitu mencapai 1334 mg/m2/jam, meskipun kedalaman muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Sedangkan pada kedalaman muka air 59 cm di titik yang lebih dekat dengan saluran drainase fluks yang dihasilkan sebesar 1258,89 mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan menurun pada kedalaman muka air setinggi 36 cm, yaitu menjadi 546,14 mg/m2/jam. Kedalaman muka air yang tinggi menyebakan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut, sehingga fluks yang dihasilkan pada titik yang lebih dekat dengan saluran lebih tinggi. Namun fluks yang lebih tinggi (1334 mg/m2/jam) justru terdapat pada titik yang lebih jauh dari saluran drainase, meskipun kedalaman muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh faktor biologi

20 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 F luks C O2 (m g/m 2/ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Fluks CO2di Dalam Piringan

yaitu dari akar tanaman serta aktifitas organisme di daerah rizhosfer. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dimana fluks tertinggi terdapat pada piringan.

Fluks CO2 terendah yang didapatkan dari hasil pengukuran berada di Kebun Nahiyang-1 yaitu 395,49 mg/m2/jam dengan kedalaman muka airnya sebesar 50 cm, sedangkan pada kedalaman muka air yang lebih dangkal (40 cm) fluks CO2 justru meningkat menjadi 717,15 mg/m2/jam. Pola yang sama dengan hasil pengukuran di Kebun Tanjung Paring dimana fluks CO2 yang dihasilkan pada kedalaman muka air tanah 30 cm lebih besar dibandingkan pada kedalaman 36 cm dan juga 59 cm. Peningkatan fluks CO2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah ternyata kurang konsisten pada hasil penelitian ini (Lampiran 4). Pada Kebun Sulin-1 terjadi peningkatan fluks CO2 meskipun kedalaman muka air tanahnya konstan. Kebun Sulin-2 justru menunjukkan fluks CO2 pada kedalaman muka air tanah yang lebih dangkal menghasilkan fluks CO2 yang lebih tinggi.

Gambar 3. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Dalam Piringan pada Lokasi Penelitian

Hal berbeda terjadi pada kebun Nahiyang-2. Di kedalaman muka air tanah 50 cm, fluks CO2 yang dihasilkan 708,27 mg/m2/jam, selanjutnya fluks CO2 turun menjadi 454,41 mg/m2/jam pada kedalaman muka air tanah setinggi 45 cm. Penurunan nilai fluks CO2 tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah yang semakin dangkal dengan semakin jauh jaraknya dari saluran drainase menghasilkan nilai fluks CO2 yang juga semakin menurun. Selanjutnya fluks CO2 semakin menurun menjadi 404,30 mg/m2/jam meskipun kedalaman muka airnya

21 tetap sama. Penurunan nilai fluks CO2 pada kedalaman yang sama namun jarak yang berbeda dari saluran drainase tidak sebesar dengan penurunan fluks CO2 saat kedalaman muka air tanahnya berubah dari 50 cm menjadi 45 cm. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh kedalaman muka air tanah dengan fluks CO2 yang dihasilkan, di mana muka air tanah yang lebih dalam akan menciptakan kondisi aerob yang mempercepat proses dekomposisi.

Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan. Fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan dominan lebih tinggi dibandingkan fluks CO2 yang dihasilkan di dalam piringan. Fluks CO2 di piringan yang dihasilkan lebih menyebar dibandingkan fluks CO2 di luar piringan. Fluks tertinggi terdapat di Kebun Sulin-2 yaitu 1046 mg/m2/jam, sedangkan fluks terendah terdapat di Kebun Nahiyang-2 yaitu 280,08 mg/m2/jam.

Pola pada Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO2 dari seluruh kebun cenderung menurun dengan semakin meningkatnya kedalaman muka air tanah, begitu pula jika dilihat pada masing-masing kebun. Hal tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah kurang memberikan pengaruh yang nyata. Hasil yang sama dari penelitian Watannabe et al. (2009), di mana disebutkan kedalaman muka air tanah tidak memberikan pengaruh yang nyata pada fluks CO2. Jauhiainen et al. (2005) dalam Watannabe et al. (2009) juga menyebutkan adanya kepekaan yang rendah dari fluks CO2 dengan kedalaman muka air tanah yang ditemukan di hutan rawa gambut di Kalimantan.

Selain faktor suhu, banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya pola seperti Gambar 4. Handayani (2009) di dalam penelitiannya juga mengalami dinamika seperti yang terjadi pada hasil penelitian ini, namun dalam skala emisi (ton/ha/tahun). Tingkat kematangan dan kedalaman gambut serta sistem pengelolaan pada kebun diduga menjadi faktor yang mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan. Purwanto et al. (2005) dalam Watannabe et al. (2009) menyebutkan bahwa akumulasi bahan gambut yang lebih bersifat aromatik pada gambut tropis lebih banyak dibandingkan gambut sub tropis, yang kemungkinan diperoleh dari vegetasi yang berbeda-beda dan tingkat dekomposisi dari campuran bahan organik yang masih labil, menjadi penyebab dari variasi yang rendah dari nilai fluks CO2.

22 0 200 400 600 800 1000 1200 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 F luks C O2 (m g/m 2 /ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Fluks CO2di Luar Piringan

Gambar 4. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Luar Piringan pada Lokasi Penelitian

Dokumen terkait