• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengukuran fluks CO2 dalam jangka waktu yang panjang (termasuk musim kemarau) dan pada area yang lebih luas agar data yang diperoleh lebih dapat mewakili nilai fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Andriesse J. P. 2003. Ekologi dan Pengelolaaan Tanah Gambut Tropika. Cahyo Wibowo dan Istomo [penerjemah]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bappenas. 2004. Sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia. Antara Krisis dan Peluang. Jakarta.

Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Chimner, R. A. 2004. Soil respiration rate of tropical peatlands in Micronesia and Hawaii. WETLANDS, Vol. 24, No. 1, March 2004, pp. 51–56.

Handayani, E. P. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. [Disertasi]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kabupaten Seruyan. 2011. http://www.seruyankab.go.id/main/index.php?option =com_content&task=view&id=22. [3 Agustus 2011]

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.

Melling, L., R. Hatano, and K. J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropic peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus57 B, 1-11.

Murdiyarso, D., U. Rosalina., K. Hairiah., L. Muslihat., I.N.N. Suryadiputra, dan A. Jaya. 2004. Petunjuk Lapang. Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Wetland International-Indonesia Programme.

Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands International- Indonesia Programme.

Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.

28 Radjagukguk, B. 1997. Pertanian berkelanjutan di lahan gambut berwawasan lingkungan. Dalam Alami vol. 2. No. 1, pp, 17-20. Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan. BPP Teknologi. Jakarta.

Rinnan R, Silvola J, Martikainen PJ. 2003. Carbon dioxide and methane fluxes in boreal peatland microcosms with different vegetation cover-effects of ozone or ultraviolet-B exposure. Occologia. 137:475-483.

Sabiham, S. 2006. Pengelolaan lahan gambut Indonesia berbasis keunikan ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Sarwani, M dan Adhi WIPG. 1994. Penyusutan lahan gambut dan dampaknya terhadap produktivitas lahan pertanian di sekitar Kasus Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional 25 Tahun Pemanfaatan Lahan Gambut dan Pengawasan Kawasan Pasang Surut. Jakarta, 14-15 Desember 1994.

Sumangat, Rusdi M. 1979. Pengaturan tata air mikro dan masalah penyediaan tenaga kerja dalam hubungannya dengan usaha intensifikasi tanah dua kali setahun di persawahan pasang surut. Proceeding Simposium Nasional III Pengembangan Pasang Surut di Indonesia. Buku III. IPB.

Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua. Pusat Penenlitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Watanabe, A. Benito H. Purwanto, Ho Ando, Ken-ichi Kakuda, Foh-Shoon Jong. 2009. Methane and CO2 fluxes from an Indonesian peatland used for sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation: Effects of fertilizer and groundwater level management. Agriculture, Ecosystems and Environment 134 (2009)14-18.

30 Lampiran 1. Data Sifat Kimia dari Contoh Tanah Gambut pada Setiap

Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit

Lokasi Sender

Batas

Horison Nilai pH (1:5) Bahan Organik HCl 25 %

Kadar Abu Top-sub soil (cm) H2O KCl Walkley & Black Kjeldahl C/ N P2O5 K2O C N % mg/100g % Sulin UG-9 0-40 3,5 2,8 50,71 1,09 47 17 10 0,5 40-70 3,6 2,7 50,50 0,89 57 4 9 70-160 3,3 2,8 47,84 0,83 58 4 16 160-200 4,1 3,6 4,10 0,31 13 2 2 Sulin SK-1 0-28 4,0 3,7 55,89 1,14 49 6 29 3,51 28-75 4,2 3,8 43,60 0,78 56 7 6 75-135 4,1 3,7 40,67 1,15 35 16 6 >135 4,1 3,8 38,05 0,88 43 7 6 Nahiyang Hi-3 0-70 3,6 3,1 50,62 1,42 36 8 9 0,62 70-100 43,33 0,89 49 4 25 Nahiyang Hi-2 0-18 3,9 3,4 60,27 1,59 38 44 15 1,26 18-33 3,8 3,4 56,16 1,06 53 10 7 1,67 33-74 3,7 3,4 49,98 1,36 37 18 14 74-263 4,1 3,7 46,02 1,46 32 4 13 263-294 4,0 3,7 37,34 0,76 49 1 6 >294 3,8 3,4 3,38 0,30 11 1 6 Tanjung Paring UG-14 0-30 3,7 2,8 56,55 1,04 54 15 6 1,44 30-90 3,6 3,0 53,79 1,00 54 2 4 90-330 3,4 3,1 41,40 0,77 54 7 28 >330 4,1 3,6 4,23 0,09 47 35 33

31 Lampiran 2. Data Sifat Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di

Perkebunan Kelapa Sawit

No Kebun No

Observasi Blok Taksonomi Tanah

Tingkat Dekomposisi Soil Minerals Content Ketebalan Gambut (cm) Kedalaman Muka Air Tanah Lapisan Atas Lapisan Bawah

1 Sulin

UG 01 H-59 Typic Haplosaprists Sapric Sapric - 255 35 UG 02 H-59 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 210 45 UG 03 H-59 Typic Haplohemist Sapric Hemic - 140 43 UG 04 H-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 390 30 UG 05 H-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 400 35 UG 05 G-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 400 35 Kesimpulan Hydric Haplohemist Sapric Hemic 140-400 30-45

2 Sulin

UG 07 J-60 Typic Haplohemist Sapric Hemic - 480 10 UG 08 J-60 Fluvaquentic Haplosaprists Sapric Sapric Minor 470 20 UG 07 J-60 Sapric Haplohemists Sapric/Pc Hemic Medium 205 70 UG 07 J-60 Sapric Haplohemists Sapric Hemic 195 40 UG 07 J-60 Fluvaquentic Haplosaprists Sapric/Pc Sapric Medium 170 30 Kesimpulan Haplohemists Sapric Sapric Medium 100-200 30-70

3 Tanjung Paring

HH-1 S-37 Typic Haplosaprists Sapric Sapric - >500 45 HH-2 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 600 30 HH-2 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 400 20 HH-3 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - >600 38 HH-4 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 300 64 Kesimpulan Sapric Haplohemists Sapric Hemic >300 20-64

32 Lampiran 3. Hasil Perhitungan Fluks CO2 pada Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit

Kebun Ulangan Tanggal pengambilan sampel gas Waktu pengambilan sampel gas Tanggal pengukuran sampel gas Waktu pengukuran sampel gas Ketebalan gambut (cm) Jarak (m)

Rata-rata suhu (oC) Fluks CO2

(mg/m2/jam)

Piringan Luar

piringan Piringan

Luar Piringan

Sulin I 30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 21.30 230 10 26,5 26,6 638,15 513,95

30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 22.00 75 24,8 26,2 431,44 608,39

30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 22.30 150 24,7 27,1 319,49 862,79

II 30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 23.00 10 24,5 25,6 637,02 957,94

30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 23.30 75 23,8 23,8 501,15 304,62

30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 24.00 150 24,8 26,1 1071,17 307,35

III 30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 00.30 10 24,0 26,0 419,37 600,45

30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 01.00 75 23,2 23,3 817,91 531,39

30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 01.30 150 23,1 24,0 802,67 399,49

Sulin I 31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 11.00 70 10 29,6 29,6 947,17 337,40

31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 11.30 75 29,4 32,8 697,84 543,10

31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 12.00 150 28,2 33,3 544,05 923,68

II 31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 12.30 10 31,9 29,6 312,21 535,45

31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 13.30 75 28,2 35,3 923,16 1087,45

31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 14.00 150 28,5 37,4 869,74 1168,32

Nahiyang I 1-Feb-11 9.13 1-Feb-11 14.00 330 10 30,8 31,4 538,80 783,42

1-Feb-11 9.13 1-Feb-11 14.30 75 29,0 31,0 241,81 843,44

33 Lampiran 3. (Lanjutan) Kebun Ulangan Tanggal pengambilan sampel gas Waktu pengambilan sampel gas Tanggal pengukuran sampel gas Waktu pengukuran sampel gas Ketebalan gambut (cm) Jarak (m)

Rata-rata suhu (oC) Fluks CO2 (mg/m2/jam)

Piringan Luar

piringan Piringan

Luar Piringan

Nahiyang II 1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 15.30 10 33,4 31,4 422,68 695,90

1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 16.00 75 31,4 31,9 212,09 682,97

1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 16.30 150 34,3 36,3 941,32 868,74

III 1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 17.00 10 36,6 36,8 394,55 825,10

1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 17.30 75 36,1 32,8 732,58 616,88

1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 18.00 150 38,1 37,1 563,69 992,74

Nahiyang I 31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 15.30 270 10 28,0 32,3 676,32 642,49

31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 16.00 75 31,3 33,1 347,68 239,46

31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 16.30 150 29,3 33,7 468,59 1275,72

II 31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 17.00 10 29,6 32,4 949,38 267,68

31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 17.30 75 31,4 31,1 756,36 204,35

31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 18.00 150 31,6 32,1 376,12 385,01

III 31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 18.30 10 29,1 31,4 499,11 803,46

31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 19.00 75 30,6 32,8 259,20 396,44

31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 19.30 150 31,1 33,8 368,19 709,58

Tanjung

Paring I 1-Feb-11 15.52 1-Feb-11 19.30 350 10 28,0 28,0 1258,89 516,40

1-Feb-11 15.52 1-Feb-11 20.00 75 27,0 28,9 546,14 997,68

34 Lampiran 4. Gambar Hubungan Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks

CO2 pada Lahan Gambut di Setiap Lokasi Penelitian a. Kebun Sulin 1 b. Kebun Sulin 2 c. Kebun Nahiyang 1 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 10 20 30 40 F luks C O2 (m g/m 2 /ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Sulin 1 Piringan Luar piringan 0 200 400 600 800 1000 1200 34 35 36 37 38 39 F luks C O2 (m g/m 2 /ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Sulin 2 Piringan Luar piringan 0 200 400 600 800 1000 0 20 40 60 F luks C O2 (m g/m 2 /ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Nahiyang 1

Piringan Luar piringan

35 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 20 40 60 80 F luks C O2 (m g/m 2/ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Tanjung Paring

Piringan Luar piringan d. Kebun Nahiyang 2

e. Kebun Tanjung Paring 0 200 400 600 800 1000 44 46 48 50 52 F luks C O2 (m g/m 2/ja m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Nahiyang 2

Piringan Luar piringan

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ciri utama berupa kandungan bahan organik yang tinggi yang berasal dari sisa-sisa jaringan tanaman. Menurut Radjagukguk (1997) gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerob di mana laju penambahan bahan organik lebih cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan yang demikian terjadi pada tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat lambat. Hal tersebut akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik, sehingga bahan organik menjadi terakumulasi. Biomassa tanaman menyimpan CO2 dari udara melalui proses fotosintesis mengakibatkan tanah gambut menjadi salah satu carbon sink yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi status karbon di bumi dan atmosfer. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008)

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya mengakibatkan meningkatnya luas lahan yang digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk lahan gambut. Saat ini lahan gambut banyak digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah luas lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berkembang seiring dengan keinginan perusahaan baik swasta maupun milik pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit. Selain itu adanya fakta keberhasilan dalam penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit juga mempengaruhi pengembangan sektor agribisnis kelapa sawit di lahan gambut.

Pengelolaan kebun kelapa sawit memerlukan lahan yang cukup air namun tidak tergenang, sedangkan tanah gambut merupakan tanah yang memiliki kadar

2 air yang sangat tinggi. Gambut yang masih mentah (gambut fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500%-1000% bobot (Noor, 2001). Faktor utama yang menyebabkan kadar air gambut tersebut tinggi dikarenakan adanya pengaruh bentuk cekungan dari tanah mineral di bawahnya yang menyebabkan air di dalam lahan tersebut tidak bisa keluar. Hal tersebut menyebabkan drainase lahan gambut menjadi faktor utama yang diperhatikan dalam pengelolaannya untuk perkebunan kelapa sawit. Drainase yang dilakukan pada lahan gambut akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada lahan tersebut, yang akhirnya akan melepaskan gas CO2 ke atmosfer.

Emisi gas CO2 beberapa tahun terakhir menjadi topik utama beberapa peneliti, termasuk emisi yang dihasilkan oleh lahan gambut. Dalam keadaan hutan alami lahan gambut merupakan penyerap (sink) CO2. Dengan demikian, hutan gambut alami tumbuh secara perlahan dan kandungan karbonnya bertambah tinggi. Namun apabila hutan gambut diganggu, maka lahan gambut berubah fungsi dari penyerap menjadi sumber emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca terpenting. Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan mempengaruhi fluks CO2, yakni besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Besarnya peningkatan emisi CO2 dari lahan gambut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya proses perubahan fungsi lahan gambut menjadi perkebunan. Mengingat pentingnya proses drainase dalam pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, dan juga CO2 yang perlu diperhatikan pengaruhnya pada lingkungan, maka diperlukan penelitian mengenai fluks CO2 yang dihasilkan serta pengaruh kedalaman muka air dalam sistem drainase pada kebun kelapa sawit di atas lahan gambut.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambut

2.1.1 Pengertian Tanah Gambut

Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peatymuck, mucky).

Menurut Hardjowigeno (1986) gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.

Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) gambut dikelaskan dalam Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung 20% karbon organik, atau

2. Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik

4 sebesar :

a. 18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau lebih, atau

b. 12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c. 12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya

mengandung < 60% liat.

2.1.2 Gambut di Indonesia

Di Indonesia gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh penggenangan yang cukup lama (Sabiham, 2006). Barchia (2006), menyebutkan bahwa tanah gambut terjadi di bawah kondisi yang jenuh air seperti daerah depresi, danau dan pantai yang banyak menghasilkan bahan organik yang melimpah oleh vegetasi yang telah beradapatasi dengan kondisi setempat seperti rumput-rumputan, mangrove atau hutan rawa.

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus dan Subiksa, 2008).

2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut

Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan

5 aslinya dengan ukuran beragam dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang (Noor, 2001). Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 2/3 volume, hemik 1/3-2/3 volume dan saprik kurang dari 1/3 volume.

Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah, terutama yang menunjukkan kesuburan (Andriesse, 2003). Kerapatan lindak atau bulk density (BD) tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 g/cm3- 0,20 g/cm3. Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik < hemik < saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut (Noor, 2001).

Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 %, gambut hemik 450-850 %, dan gambut saprik < 450 % (Andriesse, 2003). Di lapangan kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham, 2006).

Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik (irreversible drying). Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang, dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.

6 Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan memegang air tinggal sebesar 50% (Rieley et al., 1996 dalam Noor, 2001). Menurut Noor (2001) kering tak balik besar terjadi pada gambut tropik, khususnya gambut rawa. Sebagian pakar berpendapat bahwa penurunan kemampuan gambut yang mengalami kekeringan dalam menyerap air merupakan akibat terbentuknya selimut (coating) penahan air. Coulter (1975) dalam Andriesse (2003) menyatakan bahwa sifat hidrofobik gambut dari gambut kering adalah karena adanya lapisan seperti resin yang terbentuk pada waktu pengeringan.

Sifat lain dari tanah gambut yang penting yaitu sifat kimianya. Sifat dan ciri kimia tanah gambut yang utama antara lain kemasaman tanah, kapasitas tukar kation, C-organik dan kadar abu. Kemasaman (pH) tanah-tanah organik berkaitan dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, alumunium dan hidrogen yang dapat dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lain yang dapat dioksidasi. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik, yang mencangkup sebagian tropika daratan rendah biasanya bersifat masam atau sangat masam dengan kisaran pH sebesar 3-4,5 (Andriesse, 2003). Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1-3,9.

Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut memegang peranan penting dalam pengelolaan tanah dan menjadi penciri kesuburan tanah. Nilai KTK gambut berkisar dari < 50 sampai lebih dari 100 cmol (+) kg-1 bila dinyatakan atas dasar bobot tetapi lebih rendah jika dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 1997). Nilai KTK tanah gambut sangat bergantung pada pH. Andriesse (2003) menyatakan KTK tanah gambut pada pH 7, tanah organik yang mengalami sedikit perombakan mempunyai KTK 100 cmol (+) kg-1, tetapi yang mempunyai tingkat perombakan tinggi tergolong gambut saprik mempunyai KTK sekitar 200 cmol (+) kg-1.

Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan

7 fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60%. Kisaran besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse, 2003).

Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Radjagukguk (1997) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4%-16,9%. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu sangat dalam (>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (1-3m) berkisar 11%-12% dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001).

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini terus menjadi perhatian serius dari masyarakat global karena pengaruhnya terhadap lingkungan. Pembakaran energi fosil karbon dan konversi hutan hujan tropis menjadi sorotan utama penyebab pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O. Gas-gas tersebut merupakan gas rumah kaca yang utama dari lahan gambut. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 (walaupun dikalikan dengan global warming potensialnya setinggi 21 kali CO2). Dalam mempresentasikan emisi dari lahan gambut, data emisi CO2 sudah cukup bisa digunakan jika pengukuran gas lainnya sulit dilakukan (Hooijer et al., 2006). Barchia (2006) menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton atau 75 % dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui di mana tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepas selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak bijaksana, laju pelepasan CO2 dan CH4 dapat meningkat.

Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar kontribusinya terhadap pemanasan global. Konsentrasi alaminya hanya 0,03 % persen di

8 atmosfer, namun dapat dimanfaatkan tanaman untuk proses fotosintesis. Bila tanaman dan hewan mati, kandungan karbon akan terlepas dalam bentuk karbon dioksida, demikian pula dengan kegiatan membakar kayu dan bahan bakar fosil. Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai 50% dari berat keringnya bisa berupa bahan organik yang membusuk sebagian. Bahan organik jika terdekomposisi dapat menghasilkan karbon dioksida.

Gas CO2 memiliki waktu urai hingga 50-200 tahun dan memiliki daya tangkap sinar matahari seperti efek rumah kaca. Dari jaman pra industri (tahun 1750-1800), konsentrasi CO2 telah bertambah dari 280 ppmv (part per million volume) menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Saat ini laju penambahan CO2 di atmosfer rata-rata berjumlah 1,8 ppmv. Kehadiran gas CO2 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan suhu permukaan bumi dan IPCC menyarankan agar emisi gas CO2 sekurang-kurangnya 60% dari emisi gas yang dikeluarkan saat ini (Bapppenas, 2004).

2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem. Secara alami gambut berfungsi sebagai penambat karbon, sehingga berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 13-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86% (445 Gt) dari karbon lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50% dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia sebesar 46 Gt (Murdiyarso et al., 2004). Oleh karena itu, pertukaran CO2 dari lahan gambut

Dokumen terkait