• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedaulatan Tuhan (Hakimiyatullah)

DOKTRIN-DOKTRIN KAUM ISLAMISME

F. Kedaulatan Tuhan (Hakimiyatullah)

Konsep tentang hakimiyatullah sesungguhnya tidak secara jelas didapatkan dari ayat-ayat al Qur’an. Bahkan kata hakimiyatullah bukanlah lafazd yang diperkenalkan oleh al Qur’an, tetapi merupakan istilah yang diperkenalkan oleh kelompok-kelompok atau gerakan dalam umat Islam untuk menerangkan tentang kekuasaan mutlak Tuhan terhadap kehidupan umat manusia.

Namun demikian, kata hakimiyatullah merupakan kata yang diambil dari 2 gabungan kata yaitu hakimiyat dan Allah. Kata hakimiyat seakar kata dengan al hukm yang berarti hukum, aturan. Ada 3 ayat yang sering digunakan untuk menjelaskan tentang konsep kedaulatan Tuhan ini yaitu Q. S. Al Maidah : 44, 45, dan 47.

Semboyang tentang ‛la hukma illa Lillah” yang berarti tidak hukum kecuali dari Allah pertama kali digelorakan oleh Banu ’Azah yang menolak Tahkim (arbitrase) yaitu perjanjian gencatan senjata antara pasukan Ali bin Abi Talib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Semboyan itu muncul dan segera menyebar di kalangan pasukan Ali –yang hampir pasti memenangkan pertempuran itu- yang mengungkapkan ketidak-puasan para pemuka berbagai suku dan prajurit mereka terhadap perang yang telah memakan sangat banyak nyawa tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Semboyang itu dianggap sebagai kompromi kekuasaan Tuhan dan Nabi saw yang diwakili oleh seorang imam kaum muslimin yaitu Ali bin Abi Talib. Beberapa orang dari suku Rasib dan Tamim yang kelak menjadi anggota Khawarij menyatakan

[50]

bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah, kami tidak menerima arbitrase manusia atas nama agama Tuhan.

Gagasan tentang hakimiyatullah (kedaulatan Tuhan), menurut Sayyid Qutb mengandung arti bahwa kaum muslimin tidak hanya wajib menerapkan hukum Allah, tetapi juga diizinkan dan bahkan diperintah untuk mengganti pemimpin yang tidak menerapkan hukum Allah.27 Kedaulatan Tuhan tersebut bersifat eksklusif. Manusia hanya wajib patuh pada Tuhan saja. Manusia hanya wajib mematuhi pemimpin yang patuh pada Tuhan. Sebab seorang pemimpin yang mematuhi Tuhan secara utuh tentu akan mematuhi amanat Tuhan. Amanat tersebut tercantum dalam syariat yang membimbing umat manusia. Mengesampingkan amanat Tuhan berarti terjerumus dalam lembah jahiliyah. Penguasa yang bertindak demikian harus dilawan dan bahkan setiap individu yang mencoba memaksakan selain apa yang Tuhan amanatkan haruslah dilawan.28

Landasan teologis kedaulatan Tuhan ditemukan dalam Q.S. 5 : 44, :



















 Terjemahnya :

....Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Ayat tersebut menegaskan bahwa siapa saja yang tidak memutuskan hukum selain hukum Allah, maka ia adalah termasuk kafir. Konsepsi teologis ini kemudian dielaborasi pertama kali oleh kelompok Khawarij dengan slogal ‚La hukma illa Lillah” (tidak ada kedaulatan kecuali di tangan Allah). Slogan ini pertama kali muncul atas ketidak setujuan beberapa orang

[51]

terhadap Ali RA. atas kesediaan menerima arbitrase (tahkim) yang ditawarkan oleh Muawiyah, sebagaimana yang disebutkan di atas.

Doktrin tentang kedaulatan Tuhan sendiri dalam konteks politiknya tidak berkaitan sama sekali dengan Islam. Doktrin itu pertama kali muncul di Mesir kuno ketika Fir’aun menganggap dirinya sebagai Tuhan di muka bumi dan sebagai satu-satunya sumber otoritas politik dan agama yang sah. Karena itu ketika pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang, hukuman itu tunduk pada Fir’aun sebagai satu-satunya orang yang berkat kependetaannya, berhak menentukan hidup matinya salah seorang rakyatnya. Jika dia mengesahkan hukuman itu, secara literal keputusan itu menjadi keputusan Tuhan.29

Dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan berada di tangan syara’, sementara kekuasaan berada di tangan rakyat. Maksudnya adalah bahwa kedaulatan ada di tangan Allah Swt. yang terdapat di dalam hukum-hukum-Nya atau dapat juga dimaknai bahwa hanya Allah Swt.-lah yang berhak menentukan naik-buruk, benar-salah, terpuji dan tercelah melalui wahyu-Nya. Sementara kekuasaan di tangan rakyat maksudnya adalah rakyatlah yang memilih pemimpinnya dengan rela dan pilihan. Kekuasaan yang diberikan itu hanyalah untuk menjalankan syariat semata.30

Beberapa kelompok Islam menganggap perlu dibangun kembali kekuasaan Tuhan di dalam masyarakat yang telah jatuh kembali di dalam zaman jahiliyah. Karena itu perjuangan ke arah tersebut ditujukan agar supaya kekuasaan/kedaulatan yang sepenuhnya bukan di tangan manusia, tetapi sepenuhnya di tangan Tuhan melalui manipestasi hukum-hukumnya.31

Perubahan makna ‚hukm‛ dalam QS. 5 : 44, yang menurut bahasa berarti hukum (memberi putusan) menjadi kedaulatan, memiliki implikasi yang sangat penting bagi perkembangan

[52]

politik dan sistem pemerintahan dalam masyarakat Islam. Pandangan bahwa Tuhan sebagai satu-satunya pemegang kedaulatan merefleksikan ketidak taatan terhadap sebuah pemerintahan yang menganut sistem apapun, selain sistem kedaulatan Tuhan. Persoalan lebih lanjut yang ditemui adalah kepada siapa dan bagaimana Tuhan mengapresiasikan kedaulatannya, padahal doktrin utama Islam adalah tidak ada satu atau sekelompok orang yang dapat mengakui bahwa ia memiliki kewenangan (otoritas) keagamaan dan hak kebenaran untuk menafsirkan ‚kemauan Tuhan‛. Nabi saw bersabada : ‛La Rahbaniyyat fi Islam” (tidak ada rahib dalam Islam) maksudnya bahwa tidak ada satu otoritaspun dalam Islam yang manpu meyakinkan dengan pasti bahwa ia memahami kemauan Tuhan atas penafsiran-penafsiran yang dilakukannya.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim memahami agama mestilah berdasarkan ukuran kemanpuan dan kesanggupan dalam melaksanakannya, karena itu manusia hanya dituntut untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya dan secara terus-menerus meningkatkan kualitas keagamaannya, sehingga Tuhan akan menilai siapa yang betul-betul melaksanakan perintah-perintahNya.

Memerangi dan membunuh kelompok atau komunitas lain –apalagi sesama muslim- hanya karena tidak memiliki pemahaman dan penafsiran sama dengan yang diyakini, maka ia juga telah memutlakkan kebenaran atas dirinya –sekali lagi ia telah menempatkan posisinya dengan posisi Tuhan- dan dapat tergelincir dalam thagut (tirani).

G. Takfir

Takfir berarti pernyataan pengkafiran terhadap seseorang. Maksudnya adalah menganggap seseorang sebagai kafir karena tidak melaksanakan aturan atau ketentuan yang mereka anggap

[53]

sebagai aturan Islam. Ia juga dapat berarti memisahkan diri dari masyarakat umum karena menganggap sebagai masyarakat jahiliyah dengan melakukan migrasi untuk mempersiapkan jihad yang sesungguhnya. Seorang muslim sejati harus menjauhkan diri dari kehidupan sekuler –pada saat itu di Mesir-. Pandangan ini dianut oleh gerakan Hizbut Takfir wa al Hijrah yang muncul di Mesir.

Menurut kelompok ini, pemimpin dunia Islam dewasa ini dalam keadaan murtad. Mereka dipandang telah menjadi murtad dan menjadi alat kontaminasi Barat, karena bersikap terbuka terhadap ide-ide kristen, komunis dan zionis. Penguasa-penguasa seperti ini dianggap lebih buruk dibandingkan orang-orang kafir, karena mereka telah memiliki kesempatan untuk tunduk pada ajaran Islam, namun mereka malah membelakanginya, dan mereka juga telah menyelewengkan tatanan moral masyarakat, mensekulerkan institusi-instutusi agama.

Konsep takfir ini ditentang oleh beberapa kelompok umat Islam seperti Ikhwanul Muslimin (IM). Syekh Yusuf al Qardhawi, salah satu tokoh IM menolak pengkafiran kaum muslimin sebagai pengertian yang ekstrim ditandai dengan sikap berlebih-lebihan, mabuk agama dan fanatik. IM percaya bahwa negara dan masyarakat secara moral memang tidak mencukupi dan harus direformasi untuk menyegarkan kembali Islam, namun tidak patut menerima takfir.

Pandangan takfir ini nampaknya diberlakukan untuk masyarakat muslim terutama para pemimpinnya yang dianggap telah menyimpang dan menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Stigmastisasi dengan menganggap seorang muslim sebagai kafir (mengingkari ajaran agama) hanya karena tidak sefahaman dengan penafsiran yang dianut merupakan suatu hal yang buruk dalam tradisi Islam, karena dalam sejarah Islam, sejak

[54]

Nabi saw sampai pada masa sahabat, pemahaman dan penafsiran Al Qur’an dan Hadis sangatlah beragam tergantung terhadap kadar kemanpuan dan kesanggupan dalam memahami ajaran agama. Itulah fungsi Nabi saw sebagai penafsir dan pemberi penjelasan (tabligh) terhadap apa yang kurang dan tidak difahami oleh sahabat Nabi saw.