• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN ALAT BUKTI PENYADAPAN DI TINJAU DARI

ANALISIS ALAT BUKTI PENYADAPAN DI TINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA

A. Penerapan Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan

1. Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

Perkembangan tindak pidana korupsi yang sangat massif di Indonesia telah memperhatinkan dan sangat luas. Tindak pidana korupsi nyaris seluruhnya terjadi di setiap segi kehiduoan masyarakat yang pada kedudukan yang rendah bahkan sampai pada kedudukan yang tinggi. Oleh karena hal itu, pemberantasan harus dilakukan dengan sebuah metode penegakan hukum dengan cara luar biasa lewat pembentukan sebuah tubuh khusus yang memiliki kewenangan luas, independen, bebas dari segala kekuasaaan manapun.121

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, sebuah lembaga negara baru melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatansan Korupsi (UU KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

122

121

. Dalam melaksanakan tugasnya berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilits, kepentingan umum, dan proporsionalitas.

diaksses tanggal 27 Mei 2016

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, ;penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi diatur didalam Pasal 6 huruf c UU KPK yang menyatakan bahwa :

“Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”

Melalui UU KPK, kewenangan untuk melakukan penyadapan diberikan kepada KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan penyidikan, dan penuntutan. Kewenangan melakukan penyadapan terdapat pada Pasal 12 ayat (1) huruf c yang menyatakan

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.” Namun bila melihat kepada UU KPK, tidak ditemukan penjelasan definis dari penyadapan itu sendiri.

Pedoman yang dapat digunakan untuk menjelaskan definisi tersebut terdapat pada Pasal 1 huruf g Peraturan Menteri Nomor 11/PRM/Kominfo/02/2006 tanggall 22 Pebruari 2006 tenatang Teknis Intersepsi terhadap informasi, yaitu :

“Pengertian intersepsi informasi secara sah (lawfull interception) adalah kegiatan intersepsi informasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukumyang dikendalikan dan hasilnya dikirimkan ke pusat pemantauan (monitoring centre) untuk aparat penegk hukum.”

Hal yang juga tidak diatur didalam UU KPK menyangkut tentang durasi lamanya penyadapan. Dengan demikian KPK dalam melakukan penyadapan tidak dibatasi oleh jangka waktu sehingga KPK cukup hanya mengajukan satu kali permohonan untuk melakukan penyadapan dan proses selanjutnya dilakukan

dilakukan sesuai dengan kebutuhan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.123

2. Penyadapan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam pasal 1 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa:

“Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan dengan tegas bahwa:

“Penyidik ialah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang.”

Selanjutnya, dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan bahwa:

“Polisi memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Sehingga didalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat kewenangan melakukan penyadapan diberikan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

123

Pada saat ini Polri telah menetapkan penyadapan yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Polri yang telah disahkan tanggal 24 Pebruari 2010. Berdasarkan peraturan tersebut, operasi penyadapan oleh Anggota Polri harus sesuai dengan prinsip-prinsip pada Pasal 2, yang menyatakan:

a. Perlindungan hak asasi manusia, yaitu penyadapan dilaksanakan dengan memperhatikan hak asasi manusia berdasarkan prosedur pengoperasian standar;

b. Legalitas, yaitu tindakan penyadapan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Kepastian hukum, yaitu kegiatan penyadapan yang dilakukan semata-mata untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan;

d. Perlindungan konsumen, yaitu kepentingan konsumen pengguna jasa telekomunikasi tidak terganggu akibat adanya tindakan penyadapan;

e. Partisipasi, yaitu turut sertanya menteri yang membidangi urusan telekomunikasi dan informatika, Penyedia Jasa dan Penyedia Jaringan Telekomunikasi dalam bentuk operasi penyadapan;

f. Kerahasiaan, yaitu penyadapan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan oleh Penyelidik dan/atau Penyidik Polri secara proporsional dan relevan dengan memperhatikan keamanan sumber data atau informasi yang diperoleh dalam penngungkapan tindak pidana.

Kemudian dalam melakukan penyadapan, dalam Pasal 5 tata cara dalam melakukan penyadapan adalah:

a. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri ditunjuk oleh Kapolri sebagai pejabat yang memberikan izin dimulainya operasi penyadapan.

b. Permintaan dimulainya penyadapan diajukan oleh penyelidik/penyidik kepada Kabareskrim untuk tingkat Mabes Polri atau melalui Kapolda kepada Kabareskrim berdasarkan tingkat satuan kewilayahan.

c. Permintaan dimulainya penyadapan tersebut, setelah dterima maka Kabareskrim akan melakukan pertimbangan layak atau tidak layak dilakukan penyadapan, paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterima diberitahukan kepada penyidik

d. Jika Kabareskrim menilai layak dilaksanakan, Kabareskrim mengajukan izin penyadapan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat operasi penyadapan dilakukan

e. Operasi penyadapan mulai dilakukan setelah mendapat izin, dilaksanakan oleh Pusat Pemantauan (monitoring centre) Polri

f. Operasi penyadapan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diajukan kembali kembali apabila dirasa informasi yang diperoleh belum mencukupi

g. Operasi penyadapan berakhir apabila:

1) Penyelidik dan/atau penyidik melalui atasan penyidik menyatakan bahwa operasi penyadapan yang dilaksanakan dianggap sudah cukup, disertai surat keterangan atau pernyataan

2) Penyidik dan/atau penyidik melalui atasan penyidik meminta dan membuat pernyataan secara tertulis kepada Kalakhar Pusat Pemantauan (Monitoring Centre) polri untuk tidak melanjutkan operasi penyadapan.

3) Operasi penyadapan yang dilakukan dengan pertimbangan sangat perlu dan mendesak, tidak dikabulkan oleh Kabareskrim Polri disertai alasannya.

4) Habis masa berlaku dan tidak diperpanjang.

h. Produk hasil penyadapan hanya diberikan oleh Khalakar Pusat Pemantauan kepada penyelidik/penyidik yang identitasnya tercantum sesuai dengan surat permohonan permintaan.

i. Produk hasil penyadapan bersifat rahasia dan dapat digunakan sebagai alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan

j. Penyelidik, penyidik dan anggota Pusat Pemantauan Polri, dilarang, baik sengaja maupun tidak, menjual, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer, dan/atau menyebarluaskan produk hasil penyadapan, baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan komunikasi elektronik kepada pihak manapun.

3. Penyadapan oleh Kejaksaan Republik Indonesia

Kedudukan sentral Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia, sebagai salah satu subsistem hukum yang berada dalam satu kessatuan yang teratur dan terintegral, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan subsistem lainnya untuk mencapai tujuan dari subsistem hukum tersbut. Selain kejaksaan, ada juga lembaga lain, seperti hakim, polisi, advokat, tersangka, terdakwa, terpidana yang menjadi subsistem hukum di Indonesia. Dilihat dari aspek kewenangannya, dikenal beberapa subsistem hukum, seperti kewenagan melakukan penyidikan, penuntutan dan penghukuman.124

124

Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kegiatan di bidang penuntutan serta kewenangan lain berrdasarkan undang-undang. Kemudian pada Pasal 30 ayat (1) huruf d, menyatakan bahwa Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang

Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang adalah untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dilihat pada Pasal 39 Undang-ndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang menyatakan

“Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.”

Berdasarkan uraian pada pasal-pasal diatas, Kejaksaan juga dapat dinyatakan sebagai penyidik bagi tindak pidana tertentu khususnya dalam hal ini tindak pidana korupsi. Dalam melakukan penyidikan Kejaksaan juga dapat melakukan penyadapan guna kepentingan penegakan hukum hal tersebut dapat di lihat pada Pasal 26 UU PTPK yang menyatakan Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Penyidik dalam hal ini dapat melakukan tindakan penyadapan (wiretapping).

Beberapa uraian diatas, tidak dapat dilihat ketegasan bahwa kejaksaan dapat melakukan penyadapan, sehingga diperlukan suatu penjelasan lebih lanjut. Hal ini menyebabkan kejaksaan belum dapat memaksimalkan kewenangan penyadapannya dan hasil penyadapan sebagai alat bukti di persidangan. Oleh karena itu ada kekhawatiran hasil dari tindakan penyadapan yang dilakukan kejaksaan dan dijadikan alat bukti akan dipermasalahkan keabsahannya di persidangan.125

B. Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia

Dalam pedoman melakukan penyadapan, kejaksaan juga menggunakan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 11/PERM.Kominfo/02/2006 Tentang Itersepsi Terhadap Informasi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, konsep dasar hak asasi manusia pada dasarnya adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Sehingga hak asasi yang dasar atau kodrati melekat pada setiap individu yang merupakan anugerah Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dijaga, ditegakkan, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pada era kemajuan teknologi dan informasi yang sekarang telah membuat komunikasi antar individu menjadi lebih mudah, murah, praktis, dan dinamis. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan kerawanan dalam pelanggaran hak asasi manusia khususnya terhadap hak privasi seseorang dalam berkomunikasi. Teknologi informasi tersebut dapat digunakan aparat penyidik/penyelidik dalam

125

mendengarkan percakapan antar individu dilokasi yang berbeda. Titik kerawanan dari tindakan penyadapan adalah tindakan intrusi atau penerobosan untuk melakukan akses secara paksa ke saluran komunikasi yang sedang digunakan oleh para individu tanpa diketahui oleh pihak-pihak yang sedang berkomunikasi tersebut.126

Secara teori, hak asasi manusia terbagi menjadi 2 bagian besar, yakni hak asasi manusia yang dapat diderogasi atau dikesampingkan (derogable rights) dan hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan (non derogable rights). Hak-hak yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan diantaranya ha katas kehidupan, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipidana karena tidak memenuhi kewajiban perdata, hak untuk diakui sama sebagi subjek hukum, dan hak untuk bebas beragama. Sedangkan selain hak-hak tersebut, hak-hak lain yang melekat pada diri manusia dapat diderogasi atau dapat dikesampingkan karena adanya kepentingan hukum atau karena kepentingan umum.127

126

Ibid, hlm. 36

127

Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm, 235

Penderogasian atau pengeyampingan penegakan dan penjaminan hak asasi manusia dalam kepentingan penegakan hukum (law enforcement) eering kali beringgungan dan menimbulkan gesekan hukum hal ini dikarenakan terdapat kontradiksi dalam penerapannya. Sehingga kerap kali penegakan hukum (law enforcement) akan menderogasikan hak ssasi manusia. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Penyadapan Penegakan

Hukum Perlindungan hak asasi

manusia

Gambar.1 Persinggungan antara Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pada prinsipnya hukum melarang penyadapan alat komunikasi karena melekatnya hak privasi orang yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Hanya dalam hal-hal yang sangat khusus saja larangan tersebut tidak dapat berlaku, yakni ketika adanya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat yang lebih luas dan kepentingan tersebut mendesak untuk memperoleh informasi rahasia tersebut. Oleh karena itu muncul konsep “penyadapan sesuai hukum” (legal interception), yaitu penyadapan yang diperkenankan oleh hukum.128

Penyadapan informasi hanya dapat dilakukan dan dibenarkan jika ada undang-undang yang memperbolehkannya, sehingga diperlukan untuk kepentingan umum atau kepentingan negara, dimana tanpa menggunakan penyadapan informasi penting itu tidak mungkin didapatkan. Dalam ilmu hukum dikenal beberapa teori tentang larangan penyadapan tersebut, yakni:129

1. Teori Per Se.

128

Munir Fuady dan Silvia Laura Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2015), hlm. 276

129

Menurut teori ini, bahwa penyadapan itu sendiri sudah bertentangan dengan hukum, terlepas apakah informasi yang disadap tersebut oleh penyadapnya sudah mau digunanakan atau tidak

4. Teori Divulgensi

Bahwa yang dimaksudkan sebenarnya informasi yang disadap tersebut merupakan informasi rahasia, sehingga yang dilarang oleh hukum adalah membuka rahasia tersebut kepada pihak lain.

5. Teori Pihak ke Tiga

Bahwa menurut teori ini, hanya pihak yang berkomunikasi yang dapat mengajukan keberatan atas dipergunakannya informasi yang disadap tersebut. Pihak lain tidak boleh mengajukan keberatan, termasuk keberatan sebagai alat bukti manakala dia bukan pihak dalam percakapan yang menghasilkan informasi tersebut.

6. Teori Kepemilikan Pihak Lawan

Bahwa menurut teori ini, bahwa informasi yang sudah diterima oleh pihak lawan bicara yaitu sudah merupakan milik dari pihak lawan bicara tersebut., sehingga pihak lawan tersebut sudah bebas menggunakan informasi tersebut, termasuk memberikannya kepada pihak lain atau membiarkan pihak lain untuk menggunakan informasi yang bersumber darinya.

7. Teori Pembuktian

Menurut teori ini, bahwa informasi yang didapatkan tetapi didapatkan secara bertentangan dengan hukum boleh saja dipergunakan atau dibuka tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Dalam konstitusi di Indonesia, perlindungan terhadap hak privasi tersebut diakui didalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pengaturan dan perlindungan terhadap hak privasi sebagaimana didalam UUD NRi 1945 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut atau hak asasi manusia yang tidak dapt dikurangi (non derogable rights), hak privasi adalah suatu hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan dengan undang-undang.130

Menurut Ifdhal Kasim pembatasan hak asasi manusia melalui peraturan penyadapan, harus dapat memuat syarat:

Pembatasan atau pengurangan tersebut semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain untuk memnuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

131

1. Adanya otoritas resmi yang jelas memberikan izin penyadapan;

2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan; 3. Pembatasan penanganan materi penyadapan;

4. Pembatasan mengenai orang yang mengakses penyadapan;

130

Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

131

Hal senada juga diungkapkan oleh Mohammad Fajrul Falaakh, bahwa pengaturan penyadapan harusnya mengatur dengan tegas dan jelas tentang:

1. Wewenang untuk melakukan, memerintahkan, maupun meminta dilakukannya penyadapan;

2. Tujuan penyadapan secara spesifik;

3. Kategori subjek hukum tertentu yang diberi wewenang penyadapan;

4. Otoritas atasan, atau izin hakim yang diperlukan sebelum petugas melakukan penyadapan;

5. Cara menyadap;

6. Pengawasan atas penyadapan; 7. Penggunaan hasil penyadapan;

Dari sisi legalitas pengaturan di Indonesia, peraturan di Indonesia pada umumnya hanya mengatur kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun dalam legislasi belum diatur alasan, cara, prosedur pelaksanaan sesuai dengan undang-undang. Pertimbangan dari fakta atau informasi yang didapat diterima akal bahwa tindakan tersebut perlu diambil, siapa yang berwenang memberikan otoritasnya. Akan tetapi, yang mengatur hukum acara bukan peraturan yang setingkat undang-undang.132

Keberlakuan penyadapan sebagai salah satu kewenangan penyelidikan dan penyidikan telah membantu banyak proses hukum yang memudahkan para aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Namun demikian, kewenangan

132

aparat penegak hukum tersebut tetap harus dibatasi juga agar penyalahgunaan kewenangan tidak terjadi Mahkamah Konstitusi sependapat lewat putusannya Nomor 006/PUU-I/2013, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Nomor 5/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa pembatasan terhadap perlindungan hak asasi yang diakui harus dibatasi dengan undang-undang, karena tindakan penyadapan merupakan salah satu bentuk pelanggaran manusia. Jadi, Mahkamah berpendapat diperlukan suatu aturan setingkat undang-undang untuk memberikan suatu tata cara penyadapan guna melindungi hak asasi manusia.

C. Adsimibilitas dan Standar Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

Tindakan penyadapan meruapakan suatu tindakan intrusi yang dilakukan tidak secara fisik, tidak terlihat dan tidak terasa.133 Tindakan penyadapan juga merupakan suatu tindakan intrusi (penerobosan) meskipun dilakukan dengan cara rahasia, karena tindakan penyadapan merupakan suatu upaya untuk melakukan akses secara paksa ke saluran komunikasi dan mengamankan isi percakapan pihak-pihak yang berkomunikasi tanpa diketahui oleh pihak yang berkomunikasi tersebut.134

Sebagaimana diungkapkan pada bagian sebelumnya, penderogasian atau penyampingan penegakan dan penjaminan hak asasi manusia dalam kepentingan hukum (law enforcement) terdapat kontradiksi dalam penerapannya. Dapat

133

Reksodiputro, Pembocor Rahasia (Whistle Blower dan Intersepsi Rahasia

(wiretapping, electronic interception) dalam menanggulangi Kejahatan di Indonesia, (Jakarta: 1994), hlm. 4

134

Edmon Makarim, Analisis Terhadap Kontroversi Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang tata Cara Intersepsi yang sesuai Hukum (Lawfull Interception), (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2010), hlm. 232

dikatakan penegakan hukum dan penjaminan hak asasi manusia seringkali bersinggungan dan menimbulkan gesekan 135

Standar pembuktian di Indonesia tidak mengatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat bukti namun hanya mengatur alat bukti namun hanya mengatur alat bukti yang diakui berdasarkan peraturan perundang-perundangan. Menurut the freedictionary.com definisi admissible dijelaskan sebagai informasi yang relevan untuk menentukan suatu masalah dalam proses peradilan sehingga informasi tersebut dapat digunakan semestinya oleh hakim136

2. Apakah alat bukti tersebut tunduk pada the exclusionary rules ?

. Sehingga pada dasarnya apabila alat bukti di terima di pengadilan, maka alat bukti tersebut harus relevan, substansi dan kompeten.

Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, admissibility didefenisikan sebagai clear, simple dan transparent. Persyaratan admissibility harus memenuhi dua pertanyaan dasar yang dapat menentukan apakah alat bukti tersebut dapat diterima atau dikecualikan dari proses persidangan, yaitu

1. Apakah alat bukti tersebut relevan ?,

137

Alat bukti yang relevan diatas menurut the free dictionary adalah alat bukti yang memiliki hubungan berkaitan, memiliki beberapa nilai atau kecenderungan untuk mebuktikan suatu fakta dalam suatu kasus. Sedangkan the exclusionary rules adalah suatu atauran pengecualian alat buktiyang diddapat dengan cara tidak sah/illegal: crime, tort, or breach of contract or in contravention of statutory or other provisions govering the power and duties of

135

Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 239

136

Dikutip dar 2016

137

Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, Criminal Evidence, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 96

the police or other involved in investigating crime, atau alat bukti yang dihasilkan dengan cara tidak fair misalnya: by trickery, deception, bribes, threats or inducement. Sehingga hakim dapat menerapkan the exclusionary rule, ada tiga prinsip yang mendasari atas pengecualian (exclusionary) atas alat bukti tersebut yaitu: right protection, deterrence (disciplining the police), and the legitimacy of the verdict.138

Beberapa teori sistem pembuktian (standard of proof) yang digunakan adalah: Mekanisme admissibility dalam suatu proses peradilan pidana merupakan salah satu upaya untuk meminimalisir tingkat kesalahan dari sistem peradilan pidana. Upaya yang tersistimatis dalam meminimalkan keslahn tersebut menurut Paul Robert dan Adrian Zukerman adalah dengan membuat standar pembuktian yang sesuai. Namun penerapan standar pembuktian tergantung dari basis sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, yaitu negara yang berbasis civil law maupun sistem common law. Standard of proof hukum pidana dalam sistem civil law adalah conviction in time, dan dalam common law adalah beyond the reasonable doubt

139

1. Conviction in time

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentuka oleh penilaian ‘keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang akan menentukan kesalahan terdakwa Keyakinan hakim boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan.

138

Ibid,

139

M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembai, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 277

Namun bisa saja alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim, dan keterangan atau pengakuan terdakwa.

Kelemahan sistem ini hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. 2. Conviction Raisonee

Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem ini factor keyakinan dibatasi. Hakim wajib menguraiakan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

Dokumen terkait