• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adji, Indriyanto Seno, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta

Ancel, Marc 1965, Social Defense A Modern Approach to Criminal Problem, Rouledge, London

Anwar, Yesmin dan Andang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana, Gramedia Widiasarana, Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijkan Legislatif dalam Penanggulngn Kejahatan dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang

Arief, Barda Nawawi, 2010 Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung

Arief, Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Bandung

Atmasasmita, Romli, 2012, Teori Hukum Integratif , Genta Publishing, Yogyakarta

Budiharjo, Miriam, 1983, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta

Dicey, A.V, 1973, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Mac:Millan, London

Effendi, Tolib, 2014, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia, Setara Press, Malang

Fajar, Mukti dan Yulianto Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta

Friedman, M. Lawrence, 1977, Law and Society; an introduction, Prentice-Hall, Inc., New Jersey

(2)

Fuady, Munir dan Silvia Laura Fuady, 2015, Hak Asasi Tersangka Pidana, Prenada Media Grup, Jakarta

Gandasubrata, Purwoto, S, 1984 Tugas Hakim Indonesia-dalam sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung

Hadjon, M. Philipus, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya

Hamzah, Andi, 1983 Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indoensia, Jakarta

__________ , 2015, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Harahap, M. Yahya, 2009, Pembahasan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta

Huda, Ni’matul, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia; Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta

Joeniarto, 1964 Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Klitgaard, Robert, 1998, Membasmi Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta

Kristian dan Yopi Gunawan, 2013, Sekelumit tentang Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung

Kuffal, 2010, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang

Lubis, Todung Mulya, 1984, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES, Jakarta

Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 Sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta.

(3)

Makarim, Edmon 2010 Analisis Terhadap Kontroversi Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang tata Cara Intersepsi yang sesuai Hukum (Lawfull Interception), Badan Penerbit FH UI, Jakarta

Manan, Abdul, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta

Mansur, Dikdik M. Arid & Dinne Medina Wahyuni, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung

Manthovani, Reza, 2015, Penyadapan vs Privasi, Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta

Marbun, SF, Deno Kemelus, Saut P. Panjaitan, dkk, 2010, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Marzuki, Peter Mahmud, 2014, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta

Muladi, H, 2009, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Impliksinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung

Mulyadi, Lilik, 2014, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Perseptif Teoritis, Praktik, Teknik Mebuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mulyadi, Lilik, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, Alumni, Bandung

Munir Fuady, Munir, 2006, Teoeri Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung

Prakoso, Djoko, 1987, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Prints, Darwan, 1989 Hukum Acara (suatu pengantar), Yayasan LBH, Jakarta

Ramli, Ahmad 2004, Cyber Law dan HAKI-Dalam System Hukum Indoensia, Rafika Aditama, Bandung

(4)

Roberts, Paul dan Adrian Zuckerman, 2008, Criminal Evidence, Oxford University Press, New York

Samidjo, 1986 Ilmu Negara. Armico, Bandung

Sasangka, Harry dan lilly Rosita, 2003, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana Mandar Maju, Bandung

Simanjuntak, Nikolas, 2009, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Soewandi, 1957, Hak-Hak Dasar dalam Konstitusi-konstitusi Demokrasi Modern, PT Pembangunan, Djakarta

Soeparmono, R, 2003, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung

Sofyan, Andi & Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Grup, Jakarta

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Jakarta

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Grafika, Bandung

Suhariyanto, Budi 2012, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime), Rajagrafindo Persada, Jakarta

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

(5)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Peraturan Menteri Nomor 11/PRM/Kominfo/02/2006 tanggall 22 Pebruari 2006 tenatang Teknis Intersepsi terhadap informasi

Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan

C. Tesis dan Disertasi

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulngn Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Diponegoro, 1994

Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia; Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kloektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993

D.

Djoko Sarwoko, Pembuktian Perkara Pidana Setelah Berlakunya UU NO.11 Tahun 2008 (Undang-Undang ITE), Makalah

Makalah

E.

Romli Atmasasmita, Legalitas Penyadapan, diundah dari :

Internet

(Diakses pada tanggal 3 Maret 2016)

(6)

(7)

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Jaminan Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia di dalam Konstitusi

1. Negara Hukum; Rechtstaat & Rule of law

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “Negara

Indonesia berdasar atas hukum”. Negara hukum dan negara kekuasaan

(machtsstaat) merupakan dua konsep yang berbeda dan saling berlawanan. Dasar

pemikiran dari negara hukum ialah kebebasan rakyat (liberte du citoyen),

sedangkan dasar pemikiran dari negara kekuasaan adalah kebesaran negara (gloire

de I’etat).76 Istilah Negara hukum meskipun keliatan sederhana, namun menagadung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum

adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara77 dan hukum.78

76

Soewandi, Hak-Hak Dasar dalam Konstitusi-konstitusi Demokrasi Modern (Djakarta: PT Pembangunan, 1957), hlm. 12

77

Secara etimologis, istilah negara berasal dari bahasa Inggris (state), Belanda (staat), Italia (‘etat). Kata staat berasal dari akar kata latin, status atau statum yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri, membuar berdiri, menempatkan berdiri. Dapat dilihat F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dhiwantara, 1967); M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1990); Sjahran Basah, Ilmu Negara; Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan, (Bandung: Citra Aditya, 1992)

78

Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, seperti dalam ungkapan Latin, ubi ius, ibi societas, namun sangat sulit untuk dapat memberikan definisi hukum sendiri, seperti di ungkapkan Friedman, No definition of law could satisfy everyone; no definition could be “true” or “false”, except by some outside standard, based on an ethical feeling, or on experience. Lihat lebih lanjut Lawrence M. Friedman, Law and Society; an introduction, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1977), hlm. 3

(8)

karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum ditegakkan

dan dijalan oleh otoritas negara.79

Ada beberapa istilah asing yang digunakan sebagai pengertian dari negara

hukum, yakni rechtstaat, rule of law, dan etat de troit. Beberapa istilah tersebut

sebenarnya memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan. Menurut Philipus M.

Hadjon, konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism

sehingga sifatnya revolusioner, sedangkan sebaliknya konsep rule of law

berkembang secara evolusioner.80 Miriam Budiharjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, menegaskan bahwa perkembangan ide demokrasi dapat dilihat dari

dua mainstream, pertama demokrasi pada negara hukum klasik, dan kedua

demokrasi pada negara hukum dinamis.81

Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap

kekuasaan, pada dasarnya, dikarenakan politik kekuasaan yang cenderung korup.

Hal ini dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan

individu dan masyarakat.82 Atas dasar itu terdapat keinginan yang besar agar dilakukan pembatasan kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari

penguasa yang despotic.83

79

Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 20

80

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 72

81

Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm.56-63

82

Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 Sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 20

83

Sejalan dengan hal itu, Hitchner dan Levine mengatakan, political power is exercised through a series of relationships between the holders of power and the governed. In totalitarian states that power is limited only by the decision of the ruling group and can in principle reach into every area of an individual’s life. The power of democratic governments, however, is limited and can be applied only in certain domains and according to known procedures. The framework that defines and limits political power is a constitution. Lihat Dell Gillete Hitchner dam Carol Levine,

Comparative Governments and Politics, (New York: Harper & Row publisher, 1981), hlm. 69

Pada tahap ini kemudian konstitusi menjadi penting

(9)

hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah

sekalipun, sesuai dengan dalil, government by laws, not by men (pemerintahan

berdasarkan hukum bukan berdasarkan mnusia).84

Carl. J. Friedrich memperkenalkan sebuah istilah negara hukum dengan

nama rechtstaat. Sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo dalam buku

Constitutional Government and Democracy; Theory and Practice in Europe and

America oleh Friedrich J. Stahl,85

a. hak-hak manusia;

setidaknya terdapat empat unsur berdirinya

rechtstaat, yaitu:

b. pemisahan atau pembagian kekuasaan;

c. pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;

d. peradilan administrasi dalam perselisihan.

Kemudian Albert Venn Dicey dalam magnum opus-nya, Introduction to

the Law of the Constitution memperkenalkan istilah Rule of Law yang secara

sedehana diartikan sebagai keteraturan hukum. Menurut Dicey, ada 3 usnur

fundamental dalam Rule of Law, yaitu

a. supremasi aturan-aturan hukum; tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang,

dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;

b. kedudukan yang sama dalam emnghadapi hukum. Petunjuk ini berlaku bagi

masyarakat biasa, maupun terhadap para pejabat

84

Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 57

85

(10)

c. terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-undang maupun keputusan

pengadilan.86

Berdasarkan pandangan diatas, keliatan bahwa negara tidak bersifat

proaktif, melainkan bersifat pasif. Sikap negara tersebut dikarenakan pada

posisinya negara hanya menjalankan apa yang termaktub dalam konstitusi semata.

Sehingga negara tidak lebih hanya sebatas nachtwachterstaat (negara penjaga

malam).

87

2. Signifikasi dan Muatan Konstitusi

Lord Acton dalam “aksioma politik” mengatalam, “power tends to corrupt

and absolute power tends to corrupt absolutely”88

Pembatasan kekuasaan yang terbaik adalah melalui konstitusi,

sebagaimana ungkapan Carl J. Friedrich yang mengatakan, “constitutionalism by

dividing power provides a system of effective restrains upon governmental (kekuasaan cenderung untuk

korupsi dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korupsi pula). Kekuasaan

mengandung dua sisi sekaligus, yakni sisi positif dan negatif. Dari sisi positif

karena kekuasaan yang baik sebenarnya sangat efektif menegakkan hukum dan

keadilan secara bermatabat. Namun dari sisi negatif, yakni manakala kekuasaan

diarahkan kepada bentuk kesewang-wenangan dan kezaliman.

86

A.V.Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, (London: Mac:Millan, 1973), hlm. 202-3

87

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia; Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kloektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993), hlm. 230

88

(11)

action”.89 Sehingga berbicara tentang negara tidak dapat dilepaskan dengan konstitusi.90

Konstitusi mengadung dua pengertian

Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lain.

Kehadiran konstitusi merupakan condition sine quo non (syarat mutlak)

bagi sebuah negara. Konstitusi tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan

tentang mekanisme lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya

ditemukan letak relasional dan keudukan hak dan kewajiban warga negara.

Konstitusi merupakan ‘social contract” antara yang diperintah (rakyat) dengan

yang memerintah (penguasa,pemerintah).

91

Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan konstitusi tertulis. Adapun

batasan-batasanya dapat dirumuskan kedalam pengertian sebagai berikut:

, pertama dalam pengertian luas,

yakni mencakup sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan

peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam mengatur

tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan, didalamnya terdapat campuran tata

peraturan, baik yang bersifat hukum (legal) maupun bukan hukum (non legal).

Kedua, dalam pengertian sempit, yaotu sekumpulan peraturan yang legal dalam

lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” yang

terkait satu sama lain.

92

a. suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan

kepada para penguasa;

89

Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy; Theory and Practice in Europe and America, (Masscahusets: Blaisdell Publishing Company, 1967), hlm. 38

90

Samidjo, Ilmu Negara. (Bandung: Armico, 1986), hlm. 297

91

Majda El Muhtaj, Op.Cit, hlm. 29

92

(12)

b. suatu dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu

sistem politik;

c. suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara;

d. suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia.

Sehingga UUD merupakan dasar bagi terselenggaranya sistem

pemerintahan. Sejalan dengan itu, Miriam Budiardjo menegaskan bahwa UUD

menentukan cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan bekerja sam dan

menyesuaikan diri satu sama lain. Selengkapnya Miriam Budiardjo mengatakan:

“Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menggangapnya sebagai organisasi kekuasaan maka Undang-Undang Dasar (UUD) dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif. Undang-Undang Dasar (UUD) menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara”.93

Konstitusi sebagai bagian yang krusial bagi sebuah negara memang tak

terbantahkan. Dalam konteks pentingnya konstitusi bagi sebuah negara, Struyken

dalam bukunya Het Staatrecht van Het Koninkrif der Bederlander menyatakan

bahwa UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang

berisikan:

94

a. Hasil perjuangan poltik bangsa dimasa lampau

b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

c. Pandangan tokok-tokoh bangsa hendak diwujudkan, baik untuk waktu

sekarang maupun untuk waktu yang akan datang

93

Miriam Budiardjo, Op. cit, hlm. 96

94

(13)

d. Suatu keinginan, domana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa

hendak dipimpin.

Berdaarkan 4 hal diatas, maka sangat pentinglah suatu konstitusi yang

menjadi barometer kehidupan negara dan berbangsa, serta memberikan arahan

dan pedoman bagi generasi penerus bangsa dalam menjalankan fungsi negara.

Untuk menguatkan hal tersebut, ada baiknya juga melihat pendapat Bryce

seputar motf politik dalam pemyusunan sebuah konstitusi, sebagaiaman dikutip

oleh Joeniarto, yakni:95

a. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk mengendalikan tingkah

laku penguasa

b. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada dalam

rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan

sewenang-wenang dari pemnguasa dimasa depan.

c. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau

mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang permanen

dan yang dapat dipahami oleh warga negara

d. Hasrat dan keinginan untuk menjamin adanya kerja sama yang efektif dari

beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri

3. Muatan Hak Asasi Manusi di dalam UUD NRI 1945

Dalam sejarah ketatanegaraan Negara Indonesia, Indonesia sendiri telah

beberapa kali mengalami perubahan konstitusi negara, diawali dengan UUD 1945,

Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, kembali kepada UUD 1945, dan

kemudian sampai pada perubahan kedua UUD NRI 1945. Salah satu poin penting

95

(14)

perubahan kedua UUD NRI 1945 adalah penjaminan hak-hak asasi manusia

(HAM). Perubahan Kedua UUD NRI 1945 memasukkan perihal HAM menjadi

satu bab tersendiri, yakni BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 Pasal

, yakni Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,

Pasal 28H, Pasal 28I, dan Pasal 28J.

Menurut Ni’matul Huda, penambahan perumusan HAM serta jaminan

penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemajuannya kedalam UUD NRI

1945 bukan karena semata-mata kehendak isu global, melainkan karena itu

merupakan salah satu syarat negara hukum. HAM merupakan salah satu indicator

untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi, dan kemajuan suatu bangsa.96

a. Hak atas hidup dan kehidupan.

Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dapat dikatakan sebagai

bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di

Indonesia.

Jika dicermati lagi di dalam UUD NRI 1945 beberapa materi muatan

HAM tersebut antara lain

Hak tersebut diatur di dalam Pasal 28A, yang menyatakan

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya”.

b. Hak membentuk keluarga.

Hak ini diatur di dalam Pasal 28B, yang menyatakan

(1) Setip orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah

96

(15)

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

c. Hak untuk mengembangkan diri dengan meningkatkan kualitas diri

Hak ini diatur di dalam Pasal 28C, yang menyatakan

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan dasarnya,

berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

hidupnya demi kesejahteraan umat manusia

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan

negaranya.

d. Hak untuk perlakuan hukum yang adil.

Hak ini diatur di dalam Pasal 28D, yang menyatakan

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum.

(2) Setiap orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil

dan layak dalam hubungan kerja

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan

e. Hak untuk beragama dan berserikat

(16)

(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat.

f. Hak untuk berkomunikasi

Hak ini diatur di dalam Pasal 28F, yang menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribdi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki segala jenis saluran yang tersedia”.

g. Hak untuk perlindungan privasi

Hak ini diatur di dalam Pasal 28G, yang menyatakan

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka

politik dari negara lain.

h. Hak untuk kehidupan yang layak, persamaan di hadapan hukum, dan jaminan

sosial

(17)

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal

dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermatabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

i. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan diskriminasi

Hak ini diatur di dalam Pasal 28I, yang menyatakan

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

secara pribadi di hadapan hukum. Dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapt

dikurangi dalam keadaan apapun.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras

dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

(18)

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan

prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksaan hak asasi

manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan.

j. Kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain

Hal ini diatur di dalam Pasal 28J, yang menyatakan

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang dttetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatam

atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntuttan yang

adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

k. Hak untuk upaya pertahanan dan keamanan negara

Hal ini diatur di dalam Pasal 30 ayat (1), yang menyatakan

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha

pertahanan dan keamanan negara”.

Dari beberapa pasal diatas, perlindungan Hak Asasi Manusia khsususnya

dalam hak privasi untuk mendapatkankan informasi dan berkomunikasi dengan

orang lain. Perlindungan terhadap Hak privasi tersebut diatur di dalam Pasal 28G

(19)

B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana dalam Melindungi Hak Asasi Manusia

Didalam sistem peradilan pidana di Indonesia, pedoman dalam

melaksanakan hukum acara pidana ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor. 8

tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 24

September 1981. Pedoman ini bertujuan untuk menjamin adanya kepastian

kesatuan pelaksaan hukum acara pidana, yaitu sejak dari penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan dipengadilan, sampai pada penyelesaian di tingkat (lembaga)

permsyarakatan.97

Istilah lain yang sering digunakan dalam menyebutkan hukum acara

pidana adalah “hukum pidana formal” dan istilah Kitab Unfang-Undang Hukum

Pidana (KUH Pidana) sering disebut “hukum pidana materiil”. Hukum pidana

materil merupakan pedoman yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik,

peraturan tentang syarat-syarat dapat tidaknya dipidana orang dipidana dan aturan

tentang pemidanaan, yaitu mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu

dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil adalah mengatur bagaimana negara

melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menatuhkan

pidana.98

Pengertian tersebut juga dapat dilihat dari pendapat van Bemmelen99

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.

yang

menyakatan bahwa hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang

diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang undang

pidana yang dapat dilihat menjadi :

97

Andi Sofyan & Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), hlm. 1

98

Ibid, hlm. 2

99

(20)

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipelaku dan kalau

perlu menahannya.

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh

pada penyidikan kebenaran guna diilimpahkan kepada hakim dan membawa

terdakwa kedepan hakim tersebut.

5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan-perbuatan

yang ditudukan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau

tindakan tata tertib

6. Aparat hukum untuk melawan keputusan tersebut.

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas hukum acara pidana dalam

melaksanakan hukum pidana materiil memberikan peraturan cara bagaiman

negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk

memidana atau memberikan pidana.100

Dalam penerapan penegakan KUHAP, diperlukan suatu landasan atau

sebuah prinsip yang diartikan sebagai dasar patokan yang melandsari KUHAP.

Asas-asas atau prinsip hukum inilah yang menjadi tonggak pedoman bagi instansi

jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP, bukan saja

hanya kepada aparat penegak hukum, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat

yang terlibat dan berkepntingan atas pelaksanaan KUHAP sendiri. Apabila

menyimpang dari prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada KUHAP, berarti

orang yang bersangkutan telah sengaja mengabaikan hakikat kemurnian yang

100

(21)

dicita-citakan KUHAP. Sehingga tindakan demikian, nyata-nyata telah

meningkari dan menyelewengkan KUHAP ke arah tindakan yang berlawanan dan

melanngar hukum.101

1. Asas legalitas

Hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hsk asasi

manusia dalam pelaksaan KUHAP.

Dalam konsideran KUHAP huruf a, yang berbunyi:

“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaa kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Sehigga jelaslah KUHAP adalah sebagai Undang-undang pelaksanaan

dan penerapan KUHAP harus bertitik tolak pada the rule of law. Semua tindakan

penegak hukum harus:102

a. Berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang

b. Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas

segalanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang

takluk dibawah “supremasi hukum” yang selaras dengan

ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.

Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan

setiap tindakan penegakan hukum takluk dibawah ketentuan konstitusi,

undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran

masyarakat.

101

M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 35

102

(22)

Sehingga berdasarkan asas legalitas sesuai dengan prinsip the rule of law

dan supremasi hukum, aparat penegak hukum tidak dibenarkan:103 a. Bertindak diluar ketentuan hukum;

b. Bertindak sewenang-wenang atau abuse of power;

c. Sama derajatnya dihadapan hukum atau equal before the law;

d. Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum, equal

protection on the law;

e. Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama di bawah hukum, equal justice

under the law;

2. Asas Keseimbangan

Asas ini dapat dilihat dalam konsideran huruf c yang menegaskan dalam

setip penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi

antara:

a. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan;

b. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat

Aparat penegak hukum harus menempatkan diri dalam suatu acuan

pelaksanaan penegakan hukum yang berlandaskan keseimbangan yang serasi

antara orientasi penegakan dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan

kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Apabila tindakan aparat

telah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya misalnya melakukan kekerasan,

aparat tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya atas yang dianggap telah

melanggar HAM.104

103

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 36

104

(23)

Dengan demikian perlu mengubah sikap mental dan pandngan ke arah

cakrawala penegakan hukum yang menempatkan kedudukan mereka sebagai

kelompok aparat yang berfungsi sebagai “manusia-manusia pelayan” atau sebagai

agency of service. Dengan perlindungan kepentingan ketertiban masyarakat,

KUHAP telah menonjolkan tema ihuman dignity (martabat kemnusiaan), dalam

pelaksanaan tindakan penegakan hukum di Indonesia.

3. Asas praduga tak bersalah

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam Hukum Acara Pidana

ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada Pasal 8 UU No.

4 Tahun 2004 dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan

bahwa:

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dana atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Secara umum asss ini menjelaskan bahwa tersangka/terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian, karena dalam proses pemeriksaan perkara pidana

yang membuat/menyampaikan dakwaan adalah Jaksa Penuntut Umum, maka yang

berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah Jaksa Penuntut

Umum105

Prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap

tingkat pemeriksaan:106

105

Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2010), hlm. 156

106

(24)

a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau

terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang

mempunyai harkat martabat harga diri.

b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan”

(tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah

pemeriksaan ditujukan

Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip akusator dalam

penegakan hukum, KUHAP telah memberikan perisai kepada tersangka/terdakwa

berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan lindungi oleh

aparat penegak hukum. Hak-hak tersebut digariskan dalam KUHAP yang dapat

dilihat pada BAB VI:

a. Segera mendapat ‘pemeriksaan oleh penyidik” dan selanjutnya diajukan pada

penuntut umum;

b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan;

c. Tersangka berhak diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengertinya

tentang apa yang disangkakan pada waktu pemeriksaan dimulai;107

d. Berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengertinya

tentang apa yang didakwakan kepadanya, sehingga hal ini bertujuan baginya

untuk mempersiapkan pembelaan;

e. Berhak memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf

penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan disidang

pengadilan;

107

(25)

f. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat

pemeriksaan, jika tersangka/terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia;

g. Berhak mendapat bntuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum

selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan;

h. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang akan mendampinginya

i. Bagi setiap tersangka/terdakwa apabila diaa tidak mampu menyediakan

penasihat hukumnya, maka penegak hukum wajib menunjuk penasihat hukum

bagi tersangka/terdakwa;

j. Berhak mengunjungi dan di kunjungi dokter pribadinya selama ia dalam

tahanan;

k. Berhak untuk diberitahukan peada keluarganya atau orang yang serumah

dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya;

l. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai

hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan atas

penangguhan penahanan atau bantuan hukum;

m. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasiihat hukumnya untuk

menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak

ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa;

n. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukan, sehingga

pejabat yang bersangkutan harus menyediakan peralatan yang dibutuhkannya;

o. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yng terbuka untuk

umum;

p. Berhak untuk mengajukan dan mengusahakan saksi guna memberikan

(26)

q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sehingga ini

merupakan kewajiban penuntut umum untuk membuktikkan kesalahan

terdakwa;

r. Berhak menutut ganti rugi atau rehabilitasi atas setiap tindakan pemagkapan,

penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan dengan

hukum.

4. Prinsip pembatasan penahanan

Setiap penahanan, dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna antara

lain:108

a. Perampasn kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan

b. Menyangkut nilai-nilai prikemanusiaan dan harkat martabat manusia

c. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi

Dengan demikian, demi menyelamatkan nilai-nilai dasar hak asasi

manusia, KUHAP telah menetapkan secara “limitatif” dan terperinci wewenang

penahanan yang boleh dilakukan dalam setiap pemeriksaan.109

a. Penyidik paling lama menahan seseorang selama 60 hari

Mengenai batas waktu penahanan dapat diperinci sebagai berikut:

1) 20 hari atas nama dan perintahnya sendiri

2) Dapat meminta perpanjangan penahanan kepada penuntut umum demi

untuk kepentingan pemeriksaan, tidak lebih dari satu kali perpanjangan

saja, dan lamanya hanya terbatas 40 hari

108

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 42

109

(27)

Apabila lewat dari waktu tersebut, penahanan dengan sendirinya batal

demi hukum, dan tersangka harus dibebaskan

b. Penuntut umum paling lama dapat menahan seseorang selama 50 hari

1) 20 hari atas perintah penuntut umum sendiri

2) Demi kepentingan penuntutan dapat meminta perpanjangan untuk satu kali

saja kepad Ketua Pengadilan Negeri, masa perpanjangan penahanan tidak

lebih dari 30 hari.

c. Hakim pengadilan negeri demi kepentingan pemeriksaan dalam pemeriksaaan

pengadilan dapat melakukan panahanan selama 90 hari

1) Atas perintah hakim yang bersangkutan selama 30 hari

2) Boleh diperpanjang untuk satu kali saja untuk jangka waktu 60 hari

d. Hakim pengadilan tinggi dapat melakukan penahanan selama 90 hari

1) Oleh hakim yang bersangkutan selama 30 hari

2) Diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari untuk satu kali

saja

e. Mahkamah Agung berwenang melakukan penahanan selama 110 hari

1) Hakim Agung yang bersangkutan selama 50 hari

2) Diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung tidak lebih dari 60 hari untuk

satu kali saja.

Dari uraian diatas, maka mulai dari tingkat penyidikan sampai ke

Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan kepada seseorang paling lama

(28)

5. Asas Ganti Rugi dan rehabilitasi

Secara limitatif sas ini diatur di dalam Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal

95, 96, dan 97 KUHAP, apabila dijabarkan dapat disebutkan bahwa kalau

seseorang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan

berdasarkan UU atau karna kekeliruan baik mengenai orangnya atau

penerapan hukum wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus

bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tunttutan hukum (onslag van alle

rechtsvervolging).110

Alasan yang dapat dijadikan dasar ganti rugi dan rehabilitasi :111 a. Ganti rugi disebabkan oleh penagkapan atau penahanan

1) Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum

2) Penangkapan atau penahanan dilakukan tidak berdasarkan

undang-undang

3) Penagkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

4) Apabila penangkapan atau penahanan dilakukan tidak mengenai

orangnya (disqualification of person)

b. Ganti rugi akibat penggeledahan atau penyitaan

Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum (tanpa

perintah dan surat izin dari Ketua Pengadilan).

Permohonan tuntutan ganti kerugian dalam hal ini diajukan ke sidang

praperadilan jika perkaranya belum atau tidak diajukan ke pengadilan. Tetapi

apabila perkaranya telah dimajukan ke sidang pengadilan, tuntutan ganti kerugian

110

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik,

(Bandung: Alumni, 2008), hlm 19

111

(29)

dimajukan ke pengadilan. Tuntutan ganti kerugian hanya dapat iajukan dalam

tenggang waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum

tetap. Apabila perkaranya dihentikan penyidikannya atau penuntutannya, maka

jangka waktu 3 bulan dihitung sejak saat pemberitahuan berlakunya surat

Ketetapan Penghentian Penyidikan/Penuntutan atau Penetapan Praperadilan112 6. Penggabungan Tindak Pidana dengan Tuntutan Ganti Kerugian

KUHAP memberikan prosedur hukum bagi seorang korban tindak pidana

untuk mengugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan

dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlansung. Sehingga KUHAP

tidak saja hanya memperheatikan hak dari pelaku tindak pidana, tetapi juga hak

dari pada orang yang menderita kerugian materiil yang disebabkan oleh adanya

suatu tindak pidana. Beberapa hal yang diperhatikan dalam menggabungkan ganti

kerugian sebagai berikut:113

a. Ganti kerugian tersebut dapat dimintkan terhadap semua macam perkara yabg

dapat menimbulkan kerugian materil

b. Kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat dimintakan ganti kerugin lewat

prosedur ini

c. Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat perdata

dapat diajukan pihak korban selambat-lambatnya sebelum penuntut umum

mengajukan tuntutan (requisitoir).

7. Asas Unifikasi

Asas unifikasi yang dianut KUHAP ditegaskan dalam konsideran huruf b,

112

Kuffal, Op.Cit, hlm 154

113

(30)

“bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Noor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaruan kodifikasi serta unifikasi hukum daalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari wawasan Nusantara”.

Dengan berlakunya KUHAP yang berdasarkan unifikasi hukum,

terhapuslah sisa jiwa kekeruhan hukum diskriminatif yang lampau. Impian akan

pengotakan kelas penduduk tidak dapat diterima lagi oleh kesadaran wawasan

nusantara.

8. Prinsip Diferensiasi Fungsional

Prinsip diferensisasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas

wewenang antara jajaran penegak hukum secara instansional. KUHAP

meletakkan suatu asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification)

fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum, sehingga terjalin

hubungan fungsi berkelanjutan dalam suatu rangkaian integrated criminal justice

system.114

Tujuan utama asas diferensiasi fungsional dimaksudkan untuk:115

a. Untuk melenyapkan proses penyidikan yang saling tumpah tindih antara

kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak lagi terulang proses penyidikan yang

bolak balik antara kepolisian dan kejaksaan;

b. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan, sehingga

setiap orang tahu dengan pasti instansi yang berwenang memeriksa.

c. Diferensiasi ditujukan untuk menyederhanakan dan mempercepat peoses

penyelesaian perkara

114

Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm 22

115

(31)

d. Memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural monitoring

pengawasan dapat ditujukan secara terarah pada instansi bawahan yang

memikul tugas penyidikan. Sehingga setiap kekeliruan dan kesalahan yang

terjadi menjadi beban yang harus dipikulnya seorang diri, tidak dapat lagi

dicampurbaurkan menjadi beban tanggungjawab instansi lain.

e. Tercipta satu hasil berita acara pemeriksaan.

9. Prinsip Saling Kordinasi

Mari kita lihat gambaran adanya hubungan saling kordinasi fungsional

antara aparat penegak hukum menurut jenjang pengawasaan (span of control)116 a. Hubungan penyidik dengan penuntut umum

1) Kewajiban penyidik untuk memberitahu dimulai penyidikan kepada

penuntut umum

2) Pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik kepada penuntut

umum

Namun, penuntut umum bisa berpendapat lain, dan jika menganggap

penghentian penyidikan tidak sah, penuntut umum berhak mengajukan

pemeriksaan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan kepada

praperadilan

3) Penyerahan berkas oleh penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pra

penuntutan,

4) Penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara dan surat

dakwaan kepada penyidik

116

(32)

5) Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum

melimpahkan berkas perkara dengan menghadapkan terdakwa, saksi, dan

barang bukti ke sidang pengadilan.

b. Hubungan penyidik dengan hakim/pengadilan

1) Atas permintaan penyidik, Ketua Pengadilan dapat “menolak” atau

“memberi” surat izin.

i. Penggeledahan rumah

ii. Penyitaan dan

iii. Surat izin khusus pemeriksaan surat

2) Atas permintaan penyidik, Ketua Pengadilan Negeri memberikan surat

persetujuan atau menolak untuk memberi persetujuan atas pelaksanaan

penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam

keadaan yang sangat perlu dan mendesak

3) Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan

dalam pelanggaran lalu lintas telah disampaikan kepada terpidana

4) Panitera menyampaikan kepada penyidik akan adanya perlawanan dari

terdakwa dalam perkara lalu lintas

10.Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan

Secara konkret, apabila dijabarkan dengan dilakukan peradilan secaracepat

cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan supaya terdakwa tidak

diperlakukan dan diperiksa sampa berlarut-larut sehingga sifatnya efektif dan

efisien, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum, serta proses

administrasi biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.117

117

(33)

Beberapa ketentun KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat,

tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak:118 a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik

b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik

c. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum

d. Berhak segera diadili oleh pengdilan.

Kemudian mengenai pelimpahan oleh Pengadilan Negeri ke Pengadilan

Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, bahwa

a. Pelimpahan berkas perkara banding oleh Pengadilan Negeri ke Pengadilan

Tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding

b. 7 hari sesudah putus pada tingkst banding, Pengadilan Tinggi harus

mengembalikan berkas ke Pengadilan Negeri

c. Pada tingkat kasasi, 14 hari dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan

Negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk

diperiksa pada tingkat kasasi, dan sesudah 7 hari sesudah tanggal putusan,

Mahkamah agung harus sudah mengembalikan hasil putusan kasasi ke

Pengadilan Negeri

11.Prinsip peradilan terbuka untuk umum

Prinsip ini diatur didalam Pasal 153 ayat (3)

“pemeriksaan di sidang pengadilan terbuka umum”

Dengan landasan persamaan hak dan kedudukan antara

tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditanbah dengan sifat

keterbukaan perlakuan oleh aparat hukum kepada tersangka/terdakwa. Semua

118

(34)

hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan kesalahan yang disangkakan kepada

tersangka sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepadanya di

pengadilan, berarii pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak

terbuka untuk umum.119

Jadi, pada saat membuka persidangan pemeriksaan perkara hakim ketua

harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau

tidak dapat dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan batal

demi hukum, namun hal ini dikecualikan sepanjang yang menyangkut kesusilaan

atau yang duduk sebagai terdakwa terdiri dari anak-anak. Prinsip-prinsip yang

diuraikan diatas sebagai wujud untuk mengatur perlindungan terhadap keluhuran

harkat serta martabat manusia . sehingga harapannya prinsip-prinsip tersebut

ditegakkan dan diimplementasikan dengan berlandaskan semangat untuk

melindungi harkat serta martabat manusia.120

119

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 20

120

Tolib Effendi, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan

Pembaharuannya di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 17

(35)

BAB IV

ANALISIS ALAT BUKTI PENYADAPAN DI TINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA

A. Penerapan Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan

1. Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

Perkembangan tindak pidana korupsi yang sangat massif di Indonesia telah

memperhatinkan dan sangat luas. Tindak pidana korupsi nyaris seluruhnya terjadi

di setiap segi kehiduoan masyarakat yang pada kedudukan yang rendah bahkan

sampai pada kedudukan yang tinggi. Oleh karena hal itu, pemberantasan harus

dilakukan dengan sebuah metode penegakan hukum dengan cara luar biasa lewat

pembentukan sebuah tubuh khusus yang memiliki kewenangan luas, independen,

bebas dari segala kekuasaaan manapun.121

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, sebuah lembaga negara baru

melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatansan

Korupsi (UU KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna

terhadap upaya pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

122

121

.

Dalam melaksanakan tugasnya berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian

hukum, keterbukaan, akuntabilits, kepentingan umum, dan proporsionalitas.

diaksses tanggal 27 Mei 2016

(36)

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, ;penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi diatur didalam Pasal 6 huruf c UU KPK yang

menyatakan bahwa :

“Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi.”

Melalui UU KPK, kewenangan untuk melakukan penyadapan diberikan

kepada KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan penyidikan, dan penuntutan.

Kewenangan melakukan penyadapan terdapat pada Pasal 12 ayat (1) huruf c yang

menyatakan

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.” Namun bila melihat kepada UU KPK, tidak ditemukan penjelasan definis dari penyadapan itu sendiri.

Pedoman yang dapat digunakan untuk menjelaskan definisi tersebut

terdapat pada Pasal 1 huruf g Peraturan Menteri Nomor

11/PRM/Kominfo/02/2006 tanggall 22 Pebruari 2006 tenatang Teknis Intersepsi

terhadap informasi, yaitu :

“Pengertian intersepsi informasi secara sah (lawfull interception) adalah kegiatan intersepsi informasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penegakan hukumyang dikendalikan dan hasilnya dikirimkan ke pusat pemantauan (monitoring centre) untuk aparat penegk hukum.”

Hal yang juga tidak diatur didalam UU KPK menyangkut tentang durasi

lamanya penyadapan. Dengan demikian KPK dalam melakukan penyadapan tidak

dibatasi oleh jangka waktu sehingga KPK cukup hanya mengajukan satu kali

(37)

dilakukan sesuai dengan kebutuhan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

dalam perkara tindak pidana korupsi.123

2. Penyadapan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam pasal 1 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menyatakan bahwa:

“Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

untuk melakukan penyidikan.”

Dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan

dengan tegas bahwa:

“Penyidik ialah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) tertentu yang diberi wewenang oleh

undang-undang.”

Selanjutnya, dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian menyatakan bahwa:

“Polisi memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Sehingga didalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat kewenangan melakukan

penyadapan diberikan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

123

(38)

Pada saat ini Polri telah menetapkan penyadapan yang diatur dalam

Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat

Pemantauan Polri yang telah disahkan tanggal 24 Pebruari 2010. Berdasarkan

peraturan tersebut, operasi penyadapan oleh Anggota Polri harus sesuai dengan

prinsip-prinsip pada Pasal 2, yang menyatakan:

a. Perlindungan hak asasi manusia, yaitu penyadapan dilaksanakan dengan

memperhatikan hak asasi manusia berdasarkan prosedur pengoperasian

standar;

b. Legalitas, yaitu tindakan penyadapan yang dilakukan harus sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Kepastian hukum, yaitu kegiatan penyadapan yang dilakukan semata-mata

untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan;

d. Perlindungan konsumen, yaitu kepentingan konsumen pengguna jasa

telekomunikasi tidak terganggu akibat adanya tindakan penyadapan;

e. Partisipasi, yaitu turut sertanya menteri yang membidangi urusan

telekomunikasi dan informatika, Penyedia Jasa dan Penyedia Jaringan

Telekomunikasi dalam bentuk operasi penyadapan;

f. Kerahasiaan, yaitu penyadapan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan

oleh Penyelidik dan/atau Penyidik Polri secara proporsional dan relevan

dengan memperhatikan keamanan sumber data atau informasi yang diperoleh

dalam penngungkapan tindak pidana.

Kemudian dalam melakukan penyadapan, dalam Pasal 5 tata cara dalam

(39)

a. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri ditunjuk oleh Kapolri

sebagai pejabat yang memberikan izin dimulainya operasi penyadapan.

b. Permintaan dimulainya penyadapan diajukan oleh penyelidik/penyidik kepada

Kabareskrim untuk tingkat Mabes Polri atau melalui Kapolda kepada

Kabareskrim berdasarkan tingkat satuan kewilayahan.

c. Permintaan dimulainya penyadapan tersebut, setelah dterima maka

Kabareskrim akan melakukan pertimbangan layak atau tidak layak dilakukan

penyadapan, paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterima diberitahukan kepada

penyidik

d. Jika Kabareskrim menilai layak dilaksanakan, Kabareskrim mengajukan izin

penyadapan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat operasi penyadapan

dilakukan

e. Operasi penyadapan mulai dilakukan setelah mendapat izin, dilaksanakan oleh

Pusat Pemantauan (monitoring centre) Polri

f. Operasi penyadapan dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat

diajukan kembali kembali apabila dirasa informasi yang diperoleh belum

mencukupi

g. Operasi penyadapan berakhir apabila:

1) Penyelidik dan/atau penyidik melalui atasan penyidik menyatakan bahwa

operasi penyadapan yang dilaksanakan dianggap sudah cukup, disertai

surat keterangan atau pernyataan

2) Penyidik dan/atau penyidik melalui atasan penyidik meminta dan

membuat pernyataan secara tertulis kepada Kalakhar Pusat Pemantauan

(40)

3) Operasi penyadapan yang dilakukan dengan pertimbangan sangat perlu

dan mendesak, tidak dikabulkan oleh Kabareskrim Polri disertai

alasannya.

4) Habis masa berlaku dan tidak diperpanjang.

h. Produk hasil penyadapan hanya diberikan oleh Khalakar Pusat Pemantauan

kepada penyelidik/penyidik yang identitasnya tercantum sesuai dengan surat

permohonan permintaan.

i. Produk hasil penyadapan bersifat rahasia dan dapat digunakan sebagai alat

bukti sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan

j. Penyelidik, penyidik dan anggota Pusat Pemantauan Polri, dilarang, baik

sengaja maupun tidak, menjual, memperdagangkan, mengalihkan,

mentransfer, dan/atau menyebarluaskan produk hasil penyadapan, baik secara

tertulis, lisan maupun menggunakan komunikasi elektronik kepada pihak

manapun.

3. Penyadapan oleh Kejaksaan Republik Indonesia

Kedudukan sentral Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia,

sebagai salah satu subsistem hukum yang berada dalam satu kessatuan yang

teratur dan terintegral, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan subsistem

lainnya untuk mencapai tujuan dari subsistem hukum tersbut. Selain kejaksaan,

ada juga lembaga lain, seperti hakim, polisi, advokat, tersangka, terdakwa,

terpidana yang menjadi subsistem hukum di Indonesia. Dilihat dari aspek

kewenangannya, dikenal beberapa subsistem hukum, seperti kewenagan

melakukan penyidikan, penuntutan dan penghukuman.124

124

Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

(41)

Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia

merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kegiatan di bidang

penuntutan serta kewenangan lain berrdasarkan undang-undang. Kemudian pada

Pasal 30 ayat (1) huruf d, menyatakan bahwa Kejaksaan memiliki tugas dan

wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang

Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang adalah untuk

melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dilihat pada Pasal 39

Undang-ndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (UU PTPK) yang menyatakan

“Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan

bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan

Peradilan Militer.”

Berdasarkan uraian pada pasal-pasal diatas, Kejaksaan juga dapat

dinyatakan sebagai penyidik bagi tindak pidana tertentu khususnya dalam hal ini

tindak pidana korupsi. Dalam melakukan penyidikan Kejaksaan juga dapat

melakukan penyadapan guna kepentingan penegakan hukum hal tersebut dapat di

lihat pada Pasal 26 UU PTPK yang menyatakan Penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan

berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam

Undang-undang ini. Penyidik dalam hal ini dapat melakukan tindakan penyadapan

(42)

Beberapa uraian diatas, tidak dapat dilihat ketegasan bahwa kejaksaan

dapat melakukan penyadapan, sehingga diperlukan suatu penjelasan lebih lanjut.

Hal ini menyebabkan kejaksaan belum dapat memaksimalkan kewenangan

penyadapannya dan hasil penyadapan sebagai alat bukti di persidangan. Oleh

karena itu ada kekhawatiran hasil dari tindakan penyadapan yang dilakukan

kejaksaan dan dijadikan alat bukti akan dipermasalahkan keabsahannya di

persidangan.125

B. Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia

Dalam pedoman melakukan penyadapan, kejaksaan juga

menggunakan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:

11/PERM.Kominfo/02/2006 Tentang Itersepsi Terhadap Informasi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, konsep dasar

hak asasi manusia pada dasarnya adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia

dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Sehingga hak asasi

yang dasar atau kodrati melekat pada setiap individu yang merupakan anugerah

Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dijaga, ditegakkan, dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan

perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pada era kemajuan teknologi dan informasi yang sekarang telah membuat

komunikasi antar individu menjadi lebih mudah, murah, praktis, dan dinamis.

Namun, hal ini juga dapat menimbulkan kerawanan dalam pelanggaran hak asasi

manusia khususnya terhadap hak privasi seseorang dalam berkomunikasi.

Teknologi informasi tersebut dapat digunakan aparat penyidik/penyelidik dalam

125

(43)

mendengarkan percakapan antar individu dilokasi yang berbeda. Titik kerawanan

dari tindakan penyadapan adalah tindakan intrusi atau penerobosan untuk

melakukan akses secara paksa ke saluran komunikasi yang sedang digunakan oleh

para individu tanpa diketahui oleh pihak-pihak yang sedang berkomunikasi

tersebut.126

Secara teori, hak asasi manusia terbagi menjadi 2 bagian besar, yakni hak

asasi manusia yang dapat diderogasi atau dikesampingkan (derogable rights) dan

hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan

(non derogable rights). Hak-hak yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat

dikesampingkan diantaranya ha katas kehidupan, hak bebas dari penyiksaan dan

perlakuan kejam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipidana karena

tidak memenuhi kewajiban perdata, hak untuk diakui sama sebagi subjek hukum,

dan hak untuk bebas beragama. Sedangkan selain hak-hak tersebut, hak-hak lain

yang melekat pada diri manusia dapat diderogasi atau dapat dikesampingkan

karena adanya kepentingan hukum atau karena kepentingan umum.127

126

Ibid, hlm. 36

127

Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm, 235

Penderogasian atau pengeyampingan penegakan dan penjaminan hak asasi

manusia dalam kepentingan penegakan hukum (law enforcement) eering kali

beringgungan dan menimbulkan gesekan hukum hal ini dikarenakan terdapat

kontradiksi dalam penerapannya. Sehingga kerap kali penegakan hukum (law

enforcement) akan menderogasikan hak ssasi manusia. Hal ini dapat digambarkan

(44)

Penyadapan Penegakan

Hukum Perlindungan hak asasi

manusia

Gambar.1 Persinggungan antara Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak

Asasi Manusia

Pada prinsipnya hukum melarang penyadapan alat komunikasi karena

melekatnya hak privasi orang yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Hanya

dalam hal-hal yang sangat khusus saja larangan tersebut tidak dapat berlaku, yakni

ketika adanya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat yang lebih luas

dan kepentingan tersebut mendesak untuk memperoleh informasi rahasia tersebut.

Oleh karena itu muncul konsep “penyadapan sesuai hukum” (legal interception),

yaitu penyadapan yang diperkenankan oleh hukum.128

Penyadapan informasi hanya dapat dilakukan dan dibenarkan jika ada

undang-undang yang memperbolehkannya, sehingga diperlukan untuk

kepentingan umum atau kepentingan negara, dimana tanpa menggunakan

penyadapan informasi penting itu tidak mungkin didapatkan. Dalam ilmu hukum

dikenal beberapa teori tentang larangan penyadapan tersebut, yakni:129 1. Teori Per Se.

128

Munir Fuady dan Silvia Laura Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2015), hlm. 276

129

(45)

Menurut teori ini, bahwa penyadapan itu sendiri sudah bertentangan

dengan hukum, terlepas apakah informasi yang disadap tersebut oleh

penyadapnya sudah mau digunanakan atau tidak

4. Teori Divulgensi

Bahwa yang dimaksudkan sebenarnya informasi yang disadap tersebut

merupakan informasi rahasia, sehingga yang dilarang oleh hukum adalah

membuka rahasia tersebut kepada pihak lain.

5. Teori Pihak ke Tiga

Bahwa menurut teori ini, hanya pihak yang berkomunikasi yang dapat

mengajukan keberatan atas dipergunakannya informasi yang disadap tersebut.

Pihak lain tidak boleh mengajukan keberatan, termasuk keberatan sebagai alat

bukti manakala dia bukan pihak dalam percakapan yang menghasilkan informasi

tersebut.

6. Teori Kepemilikan Pihak Lawan

Bahwa menurut teori ini, bahwa informasi yang sudah diterima oleh pihak

lawan bicara yaitu sudah merupakan milik dari pihak lawan bicara tersebut.,

sehingga pihak lawan tersebut sudah bebas menggunakan informasi tersebut,

termasuk memberikannya kepada pihak lain atau membiarkan pihak lain untuk

menggunakan informasi yang bersumber darinya.

7. Teori Pembuktian

Menurut teori ini, bahwa informasi yang didapatkan tetapi didapatkan

secara bertentangan dengan hukum boleh saja dipergunakan atau dibuka tetapi

(46)

Dalam konstitusi di Indonesia, perlindungan terhadap hak privasi tersebut

diakui didalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pengaturan dan perlindungan terhadap hak privasi sebagaimana didalam

UUD NRi 1945 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut atau

hak asasi manusia yang tidak dapt dikurangi (non derogable rights), hak privasi

adalah suatu hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi sepanjang pembatasan

tersebut dilakukan dengan undang-undang.130

Menurut Ifdhal Kasim pembatasan hak asasi manusia melalui peraturan

penyadapan, harus dapat memuat syarat:

Pembatasan atau pengurangan

tersebut semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap

hak dan kebebasan orang lain untuk memnuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat yang demokratis.

131

1. Adanya otoritas resmi yang jelas memberikan izin penyadapan;

2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;

3. Pembatasan penanganan materi penyadapan;

4. Pembatasan mengenai orang yang mengakses penyadapan;

130

Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

131

Gambar

Gambar.1 Persinggungan antara Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak
Tabel.1 Indeks Persepsi Korupsi 2013

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis dan mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Think Pair Share dan Spontaneous Group Discussion terhadap hasil belajar PKn

Universitas Sumatera Utara.. SISTEM INFORMASI PENYAKIT DEMAM BERDARAH BERBASIS ANDROID..

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang hendak diselesaikan melalui penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: bagaimana perbedaan aktivitas dan hasil belajar

SOFI HANS HAMDAN : Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan, yang

[r]

KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DI KABUPATEN BENER MERIAH PROVINSI ACEH TAHUN

Program ini dirancang untuk memudahkan puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi dengan input seminim mungkin dan output semaksimal mungkin... pelayanan dalam gedung : SIMPUS

The main purpose of this four-year study (a dissertation project at the University of Twente) is to develop a rich learning environment in the form of a Web site and a