• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada zaman Yunani Kuno, para ahli sudah merumuskan pengaturan tentang kedudukan benda budaya dalam suatu konflik bersenjata atau perang. Adalah seorang ahli pada masa Yunani Kuno yang bernama Polybius yang mengatakan bahwa :

Future conquerors should learn not to strip the towns that they subjugate and not to inflict misfortune on other peoples, the embellishment of their native land… But

although some advantage may be derived from that, no one can deny that to abandon oneself to the pointless destruction of temples, statues and other sacred objects is the action of a maadman.95

Terjemahan Bebas :

Penakluk masa depan harus belajar untuk tidak menjarah kota-kota yang mereka taklukkan dan tidak menimbulkan kemalangan pada orang lain atas kekayaan dari tanah air mereka... Tapi meskipun beberapa keuntungan dapat diperoleh dari itu, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa tindakan meninggalkan diri sendiri untuk penghancuran yang tidak ada gunanya pada kuil, patung dan benda-benda suci lainnya adalah tindakan orang gila.

Melihat pernyataan Polybius tersebut, tampak jelas sejak zaman kuno pada masa Yunani Kuno sudah ada gagasan untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata. Polybius tidak mendukung penghancuran benda budaya seperti kuil, patung dan benda-benda suci lainnya dalam suatu peperangan atau konflik bersenjata. Polybius menghendaki kedudukan benda-benda budaya dalam peperangan adalah suatu obyek yang dilindungi dan dihormati. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata merupakan tindakan orang gila, sehingga dalam hal ini tidak wajar dilakukan dan tentunya dilarang dilakukan.

95

JIRI TOMAN, ―The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict‖, Dartmouth Publishing Company, USA, 1996, Hal. 4, Buku dapat diunduh pada

Namun, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya kita dapat melihat bahwa dalam sejarahnya peperangan atau konflik bersenjata, tetap saja benda budaya mengalami banyak kerugian yaitu terutama penghancuran selain juga penjarahan. Dalam perkembangannya, kedudukan benda budaya menjadi perhatian masyarakat internasional karena banyaknya kerugian terhadap benda budaya dalam konflik bersenjata atau masa perang.

Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Demikian salah satu ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang

dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran.96 Hukum Jenewa mengatur

perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter

yang utama.97 Protokol I maupun II adalah merupakan tambahan dari konvensi-konvensi

Jenewa 1949.98

Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa :

―Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil

dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer

saja.‖

Dengan melihat pasal tersebut (Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977) , maka kita dapat mengetahui bahwa istilah dan defenisi tentang ‗obyek sipil‘ dan ‗sasaran militer‘ baru tercantum diterima oleh negara-negara untuk pertama kalinya dalam suatu naskah perjanjian yang telah berlaku (‗enter into force‘), yaitu dalam Protokol Tambahan I 1977.99 Hal tersebut

96Ambarwati dkk., Hukum Humaniter Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 45 97Prof.Sulaiman, S.H., dkk., Diktat Kuliah : Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, 2015, Hal. 12

98Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Red Cross, Jakarta, 1999, hal. 33

99

menunjukan bahwa selain pembedaan terhadap penduduk sipil dengan kombatan, pada tahun

1977 berdasarkan Protokol Tambahan I 1977100 telah ada pembedaan terhadap obyek sipil dan

sasaran militer dalam Hukum Humaniter Internasional.

Defenisi obyek sipil dan sasaran militer tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 yaitu Perlindungan umum bagi obyek-obyek sipil :

1. Obyek-obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan atau tindakan

pembatasan. Obyek-obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer seperti dirumuskan dalam ayat (2).

2. Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer.

Sebegitu jauh mengenai obyek, sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, didalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.

3. Apabila diragukan apakah suatu obyek yang biasanya diabdikan pada tujuan-tujuan

sipil, seperti tempat pemujaan, rumah atau tempat tinggal lainnya atau rumah sekolah, sedang digunakan untuk memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer, maka obyek itu harus dianggap sebagai tidak dipergunakan sedemikian. Dari Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 tersebut diatas kita dapat melihat bahwa obyek sipil mendapat perlindungan yaitu tidak boleh diserang atau dijadikan sasaran militer. Terkait dengan defenisi, berdasarkan ayat 1 pada pasal tersebut, obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer. Ruang lingkup obyek sipil tidak terbatas sepanjang obyek tersebut bukan sasaran militer.

Sedangkan ayat (2) dari pasal diatas (Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977), memberikan penjelasan tentang Sasaran Militer. Ada beberapa kriteria yang dicantumkan, yaitu sifat (‗nature’), tempat/lokasi (‗location‘), dan tujuan (‗purpose‘), serta keuntungan militer yang pasti (‗definite military advantage‘). Kriteria pertama berhubungan dengan dengan sifat suatu sasaran militer., yang harus menghasilkan kontribusi yang efektif pada aksi

100 Protokol Tambahan I 1977 Dapat diunduh pada :

militer. Kategori ini dapat meliputi semua obyek yang digunakan secara langsung oleh suatu angkatan bersenjata seperti : persenjataan, peralatan, transportasi, perbentengan, depot militer, markas dan markas besar, pusat-pusat komunikasi, dan sebagainya. Kriteria kedua berkaitan dengan lokasi sasaran militer. Dalam hal ini ada obyek-obyek yang karena sifatnya tidak memiliki fungsi militer, namun apabila ditinjau dari lokasinya, maka obyek tersebut akan sangat bermanfaat bagi tujuan-tujuan militer, seperti : jembatan atau konstruksi lain yang sejenisnya. Kriteria ketiga berkenaan dengan tujuan digunakannya suatu obyek tertentu pada waktu terjadi sengketa bersenjata. Misalnya, rumah sakit dan sekolah-sekolah merupakan obyek sipil, namun apabila obyek tersebut digunakan untuk bersembunyi tentara, maka obyek itu akan berubah fungsinya menjadi sasaran militer. Namun jika ada keragu-raguan mengenai hal ini , sesuai dengan ayat (3), maka obyek-obyek tersebut harus dianggap sebagai obyek

sipil.101 Hal tersebut menunjukan bahwa obyek sipil dapat berubah dan dianggap sebagai

obyek militer.

Persyaratan yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu obyek sipil menjadi sasaran

militer mencakup dua hal yaitu sebagai berikut102 :

a. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak

musuh; dan

b. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap objek tersebut

memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak yang melakukan tindakan.

Berkaitan dengan prinsip necessity, terdapat pula ketentuan sebagai berikut : ―Apabila

dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoleh keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang dipilih adalah adalah sasaran yang apabila diserang dapat

101Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal. 205-206 102

diharapkan mengakibatkan bahaya yang paling kecil bagi nyawa orang-orang sipil dan objek-objek sipil.‖103 Prinsip kepentingan militer atau necessity menuntut yang dapat menjadi sasaran militer adalah obyek yang benar-benar memberikan keuntungan militer dan juga memberikan akibat seminimal mungkin bagi orang sipil dan obyek sipil. Hal ini menunjukan bahwa walaupun Hukum Humaniter Internasional telah menetapkan obyek yang dapat dijadikan sasaran milter atau obyek militer, tidak tertutup kemungkinan suatu obyek sipil

dapat berubah menjadi obyek militer dengan persyaratan tertentu dan prinsip necessity atau

prinsip kepentingan militer.

Terkait dengan benda budaya dapat kita rumuskan berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977, kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata merupakan obyek sipil. Hal ini karena berdasarkan konvensi-konvensi hukum internasional, benda budaya menjadi obyek yang dilindungi dari serangan militer dalam konflik bersenjata. Setiap obyek yang dilindungi dari serangan militer adalah obyek sipil.

Pasal 27 Konvensi Den Haag IV 1907104 tertulis bahwa :

In sieges and bombardments all necessary steps must be taken to spare, as far as possible, buildings dedicated to religion, art, science, or charitable purposes, historic monuments, hospitals, and places where the sick and wounded are collected, provided they are not being used at the time for military purposes. It is the duty of the besieged to indicate the presence of such buildings or places by distinctive and visible signs, which shall be notified to the enemy before hand.

Terjemahan bebas Pasal 27 Konvensi Den Haag IV 1907:

―Dalam hal pengepungan dan pemboman, semua langkah yang perlu harus

dilakukan, untuk sejauh mungkin menghindari bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan panti sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempat-tempat tersebut tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Pasukan yang mengepung harus menandai bangunan-bangunan atau tempat-tempat dengan tanda-tanda khusus yang terlihat, yang sebelumnya harus

diberitahukan kepada pihak penyerang.‖

103

Ibid, hal. 43-44

104Konvensi Den Haag IV 1907 dapat diunduh pada : http://www.opbw.org/int_inst/sec_docs/1907HC-TEXT.pdf

Dari Pasal 27 Konvensi Den Haag IV 1907 tersebut diatas, pada tahun 1907 masyarakat internasional telah menyatakan bahwa benda-benda budaya harus dihormati dan dilindungi dalam suatu konflik bersenjata. Benda budaya dalam hal ini bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan monumen bersejarah, sejauh mungkin dihindari untuk dibom atau diserang. Penghindaran serangan tersebut untuk melindungi benda budaya dengan cara menandainya dengan tanda khusus sehingga dapat dilakukan pembedaan dengan obyek yang bisa diserang.

Selanjutnya, pengaturan yang lebih lengkap dan komprehensif tentang perlindungan

benda budaya dalam konflik bersenjata dapat kita lihat dalam Konvensi Den Haag 1954105.

Perlindungan benda budaya dalam Konvensi Den Haag 1954 tidak hanya berlaku dalam konflik bersenjata internasional namun juga berlaku dalam konflik bersenjata

non-internasional.106 Perlindungan benda budaya dalam Konvensi Den Haag 1954 terdiri dari dari

pengamanan dan penghormatan terhadap benda budaya.107

Pengamanan benda budaya berdasarkan Pasal 3 Konvensi Den Haag 1954 :

―Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha pada waktu damai untuk mempersiapkan

pengamanan benda budaya yang terletak dalam teritorinya dari efek-efek yang dapat diperkirakan terjadi pada waktu sengketa bersenjata, dengan melakukan

tindakan-tindakan yang mereka anggap sepatutnya.‖

Penghormatan benda budaya berdasarkan Pasal 4 Konvensi Den Haag 1954 :

1. Pihak-Pihak Peserta Agung bertanggung jawab untuk menghormati benda budaya baik

yang terdapat dalam teritorinya maupun dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya dengan cara mencegah penggunaan benda budaya dan lingkungan sekitarnya atau penggunaan alat-alat yang digunakan untuk perlindungan benda budaya yang dapat mengakibatkan kehancuran atau kerusakannya pada waktu sengketa bersenjata; dan dengan cara mencegah setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap benda budaya tersebut.

105

Konvensi Den Haag 1954 Tentang Perlindungan Benda Budaya Pada Waktu Sengketa Bersenjata,

Dapat diunduh pada :

https://www.academia.edu/25712182/KONVENSI_TENTANG_PERLINDUNGAN_BENDA_BUDAYA_PAD A_WAKTU_SENGKETA_BERSENJATA_Den_Haag_14_Mei_1954?auto=download

106Pasal 19 Konvensi Den Haag 1954 107 Pasal 2 Konvensi Den Haag 1954

2. Kewajiban-kewajiban yang disebutkan diatas dalam paragraf 1 dari Pasal ini hanya dapat dikesampingkan dalam hal dimana kepentingan militer mengharuskan adanya pengenyampingan yang demikian.

3. Pihak-Pihak Peserta Agung selanjutnya berusaha untuk melarang, mencegah dan,

apabila perlu, menghentikan setiap bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan vandalisme yang ditujukan langsung terhadap benda budaya. Mereka seharusnya, menghentikan pengambil alihan-benda budaya bergerak yang terletak dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya.

4. Mereka seharusnya mencegah setiap cara tindakan pembalasan yang diarahkan

langsung terhadap benda budaya. Tidak ada Pihak Peserta Agung, dalam kaitannya dengan Pihak Pesera Agung lainnya, yang boleh mengelak dari kewajibankewajiban yang ditetapkan dalam Pasal ini, dengan alasan fakta bahwa Pihak yang disebut terakhir belum menerapkan tindakantindakanpengamanan yang dimaksud dalam Pasal 3.

Dari Pasal 3 dan 4 Konvensi Den Haag 1954 tersebut, kita dapat melihat bahwa perlindungan benda budaya berdasarkan Konvensi Den Haag 1954 tidak hanya mengatur perlindungan benda budaya pada saat terjadinya konflik bersenjata saja, namun juga mengatur perlindungan benda budaya pada masa damai. Pada saat terjadinya sengketa bersenjata, benda-benda budaya dilindungi. Prinsipnya adalah bahwa benda-benda budaya seperti Rumah Ibadah, Museum dan sebagainya, selama tidak dimanfaatkan untuk kepentingan milliter,

semaksimal mungkin harus dilindungi terhadap serangan.108 Para pihak harus memberikan

penghormatan terhadap benda budaya dengan melarang segala serangan terhadap benda budaya seperti penghancuran, vandalisme atau pengerusakan, penjarahan dan serangan-serangan lainnya yang mengarah kepada benda budaya sepanjang benda budaya tersebut tidak dimanfaatkan untuk kepentingan milliter .

Dimasa damai, setiap negara harus mempersiapkan perlindungan benda budaya di wilayahnya dari akibat pertikaian bersenjata. Untuk itu, obyek budaya dapat dilindungi, antara lain dengan cara mendirikan bangunan khusus, dengan merencanakan pemindahannya ke tempat yang lebih aman, atau dengan menandainya dengan tanda pelindung khusus. Semua

tindakan ini merupakan perlindungan umum.109 Hal tersebut menunjukan bahwa di masa

108Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal 45 109

damai para negara harus melakukan tindakan pengamanan benda budaya sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya konflik bersenjata di masa yang akan datang.

Secara umum benda-benda budaya wajib mendapat perlindungan dalam konflik bersenjata. Namun, dalam Konvensi Den Haag 1954 juga mengatur perlindungan khusus terhadap benda budaya yang dapat dikenakan perlindungan khusus. Kriteria benda-benda budaya yang diberi perlindungan khusus dapat kita lihat dalam Pasal 8 Konvensi Den Haag 1954, yaitu :

1. Terhadap sejumlah terbatas tempat penampungan yang dimaksudkan untuk

menyimpan benda budaya bergerak pada saat sengketa bersenjata dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dan juga terhadap pusat-pusat yang berisi monumen-monumen dan benda budaya tak bergerak lainnya yang sangat penting, apabila mereka :

a. terletak pada suatu jarak yang memadai dari setiap pusat industri besar atau

dari setiap objek militer penting yang merupakan suatu titik rawan, seperti, misalnya, suatu aerodrome,stasiun siaran, perusahaan yang berkaitan dengan kerja pertahanan nasional, suatu pelabuhan atau stasiun kereta api yang relatif penting atau suatu jaringan utama komunikasi;

b. tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer.

2. Suatu tempat penampungan untuk benda budaya bergerak juga dapat ditempatkan

dibawah perlindungan khusus, dimanapun lokasinya, jika didirikan sedemikian rupa sehingga, dalam semua kemungkinan, tidak bisa dirusak oleh bom.

3. Suatu pusat yang berisi monumen-monumen harus dianggap digunakan untuk

tujuan-tujuan militer apabila ia digunakan untuk gerakan personil atau bahan militer, walaupun dalam transit. Hal yang sama juga berlaku apabila kegiatan-kegiatan dihubungkan secara langsung dengan operasi-operasi militer, penempatan personil militer, atau produksi bahan-bahan perang yang dilakukan dalam pusat tersebut.

4. Penjagaan benda budaya yang disebut dalam paragraf 1 diatas oleh petugas bersenjata

yang ditugaskan untuk itu, atau kehadiran petugas polisi yang sehari-harinya bertanggung jawab untuk pemeliharaan ketertiban umum disekitar disekitar benda budaya, seharusnya tidak dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer.

5. Jika setiap benda budaya yang disebutkan dalam paragraf 1 dari Pasal ini terletak

berdekatan dengan suatu objek militer yang penting sebagaimana ditetapkan dalam paragraf tersebut, maka benda budaya tersebut bagaimanapun dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus jika Pihak Peserta Agung yang meminta perlindungan tersebut itu berusaha, pada saat sengketa bersenjata, untuk tidak menjadikannya sebagai sasaran, dan khususnya untuk suatu pelabuhan, stasiun kereta api atau aerodrome, untuk mengalihkan semua lalu-lintasnya daripadanya. Dalam hal yang demikian maka pengalihan tersebut harus dipersiapkan pada waktu damai.

6. Perlindungan khusus diberikan untuk benda budaya melalui pendaftarannya dalam

"Pendaftaran Internasional atas Benda budaya dibawah Perlindungan Khusus". Pendaftaran ini hanya dapat dilakukan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi

ini dan dibawah syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Konvensi ini.

Dari Pasal 8 Konvensi Den Haag 1954 tersebut diatas, kita dapat melihat kriteria-kriteria apa saja bagi benda budaya untuk mendapat perlindungan khusus. Status perlindungan khusus tersebut dapat diperoleh melalui Pendaftaran Internasional atas Benda Budaya dibawah Perlindungan Khusus. Pendaftaran tersebut ditujukan kepada UNESCO, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 23 Konvensi Den Haag 1954, yaitu :

1. Pihak-Pihak Peserta Agung boleh meminta bantuan teknis dari UNESCO untuk

pengorganisasian perlindungan dari benda budaya mereka, atau dalam hubungannya dengan persoalan lain yang timbul dari pemberlakuan Konvensi ini atau Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaannya. ONESCO akan memberikan bantuan yang dimaksud dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh program dan sumber dayanya.

2. UNESCO berwenang untuk membuat, dengan inisiatifnya sendiri, usulan-usulan

mengenai persoalan ini kepada PIhak-Pihak Peserta Agung.

Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 12 Peraturan Pelaksana Konvensi Den Haag 1954, yaitu :

1. Suatu " Daftar Internasioanl Benda Benda Budaya Dibawah Perlindungan Khusus"

akan disusun.

2. Direktur Jenderal UNESCO akan mengurusi daftar ini. Direktur Jenderal memberikan

tembusan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan kepada Pihak Pihak Peserta Agung.

3. Daftar tersebut dibagi menjadi bagian bagian, masing masing atas nama Pihak Peserta

Agung. Setiap bagian akan dibagi lagi menjadi tiga paragraph, dengan judul : Tempat penampungan, Pusat-pusat dimana monumen berada, Benda Benda Budaya yang tidak dapat dipindahkan. Direktur Jenderal akan menentukan rincian isi dari masing masing bagian.

Dari Pasal 23 Konvensi Den Haag 1954 dan Pasal 12 Peraturan Pelaksana Konvensi Den Haag 1954 tersebut diatas kita dapat melihat bahwa pendaftaran benda budaya untuk mendapatkan status perlindungan khusus dapat dilakukan oleh para pihak atau negara-negara dengan mendaftarkannya kepada UNESCO dan juga perlindungan khusus tersebut dapat diberikan oleh UNESCO atas inisiatifnya sendiri.

Pemberian perlindungan khusus tersebut dapat dikenali dengan lambang pengenal yang dilekatkan kepada benda budaya yang diberi perlindungan khusus. Lambang pengenal

pada benda budaya yang diberi perlindungan khusus diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954.

Pasal 16 Konvensi Den Haag 1954, yaitu :

1. Lambang pengenal dalam Konvensi ini berupa tameng yang mengarah kebawah

dengan saltir biru dan putih (sebuah tameng yang terdiri dari suatu segi empat sama sisi biru yang salah satu sudutnya merupakan ujung dari tameng, dan sebuah segitiga sama sisi biru yang berada pada bagian atas; ruang disisi kiri dan kanannya terdiri dari masing-masing sebuah segitiga warna putih).

2. Lambang harus digunakan sebuah, atau digunakan tiga buah dalam formasi

segitiga (satu tameng dibawah), menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 17.

Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954, yaitu :

1) Lambang pengenal yang digunakan tiga buah digunakan sebagai alat identifikasi

dari:

a) benda budaya tak bergerak yang berada dibawah perlindungan khusus;

b) pengangkutan benda budaya menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam

Pasal 12 dan 13;

c) tempat penampungan sementara, menurut syrat-syarat yang ditetapkan dalam

Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaan Konvensi.

2) Lambang pengenal yang digunakan satu buah digunakan sebagai suatu alat

identifikasi dari :

a) benda budaya yang tidak dibawah perlindungan khusus;

b) orang-orang yang bertanggung-jawab untuk melaksanakan pengawasan sesuai

dengan Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaan Konvnesi;

c) personil yang terlibat dalam tugas perlindungan benda budaya;

d) kartu-kartu identitas yang disebut dalam Peraturan-Peraturan pelaksanaan

Konvensi.

3) Selama suatu sengketa bersenjata, penggunaan lambang khusus dalam kasus-kasus

lainnya dari yang disebut dalam paragraf sebelumnya dari Pasal ini, dan penggunaan untuk setiap maksud apapun dari suatu tanda yang mirip lambang pengenal, harus dilarang.

4) Lambang pengenal tidak boleh ditempatkan pada setiap benda budaya tak bergerak

kecuali pada saat yang sama ada suatu otorisasai yang dapat diperlihatkan sepatutnya dan ditandatangani oleh penguasa yang berwenang dari Pihak Peserta Agung.

Gambar 1.1 Lambang pengenal yang digunakan tiga buah110

Gambar 1.2 Lambang pengenal yang digunakan satu buah111

Bedasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954 tersebut kita dapat melihat lambang pengenal terdiri dari 2 bagian, yaitu lambang pengenal yang digunakan tiga buah untuk benda budaya yang diberi perlindungan khusus dan lambang pengenal yang digunakan satu buah untuk benda budaya yang bukan diberi perlindungan khusus dan untuk personil pelindung benda budaya. Menurut hemat penulis, walaupun ada benda budaya yang tidak memiliki lambang pengenal, benda budaya tersebut tetap dilindungi karena kedudukannya sebagai obyek sipil. Penggunaan lambang pengenal terhadap benda budaya semata-mata hanya untuk agar semakin mudah dibedakan dengan obyek militer sehingga dapat menghilangkan keragu-raguan terhadap kedudukan suatu obyek tersebut. Benda budaya

Dokumen terkait