• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK

BERSENJATA

A. Defenisi dan Pengertian Benda Budaya

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat

mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan

sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah

lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya.39

Kebudayaan sebagai hasil ciptaan manusia membuat kebudayaan tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itulah manusia disebut makhluk yang

berbudaya. Para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Begitu

juga jika ditinjau dari segi bahasanya, kebudayaan memiliki arti yang berbeda-beda dan

makna yang luas.

Edward B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang

kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota

masyarakat.40 Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi

mengatakan bahwa, ―kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar‖.41

39Elly M. Setiadi dkk,

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR, PT Kencana, Jakarta, 2006, hal. 38 40Drs. Herimanto,

ILMU SOSIAL & BUDAYA DASAR, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal. 24 41Prof. Dr. Koentjaraningrat,

(2)

Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk

jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan

akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi merupakan

unsur rohani, sedangkan daya adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian, budaya

merupakan hasil budi dan daya dari manusia.42

Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture. Dalam bahasa Belanda

diistilahkan dengan kata cultuur. Dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera berarti

mengolah, dan mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani).43

Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya.44 Walaupun terdapat defenisi yang berbeda-beda baik oleh

para ahli maupun dari segi bahasa, dapat dikatakan secara garis besar bahwa kebudayaan

adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Hal ini karena dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya manusia pasti akan menciptakan sesuatu.

Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan

dalam tiga wujud45, yaitu :

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan

peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat atau adat istiadat, yang sekarang banyak disimpan dalam arsip, tape, dan komputer. Kesimpulannya, budaya ideal ini adalah merupakan perwujudan dan kebudayaan yang bersifat abstrak.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari

(3)

menyangkut tindakan dan kelakukan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi , difoto, dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat. Kesimpulannya, sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia . Wujud yang

terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia

dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal –hal

yang dapat diraba, dilihat, dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil. Contohnya : Candi Borobudur (besar), kain batik, dan kancing baju (kecil), teknik bangunan, misalnya, cara pembuatan tembok dengan fondasi rumah yang berbeda bergantung pada kondisi. Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk materi/artefak.

Sejatinya seluruh hasil karya cipta manusia yang berwujud nyata atau konkret adalah

kebudayaan fisik. Namun, tidak semua kebudayaan fisik dapat disebut sebagai benda budaya.

Hanya kebudayaan fisik yang dapat memberikan pengaruh besar dan manfaat besar bagi umat

manusia atau suatu peradaban sajalah yang dapat disebut sebagai benda budaya. Benda

budaya dapat menjadi ciri khas suatu peradaban.

Budaya dan warisan kebudayaan, sebagai ekspresi identitas masyarakat, repositori

memori atau dokumentasi sejarah dan pengetahuan tradisional, merupakan komponen penting

dari identitas suatu peradaban atau masyarakat.46 Benda budaya dapat menjadi lambang atau

identitas yang nyata dari suatu masyarakat atau peradaban. Hal ini tentu karena benda budaya

tersebut bersifat kebendaan atau konkret yaitu dapat dilihat dan dapat disentuh. Selain itu,

benda budaya dapat menjadi identitas suatu masyarakat atau peradaban tentunya karena benda

budaya tersebut memberikan pengaruh dan manfaat yang besar bagi umat manusia pada masa

lalu atau bahkan pada masa sekarang dan masa akan datang.

John Henry Merryman, seorang pakar hukum internasional mengatakan benda budaya

dengan istilah ―kekayaan budaya‖, yaitu mengacu pada benda-benda yang memiliki ―artistik,

(4)

etnografi, arkeologi, atau nilai sejarah.‖47 Dalam hukum internasional, benda budaya memiliki banyak defenisi dan makna yang luas. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para ahli dan

konvensi-konvensi internasional yang memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang benda

budaya.

Beberapa konvensi-konvensi internasional tentang benda budaya48 :

1. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed

Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property – 1970

3. Convention for the Protection of the World Cultural and Natural Heritage –

1972

4. UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects

1995

5. Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage – 2001

6. Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003

7. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural

Expressions – 2005

Konvensi Den Haag 1954 atau disebut juga The 1954 Hague convention for the protection

of cultural property in the event of armed conflict merupakan konvesi internasional tentang

perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata. 49 Pembuatan konvensi ini

dilatarbelakaangi oleh kerugian-kerugian luar biasa yang menimpa benda budaya selama

47John Henry Merryman Dalam Carol A. Roehrenbeck, Repatriation of Cultural Property–Who Owns the Past ? An Introduction to Approaches and to Selected Statutory Instruments, International Journal of Legal Information the Official Journal of the International Association of Law Libraries, Volume 38 Issue 2 Summer

2010 , Hal. 187. Jurnal dapat diakses pada

https://www.ilsa.org/jessup/jessup17/Batch%201/Repatriation%20of%20Cultural%20Property.pdf

48 UNESCO, Main conventions on the protection of the cultural heritage,

http://portal.unesco.org/culture/en/ev.php-URL_ID=33920&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html# , Diakses pada tanggal 17 Februari 2017, pukul 15.20 WIB.

49 Konvensi Den Haag 1954 dapat diunduh di

(5)

Perang Dunia Kedua.50 Konvensi ini memfokuskan perlindungan benda budaya saat terjadinya

konflik bersenjata.

Pasal 1 Konvensi Den Haag 1954 menyatakan bahwa benda budaya adalah :

a. benda bergerak atau tidak bergerak yang mempunyai kepentingan besar terhadap

warisan budaya setiap orang, seperti monumen-monumen arsitektur, seni atau sejarah, baik yang bersifat religius maupun sekular; situs arkeologi; kelompok bangunan yang secara keseluruhan mempunyai kepentingan sejarah atau artistik; karya seni; sebagaimana koleksi-koleksi ilmiah dan koleksi-koleksi penting dari buku-buku dan arsip-arsip atau reproduksi dari benda-benda yang ditetapkan diatas;

b. bangunan-bangunan yang kegunaan utama dan efektifnya adalah untuk

memelihara atau mempertunjukkan benda budaya bergerak yang ditetapkan pada sub-paragraf (a) seperti museum-museum, perpustakaan-perpustakaan besar dan penyimpanan-penyimpanan arsip-arsip, dan, dan tempat penampungan untuk melindungi, pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya bergerak yang ditetapkan dalam subparagraf (a);

c. pusat-pusat yang berisi sejumlah besar benda budaya sebagaimana ditetapkan

dalam sub-paragraf (a) and (b), untuk diketahui sebagai "pusat-pusat yang berisi monumen-monumen". (Terjemahan Bebas)

Dalam Konvensi Den Haag 1954 ini, kita dapat melihat bahwa benda budaya tidak

diberikan defenisi atau diartikan secara langsung, melainkan diartikan dengan kriteria atau

karakteristik benda-benda yang dapat disebut sebagai benda budaya. Pada dasarnya dalam

konvensi ini benda budaya dikelompokkan berdasarkan dapat atau tidaknya benda budaya

tersebut berpindah atau bergerak dan juga dikelompokkan terhadap bangunan maupun

pusat-pusat wilayah yang berisikan benda budaya. Hal ini tentu sangat memudahkan kita dalam

membedakan benda budaya.

Konvensi internasional lainnya yang memberikan defenisi terkait benda budaya

adalah Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and

Transfer of Ownership of Cultural Property 197051. Definisi benda budaya dalam konvensi ini

(6)

disebut dengan istilah cultural property atau properti budaya diuraikan secara rinci dalam

Pasal 1 yang berbunyi:

"Untuk tujuan Konvensi ini, istilah 'kekayaan budaya' berarti properti yang, dalam khasanah agama atau sekuler, yang secara khusus ditunjuk oleh masing-masing negara untuk dijadikan sebagai benda bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah,

sastra, seni atau ilmu pengetahuan dan yang milik kategori berikut:

a. Koleksi dan spesimen fauna dan flora langka, mineral dan anatomi, dan obyek

paleontologi;

b. Properti sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, teknologi, militer, dan

sejarah sosial, mengenai sejarah perjalanan hidup pemimpin bangsa, pemikir, peneliti, dan seniman dan juga (yang terkait) pada kepentingan event nasional;

c. Produk penggalian arkeologi (termasuk penemuan yang bersifat umum dan

rahasia) atau dari penemuan arkeologi;

d. Bagian dari monumen bersejarah atau artistik atau situs arkeologis yang telah

patah;

e. Benda antik yang berusia lebih dari seratus tahun seperti artefak, koin, atau

stempel;

f. Obyek yang terkait kepentingan etnologi (entitas etnik);

g. Properti yang memiliki nilai seni, seperti:

i. Gambar, lukisan, dan gambar yang dibuat seluruhnya dengan tangan

dalam berbagai metode dan berbagai material (tidak termasuk desain industri dan benda pabrik yang dihias dengan tangan);

ii. Karya asli seni patung dan pahatan di bahan apapun;

iii. Ukiran asli, cetakan, dan litograf (tulisan-tulisan);

iv. Kumpulan seni asli assemblages (sejenis mozaik) dan montage

(komposisi benda berbentuk gambar) di bahan apapun;

h. Manuskrip langka dan incunabula (buku-buku cetakan awal ditahun 1500-an),

buku-buku lama, dokumen dan publikasi minat khusus (sejarah, seni, ilmu pengetahuan, sastra, dll) secara tunggal atau koleksi;

i. Prangko/benda pos, pendapatan dan sejenis perangko, tunggal atau koleksi;

j. Benda-benda furnitur yang berusia lebih dari seratus tahun dan alat musik tua".

(Terjemahan Bebas)

Konvensi the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and

Transfer of Ownership of Cultural Property yang dikeluarkan 1970 ini ditujukan untuk melindungi benda budaya dengan mengawasi perdagangannya, juga menjembatani kerjasama

antar pemerintah untuk mencari dan menemukan kembali benda budaya yang telah dicuri atau

diambil secara ilegal yang melewati batas-batas negara.52 Dalam konvensi ini dapat kita lihat,

(7)

berdasarkan Pasal 1 defenisi benda budaya secara sangat rinci dijelaskan lengkap dengan

contoh-contohnya. Namun perlu dicatat, dalam konvensi ini, untuk dapat disebut sebagai

benda budaya membutuhkan penunjukkan atau pengesahan oleh negara sebagai benda budaya

dalam keagamaan maupun sekuler yang bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah,

sastra, seni dan ilmu pengetahuan.

Dalam World Heritage Convention 197253atau Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972

tentang Perlindungan atas Kekayaan Budaya dan Kekayaan Alam Dunia, mengenalkan konsep

yang lebih moderen yaitu menjelaskan benda budaya sebagai warisan yang harus dilindungi

dan dilestarikan oleh seluruh umat manusia. Dalam World Heritage Convention 1972, benda

budaya yang biasanya dikenal dunia internasional sebagai properti budaya atau cultural

property diganti dengan istilah warisan budaya atau cultural heritage. Dalam Preumbule

World Heritage Convention 1972, juga disebutkan bahwa, ―Considering that parts of the

cultural or natural heritage are of outstanding interest and therefore need to be

preserved as part of the world heritage of mankind as a whole‖, yang berarti bahwa warisan

dunia atau world heritage terdiri dari warisan budaya atau cultural heritage (benda budaya)

dan warisan kekayaan alam atau natural heritage yang merupakan warisan yang harus

dilindungi dan dilestarikan seluruh umat manusia. Hal ini menjadi menarik, karena dalam

Preumbule World Heritage Convention 1972, disebutkan bahwa kekayaan alam merupakan bagian dari warisan budaya dunia yang menarik luar biasa dan oleh karena itu perlu dilindungi

dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan dunia umat manusia secara keseluruhan.

Sehingga, dalam hal ini, kekayaan alam yang adalah bukan ciptaan manusia ikut dilindungi

dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan dunia atau World Heritage.

53

(8)

Pasal 1 World Heritage Convention 1972 memberikan defenisi tentang benda budaya

dengan istilah warisan budaya atau Cultural Heritage sebagai bagaian dari warisan dunia atau

World Heritage, adalah bahwa benda budaya dapat dikelompokkan sebagai :

1. Monuments: architectural works, works of monumental sculpture and painting, elements or structures of an archaeological nature, inscriptions, cave dwellings and combinations of features, which are of outstanding universal value from the point of viewof history, art or science;

2. Groups of buildings: groups of separate or connected buildings which, because of their architecture, their homogeneity or their place in the landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science; 3. Sites: works of man or the combined works of nature and man, and areas

including archaeological sites which are of outstanding universal value from the historical, aesthetic, ethnological or anthropological point of view.

Terjemahan bebas :

1. Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau

struktur purbakala, prasasti dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;

2. Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang,

karena arsitektur mereka, kesamaan mereka atau tempat mereka dalam lanskap, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;

3. Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk

situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, titik etnologis atau antropologi pandang.

Sedangkan dalam Pasal 2 World Heritage Convention 1972 memberikan defenisi

tentang kekayaan alam atau Natural Heritage sebagai bagaian dari warisan dunia atau World

Heritage yaitu :

“For the purposes of this Convention, the following shall be considered as "natural heritage": natural features consisting of physical and biological formations or groups of such formations, which are of outstanding universal value from the aesthetic or scientific point of view; geological and physiographical formations and precisely delineated areas which constitute the habitat of threatened species of animals and plants of outstanding universal value from the point of view of science or conservation; natural sites or precisely delineated natural areas of outstanding universal value from the point of view of science, conservation or natural beauty.”

Terjemahan Bebas :

(9)

spesies hewan dan tumbuhan yang terancam dan mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi; situs alam atau daerah alami yang mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi atau keindahan alam.

Secara khusus, berdasarkan The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of

The Underwater Cultural Heritage54, terdapat jenis benda budaya yaitu berupa benda budaya yang menjadi warisan budaya yang berada bawah air atau lautan yang dikenal dengan istilah

Underwater Cultural Heritage dapat kita temukan

dalam Pasal 1 The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater

Cultural Heritage, yaitu :

a) “Underwater cultural heritage” means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water,periodically or continuously, for at least 100 years such as:

(i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their

archaeological and natural context;

(ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and natural context;and

(iii) objects of prehistoric character.

b) Pipelines and cables placed on the seabed shall not be considered as underwater cultural heritage.

c) Installations other than pipelines and cables, placed on the seabed and still in use, shall not be considered as underwater cultural heritage.

Terjemahan bebas :

a) "Warisan budaya bawah air" berarti semua jejak keberadaan manusia yang memiliki

karakter budaya, sejarah dan arkeologi yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah air, secara berkala atau terus menerus, paling sedikit 100 tahun seperti:

i. lokasi, struktur, bangunan, artefak dan jenazah manusia, bersama dengan

konteks arkeologi dan alaminya;

ii. kapal, pesawat terbang, kendaraan lain atau bagiannya, kargo atau barang

lainnya, beserta arkeologi dan alaminya

konteks; dan

iii. objek karakter prasejarah.

b) Pipa dan kabel yang ditempatkan di dasar laut tidak dianggap sebagai warisan budaya

bawah laut.

54

(10)

c) Instalasi selain pipa dan kabel, ditempatkan di dasar laut dan masih digunakan, tidak boleh dianggap sebagai warisan budaya bawah laut.

Dapat kita lihat, benda budaya sebagai warisan budaya tidak hanya benda budaya

yang berada di darat saja seperti yang diatur konvensi-konvensi internasional yang lain.

Berdasarkan Pasal 1 The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater

Cultural Heritage, benda budaya yang berumur minimal 100 tahun dapat juga berada di bawah air atau lautan, seperti bangkai pesawat terbang atau kapal laut yang karam di dalam

laut, benda arkeologi di bawah air, artefak bawah air, dan lain-lain. Pengecualian diberikan

pada pipa, kabel, dan instalasi lainnya yang berada di bawah air adalah tidak merupakan

benda budaya bawah hair.

Perkembangan selanjutnya, menunjukkan warisan budaya yang merupakan ciptaan

manusia tidak hanya berwujud benda namun juga berwujud tidak benda. Hal ini dapat kita

lihat pada Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 200355.

Berdasarkan konvensi tersebut warisan budaya tidak benda disebut dengan istilah the

Intangible Cultural Heritage. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 2 Convention for the

Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003, yaitu :

1. The “intangible cultural heritage” means the practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of their cultural heritage. This intangible cultural heritage, transmitted from generation to generation, is constantly recreated by communities and groups in response to their environment, their interaction with nature and their history, and provides them with a sense of identity and continuity, thus promoting respect for cultural diversity and human creativity. For the purposes of this Convention, consideration will be given solely to such intangible cultural heritage as is compatible with existing international human rights instruments, as well as with the requirements of mutual respect among communities, groups and individuals, and of sustainable development.

2. The “intangible cultural heritage”, as defined in paragraph 1 above, is manifested inter alia in the following domains:

55

(11)

a. oral traditions and expressions, including language as a vehicle of the intangible cultural heritage;

b. performing arts;

c. social practices, rituals and festive events;

d. knowledge and practices concerning nature and the universe; e. traditional craftsmanship.

Terjemahan bebas :

1. ―Warisan budaya tidak benda‖ berarti praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan - serta alat, benda, artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya - bahwa komunitas, kelompok, dan dalam beberapa kasus, individu mengakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya takbenda ini, diwariskan dari generasi ke generasi, terus diciptakan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan menyediakan mereka dengan rasa identitas dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini, pertimbangan akan diberikan semata-mata untuk warisan budaya takbenda seperti kompatibel dengan instrumen HAM internasional yang sudah ada, serta dengan persyaratan saling menghormati di antara masyarakat, kelompok dan individu, dan pembangunan berkelanjutan.

2. ―Warisan budaya tidak benda‖, sebagaimana didefinisikan dalam ayat 1 di atas, diwujudkan antara lain dalam domain berikut:

a. tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya

tidak benda;

b. seni pertunjukan;

c. praktek-praktek sosial, ritual dan acara meriah;

d. pengetahuan dan praktek mengenai alam dan semesta;

e. keahlian tradisional.

Dapat kita lihat warisan budaya yang merupakan ciptaan manusia tidak hanya

berwujud benda saja (benda budaya), namun ada yang berbentuk tidak benda yang diatur

dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003. Contoh

warisan budaya tidak benda tersebut adalah tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual, pengetahuan

dan keahlian tradisional. Warisan budaya tidak benda disebut dengan istilah the Intangible

Cultural Heritage. Dengan adanya warisan budaya tidak benda atau the Intangible Cultural

Heritage membuat defenisi benda-benda budaya dari berbagai konvensi-konvensi internasional secara otomatis dapat dikelompokkan kedalam kelompok yang lebih kecil lagi

yaitu kelompok warisan budaya benda atau the Tangible Cultural Heritage.

Berdasarkan website resmi UNESCO, warisan budaya benda atau the Tangible

(12)

monumen, artefak, dan lain-lain, yang perlu dilestarikan untuk masa depan. Ini termasuk

objek yang penting bagi arkeologi, arsitektur, sains atau teknologi dari budaya tertentu.56 Oleh

sebab itulah, dapat dikatakan benda budaya sebagai warisan budaya benda atau the Tangible

Cultural Heritage adalah segala macam benda atau materi yang penting bagi arkeologi, arsitektur, sains atau teknologi dari budaya tertentu sehingga perlu dilestarikan untuk masa

depan.

56 UNESCO, the Tangible Cultural Heritage, Dalam

(13)

Tabel 1.1 Ringkasan Benda Budaya Berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional

(Berdasarkan World Heritage Convention 1972, Warisan Dunia atau World Heritage terdiri dari benda budaya

sebagai warisan budaya (cultural heritage) dan kekayaan

alam sebagai warisan kekayaan alam (natural heritage)

(14)

Dari uraian-uraian tersebut, kita dapat melihat bahwa benda budaya memiliki defenisi

yang berbeda-beda dan makna yang luas. Benda budaya juga memiliki istilah-istilah yang

berbeda. Benda budaya disebut juga properti budaya atau dalam bahasa Inggris disebut

sebagai cultural properti. Dalam perkembangannya, benda budaya dikenal sebagai warisan

budaya atau cultural heritage yang merupakan warisan dunia yang wajib dilindungi dan

dilestarikan. Jenis benda budaya juga berkembang, tidak hanya benda budaya di darat saja,

namun benda budaya bawah air atau underwater cultural heritage juga sudah diakui dunia

internasional. Lalu berkembang lagi dengan mengelompokkan benda budaya ke dalam

kelompok yang lebih kecil lagi yaitu warisan budaya benda atau the Tangible Cultural

Heritage.

Walaupun memiliki defenisi yang berbeda-beda dan makna yang begitu luas, pada

intinya dapat dikatakan bahwa benda budaya adalah salah satu wujud kebudayaan yaitu

kebudayaan fisik bersifat kebendaan yang memberikan pengaruh dan manfaat yang besar bagi

umat manusia pada masa lalu atau bahkan pada masa sekarang dan masa depan yang dapat

menjadi identitas atau ciri khas suatu bangsa, masyarakat atau peradaban yang diwariskan dari

generasi ke generasi sehingga perlu untuk dilestatikan dan dilindungi.

B. Sejarah Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata

Dalam sejarahnya, posisi benda budaya dalam berbagai konflik bersenjata

internasional atau perang antar negara dan juga perang internal dalam suatu negara (konflik

bersenjata non-internasional) seperti perang saudara, perang agama dan perang pembebasan,

sudah menjadi isu penting dan perhatian masyarakat internasional.57 Hal ini karena banyakya

peristiwa penghancuran benda budaya maupun penjarahan benda budaya dalam konflik

bersenjata. Berikut akan diuraikan sejarah penghancuran benda budaya dalam konflik

57Patrick J. Boylan, The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the

Crusades to the New Millennium , London, 2001, hal. 1, Jurnal dapat diakses pada

(15)

bersenjata. Namun, tidak semua peristiwa akan diuraikan karena sangat banyaknya peristiwa

penghancuran benda budaya yang terekam oleh sejarah. Penulis hanya menguraikan beberapa

peristiwa penting terkait penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dan juga

membaginya dalam suatu periode waktu.

Zaman Kuno atau Sejarah Kuno58

Di zaman kuno, tepatnya pada Masa Yunani Kuno 59 kita dapat dapat melihat contoh

penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Penghancuran benda budaya dalam

konflik bersenjata yang sangat terkenal pada masa Yunani Kuno adalah pembakaran

Perpustakaan Alexandria.

Dinasti Yunani, Ptolemeus mewarisi Mesir dari Alexander dan menguasai negeri itu

sampai Caesar Octavianus Augustus mengalahkan Antonius dan Cleopatra pada tahun 30 SM.

Dibawah Ptolemeus, Aleksandria berubah secara drastis. Daya tarik kota itu adalah

perpustakaan kerajaannya. Didirikan pada awal abad ketiga Sebelum Masehi. Konon,

perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14,

Perpustakaan Sorbonne yang katanya memiliki koleksi terbesar dizamannya hanya memiliki

1700 buku.60

Perpustakaan Alexandria yang berdiri pada tahun 290 SM di Mesir, pada tahun 48 SM

dibakar oleh Julius Caesar. Padahal di perpustakaan tersebut, Ptolemy I pernah mengundang

cerdik cendekia lintas negara untuk berdiskusi dan menulis hingga menghasilkan 700

58 Zaman Kuno atau Sejarah kuno adalah studi mengenai masa lalu tertulis dari awal mula sejarah manusia tertulis sampai Abad Pertengahan Awal. Jangka waktunya sekitar lima ribu tahun, dengan aksara kuneiform, bentuk tulisan koheren tertua yang pernah ditemukan, dari periode protoliterat sekitar abad ke-30 SM.Ini adalah awal dari "sejarah," sebagai kebalikan dari prasejarah, berdasarkan pengertian yang digunakan oleh sebagian besar sejarawan.Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kuno diakses pada 13 Maret 2017, pukul 18:47 WIB

59Yunani Kuno adalah peradaban dalam sejarah Yunani yang dimulai dari periode Yunani Arkais pada abad ke-8 sampai ke-6 SM, hingga berahirnya Zaman Kuno dan dimulainya Abad Pertengahan Awal. Carol G. Thomas (1988). Paths from ancient Greece. BRILL. pp. 27–50. ISBN 9789004088467 Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Yunani_Kuno Diakses tanggal 15 Maret 2017, pukul 19:43 WIB.

60Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia,

(16)

ribu gulung papyrus. Salah satu dari gulungan papyrus itu adalah Kitab Perjanjian Lama

I yang diterjemahkan dari bahasa Yahudi ke bahasa Yunani.61

Pada masa Yunani Kuno kita dapat melihat penghancuran benda budaya dalam konflik

bersenjata sangat merugikan umat manusia. Perpustakaan Alexandria yang menjadi simbol

pusat ilmu pengetahuan pada masa itu dihancurkan dalam suatu konflik bersenjata. Selain

dihancurkan, benda budaya juga mengalami penjarahan atau pengambilan secara paksa dalam

konflik bersenjata pada zaman kuno. Hal ini dapat kita lihat pada masa kekaisaran atau

imperium Romawi.

Berdasarkan penelitian oleh para ahli sejarah maupun ahli hukum menyatakan bahwa

penjarahan, pengerusakan maupun penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata

secara sistematis dan terorganisir mula-mula berawal dari masa Kekaisaran atau Imperium

Romawi.62 Tentara Romawi yang sering diterjunkan di medan perang dan menundukkan

bangsa-bangsa lain, sepulangnya ke Roma juga kerap kali membawa serta karya-karya seni.63

Bangsa Romawi mengagungkan penjarahan dan pengambilan secara sistematis terhadap karya

seni milik masyarakat atau daerah yang ditaklukan. Benda seni diutamakan diambil di antara

barang rampasan, dan Prajurit atau Tentara Romawi melakukan prosesi acara kemenangan

atau Triumph dengan memamerkan jarahan mereka.64

61 Dian Sinaga, Kejahatan Terhadap Buku dan Perpustakaan, Majalah Online Visi Pustaka, Edisi Vol. 6 No. 1 - Juni 2004, Dalam http://www.perpusnas.go.id/magazine/kejahatan-terhadap-buku-dan-perpustakaan/ , Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 21:10 WIB.

62 John Henry Merryman, Albert E. Elsen, dan Stephen K Urice, LAW, ETHICS, and the Visual Arts, Halaman 1 Paragraf 3, Kluwer Law International, USA, 2007.

63P. Swantori,

MASALALU selalu AKTUAL, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2016, hal.197 64Carol A. Roehrenbeck, Repatriation of Cultural Property–Who Owns the Past ? An Introduction to Approaches and to Selected Statutory Instruments , International Journal of Legal Information the Official Journal of the International Association of Law Libraries, Volume 38 Issue 2 Summer 2010 Article 11 , Rutgers University Center for Law and Justice, 2010, hal. 191. Jurnal dapat diakses pada

https://www.ilsa.org/jessup/jessup17/Batch%201/Repatriation%20of%20Cultural%20Property.pdf

(17)

Pada masa Kekaisaran atau Imperium Romawi65 kita dapat melihat dalam konflik

bersenjata banyak benda-benda seni yang merupakan benda budaya mengalami kerugian yang

sangat besar. Tujuan perang tidak hanya untuk menaklukan suatu daerah melainkan juga

untuk mengambil atau menjarah benda-benda seni dari daerah yang ditaklukkan.

Tentara-tentara Romawi secara beringas mengambil dan menjarah benda-benda seni lalu

memamerkannya di Roma dalam suatu prosesi acara yang disebut Triumph. Triumph sebagai

simbol dan bukti kemenangan perang oleh Kekaisaran atau Imperium Romawi yang dilakukan

dengan cara memamerkan benda-benda seni hasil rampasan tentara Romawi di wilayah Roma.

Masa Abad Pertengahan66

Pada abad pertengahan kita dapat melihat penghancuran benda budaya terjadi pada

saat Perang Salib67. Sejumlah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap

kekuatan Muslim sejak tahun 1096 dikenal sebagai Perang Salib. Hal ini disebabkan karena

adanya dugaan bahwa pihak Kristen dalam melancarkan serangan tersbut didorong oleh

motivasi keagamaan, selain itu mereka menggunakan simbol Salib.68

65

Pada tahun 27 SM, Senat dan Rakyat Roma mengangkat Oktavianus sebagai princeps ("warga negara pertama") dengan prokonsul imperium, dan dengan demikian memulai Principatus (zaman pertama dalam sejarah Kekaisaran Romawi, dimulai dari tahun 27 SM sampai 284 M). Dalam

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekaisaran_Romawi , Diakses pada tanggal 16 Maret 2017, pukul 22:28 WIB 66Masa pertengahan sejarah Eropa dimulai dari abad ke-5 M hingga abad ke-15 M. Abad pertengahan sejarah Eropa merupakan suatu masa peralihan dari masa kejayaan kekaisaran Romawi dan Hellenisme ke kemenangan kelompok Kristen. Pada masa ini, agama Kristen sudah menjadi agama resmi negara. Kekaisaran Romawi berubah menjadi kekaisaran Romawi Suci; kaisar harus taat dan patuh pada perintah agama dan Paus. Dalam Herawati, AUGUSTINUS: POTRET SEJARAWAN MASA PERTENGAHAN DAN KONTRIBUSI BAGI KAJIAN SEJARAH ISLAM, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurnal THAQÃFIYYÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, Jurnal dapat diakses pada http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/download/25/25 .

67―Perang Salib (1096-1291) terjadi sebagai reaksi dunia Kristen di Erofah terhadap dunia Islam di Asia,

sejak 632 M, dianggap sebagai pihak ―penyerang‖ bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Disebut Perang Salib, karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan Salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan orang-orang Islam.‖ Oleh : Dedi Supriadi,

Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2008, hal. 171.

68Latifa Annum Dalimunthe, ANALISIS KAJIAN DAN DAMPAK PERANG SALIB (SEBUAH STUDI PUSTAKA), IAIN Palangaka Raya, Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015,

hal. 69. Jurnal dapat diakses pada

(18)

Pada tahun 1204 banyak benda budaya yang dirusak, dijarah dan juga dihancurkan saat

terjadinya Perang Salib . Walaupun Paus sudah menginstruksikan kepada para prajurit Perang

Salib untuk tidak mengambil bahkan menghancurkan benda budaya, tetap saja banyak prajurit

perang salib yang melanggar instruksi tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya benda

budaya yang dijarah juga dihancurkan oleh para prajurit Perang Salib saat menyerang Kota

Konstatinopel.69

Nicetas Choniates, Rohaniawan Ortodoks pada masa itu menulis bahwa :

Nor can the violation of the Great Church [Hagia Sophia] be listened to with equanimity. For the sacred altar, formed of all kinds of precious materials and admired by the whole world, was broken into bits and distributed among the soldiers, as was all the other sacred wealth of so great and infinite splendor. When the sacred vases and utensils of unsurpassable art and grace and rare material, and the fine silver, wrought with gold, which encircled the screen of the tribunal and the ambo, of admirable workmanship, and the door and many other ornaments, were to be borne bahan berharga dan dikagumi oleh seluruh dunia, dipecah-pecah dan didistribusikan di antara para prajurit, seperti semua kekayaan suci lainnya kemegahan begitu besar dan tak terbatas. Ketika vas suci dan peralatan seni tak tertandingi dari bahan langka, dan perak halus, ditempa dengan emas, yang mengelilingi layar pengadilan dan ambo, pengerjaan mengagumkan, dan pintu dan banyak ornamen lainnya, yang menjadi ditiup sebagai rampasan, keledai dan kuda berpelana yang memasuki bait suci.

Tulisan Nicetas Choniates menunjukan bahwa pada masa Perang Salib, khususnya

Perang Salib Keempat menunjukan banyak sekali benda budaya yang dicuri dan dihancurkan

menjadi bagian-bagian kecil untuk dibagi-bagikan kepada sesama Prajurit Perang Salib

sebagai barang rampasan dan harta pribadi mereka. Benda-benda budaya yang sangat

berharga banyak diambil dan dihancurkan dari Gereja Hagia Sophia di kota Konstatinopel.

69 Patrick J. Boylan,

The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the Crusades to the New Millennium , London, 2001, hal. 1, Jurnal dapat diakses pada www.euromedheritage.net/old/rmsu.../amman/boylan2001.rtf

70

(19)

Para Prajurit Perang Salib bebas memasuki Gereja Hagia Sophia yang kudus dan suci dengan

menunggangi kuda dan keledai untuk mengangkut benda-benda budaya dari Gereja Hagia

Sophia.

Perang Dunia71

Persenjataan canggih sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

hanya digunakan untuk menyengsarakan umat manusia. Perang Dunia I dan II merupakan

suatu tragedi yang sangat mengerikan. Pada masa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya

digunakan untuk saling menghancurkan, bukan untuk kesejahterahan umat manusia.72 Perang

Dunia I (PD I) berlangsung antara tahun 1914-1918.73 Perang Dunia II berlangsung antara

tahun 1939 sampai tahun 1945.74

Pada perkembangannya tercatat telah cukup banyak pengaturan hukum tentang perang

yang merumuskan beberapa ketentuan mengenai perlindungan benda budaya di waktu perang

atau pendudukan militer (military occupation), diantaranya terdapat pada pasal 27 regulation

annexed Konvensi III DenHaag 1899 tentang hukum dan kebiasaan perang didarat, pasal 56

Konvensi IV DenHaag 1907 tentang hukum dan kebiasan perang di darat dan pasal 5

Konvensi IX DenHaag 1907 tentang pemboman oleh angkatan laut di waktu perang.75 Hal ini

71Perang dunia adalah suatu perang yang berskala besar dan melibatkan sebagian besar negara dunia yang jangkauannya antar benua hingga persekutuan militer. Perang dunia telah menimbulkan banyak kerugian dan perubahan era menuju Globalisasi. Sampai saat ini telah terjadi 2 perang dunia: Perang Dunia I dan Perang Dunia II Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_dunia . Diakses pada 16 Maret 2017, Pukul 03:43 WIB.

72M. Taupan, dkk..,

(20)

menunjukan bahwa memasuki awal Perang Dunia sudah banyak perangkat hukum yang

mengatur perlakuan terhadap benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata.

Walaupun pada saat Perang Dunia I terdapat peraturan yang mengikat terkait benda

budaya seperti dalam Konvensi Den Haag 190776, tetap saja banyak terjadi penghancuran

benda budaya. Banyak bangunan ibadah seperti Gereja dan Katedral,

bangunan-bangunan bersejarah, monumen bersejarah, museum, perpustakaan dan benda-benda budaya

lainnya yang dihancurkan dalam masa Perang Dunia I. Kepentingan militer menjadi alasan

pembenaran yang dilakukan oleh para pihak dalam penghancuran benda budaya saat Perang

Dunia I. Mereka beranggapan bangunan-bangunan yang relatif tinggi seperti Gereja, Katedral,

dan bangunan lainnya dianggap sebagai target militer yang sah untuk diserang. Hal ini karena

interpretasi mereka pada saat itu bahwa bangunan-bangunan yang relatif tinggi dapat

digunakan sebagai tempat atau titik pengamatan penembak gelap oleh musuh sehingga untuk

kepentingan militer bangunan-bangunan tersebut dapat diserang.77 Teknologi yang tinggi dan

kepentingan militer membuat banyak benda budaya seperti bangunan suci dan bangunan

bersejarah mengalami kehancuran akibat diserang pada saat terjadinya perang dunia.

Sesungguhnya hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan peraturan Konvensi

Den Haag 1907, bangunan-bangunan tersebut tidak boleh diserang.

Pada bulan Maret 1935, ketika keberadaan Luftwaffe diumumkan secara terbuka

sebagai sebuah cabang independen dari Wehrmacht (Angkatan Bersenjata) yang baru dan

ditingkatkan oleh Goring ke status sebuah senjata militer –politik, para insinyur Jerman dalam

20OBYEK%20BUDAYA%20DALAM%20SENGKETA%20BERSENJATA%20TERHADAP%20PIHAK-

PIHAK%20YANG%20BERSENGKETA%20(AMERIKA%20SERIKAT-IRAK)%20MENURUT%20KONVENSI%20WINA%201969%20%20TENTANG%20PERJANJIAN%20INTE RNASIONAL

76Terjemahan Bebas Pasal 27 Konvensi Den Haag 1907 : ―Dalam hal pengepungan dan pemboman, semua langkah yang perlu harus dilakukan, untuk sejauh mungkin menghindari bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan panti sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempat-tempat tersebut tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Pasukan yang mengepung harus menandai bangunan-bangunan atau tempat-tempat dengan tanda-tanda khusus yang terlihat,

yang sebelumnya harus diberitahukan kepada pihak penyerang.‖ , Dapat diakses pada

https://arlina100.files.wordpress.com/2009/01/translation-hague-convention-iv-its-annex.pdf 77Patrick J. Boylan,

(21)

waktu singkat berhasil menyempurnakan badan pesawat terbang, mesin, persenjataan dan

bom.78 Contohnya adalah Heinkel He-219 Uhu, sebuah pesawat mutakhir yang unggul dan

dapat dikatakan sebagai pesawat pemburu malam terbaik selama Perang Dunia II.79 Pada awal

Perang Dunia II, Luftwaffe adalah angkatan udara paling mutakhir di dunia.80 Segala sesuatu

yang ditemukan oleh Luftwaffe diratakan.81 Hal ini menunjukan bahwa, daya serang udara

Jerman dengan pemboman dari udara luar biasa dahsyatnya. Dengan teknologi mutakhir

tersebut, Jerman dapat menghancurkan apa saja termasuk juga benda budaya.

London menjadi sasaran suatu serangan Jerman pada tanggal 29 Desember 1940, yang

terutama diarahkan ke jantung kota yang penuh dengan gereja-gereja kuno dan bangunan

terkenal.82 Stanley Baron, seorang wartawan surat kabar menggambarkan peristiwa London

Blitz dengan suatu pernyataan yaitu : ―London terbakar. Guildhall (kantor gubernur dan pusat perdagangan bersejarah) terbakar. Sejauh mata memandang ke lorong-lorong kota, terlihat

badai salju dari api. Kilatan api bersumber dari gedung-gedung… aku sungguh cinta kota itu

berikut bangunan-bangunannya. Dan disitulah aku menyaksikan semuanya terbakar begitu saja.‖ 83 Akibat dari serangan Jerman yang luar biasa dahsyatnya, banyak benda budaya di

London seperti gereja-gereja kuno dan bangunan bersejarah mengalami kehancuran.

Pada 6 dan 9 Agustus1945, Sekutu menjatuhkan bom atom pertama di dunia di atas

dua kota pelabuhan Jepang, Hiroshima dan Nagasaki.84 Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 8:15

pagi, bom itu dijatuhkan di atas Kota Hiroshima. Hantamannya sama dengan 22 kiloton bahan

peledak, tapi ada yang lebih mengerikan ketimbang itu : panas itu luar biasa. Seluas 10

78Nino Oktorino, Konflik Bersejarah-Luftwaffe : Kisah Angkatan Udara Jerman NAZI 1935-1945, PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO, Jakarta, 2013, hal. 17

Kehidupan Rakyat Sipil Dalam Kancah PD II, Edisi Terjemahan : Beti Sakinah, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, hal. 19

84

(22)

kilometer persegi wilayah kota itu rata dengan tanah, 100 ribu orang mati seketika.85 Dapat

kita lihat dengan teknologi yang tinggi dapat menghasilkan ledakan yang luar biasa

dahsyatnya. Semua langsung rata dengan tanah, bahkan benda-benda budaya yang berumur

ribuan tahun yang kemungkinan berada di Nagasaki dan Hiroshima langsung lenyap seketika.

Pada masa Perang Dunia, baik Perang Dunia I maupun Perang Dunia II banyak

benda-benda budaya yang dihancurkan. Utamanya hal ini terjadi karena kemajuan teknologi militer

pada masa itu yang memiliki daya hancur sangat dahsyat. Selain itu juga karena benda budaya

dijadikan target militer yang dapat diserang dengan alasan untuk kepentingan militer.

Bom-bom dari udara dengan dahsyatanya menghancurkan Gereja, Katedral, Perpustakaan,

Bangunan Bersejarah, dan lain sebagainya yang adalah merupakan benda-benda budaya.

Zaman Moderen

Warisan budaya dan alam kita adalah rapuh dan terancam. Khususnya yang telah

berumur ratusan tahun. Sebagai contoh, selama Perang Dunia Pertama dan Kedua banyak kota

tua dirusak. Monumen budaya yang penting dirusak dan musnah. Dalam menjawab ancaman

mendesak di tahun-tahun antara Perang Dunia I dan II, Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian

diganti menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa, mulai bekerja dengan cara melindungi warisan

kita. Liga Bangsa-Bangsa menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk

bekerjasama dalam melindungi warisan. Ketika UNESCO didirikan pada tahun 1945, pada

akhir Perang Dunia II, usaha ini dipercepat dengan mengembangkan beberapa kampanye

untuk melindungi situs yang signifikan dan merancang konvensi internasional baru dan

merekomendasi untuk melindungi warisan manusia. Salah satu dari konvensi yang secara

khusus dirancang untuk melindungi warisan budaya adalah Konvensi Den Haag 1954.86

85Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir : Nulkir,

(23)

Perkembangan yang berawal sejak Konvensi Den Haag untuk Perlindungan terhadap

Properti/Benda Budaya(1954), hingga Konvensi mengenai Cara-cara Pelarangan dan

Pencegahan Impor, Ekspor, dan Pengalihan Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal(1970)

dan Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia(1972), Konvensi

mengenai Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air (2001) serta Konvensi mengenai

Perlindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda (2003), mencerminkan perluasan

pemahaman yang demikian maju atas konsep warisan budaya.87

Zaman modern dapat kita kategorikan dari masa setelah Perang Dunia II sampai

dengan masa sekarang. Setelah Perang Dunia II, benda budaya menjadi perhatian masyarakat

internasional karena banyaknya kerugian terhadap benda budaya pada masa Perang Dunia I

dan Perang Dunia II. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya organisasi internasional UNESCO

yang salah satu fokus utamanya adalah perlindungan benda budaya88 dan juga telah dibuatnya

pengaturan-pengaturan hukum internasional tentang benda budaya seperti Konvensi Den Haag

1954. Namun, tetap saja penghancuran benda budaya masih terjadi dalam konflik bersenjata

walaupun tidak separah masa Perang Dunia. Hal ini karena perang sudah sangat berkurang

setelah masa Perang Dunia II. Pada zaman moderen penghancuran benda budaya biasanya

terjadi dalam perang saudara atau dalam konflik bersenjata non-internasional. Hal ini

disebabkan selain karena diakibatkan oleh pihak pemberontak dalam suatu negara, banyak

juga karena diakibatkan para teroris atau kelompok ekstremis. Ada beberapa peristiwa

penghancuran benda budaya yang terkenal dalam konflik bersenjata pada masa zaman

moderen.

87Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya,,

2009, hal. 8. Jurnal dapat diakses pada

http://www.unesco.org/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/indonesie.pdf

88 Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya,,

2009, hal. 8. Jurnal dapat diakses pada

(24)

Pada tahun keempat perang sipil di Suriah, kekacauan masih merajalela. Negara ini

terpecah antara pasukan pemerintah di bawah Presiden Bashar al-Assad, kelompok oposisi

moderat, Islamis, kelompok preman dan geng kriminal. Lebih dari 100.000 orang tewas akibat

konflik, dan 9 juta warga terpaksa mengungsi. Konflik ini berpotensi meluas ke negara-negara

tetangga.89 Perang Suriah tidak hanya menyebabkan ribuan orang tewas. Warisan budayanya

juga hancur akibat bentrokan yang tiada henti. Empat ribu tahun lamanya kebudayaan

Babilon, Mesir, Persia, Yunani dan Roma bertemu dan meninggalkan bekas. UNESCO

khwatir dengan warisan budaya negara itu, dan kembali menerbitkan laporan tentang

kerusakan.90

Selain penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Suriah, di

tempa-tempat lainnya juga marak terjadi penghancuran benda budaya yang dilakukan oleh para

teroris atau kelompok ekstremis pada zaman moderen. Inilah tujuh situs bersejarah yang kini

hancur lebur akibat aksi keji teroris91 :

1. Nimrud

Nimrud adalah sebuah situs kota kuno yang terletak di Mosul, Irak. Situs ini sangat bersejarah hingga dianugerahi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Saat ini situs yang dibangun sekitar abad ke-13 sebelum masehi ini hancur lebur tak bersisa. Militan ISIS bertanggung jawab atas perusakan situs super penting di Irak. ISIS membawa buldozer dan juga beberapa kendaraan militer berat untuk meruntuhkan bangunan ini. Mereka juga menghancurkan 'lamassu'. Sebuah patung makhluk mitologi dengan bentuk singa bersayap. UNESCO menyebut aksi ISIS ini sebagai kejahatan perang yang sangat berat.

2. Khorsabad

Khorsabad adalah sebuah kota kuno yang dulunya digunakan oleh Raja Sargon memerintah Suriah kuno. Sekitar tahun 721 masehi kerajaan ini memasuki masa kejayaan sebelum akhirnya runtuh dan berganti Suriah modern. Khorsabad berisi banyak sekali benda bersejarah yang tak ada duanya. Tapi lagi-lagi ISIS kembali

89 Michael Hartlep, Konflik Terburuk di Dunia, 2014, Dalam http://www.dw.com/overlay/media/id/konflik-terburuk-di-dunia/17468982/35910620 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 02:35 WIB.

90 Ananda Grade, Warisan Kebudayaan di Suriah Terancam, 2013 Dalam http://www.dw.com/overlay/media/id/warisan-kebudayaan-di-suriah-terancam/17060195/36677008 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 02:40 WIB.

(25)

membuat ulah. Mereka masuk dan membuat situ budaya bersejarah ini hancur. Apa saja yang merupakan situs sejarah dianggap tak pantas oleh ISIS. Lalu dengan

membabi buta mereka menghancurkan tanpa berpikir akibatnya terlebih dahulu.

3. Museum Mosul

Kita harus menyebut ISIS sebagai militan penghancur benda sejarah. Setelah menghancurkan Nimrud dan Khorsabad, kini mereka juga menghancurkan museum Mosul. Militan yang tak tahu belas kasih ini langsung masuk dan mengobrak-abrik segala hal yang mereka temui. Tak peduli berapa harga dan arti sejarahnya. Mereka menghancurkan sebuah benda seni yang telah berumur sekitar 3.000 tahun. Selain itu ISIS juga menghancurkan Winged Bull, sebuah artefak dari Niveneh yang ada di abad ke-7 masehi. ISIS juga membuat video penghancuran lalu mengunggahnya.

4. Museum Nasional Afganistan

Sekitar 70% artefak atau benda sejarah yang ada di Museum Nasional Afganistan telah dirampok dan juga dihancurkan. Selama 35 tahun bertarung dengan Taliban, museum ini telah mengalami banyak penyerangan yang sangat mematikan. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 silam. Saat terjadi baku tembak dengan Taliban, museum ini akhirnya jadi sasaran empuk. Sekitar 2.500 artefak yang sangat bersejarah akhirnya dihancurkan.

5. Patung Buddha di Bamiyan

Pada tahun yang sama saat Museum Nasional Afganistan dihancurkan, patung Buddha di lembah Bamiyan juga dihancurkan oleh Taliban. Mereka menganggap jika patung ini melanggar Islam. Akhirnya mereka meletakkan dinamit dan meledakkannya hingga tak berwujud lagi sekarang. Patung ini dibangun sekitar tahun 507-554 masehi atau abad ke-6. Patung Buddha di lembah Bamiyan ini memiliki tinggi sekitar 250 meter. Patung ini telah bertahan selama 1.500 tahun sebelum akhirnya hancur lebur akibat serangan Taliban.

6. Kuil Imam Awn al-Din

Kuil Imam Awn al-Din adalah sebuah kuil yang dibangun sekitar abad ke-13 masehi. Kuil ini adalah sebuah bukti kehebatan Irak di masa lalu. Kuil ini adalah sebuah perhiasan berharga bagi pengamat arsitektur kuno seperti Yasser Tabbata. Kini, sejak Juli 2014, benda bersejarah ini hancur lebur dibom ISIS.

7. Situs Kuno Kamboja

Untuk pertama kalinya Mahkamah Pidana Internasional memproses penghancuran

warisan budaya UNESCO. Di kota oasis di Mali utara, 2012 pemberontak Islam Ansar Dine

menghancurkan beberapa mausoleum Muslim yang umurnya ratusan tahun. Alasan

penghancuran makam sejumlah ulama Islam tersebut adalah jadi tempat pemujaan berhala.92

(26)

Timbuktu di utara Mali sudah jadi pusat Islam sejak jaman Abad Pertengahan. Tiga mesjid

dari tanah lempung di daerah itu sudah berusia 700 tahun dan jadi saksi bagi masa itu. Juli

2012 kelompok ekstrem Islam menghancurkan sebagian warisan budaya ini. Menurut mereka,

pemujaan orang suci yang sudah ada di Mali sejak ratusan tahun lalu bertentangan dengan

Islam.93 Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali yang menjadi fokus

utama dalam pembahasan skripsi ini menjadi menarik karena kasus ini merupakan kasus

pertama penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata yang ditangani oleh Mahkamah

Pidana Internasional. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan penulis mengambil kasus

ini menjadi topik dalam pembahasan skripsi ini.

Kita dapat melihat dari penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata pada

zaman moderen banyak terjadi karena perang saudara dan juga perkembangan kelompok

ekstremis atau para teroris seperti ISIS dan Taliban. Latarbelakang utamanya adalah karena

benda-benda budaya dianggap sebagai berhala yang dapat menyesatkan umat. Namun yang

patut dicatat adalah di zaman moderen, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata

sudah dapat dituntut ke pengadilan internasional yaitu Mahkamah Pidana Internasional.

Dari berbagai uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penghancuran benda

budaya dalam konflik bersenjata sudah terjadi sejak zaman dahulu atau zaman kuno sampai

pada masa sekarang atau zaman moderen. Periode waktu penghancuran benda budaya dalam

konflik bersenjata dapat kita kelompokkan dari zaman kuno, zaman abad pertengahan, zaman

perang dunia hingga zaman moderen. Selama periode waktu tersebut, benda budaya tidak

hanya dihancurkan namun juga dilakukan penjarahan atau pengambilan benda budaya saat

terjadinya konflik bersenjata.

(27)

Dalam periode waktu tersebut, penghancuran benda budaya dan penjarahan benda

budaya dalam konflik bersenjata dilatarbelakangi oleh banyak hal yaitu :

1. Penghancuran Benda budaya dianggap sebagai tanda penaklukkan dan simbol

kemenangan terhadap daerah atau negara yang diserang.

2. Penghancuran Benda Budaya disebabkan oleh luar biasanya daya hancur senjata

militer seperti ledakan bom, bom dari udara dan bom atom atau bom nuklir.

3. Penghancuran Benda Budaya disebabkan benda budaya dijadikan sebagai target

militer dengan alasan kepentingan militer yaitu benda budaya dijadikan tempat

persembunyian musuh atau penembak gelap.

4. Penghancuran Benda Budaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang musyrik

yaitu dijadikannya benda-benda budaya sebagai berhala untuk disembah.

5. Dalam hal penjarahan benda budaya, dilakukan untuk koleksi pribadi, menambah

harta kekayaan dan juga kepentingan pribadi.

Ridwan Kamil dalam bukunya Mengubah Dunia Bareng Bareng mengatakan bahwa ―Dunia ini diciptakan Tuhan sedemikian indahnya. Namun, sering kerusakan alam dan

pertentangan peradaban terjadi hanya karena umat manusia tidak pernah sepakat dalam cara

memandang dan memaknai dunia. Oleh karena itu, di sisi lain , semiotika mengajarkan sebuah

kearifan. Kearifan tentang kemungkinan hadirnya makna-makna lain dari nilai-nilai yang selama ini kita yakini. Setetes kearifan sederhana. Kearifan bertoleransi‖.94 Sampai dengan

sekarang penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata masih terjadi. Hal ini sangat

disayangkan, karena benda budaya merupakan aset penting sebagai identitas suatu masyarakat

dan juga sebagai alat perekam sejarah. Sependapat dengan pernyataan salah satu tokoh

nasional yaitu Ridwan Kamil, yang menyatakan bahwa diperlukan kearifan bertoleransi dalam

memandang dan memaknai dunia. Begitu juga dengan benda budaya sebagai bagian dari

94Ridwan Kamil,

(28)

dunia, diperlukan kearifan bertoleransi dalam memandang dan memaknai benda budaya

bahwa di dalam benda budaya ada nilai-nilai positif yang dapat kita terapkan dalam kehidupan

kita sehari-hari untuk menuju hidup yang lebih baik lagi.

C. Kedudukan Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata

Pada zaman Yunani Kuno, para ahli sudah merumuskan pengaturan tentang kedudukan

benda budaya dalam suatu konflik bersenjata atau perang. Adalah seorang ahli pada masa

Yunani Kuno yang bernama Polybius yang mengatakan bahwa :

Future conquerors should learn not to strip the towns that they subjugate and not to inflict misfortune on other peoples, the embellishment of their native land… But although some advantage may be derived from that, no one can deny that to abandon oneself to the pointless destruction of temples, statues and other sacred objects is the action of a maadman.‖95

Terjemahan Bebas :

Penakluk masa depan harus belajar untuk tidak menjarah kota-kota yang mereka taklukkan dan tidak menimbulkan kemalangan pada orang lain atas kekayaan dari tanah air mereka... Tapi meskipun beberapa keuntungan dapat diperoleh dari itu, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa tindakan meninggalkan diri sendiri untuk penghancuran yang tidak ada gunanya pada kuil, patung dan benda-benda suci lainnya adalah tindakan orang gila.

Melihat pernyataan Polybius tersebut, tampak jelas sejak zaman kuno pada masa

Yunani Kuno sudah ada gagasan untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata.

Polybius tidak mendukung penghancuran benda budaya seperti kuil, patung dan benda-benda

suci lainnya dalam suatu peperangan atau konflik bersenjata. Polybius menghendaki

kedudukan benda-benda budaya dalam peperangan adalah suatu obyek yang dilindungi dan

dihormati. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata merupakan tindakan orang

gila, sehingga dalam hal ini tidak wajar dilakukan dan tentunya dilarang dilakukan.

95

JIRI TOMAN, ―The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict‖, Dartmouth Publishing Company, USA, 1996, Hal. 4, Buku dapat diunduh pada

(29)

Namun, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya kita dapat melihat bahwa dalam

sejarahnya peperangan atau konflik bersenjata, tetap saja benda budaya mengalami banyak

kerugian yaitu terutama penghancuran selain juga penjarahan. Dalam perkembangannya,

kedudukan benda budaya menjadi perhatian masyarakat internasional karena banyaknya

kerugian terhadap benda budaya dalam konflik bersenjata atau masa perang.

Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara

peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Demikian salah satu ketentuan Hukum

Humaniter Internasional yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap

kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang

dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran.96 Hukum Jenewa mengatur

perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara

dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter

yang utama.97 Protokol I maupun II adalah merupakan tambahan dari konvensi-konvensi

Jenewa 1949.98

Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa :

―Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil

dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer

saja.‖

Dengan melihat pasal tersebut (Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977) , maka kita dapat mengetahui bahwa istilah dan defenisi tentang ‗obyek sipil‘ dan ‗sasaran militer‘ baru

tercantum diterima oleh negara-negara untuk pertama kalinya dalam suatu naskah perjanjian yang telah berlaku (‗enter into force‘), yaitu dalam Protokol Tambahan I 1977.99 Hal tersebut

96Ambarwati dkk.,

Hukum Humaniter Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 45 97Prof.Sulaiman, S.H., dkk.,

Diktat Kuliah : Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, 2015, Hal. 12

98Arlina Permanasari dkk.,

Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Red Cross, Jakarta, 1999, hal. 33

99

(30)

menunjukan bahwa selain pembedaan terhadap penduduk sipil dengan kombatan, pada tahun

1977 berdasarkan Protokol Tambahan I 1977100 telah ada pembedaan terhadap obyek sipil dan

sasaran militer dalam Hukum Humaniter Internasional.

Defenisi obyek sipil dan sasaran militer tersebut dapat kita lihat dalam Pasal

52 Protokol Tambahan I 1977 yaitu Perlindungan umum bagi obyek-obyek sipil :

1. Obyek-obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan atau tindakan

pembatasan. Obyek-obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer seperti dirumuskan dalam ayat (2).

2. Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer.

Sebegitu jauh mengenai obyek, sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, didalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.

3. Apabila diragukan apakah suatu obyek yang biasanya diabdikan pada tujuan-tujuan

sipil, seperti tempat pemujaan, rumah atau tempat tinggal lainnya atau rumah sekolah, sedang digunakan untuk memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer, maka obyek itu harus dianggap sebagai tidak dipergunakan sedemikian.

Dari Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 tersebut diatas kita dapat melihat bahwa

obyek sipil mendapat perlindungan yaitu tidak boleh diserang atau dijadikan sasaran militer.

Terkait dengan defenisi, berdasarkan ayat 1 pada pasal tersebut, obyek sipil adalah semua

obyek yang bukan sasaran militer. Ruang lingkup obyek sipil tidak terbatas sepanjang obyek

tersebut bukan sasaran militer.

Sedangkan ayat (2) dari pasal diatas (Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977),

memberikan penjelasan tentang Sasaran Militer. Ada beberapa kriteria yang dicantumkan, yaitu sifat (‗nature’), tempat/lokasi (‗location‘), dan tujuan (‗purpose‘), serta keuntungan militer yang pasti (‗definite military advantage‘). Kriteria pertama berhubungan dengan

dengan sifat suatu sasaran militer., yang harus menghasilkan kontribusi yang efektif pada aksi

100 Protokol Tambahan I 1977 Dapat diunduh pada :

(31)

militer. Kategori ini dapat meliputi semua obyek yang digunakan secara langsung oleh suatu

angkatan bersenjata seperti : persenjataan, peralatan, transportasi, perbentengan, depot militer,

markas dan markas besar, pusat-pusat komunikasi, dan sebagainya. Kriteria kedua berkaitan

dengan lokasi sasaran militer. Dalam hal ini ada obyek-obyek yang karena sifatnya tidak

memiliki fungsi militer, namun apabila ditinjau dari lokasinya, maka obyek tersebut akan

sangat bermanfaat bagi tujuan-tujuan militer, seperti : jembatan atau konstruksi lain yang

sejenisnya. Kriteria ketiga berkenaan dengan tujuan digunakannya suatu obyek tertentu pada

waktu terjadi sengketa bersenjata. Misalnya, rumah sakit dan sekolah-sekolah merupakan

obyek sipil, namun apabila obyek tersebut digunakan untuk bersembunyi tentara, maka obyek

itu akan berubah fungsinya menjadi sasaran militer. Namun jika ada keragu-raguan mengenai

hal ini , sesuai dengan ayat (3), maka obyek-obyek tersebut harus dianggap sebagai obyek

sipil.101 Hal tersebut menunjukan bahwa obyek sipil dapat berubah dan dianggap sebagai

obyek militer.

Persyaratan yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu obyek sipil menjadi sasaran

militer mencakup dua hal yaitu sebagai berikut102 :

a. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak

musuh; dan

b. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap objek tersebut

memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak

yang melakukan tindakan.

Berkaitan dengan prinsip necessity, terdapat pula ketentuan sebagai berikut : ―Apabila

dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoleh keuntungan militer

yang sama, maka sasaran yang dipilih adalah adalah sasaran yang apabila diserang dapat

101Arlina Permanasari dkk.,

Op. Cit., hal. 205-206 102

Gambar

Tabel 1.1 Ringkasan Benda Budaya Berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, keluah yang dialami Ny “L” adalah kekurangan energy kronis, menurut penulis pasien dengan kekurangan energy

Adapun faktor yang dimaksud yaitu (1) apakah sarana dan prasarana angkutan sudah memadai, dalam rangka mengirim barang ke tujuan secara tepat waktu ( transportation ),

PENGARUH PENDIDIKAN GIZI DENGAN VIDEO ANIMASI DAN MEDIA SOSIAL TERHADAP PENGETAHUAN, PERSEPSI BODY IMAGE DAN POLA MAKAN

Pelaksanaan tindakan pada siklus IIpertemuan pertama dilaksanakan pada hari Senin tanggal 6 April 2015. Guru yang di tunjuk sebagai observer untuk

Subjek merasa beruntung karena dirinya dapat di terima untuk tinggal di panti sehingga subjek dapat terpenuhi kebutuhan yang diinginkannya dan berada di panti

Menurut Sund (dalam Roestiyah, 2012:20), discovery adalah proses mental di mana mahasiswa memadukan berbagai konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut

Pada fenomena yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 bertentangan dengan teori yang ada, dimana menurut dimana menurut (Tjiptono Darmadji dan Hendy M, 2006:195)

In line with the purposes, this study was intended to investigate how cooperative learning facilitated students in learning critical thinking in reading as well as to