BAB II
KEDUDUKAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK
BERSENJATA
A. Defenisi dan Pengertian Benda Budaya
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat
mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan
sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah
lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya.39
Kebudayaan sebagai hasil ciptaan manusia membuat kebudayaan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itulah manusia disebut makhluk yang
berbudaya. Para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Begitu
juga jika ditinjau dari segi bahasanya, kebudayaan memiliki arti yang berbeda-beda dan
makna yang luas.
Edward B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.40 Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi
mengatakan bahwa, ―kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar‖.41
39Elly M. Setiadi dkk,
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR, PT Kencana, Jakarta, 2006, hal. 38 40Drs. Herimanto,
ILMU SOSIAL & BUDAYA DASAR, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal. 24 41Prof. Dr. Koentjaraningrat,
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi merupakan
unsur rohani, sedangkan daya adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian, budaya
merupakan hasil budi dan daya dari manusia.42
Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture. Dalam bahasa Belanda
diistilahkan dengan kata cultuur. Dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera berarti
mengolah, dan mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani).43
Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.44 Walaupun terdapat defenisi yang berbeda-beda baik oleh
para ahli maupun dari segi bahasa, dapat dikatakan secara garis besar bahwa kebudayaan
adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Hal ini karena dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya manusia pasti akan menciptakan sesuatu.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan
dalam tiga wujud45, yaitu :
1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan
peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat atau adat istiadat, yang sekarang banyak disimpan dalam arsip, tape, dan komputer. Kesimpulannya, budaya ideal ini adalah merupakan perwujudan dan kebudayaan yang bersifat abstrak.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
menyangkut tindakan dan kelakukan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi , difoto, dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat. Kesimpulannya, sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia . Wujud yang
terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia
dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal –hal
yang dapat diraba, dilihat, dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil. Contohnya : Candi Borobudur (besar), kain batik, dan kancing baju (kecil), teknik bangunan, misalnya, cara pembuatan tembok dengan fondasi rumah yang berbeda bergantung pada kondisi. Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk materi/artefak.
Sejatinya seluruh hasil karya cipta manusia yang berwujud nyata atau konkret adalah
kebudayaan fisik. Namun, tidak semua kebudayaan fisik dapat disebut sebagai benda budaya.
Hanya kebudayaan fisik yang dapat memberikan pengaruh besar dan manfaat besar bagi umat
manusia atau suatu peradaban sajalah yang dapat disebut sebagai benda budaya. Benda
budaya dapat menjadi ciri khas suatu peradaban.
Budaya dan warisan kebudayaan, sebagai ekspresi identitas masyarakat, repositori
memori atau dokumentasi sejarah dan pengetahuan tradisional, merupakan komponen penting
dari identitas suatu peradaban atau masyarakat.46 Benda budaya dapat menjadi lambang atau
identitas yang nyata dari suatu masyarakat atau peradaban. Hal ini tentu karena benda budaya
tersebut bersifat kebendaan atau konkret yaitu dapat dilihat dan dapat disentuh. Selain itu,
benda budaya dapat menjadi identitas suatu masyarakat atau peradaban tentunya karena benda
budaya tersebut memberikan pengaruh dan manfaat yang besar bagi umat manusia pada masa
lalu atau bahkan pada masa sekarang dan masa akan datang.
John Henry Merryman, seorang pakar hukum internasional mengatakan benda budaya
dengan istilah ―kekayaan budaya‖, yaitu mengacu pada benda-benda yang memiliki ―artistik,
etnografi, arkeologi, atau nilai sejarah.‖47 Dalam hukum internasional, benda budaya memiliki banyak defenisi dan makna yang luas. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para ahli dan
konvensi-konvensi internasional yang memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang benda
budaya.
Beberapa konvensi-konvensi internasional tentang benda budaya48 :
1. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed
Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property – 1970
3. Convention for the Protection of the World Cultural and Natural Heritage –
1972
4. UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects –
1995
5. Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage – 2001
6. Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage – 2003
7. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural
Expressions – 2005
Konvensi Den Haag 1954 atau disebut juga The 1954 Hague convention for the protection
of cultural property in the event of armed conflict merupakan konvesi internasional tentang
perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata. 49 Pembuatan konvensi ini
dilatarbelakaangi oleh kerugian-kerugian luar biasa yang menimpa benda budaya selama
47John Henry Merryman Dalam Carol A. Roehrenbeck, Repatriation of Cultural Property–Who Owns the Past ? An Introduction to Approaches and to Selected Statutory Instruments, International Journal of Legal Information the Official Journal of the International Association of Law Libraries, Volume 38 Issue 2 Summer
2010 , Hal. 187. Jurnal dapat diakses pada
https://www.ilsa.org/jessup/jessup17/Batch%201/Repatriation%20of%20Cultural%20Property.pdf
48 UNESCO, Main conventions on the protection of the cultural heritage,
http://portal.unesco.org/culture/en/ev.php-URL_ID=33920&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html# , Diakses pada tanggal 17 Februari 2017, pukul 15.20 WIB.
49 Konvensi Den Haag 1954 dapat diunduh di
Perang Dunia Kedua.50 Konvensi ini memfokuskan perlindungan benda budaya saat terjadinya
konflik bersenjata.
Pasal 1 Konvensi Den Haag 1954 menyatakan bahwa benda budaya adalah :
a. benda bergerak atau tidak bergerak yang mempunyai kepentingan besar terhadap
warisan budaya setiap orang, seperti monumen-monumen arsitektur, seni atau sejarah, baik yang bersifat religius maupun sekular; situs arkeologi; kelompok bangunan yang secara keseluruhan mempunyai kepentingan sejarah atau artistik; karya seni; sebagaimana koleksi-koleksi ilmiah dan koleksi-koleksi penting dari buku-buku dan arsip-arsip atau reproduksi dari benda-benda yang ditetapkan diatas;
b. bangunan-bangunan yang kegunaan utama dan efektifnya adalah untuk
memelihara atau mempertunjukkan benda budaya bergerak yang ditetapkan pada sub-paragraf (a) seperti museum-museum, perpustakaan-perpustakaan besar dan penyimpanan-penyimpanan arsip-arsip, dan, dan tempat penampungan untuk melindungi, pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya bergerak yang ditetapkan dalam subparagraf (a);
c. pusat-pusat yang berisi sejumlah besar benda budaya sebagaimana ditetapkan
dalam sub-paragraf (a) and (b), untuk diketahui sebagai "pusat-pusat yang berisi monumen-monumen". (Terjemahan Bebas)
Dalam Konvensi Den Haag 1954 ini, kita dapat melihat bahwa benda budaya tidak
diberikan defenisi atau diartikan secara langsung, melainkan diartikan dengan kriteria atau
karakteristik benda-benda yang dapat disebut sebagai benda budaya. Pada dasarnya dalam
konvensi ini benda budaya dikelompokkan berdasarkan dapat atau tidaknya benda budaya
tersebut berpindah atau bergerak dan juga dikelompokkan terhadap bangunan maupun
pusat-pusat wilayah yang berisikan benda budaya. Hal ini tentu sangat memudahkan kita dalam
membedakan benda budaya.
Konvensi internasional lainnya yang memberikan defenisi terkait benda budaya
adalah Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and
Transfer of Ownership of Cultural Property 197051. Definisi benda budaya dalam konvensi ini
disebut dengan istilah cultural property atau properti budaya diuraikan secara rinci dalam
Pasal 1 yang berbunyi:
"Untuk tujuan Konvensi ini, istilah 'kekayaan budaya' berarti properti yang, dalam khasanah agama atau sekuler, yang secara khusus ditunjuk oleh masing-masing negara untuk dijadikan sebagai benda bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah,
sastra, seni atau ilmu pengetahuan dan yang milik kategori berikut:
a. Koleksi dan spesimen fauna dan flora langka, mineral dan anatomi, dan obyek
paleontologi;
b. Properti sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, teknologi, militer, dan
sejarah sosial, mengenai sejarah perjalanan hidup pemimpin bangsa, pemikir, peneliti, dan seniman dan juga (yang terkait) pada kepentingan event nasional;
c. Produk penggalian arkeologi (termasuk penemuan yang bersifat umum dan
rahasia) atau dari penemuan arkeologi;
d. Bagian dari monumen bersejarah atau artistik atau situs arkeologis yang telah
patah;
e. Benda antik yang berusia lebih dari seratus tahun seperti artefak, koin, atau
stempel;
f. Obyek yang terkait kepentingan etnologi (entitas etnik);
g. Properti yang memiliki nilai seni, seperti:
i. Gambar, lukisan, dan gambar yang dibuat seluruhnya dengan tangan
dalam berbagai metode dan berbagai material (tidak termasuk desain industri dan benda pabrik yang dihias dengan tangan);
ii. Karya asli seni patung dan pahatan di bahan apapun;
iii. Ukiran asli, cetakan, dan litograf (tulisan-tulisan);
iv. Kumpulan seni asli assemblages (sejenis mozaik) dan montage
(komposisi benda berbentuk gambar) di bahan apapun;
h. Manuskrip langka dan incunabula (buku-buku cetakan awal ditahun 1500-an),
buku-buku lama, dokumen dan publikasi minat khusus (sejarah, seni, ilmu pengetahuan, sastra, dll) secara tunggal atau koleksi;
i. Prangko/benda pos, pendapatan dan sejenis perangko, tunggal atau koleksi;
j. Benda-benda furnitur yang berusia lebih dari seratus tahun dan alat musik tua".
(Terjemahan Bebas)
Konvensi the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and
Transfer of Ownership of Cultural Property yang dikeluarkan 1970 ini ditujukan untuk melindungi benda budaya dengan mengawasi perdagangannya, juga menjembatani kerjasama
antar pemerintah untuk mencari dan menemukan kembali benda budaya yang telah dicuri atau
diambil secara ilegal yang melewati batas-batas negara.52 Dalam konvensi ini dapat kita lihat,
berdasarkan Pasal 1 defenisi benda budaya secara sangat rinci dijelaskan lengkap dengan
contoh-contohnya. Namun perlu dicatat, dalam konvensi ini, untuk dapat disebut sebagai
benda budaya membutuhkan penunjukkan atau pengesahan oleh negara sebagai benda budaya
dalam keagamaan maupun sekuler yang bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah,
sastra, seni dan ilmu pengetahuan.
Dalam World Heritage Convention 197253atau Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972
tentang Perlindungan atas Kekayaan Budaya dan Kekayaan Alam Dunia, mengenalkan konsep
yang lebih moderen yaitu menjelaskan benda budaya sebagai warisan yang harus dilindungi
dan dilestarikan oleh seluruh umat manusia. Dalam World Heritage Convention 1972, benda
budaya yang biasanya dikenal dunia internasional sebagai properti budaya atau cultural
property diganti dengan istilah warisan budaya atau cultural heritage. Dalam Preumbule
World Heritage Convention 1972, juga disebutkan bahwa, ―Considering that parts of the
cultural or natural heritage are of outstanding interest and therefore need to be
preserved as part of the world heritage of mankind as a whole‖, yang berarti bahwa warisan
dunia atau world heritage terdiri dari warisan budaya atau cultural heritage (benda budaya)
dan warisan kekayaan alam atau natural heritage yang merupakan warisan yang harus
dilindungi dan dilestarikan seluruh umat manusia. Hal ini menjadi menarik, karena dalam
Preumbule World Heritage Convention 1972, disebutkan bahwa kekayaan alam merupakan bagian dari warisan budaya dunia yang menarik luar biasa dan oleh karena itu perlu dilindungi
dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan dunia umat manusia secara keseluruhan.
Sehingga, dalam hal ini, kekayaan alam yang adalah bukan ciptaan manusia ikut dilindungi
dan dilestarikan sebagai bagian dari warisan dunia atau World Heritage.
53
Pasal 1 World Heritage Convention 1972 memberikan defenisi tentang benda budaya
dengan istilah warisan budaya atau Cultural Heritage sebagai bagaian dari warisan dunia atau
World Heritage, adalah bahwa benda budaya dapat dikelompokkan sebagai :
1. Monuments: architectural works, works of monumental sculpture and painting, elements or structures of an archaeological nature, inscriptions, cave dwellings and combinations of features, which are of outstanding universal value from the point of viewof history, art or science;
2. Groups of buildings: groups of separate or connected buildings which, because of their architecture, their homogeneity or their place in the landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science; 3. Sites: works of man or the combined works of nature and man, and areas
including archaeological sites which are of outstanding universal value from the historical, aesthetic, ethnological or anthropological point of view.
Terjemahan bebas :
1. Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau
struktur purbakala, prasasti dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;
2. Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang,
karena arsitektur mereka, kesamaan mereka atau tempat mereka dalam lanskap, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;
3. Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk
situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, titik etnologis atau antropologi pandang.
Sedangkan dalam Pasal 2 World Heritage Convention 1972 memberikan defenisi
tentang kekayaan alam atau Natural Heritage sebagai bagaian dari warisan dunia atau World
Heritage yaitu :
“For the purposes of this Convention, the following shall be considered as "natural heritage": natural features consisting of physical and biological formations or groups of such formations, which are of outstanding universal value from the aesthetic or scientific point of view; geological and physiographical formations and precisely delineated areas which constitute the habitat of threatened species of animals and plants of outstanding universal value from the point of view of science or conservation; natural sites or precisely delineated natural areas of outstanding universal value from the point of view of science, conservation or natural beauty.”
Terjemahan Bebas :
spesies hewan dan tumbuhan yang terancam dan mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi; situs alam atau daerah alami yang mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi atau keindahan alam.
Secara khusus, berdasarkan The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of
The Underwater Cultural Heritage54, terdapat jenis benda budaya yaitu berupa benda budaya yang menjadi warisan budaya yang berada bawah air atau lautan yang dikenal dengan istilah
Underwater Cultural Heritage dapat kita temukan
dalam Pasal 1 The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater
Cultural Heritage, yaitu :
a) “Underwater cultural heritage” means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water,periodically or continuously, for at least 100 years such as:
(i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their
archaeological and natural context;
(ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and natural context;and
(iii) objects of prehistoric character.
b) Pipelines and cables placed on the seabed shall not be considered as underwater cultural heritage.
c) Installations other than pipelines and cables, placed on the seabed and still in use, shall not be considered as underwater cultural heritage.
Terjemahan bebas :
a) "Warisan budaya bawah air" berarti semua jejak keberadaan manusia yang memiliki
karakter budaya, sejarah dan arkeologi yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah air, secara berkala atau terus menerus, paling sedikit 100 tahun seperti:
i. lokasi, struktur, bangunan, artefak dan jenazah manusia, bersama dengan
konteks arkeologi dan alaminya;
ii. kapal, pesawat terbang, kendaraan lain atau bagiannya, kargo atau barang
lainnya, beserta arkeologi dan alaminya
konteks; dan
iii. objek karakter prasejarah.
b) Pipa dan kabel yang ditempatkan di dasar laut tidak dianggap sebagai warisan budaya
bawah laut.
54
c) Instalasi selain pipa dan kabel, ditempatkan di dasar laut dan masih digunakan, tidak boleh dianggap sebagai warisan budaya bawah laut.
Dapat kita lihat, benda budaya sebagai warisan budaya tidak hanya benda budaya
yang berada di darat saja seperti yang diatur konvensi-konvensi internasional yang lain.
Berdasarkan Pasal 1 The UNESCO 2001 Convention On The Protection Of The Underwater
Cultural Heritage, benda budaya yang berumur minimal 100 tahun dapat juga berada di bawah air atau lautan, seperti bangkai pesawat terbang atau kapal laut yang karam di dalam
laut, benda arkeologi di bawah air, artefak bawah air, dan lain-lain. Pengecualian diberikan
pada pipa, kabel, dan instalasi lainnya yang berada di bawah air adalah tidak merupakan
benda budaya bawah hair.
Perkembangan selanjutnya, menunjukkan warisan budaya yang merupakan ciptaan
manusia tidak hanya berwujud benda namun juga berwujud tidak benda. Hal ini dapat kita
lihat pada Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 200355.
Berdasarkan konvensi tersebut warisan budaya tidak benda disebut dengan istilah the
Intangible Cultural Heritage. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 2 Convention for the
Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003, yaitu :
1. The “intangible cultural heritage” means the practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of their cultural heritage. This intangible cultural heritage, transmitted from generation to generation, is constantly recreated by communities and groups in response to their environment, their interaction with nature and their history, and provides them with a sense of identity and continuity, thus promoting respect for cultural diversity and human creativity. For the purposes of this Convention, consideration will be given solely to such intangible cultural heritage as is compatible with existing international human rights instruments, as well as with the requirements of mutual respect among communities, groups and individuals, and of sustainable development.
2. The “intangible cultural heritage”, as defined in paragraph 1 above, is manifested inter alia in the following domains:
55
a. oral traditions and expressions, including language as a vehicle of the intangible cultural heritage;
b. performing arts;
c. social practices, rituals and festive events;
d. knowledge and practices concerning nature and the universe; e. traditional craftsmanship.
Terjemahan bebas :
1. ―Warisan budaya tidak benda‖ berarti praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan - serta alat, benda, artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya - bahwa komunitas, kelompok, dan dalam beberapa kasus, individu mengakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya takbenda ini, diwariskan dari generasi ke generasi, terus diciptakan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan menyediakan mereka dengan rasa identitas dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini, pertimbangan akan diberikan semata-mata untuk warisan budaya takbenda seperti kompatibel dengan instrumen HAM internasional yang sudah ada, serta dengan persyaratan saling menghormati di antara masyarakat, kelompok dan individu, dan pembangunan berkelanjutan.
2. ―Warisan budaya tidak benda‖, sebagaimana didefinisikan dalam ayat 1 di atas, diwujudkan antara lain dalam domain berikut:
a. tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya
tidak benda;
b. seni pertunjukan;
c. praktek-praktek sosial, ritual dan acara meriah;
d. pengetahuan dan praktek mengenai alam dan semesta;
e. keahlian tradisional.
Dapat kita lihat warisan budaya yang merupakan ciptaan manusia tidak hanya
berwujud benda saja (benda budaya), namun ada yang berbentuk tidak benda yang diatur
dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003. Contoh
warisan budaya tidak benda tersebut adalah tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual, pengetahuan
dan keahlian tradisional. Warisan budaya tidak benda disebut dengan istilah the Intangible
Cultural Heritage. Dengan adanya warisan budaya tidak benda atau the Intangible Cultural
Heritage membuat defenisi benda-benda budaya dari berbagai konvensi-konvensi internasional secara otomatis dapat dikelompokkan kedalam kelompok yang lebih kecil lagi
yaitu kelompok warisan budaya benda atau the Tangible Cultural Heritage.
Berdasarkan website resmi UNESCO, warisan budaya benda atau the Tangible
monumen, artefak, dan lain-lain, yang perlu dilestarikan untuk masa depan. Ini termasuk
objek yang penting bagi arkeologi, arsitektur, sains atau teknologi dari budaya tertentu.56 Oleh
sebab itulah, dapat dikatakan benda budaya sebagai warisan budaya benda atau the Tangible
Cultural Heritage adalah segala macam benda atau materi yang penting bagi arkeologi, arsitektur, sains atau teknologi dari budaya tertentu sehingga perlu dilestarikan untuk masa
depan.
56 UNESCO, the Tangible Cultural Heritage, Dalam
Tabel 1.1 Ringkasan Benda Budaya Berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional
(Berdasarkan World Heritage Convention 1972, Warisan Dunia atau World Heritage terdiri dari benda budaya
sebagai warisan budaya (cultural heritage) dan kekayaan
alam sebagai warisan kekayaan alam (natural heritage)
Dari uraian-uraian tersebut, kita dapat melihat bahwa benda budaya memiliki defenisi
yang berbeda-beda dan makna yang luas. Benda budaya juga memiliki istilah-istilah yang
berbeda. Benda budaya disebut juga properti budaya atau dalam bahasa Inggris disebut
sebagai cultural properti. Dalam perkembangannya, benda budaya dikenal sebagai warisan
budaya atau cultural heritage yang merupakan warisan dunia yang wajib dilindungi dan
dilestarikan. Jenis benda budaya juga berkembang, tidak hanya benda budaya di darat saja,
namun benda budaya bawah air atau underwater cultural heritage juga sudah diakui dunia
internasional. Lalu berkembang lagi dengan mengelompokkan benda budaya ke dalam
kelompok yang lebih kecil lagi yaitu warisan budaya benda atau the Tangible Cultural
Heritage.
Walaupun memiliki defenisi yang berbeda-beda dan makna yang begitu luas, pada
intinya dapat dikatakan bahwa benda budaya adalah salah satu wujud kebudayaan yaitu
kebudayaan fisik bersifat kebendaan yang memberikan pengaruh dan manfaat yang besar bagi
umat manusia pada masa lalu atau bahkan pada masa sekarang dan masa depan yang dapat
menjadi identitas atau ciri khas suatu bangsa, masyarakat atau peradaban yang diwariskan dari
generasi ke generasi sehingga perlu untuk dilestatikan dan dilindungi.
B. Sejarah Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata
Dalam sejarahnya, posisi benda budaya dalam berbagai konflik bersenjata
internasional atau perang antar negara dan juga perang internal dalam suatu negara (konflik
bersenjata non-internasional) seperti perang saudara, perang agama dan perang pembebasan,
sudah menjadi isu penting dan perhatian masyarakat internasional.57 Hal ini karena banyakya
peristiwa penghancuran benda budaya maupun penjarahan benda budaya dalam konflik
bersenjata. Berikut akan diuraikan sejarah penghancuran benda budaya dalam konflik
57Patrick J. Boylan, The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the
Crusades to the New Millennium , London, 2001, hal. 1, Jurnal dapat diakses pada
bersenjata. Namun, tidak semua peristiwa akan diuraikan karena sangat banyaknya peristiwa
penghancuran benda budaya yang terekam oleh sejarah. Penulis hanya menguraikan beberapa
peristiwa penting terkait penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dan juga
membaginya dalam suatu periode waktu.
Zaman Kuno atau Sejarah Kuno58
Di zaman kuno, tepatnya pada Masa Yunani Kuno 59 kita dapat dapat melihat contoh
penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Penghancuran benda budaya dalam
konflik bersenjata yang sangat terkenal pada masa Yunani Kuno adalah pembakaran
Perpustakaan Alexandria.
Dinasti Yunani, Ptolemeus mewarisi Mesir dari Alexander dan menguasai negeri itu
sampai Caesar Octavianus Augustus mengalahkan Antonius dan Cleopatra pada tahun 30 SM.
Dibawah Ptolemeus, Aleksandria berubah secara drastis. Daya tarik kota itu adalah
perpustakaan kerajaannya. Didirikan pada awal abad ketiga Sebelum Masehi. Konon,
perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14,
Perpustakaan Sorbonne yang katanya memiliki koleksi terbesar dizamannya hanya memiliki
1700 buku.60
Perpustakaan Alexandria yang berdiri pada tahun 290 SM di Mesir, pada tahun 48 SM
dibakar oleh Julius Caesar. Padahal di perpustakaan tersebut, Ptolemy I pernah mengundang
cerdik cendekia lintas negara untuk berdiskusi dan menulis hingga menghasilkan 700
58 Zaman Kuno atau Sejarah kuno adalah studi mengenai masa lalu tertulis dari awal mula sejarah manusia tertulis sampai Abad Pertengahan Awal. Jangka waktunya sekitar lima ribu tahun, dengan aksara kuneiform, bentuk tulisan koheren tertua yang pernah ditemukan, dari periode protoliterat sekitar abad ke-30 SM.Ini adalah awal dari "sejarah," sebagai kebalikan dari prasejarah, berdasarkan pengertian yang digunakan oleh sebagian besar sejarawan.Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kuno diakses pada 13 Maret 2017, pukul 18:47 WIB
59Yunani Kuno adalah peradaban dalam sejarah Yunani yang dimulai dari periode Yunani Arkais pada abad ke-8 sampai ke-6 SM, hingga berahirnya Zaman Kuno dan dimulainya Abad Pertengahan Awal. Carol G. Thomas (1988). Paths from ancient Greece. BRILL. pp. 27–50. ISBN 9789004088467 Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Yunani_Kuno Diakses tanggal 15 Maret 2017, pukul 19:43 WIB.
60Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia,
ribu gulung papyrus. Salah satu dari gulungan papyrus itu adalah Kitab Perjanjian Lama
I yang diterjemahkan dari bahasa Yahudi ke bahasa Yunani.61
Pada masa Yunani Kuno kita dapat melihat penghancuran benda budaya dalam konflik
bersenjata sangat merugikan umat manusia. Perpustakaan Alexandria yang menjadi simbol
pusat ilmu pengetahuan pada masa itu dihancurkan dalam suatu konflik bersenjata. Selain
dihancurkan, benda budaya juga mengalami penjarahan atau pengambilan secara paksa dalam
konflik bersenjata pada zaman kuno. Hal ini dapat kita lihat pada masa kekaisaran atau
imperium Romawi.
Berdasarkan penelitian oleh para ahli sejarah maupun ahli hukum menyatakan bahwa
penjarahan, pengerusakan maupun penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata
secara sistematis dan terorganisir mula-mula berawal dari masa Kekaisaran atau Imperium
Romawi.62 Tentara Romawi yang sering diterjunkan di medan perang dan menundukkan
bangsa-bangsa lain, sepulangnya ke Roma juga kerap kali membawa serta karya-karya seni.63
Bangsa Romawi mengagungkan penjarahan dan pengambilan secara sistematis terhadap karya
seni milik masyarakat atau daerah yang ditaklukan. Benda seni diutamakan diambil di antara
barang rampasan, dan Prajurit atau Tentara Romawi melakukan prosesi acara kemenangan
atau Triumph dengan memamerkan jarahan mereka.64
61 Dian Sinaga, Kejahatan Terhadap Buku dan Perpustakaan, Majalah Online Visi Pustaka, Edisi Vol. 6 No. 1 - Juni 2004, Dalam http://www.perpusnas.go.id/magazine/kejahatan-terhadap-buku-dan-perpustakaan/ , Diakses pada tanggal 15 Maret 2017, pukul 21:10 WIB.
62 John Henry Merryman, Albert E. Elsen, dan Stephen K Urice, LAW, ETHICS, and the Visual Arts, Halaman 1 Paragraf 3, Kluwer Law International, USA, 2007.
63P. Swantori,
MASALALU selalu AKTUAL, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2016, hal.197 64Carol A. Roehrenbeck, Repatriation of Cultural Property–Who Owns the Past ? An Introduction to Approaches and to Selected Statutory Instruments , International Journal of Legal Information the Official Journal of the International Association of Law Libraries, Volume 38 Issue 2 Summer 2010 Article 11 , Rutgers University Center for Law and Justice, 2010, hal. 191. Jurnal dapat diakses pada
https://www.ilsa.org/jessup/jessup17/Batch%201/Repatriation%20of%20Cultural%20Property.pdf
Pada masa Kekaisaran atau Imperium Romawi65 kita dapat melihat dalam konflik
bersenjata banyak benda-benda seni yang merupakan benda budaya mengalami kerugian yang
sangat besar. Tujuan perang tidak hanya untuk menaklukan suatu daerah melainkan juga
untuk mengambil atau menjarah benda-benda seni dari daerah yang ditaklukkan.
Tentara-tentara Romawi secara beringas mengambil dan menjarah benda-benda seni lalu
memamerkannya di Roma dalam suatu prosesi acara yang disebut Triumph. Triumph sebagai
simbol dan bukti kemenangan perang oleh Kekaisaran atau Imperium Romawi yang dilakukan
dengan cara memamerkan benda-benda seni hasil rampasan tentara Romawi di wilayah Roma.
Masa Abad Pertengahan66
Pada abad pertengahan kita dapat melihat penghancuran benda budaya terjadi pada
saat Perang Salib67. Sejumlah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap
kekuatan Muslim sejak tahun 1096 dikenal sebagai Perang Salib. Hal ini disebabkan karena
adanya dugaan bahwa pihak Kristen dalam melancarkan serangan tersbut didorong oleh
motivasi keagamaan, selain itu mereka menggunakan simbol Salib.68
65
Pada tahun 27 SM, Senat dan Rakyat Roma mengangkat Oktavianus sebagai princeps ("warga negara pertama") dengan prokonsul imperium, dan dengan demikian memulai Principatus (zaman pertama dalam sejarah Kekaisaran Romawi, dimulai dari tahun 27 SM sampai 284 M). Dalam
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekaisaran_Romawi , Diakses pada tanggal 16 Maret 2017, pukul 22:28 WIB 66Masa pertengahan sejarah Eropa dimulai dari abad ke-5 M hingga abad ke-15 M. Abad pertengahan sejarah Eropa merupakan suatu masa peralihan dari masa kejayaan kekaisaran Romawi dan Hellenisme ke kemenangan kelompok Kristen. Pada masa ini, agama Kristen sudah menjadi agama resmi negara. Kekaisaran Romawi berubah menjadi kekaisaran Romawi Suci; kaisar harus taat dan patuh pada perintah agama dan Paus. Dalam Herawati, AUGUSTINUS: POTRET SEJARAWAN MASA PERTENGAHAN DAN KONTRIBUSI BAGI KAJIAN SEJARAH ISLAM, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurnal THAQÃFIYYÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, Jurnal dapat diakses pada http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/download/25/25 .
67―Perang Salib (1096-1291) terjadi sebagai reaksi dunia Kristen di Erofah terhadap dunia Islam di Asia,
sejak 632 M, dianggap sebagai pihak ―penyerang‖ bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Disebut Perang Salib, karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan Salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan orang-orang Islam.‖ Oleh : Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2008, hal. 171.
68Latifa Annum Dalimunthe, ANALISIS KAJIAN DAN DAMPAK PERANG SALIB (SEBUAH STUDI PUSTAKA), IAIN Palangaka Raya, Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015,
hal. 69. Jurnal dapat diakses pada
Pada tahun 1204 banyak benda budaya yang dirusak, dijarah dan juga dihancurkan saat
terjadinya Perang Salib . Walaupun Paus sudah menginstruksikan kepada para prajurit Perang
Salib untuk tidak mengambil bahkan menghancurkan benda budaya, tetap saja banyak prajurit
perang salib yang melanggar instruksi tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya benda
budaya yang dijarah juga dihancurkan oleh para prajurit Perang Salib saat menyerang Kota
Konstatinopel.69
Nicetas Choniates, Rohaniawan Ortodoks pada masa itu menulis bahwa :
―Nor can the violation of the Great Church [Hagia Sophia] be listened to with equanimity. For the sacred altar, formed of all kinds of precious materials and admired by the whole world, was broken into bits and distributed among the soldiers, as was all the other sacred wealth of so great and infinite splendor. When the sacred vases and utensils of unsurpassable art and grace and rare material, and the fine silver, wrought with gold, which encircled the screen of the tribunal and the ambo, of admirable workmanship, and the door and many other ornaments, were to be borne bahan berharga dan dikagumi oleh seluruh dunia, dipecah-pecah dan didistribusikan di antara para prajurit, seperti semua kekayaan suci lainnya kemegahan begitu besar dan tak terbatas. Ketika vas suci dan peralatan seni tak tertandingi dari bahan langka, dan perak halus, ditempa dengan emas, yang mengelilingi layar pengadilan dan ambo, pengerjaan mengagumkan, dan pintu dan banyak ornamen lainnya, yang menjadi ditiup sebagai rampasan, keledai dan kuda berpelana yang memasuki bait suci.
Tulisan Nicetas Choniates menunjukan bahwa pada masa Perang Salib, khususnya
Perang Salib Keempat menunjukan banyak sekali benda budaya yang dicuri dan dihancurkan
menjadi bagian-bagian kecil untuk dibagi-bagikan kepada sesama Prajurit Perang Salib
sebagai barang rampasan dan harta pribadi mereka. Benda-benda budaya yang sangat
berharga banyak diambil dan dihancurkan dari Gereja Hagia Sophia di kota Konstatinopel.
69 Patrick J. Boylan,
The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the Crusades to the New Millennium , London, 2001, hal. 1, Jurnal dapat diakses pada www.euromedheritage.net/old/rmsu.../amman/boylan2001.rtf
70
Para Prajurit Perang Salib bebas memasuki Gereja Hagia Sophia yang kudus dan suci dengan
menunggangi kuda dan keledai untuk mengangkut benda-benda budaya dari Gereja Hagia
Sophia.
Perang Dunia71
Persenjataan canggih sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
hanya digunakan untuk menyengsarakan umat manusia. Perang Dunia I dan II merupakan
suatu tragedi yang sangat mengerikan. Pada masa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya
digunakan untuk saling menghancurkan, bukan untuk kesejahterahan umat manusia.72 Perang
Dunia I (PD I) berlangsung antara tahun 1914-1918.73 Perang Dunia II berlangsung antara
tahun 1939 sampai tahun 1945.74
Pada perkembangannya tercatat telah cukup banyak pengaturan hukum tentang perang
yang merumuskan beberapa ketentuan mengenai perlindungan benda budaya di waktu perang
atau pendudukan militer (military occupation), diantaranya terdapat pada pasal 27 regulation
annexed Konvensi III DenHaag 1899 tentang hukum dan kebiasaan perang didarat, pasal 56
Konvensi IV DenHaag 1907 tentang hukum dan kebiasan perang di darat dan pasal 5
Konvensi IX DenHaag 1907 tentang pemboman oleh angkatan laut di waktu perang.75 Hal ini
71Perang dunia adalah suatu perang yang berskala besar dan melibatkan sebagian besar negara dunia yang jangkauannya antar benua hingga persekutuan militer. Perang dunia telah menimbulkan banyak kerugian dan perubahan era menuju Globalisasi. Sampai saat ini telah terjadi 2 perang dunia: Perang Dunia I dan Perang Dunia II Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_dunia . Diakses pada 16 Maret 2017, Pukul 03:43 WIB.
72M. Taupan, dkk..,
menunjukan bahwa memasuki awal Perang Dunia sudah banyak perangkat hukum yang
mengatur perlakuan terhadap benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata.
Walaupun pada saat Perang Dunia I terdapat peraturan yang mengikat terkait benda
budaya seperti dalam Konvensi Den Haag 190776, tetap saja banyak terjadi penghancuran
benda budaya. Banyak bangunan ibadah seperti Gereja dan Katedral,
bangunan-bangunan bersejarah, monumen bersejarah, museum, perpustakaan dan benda-benda budaya
lainnya yang dihancurkan dalam masa Perang Dunia I. Kepentingan militer menjadi alasan
pembenaran yang dilakukan oleh para pihak dalam penghancuran benda budaya saat Perang
Dunia I. Mereka beranggapan bangunan-bangunan yang relatif tinggi seperti Gereja, Katedral,
dan bangunan lainnya dianggap sebagai target militer yang sah untuk diserang. Hal ini karena
interpretasi mereka pada saat itu bahwa bangunan-bangunan yang relatif tinggi dapat
digunakan sebagai tempat atau titik pengamatan penembak gelap oleh musuh sehingga untuk
kepentingan militer bangunan-bangunan tersebut dapat diserang.77 Teknologi yang tinggi dan
kepentingan militer membuat banyak benda budaya seperti bangunan suci dan bangunan
bersejarah mengalami kehancuran akibat diserang pada saat terjadinya perang dunia.
Sesungguhnya hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan peraturan Konvensi
Den Haag 1907, bangunan-bangunan tersebut tidak boleh diserang.
Pada bulan Maret 1935, ketika keberadaan Luftwaffe diumumkan secara terbuka
sebagai sebuah cabang independen dari Wehrmacht (Angkatan Bersenjata) yang baru dan
ditingkatkan oleh Goring ke status sebuah senjata militer –politik, para insinyur Jerman dalam
20OBYEK%20BUDAYA%20DALAM%20SENGKETA%20BERSENJATA%20TERHADAP%20PIHAK-
PIHAK%20YANG%20BERSENGKETA%20(AMERIKA%20SERIKAT-IRAK)%20MENURUT%20KONVENSI%20WINA%201969%20%20TENTANG%20PERJANJIAN%20INTE RNASIONAL
76Terjemahan Bebas Pasal 27 Konvensi Den Haag 1907 : ―Dalam hal pengepungan dan pemboman, semua langkah yang perlu harus dilakukan, untuk sejauh mungkin menghindari bangunan-bangunan ibadah, kesenian, ilmu pengetahuan dan panti sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempat-tempat tersebut tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Pasukan yang mengepung harus menandai bangunan-bangunan atau tempat-tempat dengan tanda-tanda khusus yang terlihat,
yang sebelumnya harus diberitahukan kepada pihak penyerang.‖ , Dapat diakses pada
https://arlina100.files.wordpress.com/2009/01/translation-hague-convention-iv-its-annex.pdf 77Patrick J. Boylan,
waktu singkat berhasil menyempurnakan badan pesawat terbang, mesin, persenjataan dan
bom.78 Contohnya adalah Heinkel He-219 Uhu, sebuah pesawat mutakhir yang unggul dan
dapat dikatakan sebagai pesawat pemburu malam terbaik selama Perang Dunia II.79 Pada awal
Perang Dunia II, Luftwaffe adalah angkatan udara paling mutakhir di dunia.80 Segala sesuatu
yang ditemukan oleh Luftwaffe diratakan.81 Hal ini menunjukan bahwa, daya serang udara
Jerman dengan pemboman dari udara luar biasa dahsyatnya. Dengan teknologi mutakhir
tersebut, Jerman dapat menghancurkan apa saja termasuk juga benda budaya.
London menjadi sasaran suatu serangan Jerman pada tanggal 29 Desember 1940, yang
terutama diarahkan ke jantung kota yang penuh dengan gereja-gereja kuno dan bangunan
terkenal.82 Stanley Baron, seorang wartawan surat kabar menggambarkan peristiwa London
Blitz dengan suatu pernyataan yaitu : ―London terbakar. Guildhall (kantor gubernur dan pusat perdagangan bersejarah) terbakar. Sejauh mata memandang ke lorong-lorong kota, terlihat
badai salju dari api. Kilatan api bersumber dari gedung-gedung… aku sungguh cinta kota itu
berikut bangunan-bangunannya. Dan disitulah aku menyaksikan semuanya terbakar begitu saja.‖ 83 Akibat dari serangan Jerman yang luar biasa dahsyatnya, banyak benda budaya di
London seperti gereja-gereja kuno dan bangunan bersejarah mengalami kehancuran.
Pada 6 dan 9 Agustus1945, Sekutu menjatuhkan bom atom pertama di dunia di atas
dua kota pelabuhan Jepang, Hiroshima dan Nagasaki.84 Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 8:15
pagi, bom itu dijatuhkan di atas Kota Hiroshima. Hantamannya sama dengan 22 kiloton bahan
peledak, tapi ada yang lebih mengerikan ketimbang itu : panas itu luar biasa. Seluas 10
78Nino Oktorino, Konflik Bersejarah-Luftwaffe : Kisah Angkatan Udara Jerman NAZI 1935-1945, PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO, Jakarta, 2013, hal. 17
Kehidupan Rakyat Sipil Dalam Kancah PD II, Edisi Terjemahan : Beti Sakinah, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, hal. 19
84
kilometer persegi wilayah kota itu rata dengan tanah, 100 ribu orang mati seketika.85 Dapat
kita lihat dengan teknologi yang tinggi dapat menghasilkan ledakan yang luar biasa
dahsyatnya. Semua langsung rata dengan tanah, bahkan benda-benda budaya yang berumur
ribuan tahun yang kemungkinan berada di Nagasaki dan Hiroshima langsung lenyap seketika.
Pada masa Perang Dunia, baik Perang Dunia I maupun Perang Dunia II banyak
benda-benda budaya yang dihancurkan. Utamanya hal ini terjadi karena kemajuan teknologi militer
pada masa itu yang memiliki daya hancur sangat dahsyat. Selain itu juga karena benda budaya
dijadikan target militer yang dapat diserang dengan alasan untuk kepentingan militer.
Bom-bom dari udara dengan dahsyatanya menghancurkan Gereja, Katedral, Perpustakaan,
Bangunan Bersejarah, dan lain sebagainya yang adalah merupakan benda-benda budaya.
Zaman Moderen
Warisan budaya dan alam kita adalah rapuh dan terancam. Khususnya yang telah
berumur ratusan tahun. Sebagai contoh, selama Perang Dunia Pertama dan Kedua banyak kota
tua dirusak. Monumen budaya yang penting dirusak dan musnah. Dalam menjawab ancaman
mendesak di tahun-tahun antara Perang Dunia I dan II, Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian
diganti menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa, mulai bekerja dengan cara melindungi warisan
kita. Liga Bangsa-Bangsa menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk
bekerjasama dalam melindungi warisan. Ketika UNESCO didirikan pada tahun 1945, pada
akhir Perang Dunia II, usaha ini dipercepat dengan mengembangkan beberapa kampanye
untuk melindungi situs yang signifikan dan merancang konvensi internasional baru dan
merekomendasi untuk melindungi warisan manusia. Salah satu dari konvensi yang secara
khusus dirancang untuk melindungi warisan budaya adalah Konvensi Den Haag 1954.86
85Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir : Nulkir,
Perkembangan yang berawal sejak Konvensi Den Haag untuk Perlindungan terhadap
Properti/Benda Budaya(1954), hingga Konvensi mengenai Cara-cara Pelarangan dan
Pencegahan Impor, Ekspor, dan Pengalihan Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal(1970)
dan Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia(1972), Konvensi
mengenai Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air (2001) serta Konvensi mengenai
Perlindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda (2003), mencerminkan perluasan
pemahaman yang demikian maju atas konsep warisan budaya.87
Zaman modern dapat kita kategorikan dari masa setelah Perang Dunia II sampai
dengan masa sekarang. Setelah Perang Dunia II, benda budaya menjadi perhatian masyarakat
internasional karena banyaknya kerugian terhadap benda budaya pada masa Perang Dunia I
dan Perang Dunia II. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya organisasi internasional UNESCO
yang salah satu fokus utamanya adalah perlindungan benda budaya88 dan juga telah dibuatnya
pengaturan-pengaturan hukum internasional tentang benda budaya seperti Konvensi Den Haag
1954. Namun, tetap saja penghancuran benda budaya masih terjadi dalam konflik bersenjata
walaupun tidak separah masa Perang Dunia. Hal ini karena perang sudah sangat berkurang
setelah masa Perang Dunia II. Pada zaman moderen penghancuran benda budaya biasanya
terjadi dalam perang saudara atau dalam konflik bersenjata non-internasional. Hal ini
disebabkan selain karena diakibatkan oleh pihak pemberontak dalam suatu negara, banyak
juga karena diakibatkan para teroris atau kelompok ekstremis. Ada beberapa peristiwa
penghancuran benda budaya yang terkenal dalam konflik bersenjata pada masa zaman
moderen.
87Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya,,
2009, hal. 8. Jurnal dapat diakses pada
http://www.unesco.org/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/indonesie.pdf
88 Laporan Dunia UNESCO, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya,,
2009, hal. 8. Jurnal dapat diakses pada
Pada tahun keempat perang sipil di Suriah, kekacauan masih merajalela. Negara ini
terpecah antara pasukan pemerintah di bawah Presiden Bashar al-Assad, kelompok oposisi
moderat, Islamis, kelompok preman dan geng kriminal. Lebih dari 100.000 orang tewas akibat
konflik, dan 9 juta warga terpaksa mengungsi. Konflik ini berpotensi meluas ke negara-negara
tetangga.89 Perang Suriah tidak hanya menyebabkan ribuan orang tewas. Warisan budayanya
juga hancur akibat bentrokan yang tiada henti. Empat ribu tahun lamanya kebudayaan
Babilon, Mesir, Persia, Yunani dan Roma bertemu dan meninggalkan bekas. UNESCO
khwatir dengan warisan budaya negara itu, dan kembali menerbitkan laporan tentang
kerusakan.90
Selain penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Suriah, di
tempa-tempat lainnya juga marak terjadi penghancuran benda budaya yang dilakukan oleh para
teroris atau kelompok ekstremis pada zaman moderen. Inilah tujuh situs bersejarah yang kini
hancur lebur akibat aksi keji teroris91 :
1. Nimrud
Nimrud adalah sebuah situs kota kuno yang terletak di Mosul, Irak. Situs ini sangat bersejarah hingga dianugerahi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Saat ini situs yang dibangun sekitar abad ke-13 sebelum masehi ini hancur lebur tak bersisa. Militan ISIS bertanggung jawab atas perusakan situs super penting di Irak. ISIS membawa buldozer dan juga beberapa kendaraan militer berat untuk meruntuhkan bangunan ini. Mereka juga menghancurkan 'lamassu'. Sebuah patung makhluk mitologi dengan bentuk singa bersayap. UNESCO menyebut aksi ISIS ini sebagai kejahatan perang yang sangat berat.
2. Khorsabad
Khorsabad adalah sebuah kota kuno yang dulunya digunakan oleh Raja Sargon memerintah Suriah kuno. Sekitar tahun 721 masehi kerajaan ini memasuki masa kejayaan sebelum akhirnya runtuh dan berganti Suriah modern. Khorsabad berisi banyak sekali benda bersejarah yang tak ada duanya. Tapi lagi-lagi ISIS kembali
89 Michael Hartlep, Konflik Terburuk di Dunia, 2014, Dalam http://www.dw.com/overlay/media/id/konflik-terburuk-di-dunia/17468982/35910620 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 02:35 WIB.
90 Ananda Grade, Warisan Kebudayaan di Suriah Terancam, 2013 Dalam http://www.dw.com/overlay/media/id/warisan-kebudayaan-di-suriah-terancam/17060195/36677008 , Diakses pada tanggal 21 Maret 2017, pukul 02:40 WIB.
membuat ulah. Mereka masuk dan membuat situ budaya bersejarah ini hancur. Apa saja yang merupakan situs sejarah dianggap tak pantas oleh ISIS. Lalu dengan
membabi buta mereka menghancurkan tanpa berpikir akibatnya terlebih dahulu.
3. Museum Mosul
Kita harus menyebut ISIS sebagai militan penghancur benda sejarah. Setelah menghancurkan Nimrud dan Khorsabad, kini mereka juga menghancurkan museum Mosul. Militan yang tak tahu belas kasih ini langsung masuk dan mengobrak-abrik segala hal yang mereka temui. Tak peduli berapa harga dan arti sejarahnya. Mereka menghancurkan sebuah benda seni yang telah berumur sekitar 3.000 tahun. Selain itu ISIS juga menghancurkan Winged Bull, sebuah artefak dari Niveneh yang ada di abad ke-7 masehi. ISIS juga membuat video penghancuran lalu mengunggahnya.
4. Museum Nasional Afganistan
Sekitar 70% artefak atau benda sejarah yang ada di Museum Nasional Afganistan telah dirampok dan juga dihancurkan. Selama 35 tahun bertarung dengan Taliban, museum ini telah mengalami banyak penyerangan yang sangat mematikan. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 silam. Saat terjadi baku tembak dengan Taliban, museum ini akhirnya jadi sasaran empuk. Sekitar 2.500 artefak yang sangat bersejarah akhirnya dihancurkan.
5. Patung Buddha di Bamiyan
Pada tahun yang sama saat Museum Nasional Afganistan dihancurkan, patung Buddha di lembah Bamiyan juga dihancurkan oleh Taliban. Mereka menganggap jika patung ini melanggar Islam. Akhirnya mereka meletakkan dinamit dan meledakkannya hingga tak berwujud lagi sekarang. Patung ini dibangun sekitar tahun 507-554 masehi atau abad ke-6. Patung Buddha di lembah Bamiyan ini memiliki tinggi sekitar 250 meter. Patung ini telah bertahan selama 1.500 tahun sebelum akhirnya hancur lebur akibat serangan Taliban.
6. Kuil Imam Awn al-Din
Kuil Imam Awn al-Din adalah sebuah kuil yang dibangun sekitar abad ke-13 masehi. Kuil ini adalah sebuah bukti kehebatan Irak di masa lalu. Kuil ini adalah sebuah perhiasan berharga bagi pengamat arsitektur kuno seperti Yasser Tabbata. Kini, sejak Juli 2014, benda bersejarah ini hancur lebur dibom ISIS.
7. Situs Kuno Kamboja
Untuk pertama kalinya Mahkamah Pidana Internasional memproses penghancuran
warisan budaya UNESCO. Di kota oasis di Mali utara, 2012 pemberontak Islam Ansar Dine
menghancurkan beberapa mausoleum Muslim yang umurnya ratusan tahun. Alasan
penghancuran makam sejumlah ulama Islam tersebut adalah jadi tempat pemujaan berhala.92
Timbuktu di utara Mali sudah jadi pusat Islam sejak jaman Abad Pertengahan. Tiga mesjid
dari tanah lempung di daerah itu sudah berusia 700 tahun dan jadi saksi bagi masa itu. Juli
2012 kelompok ekstrem Islam menghancurkan sebagian warisan budaya ini. Menurut mereka,
pemujaan orang suci yang sudah ada di Mali sejak ratusan tahun lalu bertentangan dengan
Islam.93 Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali yang menjadi fokus
utama dalam pembahasan skripsi ini menjadi menarik karena kasus ini merupakan kasus
pertama penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata yang ditangani oleh Mahkamah
Pidana Internasional. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan penulis mengambil kasus
ini menjadi topik dalam pembahasan skripsi ini.
Kita dapat melihat dari penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata pada
zaman moderen banyak terjadi karena perang saudara dan juga perkembangan kelompok
ekstremis atau para teroris seperti ISIS dan Taliban. Latarbelakang utamanya adalah karena
benda-benda budaya dianggap sebagai berhala yang dapat menyesatkan umat. Namun yang
patut dicatat adalah di zaman moderen, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata
sudah dapat dituntut ke pengadilan internasional yaitu Mahkamah Pidana Internasional.
Dari berbagai uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penghancuran benda
budaya dalam konflik bersenjata sudah terjadi sejak zaman dahulu atau zaman kuno sampai
pada masa sekarang atau zaman moderen. Periode waktu penghancuran benda budaya dalam
konflik bersenjata dapat kita kelompokkan dari zaman kuno, zaman abad pertengahan, zaman
perang dunia hingga zaman moderen. Selama periode waktu tersebut, benda budaya tidak
hanya dihancurkan namun juga dilakukan penjarahan atau pengambilan benda budaya saat
terjadinya konflik bersenjata.
Dalam periode waktu tersebut, penghancuran benda budaya dan penjarahan benda
budaya dalam konflik bersenjata dilatarbelakangi oleh banyak hal yaitu :
1. Penghancuran Benda budaya dianggap sebagai tanda penaklukkan dan simbol
kemenangan terhadap daerah atau negara yang diserang.
2. Penghancuran Benda Budaya disebabkan oleh luar biasanya daya hancur senjata
militer seperti ledakan bom, bom dari udara dan bom atom atau bom nuklir.
3. Penghancuran Benda Budaya disebabkan benda budaya dijadikan sebagai target
militer dengan alasan kepentingan militer yaitu benda budaya dijadikan tempat
persembunyian musuh atau penembak gelap.
4. Penghancuran Benda Budaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang musyrik
yaitu dijadikannya benda-benda budaya sebagai berhala untuk disembah.
5. Dalam hal penjarahan benda budaya, dilakukan untuk koleksi pribadi, menambah
harta kekayaan dan juga kepentingan pribadi.
Ridwan Kamil dalam bukunya Mengubah Dunia Bareng Bareng mengatakan bahwa ―Dunia ini diciptakan Tuhan sedemikian indahnya. Namun, sering kerusakan alam dan
pertentangan peradaban terjadi hanya karena umat manusia tidak pernah sepakat dalam cara
memandang dan memaknai dunia. Oleh karena itu, di sisi lain , semiotika mengajarkan sebuah
kearifan. Kearifan tentang kemungkinan hadirnya makna-makna lain dari nilai-nilai yang selama ini kita yakini. Setetes kearifan sederhana. Kearifan bertoleransi‖.94 Sampai dengan
sekarang penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata masih terjadi. Hal ini sangat
disayangkan, karena benda budaya merupakan aset penting sebagai identitas suatu masyarakat
dan juga sebagai alat perekam sejarah. Sependapat dengan pernyataan salah satu tokoh
nasional yaitu Ridwan Kamil, yang menyatakan bahwa diperlukan kearifan bertoleransi dalam
memandang dan memaknai dunia. Begitu juga dengan benda budaya sebagai bagian dari
94Ridwan Kamil,
dunia, diperlukan kearifan bertoleransi dalam memandang dan memaknai benda budaya
bahwa di dalam benda budaya ada nilai-nilai positif yang dapat kita terapkan dalam kehidupan
kita sehari-hari untuk menuju hidup yang lebih baik lagi.
C. Kedudukan Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata
Pada zaman Yunani Kuno, para ahli sudah merumuskan pengaturan tentang kedudukan
benda budaya dalam suatu konflik bersenjata atau perang. Adalah seorang ahli pada masa
Yunani Kuno yang bernama Polybius yang mengatakan bahwa :
―Future conquerors should learn not to strip the towns that they subjugate and not to inflict misfortune on other peoples, the embellishment of their native land… But although some advantage may be derived from that, no one can deny that to abandon oneself to the pointless destruction of temples, statues and other sacred objects is the action of a maadman.‖95
Terjemahan Bebas :
Penakluk masa depan harus belajar untuk tidak menjarah kota-kota yang mereka taklukkan dan tidak menimbulkan kemalangan pada orang lain atas kekayaan dari tanah air mereka... Tapi meskipun beberapa keuntungan dapat diperoleh dari itu, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa tindakan meninggalkan diri sendiri untuk penghancuran yang tidak ada gunanya pada kuil, patung dan benda-benda suci lainnya adalah tindakan orang gila.
Melihat pernyataan Polybius tersebut, tampak jelas sejak zaman kuno pada masa
Yunani Kuno sudah ada gagasan untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata.
Polybius tidak mendukung penghancuran benda budaya seperti kuil, patung dan benda-benda
suci lainnya dalam suatu peperangan atau konflik bersenjata. Polybius menghendaki
kedudukan benda-benda budaya dalam peperangan adalah suatu obyek yang dilindungi dan
dihormati. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata merupakan tindakan orang
gila, sehingga dalam hal ini tidak wajar dilakukan dan tentunya dilarang dilakukan.
95
JIRI TOMAN, ―The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict‖, Dartmouth Publishing Company, USA, 1996, Hal. 4, Buku dapat diunduh pada
Namun, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya kita dapat melihat bahwa dalam
sejarahnya peperangan atau konflik bersenjata, tetap saja benda budaya mengalami banyak
kerugian yaitu terutama penghancuran selain juga penjarahan. Dalam perkembangannya,
kedudukan benda budaya menjadi perhatian masyarakat internasional karena banyaknya
kerugian terhadap benda budaya dalam konflik bersenjata atau masa perang.
Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara
peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Demikian salah satu ketentuan Hukum
Humaniter Internasional yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap
kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang
dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran.96 Hukum Jenewa mengatur
perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara
dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter
yang utama.97 Protokol I maupun II adalah merupakan tambahan dari konvensi-konvensi
Jenewa 1949.98
Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa :
―Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil
dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer
saja.‖
Dengan melihat pasal tersebut (Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977) , maka kita dapat mengetahui bahwa istilah dan defenisi tentang ‗obyek sipil‘ dan ‗sasaran militer‘ baru
tercantum diterima oleh negara-negara untuk pertama kalinya dalam suatu naskah perjanjian yang telah berlaku (‗enter into force‘), yaitu dalam Protokol Tambahan I 1977.99 Hal tersebut
96Ambarwati dkk.,
Hukum Humaniter Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 45 97Prof.Sulaiman, S.H., dkk.,
Diktat Kuliah : Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, 2015, Hal. 12
98Arlina Permanasari dkk.,
Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Red Cross, Jakarta, 1999, hal. 33
99
menunjukan bahwa selain pembedaan terhadap penduduk sipil dengan kombatan, pada tahun
1977 berdasarkan Protokol Tambahan I 1977100 telah ada pembedaan terhadap obyek sipil dan
sasaran militer dalam Hukum Humaniter Internasional.
Defenisi obyek sipil dan sasaran militer tersebut dapat kita lihat dalam Pasal
52 Protokol Tambahan I 1977 yaitu Perlindungan umum bagi obyek-obyek sipil :
1. Obyek-obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan atau tindakan
pembatasan. Obyek-obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer seperti dirumuskan dalam ayat (2).
2. Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer.
Sebegitu jauh mengenai obyek, sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, didalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.
3. Apabila diragukan apakah suatu obyek yang biasanya diabdikan pada tujuan-tujuan
sipil, seperti tempat pemujaan, rumah atau tempat tinggal lainnya atau rumah sekolah, sedang digunakan untuk memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer, maka obyek itu harus dianggap sebagai tidak dipergunakan sedemikian.
Dari Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 tersebut diatas kita dapat melihat bahwa
obyek sipil mendapat perlindungan yaitu tidak boleh diserang atau dijadikan sasaran militer.
Terkait dengan defenisi, berdasarkan ayat 1 pada pasal tersebut, obyek sipil adalah semua
obyek yang bukan sasaran militer. Ruang lingkup obyek sipil tidak terbatas sepanjang obyek
tersebut bukan sasaran militer.
Sedangkan ayat (2) dari pasal diatas (Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977),
memberikan penjelasan tentang Sasaran Militer. Ada beberapa kriteria yang dicantumkan, yaitu sifat (‗nature’), tempat/lokasi (‗location‘), dan tujuan (‗purpose‘), serta keuntungan militer yang pasti (‗definite military advantage‘). Kriteria pertama berhubungan dengan
dengan sifat suatu sasaran militer., yang harus menghasilkan kontribusi yang efektif pada aksi
100 Protokol Tambahan I 1977 Dapat diunduh pada :
militer. Kategori ini dapat meliputi semua obyek yang digunakan secara langsung oleh suatu
angkatan bersenjata seperti : persenjataan, peralatan, transportasi, perbentengan, depot militer,
markas dan markas besar, pusat-pusat komunikasi, dan sebagainya. Kriteria kedua berkaitan
dengan lokasi sasaran militer. Dalam hal ini ada obyek-obyek yang karena sifatnya tidak
memiliki fungsi militer, namun apabila ditinjau dari lokasinya, maka obyek tersebut akan
sangat bermanfaat bagi tujuan-tujuan militer, seperti : jembatan atau konstruksi lain yang
sejenisnya. Kriteria ketiga berkenaan dengan tujuan digunakannya suatu obyek tertentu pada
waktu terjadi sengketa bersenjata. Misalnya, rumah sakit dan sekolah-sekolah merupakan
obyek sipil, namun apabila obyek tersebut digunakan untuk bersembunyi tentara, maka obyek
itu akan berubah fungsinya menjadi sasaran militer. Namun jika ada keragu-raguan mengenai
hal ini , sesuai dengan ayat (3), maka obyek-obyek tersebut harus dianggap sebagai obyek
sipil.101 Hal tersebut menunjukan bahwa obyek sipil dapat berubah dan dianggap sebagai
obyek militer.
Persyaratan yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu obyek sipil menjadi sasaran
militer mencakup dua hal yaitu sebagai berikut102 :
a. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak
musuh; dan
b. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap objek tersebut
memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak
yang melakukan tindakan.
Berkaitan dengan prinsip necessity, terdapat pula ketentuan sebagai berikut : ―Apabila
dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoleh keuntungan militer
yang sama, maka sasaran yang dipilih adalah adalah sasaran yang apabila diserang dapat
101Arlina Permanasari dkk.,
Op. Cit., hal. 205-206 102