• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Debitur Setelah Berakhirnya Pemberesan Harta

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

E. Kedudukan Hukum Debitur Setelah Berakhirnya Pemberesan Harta

Suatu pemberesan harta pailit baru dapat dilakukansetelah debitur dalam keadaan insolvensi. Suatu kepailitan dapat berakhir karena :

1. Kepailitan dicabut karena harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan (Pasal 18 UUK dan PKPU).

2. Perdamaian yang telah ditawarkan oleh debitur atau kreditur telah diterima dan disahkan oleh hakim pengawas.

3. Apabila harta pailit telah dijual seluruhnya dan hasil penjualan tersebut telah dibagi seluruhnya kepada kreditur.

4. Apabila putusan pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Setelah dilakukan pemberesan terhadap harta pailit, maka kemungkinan akan terjadi suatu kondisi bahwa harta pailit tersebut mencukupi untuk membayar utang-utang debitur kepada para krediturnya atau sebaliknya harta pailit tidak dapat mencukupi pelunasan terhadap utang-utang debitur kepada para kreditur.

Bila harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang debitur pailit kepada para krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi. Rehabilitasi adalah pemulihan nama baik debitur yang semula dinyatakan pailit, melalui putusan pengadilan yang menerangkan bahwa debitur telah memenuhi

kewajibannya.50

Keberatan tersebut hanya dapat diajukan apabila persyaratan surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua kreditur yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan tidak terpenuhi.

Permohonan rehabilitasi harus diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. Dalam jangka waktu 60 hari (enam puluh hari) setelah permohonan rehabilitasi diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian, setiap kreditur yang diakui dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan tersebut, dengan mengajukan surat keberatan, disertai alasan di kepaniteraan pengadilan dan panitera harus memberikan tanda terima.

51

Yang dimaksud dengan pembayaran yang memuaskan adalah bahwa kredituryang diakui tidak akan mengajukan tagihan lagi terhadap debitur, sekalipun mereka mungkin tidak menerima pembayaran atas seluruh tagihannya.52

50

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 215.

51

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 216.

52

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penjelasan Pasal 216.

Setelah berakhirnya jangka 60 (enam puluh) hari tersebut, terlepas apakah kreditur mengajukan atau tidak mengajukan keberatan, pengadilan harus memutuskan apakah mengabulkan atau menolak permohonan tersebut.Putusan pengadilan tersebut adalah putusan final dan binding, dalam arti tidak terbuka upaya hukum apapun termasuk banding atau kasasi. Putusan yang mengabulkan rehabulitasi tersebut wajib diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan harus didaftar dalam daftar umum.

Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mengembalikan debitur pailit ke keadaan semula seperti sebelum jatuh pailit. Dengan berakhirnya kepailitan, dengan sendirinya debitur pailit kembali ke keadaan semula tanpa perlu adanya permohonan rehabilitasi. Dengan adanya rehabilitasi secara resmi tersebut, debitur pailit akan memperoleh kepercayaan umum kembali dan dapat melanjutkan usahanya tanpa beban. Dari UUK dan PKPU bahwa kepailitan sebagai sita umum dengan putusan pernyataan Pengadilan Niaga hanya mengenai harta kekayaan debitur pailit, bukan terhadap orang atau pribadinya sebagai subyek hukum. Dengan tidak membedakan antara debitur yang jujur atau tidak jujur, dimungkinkan dalam keadaan debitur tidak memenuhi kewajiban para kreditur dan debitur.

Permohonan rehabilitasi diajukan kepada Pengadilan Niaga yang semula memeriksa kepailitan yang bersangkutan. Akan tetapi, tidak terhadap semua kepailitan dapat dimintakan rehabilitasi. Hanya terhadap putusan kepailitan di bawah ini yang dapat diajukan rehabilitasi, yaitu sebagai berikut:

1. Apabila kepailitan diakhiri dengan suatu perdamaian. 2. Apabila diakhiri setelah utangnya dibayar penuh.

3. Apabila kepailitan tersebut dijatuhkan atas harta benda debitur.

Dengan demikian, jika kreditur tidak dapat membayar lunas atau tidak terjadi perdamaian, terhadap hal tersebut tidak berlaku rehabilitasi. Namun, kepailitan dapat berakhir dan debitur pailit memperoleh kembali wewenangnya untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan (daden van beheer er daden van eigendom). Oleh karena itu, jika debitur berusaha lagi setelah pailit dihapus,

kreditur tetap dapat meminta sisa utangnya dibayar penuh, tanpa perlu mengajukan gugatan baru, tetapi hanya minta dijalankan putusan pailit yang sudah ada sampai semua utangnya yang telah diverifikasi dibayar lunas.53 Sebab, suatu pengakuan utang dalam kepailitan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan. Jadi, hanya tinggal memohon pengeksekusiannya.54

53

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 204.

54

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 205.

Bagi kreditur yang piutang-piutang yang belum dibayar lunas, para kreditur tetap mempunyai hak menuntut. Hal ini sesuai dengan Pasal 204 UUK dan PKPU yang menentukan bahwa dengan mengikatnya daftar pembagian penutup, maka kreditur memperoleh kembali hak-hak ekseskusi, mengenai piutang mereka yang belum dibayar, yang juga dipertegas oleh Pasal 1131 KUHPerdata bahwa debitur memiliki kewajiban untuk membayar seluruh utang- utangnya yang masih belum dibayar sampai lunas. Oleh karena itu, jika debitur dikemudian hari memperoleh harta lagi, maka kreditur-kreditur ini masih mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan kembali sisa piutangnya tersebut.

Berbeda dengan hukum di banyak negara lain (seperti Amerika Serikat misalnya, maka hukum di Indonesia tidak mengenal apa yang disebut dengan

discharge, yakni pembebasan debitur (terutama debitur pribadi) dari sisa utang dalam kepailitan. Karenanya, debitur dapat dengan tenang berusaha lagi, seperti yang berlaku dalam hukum kepailitan di beberapa negara lain.

Permasalahan yang timbul terkait hal ini adalah apabila jika setelah berakhirnya pailit setelah perdamaian (dengan rehabilitasi atau tidak), kemudian debitur mendapatkan lagi harta (dengan jalan apapun), apakah debitur masih berkewajiban untuk membayar utang? Banyak yang berpendapat bahwa sisa utang debitur adalah perikatan wajar (naturlijke verbintenis). Perikatan wajar/alamiah adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak dapat digugat di muka pengadilan, seperti uang dalam perjudian. Maksudnya, debitur boleh (tidak harus) membayar utang-utang tersebut. Akan tetapi, sekali debitur sudah membayarnya, debitur tidak dapat lagi membatalkan pembayaran tersebut.55

55

BAB III

PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITAN

A. Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan

Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta pailitnya, namun ia tetap harus bekerja sama dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit agar semua proses dapat berjalan dengan baik. Namun, kadang kala terdapat debitur pailit yang tidak beritikad baik, seperti enggan melunasi utang- utangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri, sehingga menyebabkan terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Debitur pailit yang tidak beritikad baik seperti inilah yang dapat ditahan.

Penahanan dalam kepailitan selain mengacu pada ketentuan yang ada dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Namun apabila ketentuan penahanan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 bertentangan dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, ketentuan dalam UUK dan PKPU-lah yang akan digunakan, karena sesuai dengan hierarki perundang-undangan, undang-undang lebih kuat kedudukannya dibanding Perma.

Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut gijzeling merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Menurut R. Susilo,

gijzeling adalah penahanan pihak yang kalah di dalam lembaga permasyarakatan dengan maksud untuk memaksanya supaya memenuhi putusan hakimgijzeling

dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.56

56

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2000, Pasal 1.

Perlu diketahui pula, paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.

Dahulu, lembaga gizjeling (penyanderaan) pernah dibekukan oleh Mahkamah Agung dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975. Alasan dibekukannya gijzeling adalah karena dinilai bertentangan dengan HAM. Saat itu gijzeling menjadi alat untuk memaksa secara fisik dan yang sering menjadi korbanadalah debitur dari kalangan rakyat yang benar-benar tak mampu melunasi utangnya. Pada masa itu, gizjeling diartikan sebagai penyanderaan. Namun, karena dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tapi tidak mau memenuhi kewajibannya dalam membayar utang, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000tentang Lembaga Paksa Badan, penerjemahannya pun disempurnakan menjadi paksa badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian Imprisonment for Civil Debts

Setelah dibentuknya Perma Nomor 1 Tahun 2000, gizjeling (paksa badan) tetap berlaku dalam bidang kepailitan (namun dalam UUK dan PKPU dikenal dengan sebutan penahanan) dan dapat diterima oleh Pengadilan Niaga apabila ada alasan untuk itu dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang- undang. Lembaga paksa badan(gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang dikenal dalam hukum untuk proses penegakan hukum.Penegakan hukum melalui lembaga sandera secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma Nomor 1 Tahun 2000. Ada dua hal yang patut dicermati dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini, yaitu:57

a. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi utang pokok;

b. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin utang yang dapat diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya.

Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara, demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2000. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan. Namun sepanjang kewajiban debitur

57

Mulyasi W, “Gizeling dalam Perkara Pajak”, http://eprints.undip.ac.id /15739 /1 / Mulyatsih_Wahyumurti.pdf(diakses pada tanggal 30 Desember 2014).

didasarkan atas pengakuan utang, menurut Pasal 7, paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

Penahanan bagi debitur pailit ini ditetapkan : a. Dalam putusan pailit;

b. Setiap waktu dalam putusan pailit.

Penahanan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat sebagai berikut :

a. Dalam penjara; atau b. Di rumah tahanan.

c. Di rumah seorang kreditur.

Pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang tidak beritikad baik dijalankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal 242 sampai dengan 258 RBg. Adapun penjabaran kedua pasal tersebut adalah :

a. Jika tidak ada atau tidak cukup barang guna menjalankan putusan maka atas permintaan pihak yang menang dalam perkara tersebut baik secara lisan maupun dengan surat kepada orang yang berwenang untuk menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut disanderakan.

b. Lamanya orang yang berutang dapat disanderakan dalam surat perintah itu mengenai lamanya waktu ia disandera.

Adapun penjabaran pasal-pasal lainnya dalam HIR dan RBg berkaitan dengan lembaga paksa badan atau penyanderaan adalah:

1) Penyanderaan dilakukan selama 6 bulan lamanya jika ia dihukum membayar sampai Rp 100 Pasal 244 RBg (Seratus rupiah) dan selama 1 tahun jika lebih dari Rp100 sampai dengan Rp 300 dan selama 2 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 300 sampai dengan Rp 500 dan selama 3 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 500. 2) Biaya perkara tidak termasuk ke dalam uraian jumlah tersebut

diatas.Mengenai lama penyanderaan sebagaimana yang dimaksud dalam HIR/RBg demikian juga yang terdapat dalam Perma, Hakim Bismar Siregar berpendapat bahwa lama penyanderaan disesuaikan dengan besarnya kewajiban yang harus dilunasi pihak yang kalah. b. Pasal 244 RBg

Penyanderaan terhadap orang-orang yang telah berumur lebih dari enam puluh lima tahun, hanya diperbolehkan menurut peraturan-peraturan yang ada atau yang akan dikeluarkan nanti.

c. Pasal 211 HIR/Pasal 245 RBg

Anak dan turunan kebawah sekali-kali tidak dapat memerintahkan penyanderaan kepada keluarganya sedarah dan keluarga semenda dalam turunan keatas.

d. Pasal 212 HIR/Pasal 246 RBg Terhadap orang yang berutang yang tidak dapat disanderakan :

1) Di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan keagamaan selama ada kebaktian.

2) Didalam tempat dimana kekuasaan umum bersidang dan selama ada persidangan.

Pasal 212 HIR memberi batasan negatif, bahwa seseorang tidak dapat disanderakan di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan ibadah agama, selama ada kebaktian dan pada tempat-tempat di mana kuasa umum bersidang.

e. Pasal 213 HIR/Pasal 247 RBg

1) Jika orang yang berutang itu mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan penyanderaan itu berdasarkan pernyataan bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan atas itu dia minta keputusan itu dengan segera, maka dia harus memasukkan surat kepada ketua pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu atau jika orang itu menghendaki agar dia dibawa menghadap pegawai dalam kedua hal itu harus diputuskan dengan segera, layak tidaknya orang yang berutang itu disanderakan dahulu sambil menunggu keputusan pengadilan negeri.

2) Pasal 128 ayat ke 4, 6 dan 7 HIR dan Pasal 252 ayat 5, 7 dan 8 RBG berlaku pula dalam hal ini.

3) Jika orang yang berutang mengajukan perlawanan dengan surat maka dapatlah dia dijaga agar tidak melarikan diri sambil menunggu keputusan dari ketua

4) Jika jaksa yang dikuasakan telah memerintahkan penyanderaan, maka dia mengirimkan surat permohonan penyanderaan tersebut atau jika

penyanderaan dimohonkan secara lisan maka catatan mengenai itu beserta penetapannya kepada ketua pengadilan negeri.

f. Pasal 214 HIR/Pasal 248 RBg

Orang yang berutang yang tidak mengajukan perlawanan atau yang perlawanannya ditolak dengan segera harus dibawa kedalam penjara tempat penyanderaan.

g. Pasal 249 ayat (1) RBg

Pegawai yang melaksanakan putusan guna penyanderaan dapat menyandera setelah memperlihatkan surat perintah akan menyandera kepada jaksa dan menuliskan hal itu pada surat perintah itu.

Paksa badan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini berbeda dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitur mampu, tetapi membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitur "kelas kakap" yang mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah).

Perbedaan mendasar antara penyanderaan dengan paksa badan adalah bahwa setiap atau semua debitur dapat diperintahkan menjalani penyanderaan /paksa badan bila tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan dalam putusan pengadilan. Kriteria gijzeling apabila harta kekayaan tidak ada atau tidak cukup membayar kewajibannya. Sementara dalam ketentuan paksa badan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tidak ditimpakan dan diterapkan terhadap setiap atau semua debitur tetapi hanya diperlakukan terhadap debitur tertentu

sesuai dengan patokan dan tidak memenuhi kewajiban membayar kembali utangnya padahal mampu untuk melakukannya.

Perbedaan lainnya antara gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBG dengan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 adalah bahwa adanya batasan umur yang dapat dikenakan yaitu maksimal harus berusia 75 tahun, sehingga debitur yang berusia diatas 75 tahun tidak dapat dikenakan meskipun beritikad buruk, sementara dalam HIR dan RBG tidak terdapat batasan umur

Dalam prakteknya, pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2000 masih sulit dilakukan, walaupun Perma tersebut khususnya dalam Pasal 4 telah tegas menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang tidak beritikad baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Problematik yang utama adalah proses teknis pelaksanaan permohonan paksa badan masih tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dan kekhawatiran bagi hakim pengawas untuk melaksanakannya.58

B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 dan keberadaannya pada hakikatnya bertujuan sebagai sarana kurator untuk mengikat debitur pailit agar beritikad baik sehingga proses pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat berjalan dengan baik dan cepat.

58

Edward Malik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan(Bandung: CV. Bandar Maju, 2012), hlm. 118.

Dasar penahanan debitur pailit yang tidak kooperatif terdapat dalam Pasal 93 yang merupakan prosedur umum penahanan, Pasal 94 yang merupakan alasan pembebasan terhadap debitur pailit dan Pasal 95 merupakan penyebab ditahannya seorang debitur pailit. Mengenai penahanan debitur pailit ini diatur dalam Pasal 31, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 UUK dan PKPU.

Sebelum putusan pailit diucapkan, seorang debitur juga dapat ditahan. Hal ini tertera dalam Pasal 31 ayat (1)UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejakitu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur. Dalam pasal ini, penyanderaan yang dimaksud adalah penyanderaan pajak, bukan penyanderaan dalam kepailitan.

Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini berarti sebelum putusan pailit boleh dilakukan penahanan terkait kepailitan jika debitur melanggar ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000.

Debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, menurut UUK dan PKPU dapat ditahan, sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas,permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim

pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanannegara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

Kata “dapat” yang terdapat dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua debitur pailit dapat ditahan. Debitur pailit yang dapat ditahan berdasarkan undang-undang ini hanyalah debitur yang sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 98 menyatakan bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Dalam pasal ini tersirat bahwa, jika debitur pailit menghalangi kurator dalam melaksanakan pengamanan terhadap harta pailit atau dalam kata lain tidak bersifat kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan aset, maka ia dapat ditahan.

Pasal 110 UUK dan PKPU menyatakan bahwa:“(1) Debitur Pailit wajib menghadap Hakim Pengawas, Kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.. (2) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing terhadap harta bersama.”

Dalam pasal ini tertera bahwa debitur yang sudah dinyatakan pailit walaupun tidak dapat mengurusi harta pailitnya lagi, namun ia tetap diperlukan dalam kerja sama dalam rapat verifikasi, yaitu memberikan keterangan yang tepat pada kurator yang sedang menyusun catatan daftar utang.

Pasal 121 berbunyi : “(1) Debitur Pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit.(2) Kreditur dapat meminta keterangan dari Debitur Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui HakimPengawas.(3) Pertanyaan yang diajukan kepada Debitur Pailit dan jawaban yang diberikan olehnya, wajib dicatat dalam berita acara.”

Jadi, dalam UUK dan PKPU dikenal 2(dua) jenis penahanan, yaitu penahanan yang wajib dikabulkan dan penahanan yang tidak wajib dikabulkan. Penahanan yang wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 95 UUK dan PKPU, dimana bila debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2), ia wajib ditahan. Ketentuan dalam Pasal 95 ini bersifat limitatif, karena hanya ketiga pasal ini (Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)) yang membuat seorang debitur wajib ditahan jika melanggarnya dan frase “sebagaimana dimaksud dalam” menekankan bahwa undang-undang mengakui bahwa hanya pelanggaran terhadap 3 (tiga) pasal di atas yang dapat membuat permintaan penahanan seorang debitur pailit wajib dikabulkan.

Sedangkan, penahanan yang tidak wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 93 ayat (1), dimana hakim pengadilan atas usul hakim pengawas,permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan. Usulan hakim pengawas dan/atau permintaan kreditur atau kurator tidak akan menyebabkan

seorang debitur pailit ditahan. Ditahan atau tidaknya debitur pailit tergantung kepada kebijakan hakim pengadilan itu sendiri, sehingga dalam hal ini penahanan didasarkan pada pemikiran hakim yang bersifat subjektif.

Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 94 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU, pengadilan juga berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan dabitur pailit dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa debitur pailit setiap waktu akan menghadap atas panggilan

Dokumen terkait