ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
SKRIPSI
Oleh :
110200061 LARRISA JAPARDI
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Larrisa japardi* Ramli Siregar**
Windha***
Ketika suatu putusan pailit telah dijatuhkan, debitur menjadi kehilangan hak untuk mengurusi harta pailitnya dan kurator yang bertugas untuk melakukan pengurusan dan penguasaan boedel pailit. Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta pailitnya, namun ia tetap harus ikut serta jika diperlukan dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Debitur yang dengan sengaja bertindak tidak kooperatif dapat dikenakan penahanan, sebagai upaya memaksa debitur melunasi kewajibannya sekaligus menghindarkan debitur melarikan diri berikut dengan harta kekayaannya. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan muncul, berupa bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dalam kepailitan dan kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.
Kesimpulan yang dicapai dalam penulisan ini adalah pertama, sejak diucapkannya putusan pailit, debitur yang dinyatakan pailit sudah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta pailit. Pihak yang terlibat dalam pengurusan harta pailit adalah kurator, hakim pengawas, panitia kreditur ; kedua, pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dalam kepailitan mengacu pada UUK dan PKPU, yang diatur dalam Pasal 93 sampai Pasal 96 UUK dan PKPU;
ketiga, kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dirasakan masih kurang, karena sering kali tidak muncul kepastian hukum dalam penerapannya yang disebabkan banyaknya ketentuan yang menimbulkan celah hukum, seperti jangka waktu penahanan, kemampuan hakim yang bersifat subjektif dalam melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit.
Kata Kunci : Kepailitan, Debitur Pailit, Penahanan, Pengurusan, Pemberesan
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga penulis
bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar. Penulisan
Skripsi yang berjudul: Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit adalah untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik
tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan
berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan
menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin
penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta
membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak
membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak
membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang
administrasi umum.
5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu
Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan
kesejahteraan mahasiswa.
6. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan
Dosen Hukum Ekonomidan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih
sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan
bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan.
7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen
Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih
sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan dan bimbingannya
sehingga skripsi ini dapat kelar.
8. Bapak Alwan, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali atas bimbingannya dari awal
9. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu
penulisdalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kak Yuna, yang senantiasa mendukung penulis, membantu penulis dan
memberikan saran terbaiknya sehingga skripsi penulis dapat diselesaikan.
11. Kedua orang tua penulis yang telah yang telah membesarkan, mendidik, dan
mendukung menyemangati dan menjadi pilar kekuatan bagi penulis dalam
menjalani hidup hingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata
Satu (S1) ini,
12. Adik penulis, Inez Japardi yang telah dengan setia membantu, mendengarkan
keluh kesah penulis dan mendampingi penulis selama ini. Terima kasih telah
menjadi adik terbaik melebihi apa yang penulis harapkan.
13. Eric Tanaka, teman terbaik penulis yang selalu menemani dan mendukung
penulis dalam suka maupun duka, memberikan kasih sayang, perhatian dan
dukungannya pada penulis dalam keadaan apapun.
14. Irene Mulia, Yuendris, Wisely yang merupakan sahabat terbaik, teman
sepermainan, teman ngelawak serta teman senasib dan seperjuangan penulis
selama masa perkuliahan di FH USU.
15. Viona Vabella dan Evelyn Angel (Bra Kepo), sahabat terbaik penulis dari
masa SMA yang selalu menemani dan memotivasi penulis dalam suka
maupun duka duka, mendengarkan semua keluh kesah penulis. Thankyou for
being my sisters from another mother, 24/7 listeners, motivators, partners in
16. Sibo, Tiffany, Britney, AC, Sally, Winny, Titi, Ane, Eric, Ian, Mao, Monde,
Juan, Baba (SSP dan SSK) yang merupakan geng terbaik penulis dari masa
SMA yang selalu solid dan gokil .
17. Yennie, Vina dan Sefri, sahabat baik penulis yang telah mengajari penulis
banyak hal dalam hidup dan selalu mendukung Penulis.
18. Meidi, Ameng, Abek, Ody, Apen, Robin, Omar, Herlina, Vilya, Feona, Viona
(Meidi and The Kids) yang merupakan geng sepermainan Penulis yang setia
kawan dan seru. Thankyou for being a solid team!
19. Geng Pacisu yang selalu membuat masa Penulis selama pekuliahan di USU
lebih menyenangkan.
20. Pratiwi, Nurul, Azirah, Aja, Junanda, Asri dan sahabat-sahabat seperjuangan
dari Grup A Fakultas Hukum USU stambuk 2011 yang lain.
21. Abang dan kakak kelas serta adik-adik kelas Penulis di Fakultas Hukum USU
yang lain.
Medan, 1April 2014
Penulis
Larrisa Japardi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat ... 6
D. Keaslian Judul ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II
PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan ... 21B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit ... 28
C. Pengurusan Harta Pailit... 33
D. Pemberesan Harta Pailit ... 40
BAB III
PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITANA Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan ... 51
B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 ... 58
CAkibat Hukum Penahanan Debitur Pailit terhadap Pengurusan
dan Pemberesan Harta Pailit ... 63
BAB IV
KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASIKETENTUAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004
A. Asas Kepastian Hukum dalam Kepailitan ... 68
B. Ketentuan Mengenai Syarat Penahanan Debitur Pailit ... 72
C. Masa Penahanan Debitur Pailit ... 77
D. Perlindungan Hukum terhadap Debitur Pailit atas Ketidakpastian
Hukum Terkait Penahanan ... 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 88
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Larrisa japardi* Ramli Siregar**
Windha***
Ketika suatu putusan pailit telah dijatuhkan, debitur menjadi kehilangan hak untuk mengurusi harta pailitnya dan kurator yang bertugas untuk melakukan pengurusan dan penguasaan boedel pailit. Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta pailitnya, namun ia tetap harus ikut serta jika diperlukan dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Debitur yang dengan sengaja bertindak tidak kooperatif dapat dikenakan penahanan, sebagai upaya memaksa debitur melunasi kewajibannya sekaligus menghindarkan debitur melarikan diri berikut dengan harta kekayaannya. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan muncul, berupa bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dalam kepailitan dan kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.
Kesimpulan yang dicapai dalam penulisan ini adalah pertama, sejak diucapkannya putusan pailit, debitur yang dinyatakan pailit sudah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta pailit. Pihak yang terlibat dalam pengurusan harta pailit adalah kurator, hakim pengawas, panitia kreditur ; kedua, pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dalam kepailitan mengacu pada UUK dan PKPU, yang diatur dalam Pasal 93 sampai Pasal 96 UUK dan PKPU;
ketiga, kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dirasakan masih kurang, karena sering kali tidak muncul kepastian hukum dalam penerapannya yang disebabkan banyaknya ketentuan yang menimbulkan celah hukum, seperti jangka waktu penahanan, kemampuan hakim yang bersifat subjektif dalam melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit.
Kata Kunci : Kepailitan, Debitur Pailit, Penahanan, Pengurusan, Pemberesan
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak era globalisasi dimulai, perkembangan ekonomi dan perdagangan
yang pesat membuat manusia saling berlomba untuk meningkatkan kualitas
hidupnya, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cara mengembangkan
usahanya. Namun, dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan
dengan baik, dan acapkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga
tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Hal ini akan mengakibatkan
timbulnya berbagai masalah utang piutang dalam masyarakat. Tak jarang,
kepailitan merupakan jalan yang dipilih oleh debitur maupun kreditur untuk
menyelesaikan persoalan utang-piutang, karena melalui jalur kepailitan, kreditur
akan memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai
piutangnya.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut
UUK dan PKPU), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini.
Apabila hanya seorang kreditur yang ingin mengajukan gugatan atas utang
yang belum dibayar, maka gugatan itu dapat diajukan ke Pengadilan Negeri
dengan alasan debitur telah melakukan wanprestasi. Tetapi, apabila terdapat lebih
lembaga hukum kepailitan yaitu Pengadilan Niaga, yang khusus dibentuk untuk
menangani kasus kepailitan.1
Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh
hukum untuk menyelesaikan utang piutang antara debitur dan kreditur. Filosofi
hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila harta seluruh
harta debitur tidak cukup untuk membayar seluruh utang-utangnya kepada seluruh
krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan
dengan pembagian harta kekayaan dari debitur terhadap krediturnya. Kepailitan
merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitur yang
nantinya merupakan budel pailit secara pasti dan adil. Kepailitan merupakan exit from financial distress yaitu suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit secara finansial sudah tidak bisa diselesaikan.
Perubahan dan penambahan mendasar dalam hubungan dengan ketentuan
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah adanya Bab Ketiga
tentang Pengadilan Niaga dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998).
Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensial atas peradilan
umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkanUndang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 junto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
2
1
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 1.
2
Status pailit bagaikan lubang jarum yang dapat menolong debitur nakal
mengelakkan tanggung jawab untuk membayar utang sepenuhnya. Terlebih-lebih
apabila status tersebut merupakan keinginan debitur sehingga dengan demikian
kepailitan telah memberi waktu bagi debitur untuk menyembunyikan
aset-asetnya.3
Apabila setelah putusan pailit, tidak tercapai kata perdamaian (accord), maka tahap selanjutnya adalah pengurusan dan pemberesan harta pailit. Tahap
pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak debitur dinyatakan pailit.
Kurator yang ditetapkan dalam putusan pailit segera bertugas untuk melakukan Pernyataan pailit seorang debitur dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga
dengan suatu putusan (vonis) dan tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). Hal itu disebabkan suatu putusan menimbulkan suatu akibat hukum baru, sedangkan
ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum yang baru tetapi hanya bersifat
deklarator saja.
Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitur. Salah
satu konsekuensi hukum yang cukup fundamental adalah debitur yang semula
berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi tidak berwenang mengurus
dan menguasai hartanya, yang terhitung sejak pukul 00.00 dari hari putusan pailit
diucapkan. Dalam putusan pailit, pengadilan juga menyatakan pengangkatan
seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan dan pengangkatan
seorang kurator. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, yang berhak
berkuasa atas harta pailit debitur adalah kurator.
3
pengurusan dan penguasaan budel pailit, dibawah pengawasan hakim pengawas,
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum baik berupa kasasi
ataupun peninjauan kembali.
Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta
pailitnya, namun ia tetap harus ikut serta jika diperlukan dalam pemberesan dan
pengurusan harta pailit, misalnya perlunya kerjasama debitur pailit dalam
memberikan keterangan jelas dan benar pada kurator dalam melakukan
invetarisasi harta pailit, kedatangannya ke Pengadilan Niaga apabila dipanggil
oleh hakim, dan lain sebagainya.
Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal
yang mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki
itikad yang tidak baik seperti tidak mau melunasi utang-utangnya, berusaha
menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri, sehingga menyebabkan
terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Oleh karena itu,
debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit dapat ditahan.
Penahanan yang dimaksud dalam kepailitan adalah gizjeling. Gizjeling
merupakan suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi
kewajibannya sekaligus memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan
berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemberlakuan lembaga paksa
badandibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan tujuan untuk menjamin dan
untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa badan tersebut juga
bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi kewajibannya
sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampasdan keseimbangan hukum
dapat tercapai.4
Terlepas dari itikad baik yang dimiliki seorang debitur pailit, secara
umum, debitur pailit atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas
permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar dari hakim
pengawas dapat ditahan.5 Tetapi, telah diatur bahwa hanya permintaan penahanan
yang tercantum dalam ketentuan UUK dan PKPU yang harus dikabulkan.6
Tidak adanya kepastian mengenai jangka waktu penahanan debitur pailit
menyebabkan debitur pailit tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian
hukum. Oleh sebab itu, timbul keinginan untuk menganalisis dari segi yuridis
tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit,
kelemahan apa saja yang terdapat dalam UUK dan PKPU terkait dengan
penahanan debitur pailit.
Hal ini menandakan selain pada ketentuan itu, penahanan seorang debitur
pailit belum pasti dikabulkan, tergantung pada kebijakan hakim pengadilan itu
sendiri. Dalam hal ini, tidak ada kepastian hukum mengenai apa saja kriteria,
selain yang tercantum dalam UUK dan PKPU, yang dapat membuat penahanan
seorang debitur pailit dikabulkan.
4
Penyelesaian Utang-Piutang dengan Paksa Badan, tanggal 15 Oktober 2014).
5
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 93.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan 3 (tiga) permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Undang Nomor 37 TahunBagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta
pailit menurut Undang-2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang?
2. Bagaimanakah pengaturan penahanan debitur pailit dalam kepailitan?
3. Bagaimanakah kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan
debitur pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penulisan
Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:
a. Untuk mengetahui tentang ketentuan hukum mengenai penahanan debitur
yang tidak beritikad baik dalam kepailitan.
b. Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai perlindungan hukum
terhadap debitur atas ketidakpastian hukum terkait penahanan.
2. Manfaat penulisan
a. Secara teoritis
1) Untuk mengetahui bagaimana pengaturan penahanan debitur pailit
2) Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dalam implementasi
ketentuan penahanan debitur pailitdalam UUK dan PKPU.
b. Secara praktis
Sebagai pedoman bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam hal-hal yang berkaitan dengan segala permasalahan dalam
pengurusan dan pemberesan harta pailit di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit” ini merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru karya tulis milik orang lain. Oleh
karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis
sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi
secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Selain itu, semua
informasi di dalam skripsi ini berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik
yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan
mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.
Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang
sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yaitu:
1. Nama : Hans Philip Samosir
Judul : Tanggung jawab Kurator dalam Pengurusan
Harta Pailit
2. Nama : Lindia Halim
NIM : 010200161
Judul : Pengajuan permohonan pernyataan pailit atas
debitur kredit sindikasi
Walaupun terdapat sedikit kemiripan dengan beberapa judul di atas,
namun terdapat perbedaan yang signifikan mengenai substansi pembahasan.
Penelitian yang dilakukan dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Penahanan
Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit” membahas
bagaimana konsep penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit, serta analisis yuridis mengenai pemberlakuan penahanan terhadap
debitur pailit dalam praktiknya. Sedangkan kedua judul di atas membahas tentang
hal yang berbeda. Judul pertama membahas lebih sempit, yaitu sebatas tanggung
jawab kurator dalam pengurusan harta pailit. Judul kedua membahas mengenai
pengajuan permohonan pernyataan pailit atas debitur kredit sindikasi.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pailit
Istilah “pailit” dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis,
bahasa Latin dipergunakan istilah failure dan dalam bahasa Inggris, digunakan istilah to fail.
Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah
sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini.
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1)UUK dan PKPU, antara lain:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan pihak-pihak dapat
mengajukan permohonan pailit :
a. Debitur sendiri
Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri
(voluntary petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalanakannya tidak mampu lagi untuk
melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan
pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya.
b. Seorang atau beberapa kreditur (Pasal 2 ayat (1));
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, permohonan
pailit pada umumnya diajukan oleh kreditur, baik kreditur yang merupakan
c. Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2));
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa
dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
d. Bank Indonesia dalam menyangkut debitur yang merupakan bank (Pasal 2
ayat (3));
Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya
merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut semata-mata
didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara
keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.
e. Badan Pengawas Pasar Modal jika debitur merupakan perusahaan efek,
bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian (Pasal 2 ayat (4));
f. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5));
Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 UUK dan PKPU. Debitur secara sumir terbukti memenuhi syarat di atas
dapat dinyatakan pailit, baik debitur perorangan maupun badan hukum. Menurut
Imran Nating, pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain:7
a. Orang-perorangan
Baik laki-laki maupun perempuan, menjalankan perusahaan atau tidak,
yang telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan
pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur perorangan yang telah
menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan
suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada
pencampuran harta.
b. Harta peninggalan (warisan)
Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan
pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada
dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada
pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar
utangnya. Dengan demikian, debitur yang telah meninggal dunia masih
saja dinyatakan pailit atas harta kekayaannya apabila ada kreditur yang
mengajukan permohonan tersebut. Akan tetapi permohonan tidak
ditujukan bagi para ahli waris. Pernyataan pailit harta peninggalan
berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang
meninggaldari harta kekayaan para ahli waris dengan cara yang dijelaskan
dalam Pasal 1107 KUHPerdata. Permohonan pailit terhadap harta
peninggalan, harus memperhatikan ketentuan Pasal 210 UUK dan PKPU,
yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah debitur meninggal.
c. Perkumpulan perseroan (holding company)
UUK dan PKPU tidak mensyaratkan bahwa permohonan kepailitan
diajukan dalam satu permohonan, juga dapat diajukan terpisah sebagai dua
permohonan.
d. Penjamin (guarantor)
Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk
memenuhi kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
e. Badan hukum
Menurut kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal
dengan sebutan rechtsperson, dan dalam kepustakaan common lawseringkali disebut dengan istilah legal entity, juristic person, atau
artificial person. Badan hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya pikir, kehendaknya, dan
tidak mempunyai central bewustzijn. Oleh karena itu, ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Ia harus bertindak dengan
perantara orang (natuurlijke personen), tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas nam
pertanggungan gugat badan hukum. Pada badan hukum selalu diwakili
oleh organ dan perbuatan organ adalah perbuatan badan hukum itu sendiri.
Organ hanya dapat mengikatkan badan hukum, jika tindakannya masih
f. Perkumpulan bukan badan hukum
Perkumpulan yang bukan berbadan hukum ini menjalankan suatu usaha
berdasarkan perjanjian antaranggotanya, tetapi perkumpulan ini bukan
merupakan badan hukum, artinya tidak ada pemisahan harta perusahaan
dan harta kekayaan pribadi, yang termasuk dalam perkumpulan ini antara
lain:
1) Maatscappen (persekutuan perdata); 2) Persekutuan firma;
3) Persekutuan komanditer.
Oleh karena bukan badan hukum, maka hanya para anggotanya saja yang
dapat dinyatakan pailit. Permohonan pailit terhadap firma dan persekutuan
komanditer harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing
pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.
g. Bank
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membedakan antara debitur bank
dan bukan bank. Pembedaan tersebut dilakukan dalam hal siapa yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apabila debitur adalah
bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia, karena bank sarat dengan uang masyarakat yang harus
dilindungi.
h. Perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
Sebagaimana bank, UUK dan PKPU juga membedakan perusahaan efek
dengan debitur lainnya. Jika menyangkut debitur yang merupakan
perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Badan ini dikecualikan oleh
UUK dan PKPU karena lembaga ini mengelola dana masyarakat umum.
2. Penahanan
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa debitur pailit yang
tidak beritikad baik dapat ditahan. Yang dimaksud penahanan terhadap debitur
pailit dalam UUK dan PKPU adalahgizjeling. 8
a. Dalam putusan pailit; atau
Lembaga paksa badan atau
istilahnya disebut gijzeling merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya.Menurut R. Susilo, gizjeling adalahpenahanan terhadap pihak yang kalah didalam lembaga permasyarakatan dengan maksud untuk
memaksanya supaya memenuhi putusan hakim.Gijzeling dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi
kewajibannya.
Penahanan bagi debitur pailit ini ditetapkan :
b. Setiap waktu setelah putusan pailit.
Penahanan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat
sebagai berikut :
a. Dalam penjara; atau
8
b. Di rumah tahanan; atau
c. Di rumah seorang kreditur.
3. Pengurusan
Tahap pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak debitur
dinyatakan pailit. Pengurusan adalah menginventarisasi, menjaga dan memelihara
agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah, nilai dan bahkan bertambah dalam
jumlah dan nilai.
4. Pemberesan
Pemberesan merupakan salah satu tugas yang dilakukan oleh kurator
terhadap pengurusan harta debitur pailit, dimana pemberesan adalah penguangan
aktiva untuk membayar atau melunasi utang. Pemberesan baru dapat dilakukan
setelah debitur pailit benar-benar dalam keadaan insolvensi.. Insolvensi terjadi
bilamana :
a. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian.
b. Apabila ada penawaran perdamaian oleh si pailit maupun oleh kurator,
tetapi tidak disetujui oleh para kreditur dalam rapat verifikasi (pencocokan
piutang).
c. Apabila terdapat perdamaian dan disetujui oleh para kreditur dalam rapat
verifikasi tetapi tidak mendapat homogolasi (pengesahan) oleh hakim
F. Metode Penelitian
Pengaturannya terdiri dari :
1. Spesifikasi penelitian
Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif,bersifat deskriptif dan
menggunakan pendekatan yuridis. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka.9Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum
sekunder, 10 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan
internasional dalam bidang kepailitan, jurnal-jurnal dan karya tulis ilmiah lainnya,
serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif ialah penelitian
yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual
dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu.11
2. Data penelitian
Penelitian deskriptif
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin, tentang penahanan
debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.12
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.
10
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. Kedua, Ed. Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Ed. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 36.
12
Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm. 13-14.
Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum,
yaitu:13
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, danberbagai peraturan hukum
nasional yang mengikat, antara lain: UUK dan PKPU, Perma Nomor 1
Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma
Nomor 1 Tahun 2000),Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, serta peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikanpenjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya dari kalangan hukum, danberbagai karya
tulisilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikanpetunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukumrimer dan sekunder; contohnya
adalah kamusensiklopedia, majalah, dan seterusnya. Selain itu, bahan
tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder, dan tersier diluar
bidang hukumyang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan,
terutama dari bidang ekonomi.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran
dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
13
menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis data
Analisis data penelitian menggunakan analisis normatif kualitatif, yaitu
data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis
secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan
hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan
guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang akan diteliti
dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam karya
ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi kedalam susunan
yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam setiap bab
dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama yang berisi pendahuluan ini, memaparkan
pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan
pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada
pembahasan karya ilmiah ini, yang meliputi latar belakang
permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan,
dan pengumpulan data yang digunakan serta sistematika
penulisannya sendiri.
BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Bab kedua ini akan membahas mengenai pengertian dan
syarat-syarat kepailitan, akibat hukum pernyataan pailit,
pengurusan harta pailit, pemberesan harta pailit, serta
kedudukan hukum debitur setelah berakhirnya pemberesan
harta pailit.
BAB III PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT
DALAM KEPAILITAN
Bab ketiga ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai
keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan yang
mencakup tinjauan yuridis terhadap keberadaan lembaga
paksa badan dan perbedaan lembaga paksa badan dan
penyanderaan , penahanan debitur pailit menurut UUK dan
PKPUdan akibat hukum penahanan debitur pailit terhadap
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB IV KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASI
KETENTUAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN
2004
Pembahasan dalam bab ini adalah berdasarkan analisis.
kepastian hukum dalam kepailitan, ketentuan mengenai
syarat penahanan debitur pailit, masa penahanan debitur
pailit dan perlindungan hukum terhadap debitur pailit atas
ketidakpastian hukum terkait penahanan yang mencakup
perlindungan terhadap debitur baik dari segi preventif
maupun represif.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari
kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan setiap bab dalam
permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan
beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan
BAB II
PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan
Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan
dengan pailit. Kata pailit menandakan ketidakmampuan untuk membayar serang
debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo atau yang dikenal dalam
bahasa Inggris dengan “banckrupty”. Sedangkan terhadap perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan
insolvensi. 14
Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal
1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata
menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitur itu,
sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta
kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna
pembayaran utang-utangnya kepada semua kreditur, dan dibayar menurut
perbandingan jumlah piutang masing -masing.
14
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal di atas adalah:15
1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak
membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang
menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk
membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual
dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua krediturnya secara
ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para
kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama.
3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya
piutang-piutang mereka.
Syarat-syarat permohonan pailitdinyatakan pada Pasal 2 ayat (1)UUK dan
PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonann satu atau lebih
krediturnya.
Ketentuan di atas mensyaratkan bahwa untuk mempailitikan debitur harus:
1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur;
15
Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat ini menegaskan bahwa dalam kepailitan dihindari sita individual, karena jika hanya terdapat 1 kreditur, maka tidak akan sesuai dengan
eksistensi hukum kepailitan yang mengatur bagaimana cara membagi harta
kekayaan debitur di antara para krediturnya.
Fred B. G. Tumbuan berpendapat bahwa keharusan ini sesuai dengan
Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian
kekayaan debitur di antara krediturnya harus dilaksanakan secara pari passu pro parte.16
2. Tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih;
a. Pengertian “tidak membayar”;
Pengertian tidak membayar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:
1) Insolvent (tidak mampu membayar), adalah suatu keadaan dimana aset lebih kecil daripada utang.
2) Solvent (mampu membayar namun tidak mau membayar), adalah suatu keadaan dimana perusahaan sehat, dimana aset lebih besar
daripada utang.
Yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan
suatu debitur pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitur
tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk
16
ketidakmauan debitur untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang
telah diperjanjikan.17
b. Pengertian “lunas”
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dalam perubahannya menambah
kata “lunas” setelah kata “tidak membayar” untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan dalam praktek, seperti debitur yang sudah membayar tetapi
tidak lunas tidak dapat dipailitkan, karena apabila jika pelunasannya lama,
maka hal itu akan merugikan krediturnya.
c. Pengertian “utang”
Tidak adanya pengertian utang dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 merupakan salah satu kekosongan yang terdapat dalam
undang-undang ini. Kelemahan ini kemudian diperbaiki dalam UUK dan
PKPU :
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yangakan timbul di kemudian hari atau kontijen,yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”
Secara normatif, makna utang di sini sangat luas. Utang yang
terjadi bukan hanya karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit
saja, tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari
perjanjian lainnya, antara lain seperti perjanjian sewa-menyewa, perjanjian
jual beli, perjanjian pemborongan, perjanjian tukar-menukar, perjanjian
17
sewa-beli, dan lain-lain. Demikian juga halnya kewajiban membayar
sejumlah uang yang timbul karena undang-undang adalah utang. Misalnya
pajak yang belum dibayar kepada negara adalah utang. Selain itu,
kewajiban membayar uang berdasarkan putusan pengadilan termasuk
putusan badan arbitrase yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
termasuk juga utang.18
d. Pengertian “telah jatuh waktu dan dapat ditagih”
Sutan Remy berpendapat bahwa pengertian “jatuh waktu” berbeda
dengan “dapat ditagih”, dimana utang yang telah jatuh waktu adalah utang
yang telah expired dengan sendirinya, tetapi utang yang telah dapat ditagih belum tentu telah “jatuh waktu”.19
Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal,
pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit;
kedua, jatuh tempo yang dipercepat,yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga
pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap
bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak
membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh
tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo karena pengenaan sanksi/denda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena
18
Syamsudin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tianusa,2012), hlm.91.
19
putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase. Berdasarkan kebiasaan
yang berlaku di antara debitur dan kreditur, atau dapat juga dipakai
sebagai dasar jatuh tempo surat tegoran atau somasi.20
Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah
utang yang legal. Utang yang timbul berdasarkan perjanjian atau
undang-undang. Bukan utang yang illegal utang yang timbul dengan cara melawan
hukum tidak dapat ditagih melalui mekanisme dan prosedur hukum
kepailitan. 21
1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan dan panitera
yang mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan
yang bersangkutan diajukan.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membentuk suatu peradilan khusus
yang berwenang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga yang
berada di lingkungan peradilan umum. Proses permohonan putusan pernyataan
pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK dan PKPU. Prosesnya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
2. Pemohon juga harus menyertakan berkas-berkas yang menjadi syarat-syarat
pengajuan, antara lain:22
a. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Niaga.
b. Kartu advokat.
20
Syamsudin Sinaga, Op.Cit., hlm. 92.
21
Ibid, hlm. 93.
c. Bukti yang menunjukkan adanya perikatan (perjanjian jual-beli,
hutang-piutang, putusan pengadilan, commercial paper, faktur, kuitansi, dan lain-lain.
d. Surat kuasa khusus.
e. Tanda daftar perusahaan yang dilegalisir oleh kantor perdagangan.
f. Perincian hutang yang tidak dibayar.
g. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi (disumpah)
jika menyangkut bahasa asing.
h. Nama dan alamat masing–masing kreditur / debitur.
Sistematika surat permohonan pernyataan pailit pada dasarnya sama
dengan surat gugatan biasa, hanya saja dalam kepailitan perlu ditambahkan
pengangkatan kurator dan hakim pengawas.
3. Pengadilan akan mempelajari dan menetapkan hari sidang dalam tempo
paling lambat 3 hari dan sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan
pailiy diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari terhitung
sejak tanggal permohonan didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan
pailit, menurut Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU, harus ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan
B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu
meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru.23Dengan pailitnya
pihak debitur, banyak akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh
undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan 2 (dua)
model pemberlakuan, yaitu:24
1. Berlaku demi hukum
Beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam
hal ini, pengadilan niaga, hakim pengawas, kurator, kreditur, dan pihak lain yang
terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung
untuk terjadinya akibat yuridis tersebut.
2. Berlaku secara rule of season
Selain akibat yuridis hukum kepailitan yang berlaku demi hukum, terdapat
akibat hukum tertentu dari kepailitan yang berlaku secara rule of reason. Maksud dari pemberlakuan model ini adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis
berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah
mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.
Beberapa akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh
debitur:
1. Akibat kepailitan terhadap debitur pailit dan hartanya
23
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi (Malang: UMM Press, 2007), hlm. 103.
24
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur, dimana debitur
tidaklah berada dibawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan
kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali
apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut pengurusan dan pengalihan harta
bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan
diperolehnya, debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima
hartabenda yang akan diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta
pailitnya. 25
Proses kepailitan menghindari terjadinya berbagai kemungkinan faktual
dan yuridis yang mungkin timbul dalam kegiatan khusus untuk mendapatkan
barang-barang milik debitur. Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang
milik debitur untuk kepentingan kreditur secara bersama.
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu untuk diucapkan, debitur
demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang
termasuk harta pailit.
26
2. Akibat hukum terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur pailit
Semua barang
dieksekusi dan hasilnya dikurangi biaya eksekusi dibagi-bagi di antara kreditur
dengan mengingat hak-hak istimewa yang diakui oleh undang-undang.
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit,
tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut
menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UUK dan PKPU). Tuntutan mengenai hak
dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau kurator.
Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur
25
Sultan Remi Syahdeini, Op.Cit., hlm. 257.
26
pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap
debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap
harta pailit (Pasal 26 UUK dan PKPU).
Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit,
hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (Pasal 27 UUK
dan PKPU).
3. Akibat hukum bagi kreditur
Pada dasarnya, kedudukan para kreditur sama (paritas creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi budelnya pailit
sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun asas tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan kreditur yang memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditur yang
haknya didahulukan berdasarkan UUK dan PKPU dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Oleh karenanya, kreditur dapat dikelompokkan sebagai
berikut:27
a. Kreditur separatis
Merupakan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat
bertindak sendiri yang tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit
debitur, sehingga hak-hak eksekusi kreditur separatis ini tetap dapat
dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur separatis dapat
menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak
27
ada kepailitan. Debitur mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya,
sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan
tersebut tidak mencukupi, maka kreditur separatis itu, untuk tagihan yang
belum dibayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai kurator
bersaing.28
b. Kreditur preferen/istimewa
Adapun yang termasuk hak-hak jaminan kebendaan yang
memberikan hak menjual secara lelang dan memperoleh pelunasan secara
mendahului yaitu gadai, hipotek jaminan fidusia.
Merupakan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan
mendapat hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan
harta pailit. Kreditur ini berada dibawah pemegang hak tanggungan dan
gadai. Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak
yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
c. Kreditur konkuren
Kreditur konkuren/bersaing memiliki kedudukan yang sama dan berhak
memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada
maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi
dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditur pemegang hak
jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa secara
proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing
kreditur.
28
4. Akibat hukum terhadap eksekusi atas harta kekayaan debitur pailit
Menurut Pasal 31 UUK dan PKPU, putusan pernyataan pailit mempunyai
akibat bahwa segala putusan hakim menyangkut setiap bagian harta kekayaan
debitur yang telah diadakan sebelum diputuskannya pernyataan pailit harus segera
dihentikan dan sejak saat yang sama pula tidak satu putusan pun mengenai
hukuman paksaan badan dapat dilaksanakan. Segala putusan mengenai penyitaan,
baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan, dibatalkan demi hukum, bila
dianggap perlu, hakim pengawas dapat menegaskan hal itu dengan
memerintahkan pencoretan.
Jika dilihat, dalam pasal tersebut dapat dilihat bahwa setelah ada
pernyataan pailit, semua putusan hakim mengenai suatu bagian kekayaan debitur
apakah penyitaan atau penjualan, menjadi terhenti. Semua sita jaminan maupun
sita eksekutorial menjadi gugur, bahkan sekalipun pelaksanaan putusan hakim
sudah dimulai, maka pelaksanaan itu harus dihentikan. Menurut Pasal 33 UUK
dan PKPU, apabila hari pelelangan untuk memenuhi putusan hakim sudah
ditetapkan, kurator atas kuasa hakim pengawas dapat melanjutkan pelelangan
barang tersebut dan hasilnya masuk dalam harta pailit.
5. Akibat kepailitan bagi pasangan debitur pailit
Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu
perkawinan dan adanya persatuan harta, kepailitan juga dapat memberikan akibat
hukum terhadap pasangannya (suami/istrinya). Dalam hal suami atau istri yang
dinyatakan pailit, istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda
dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda
milik istri atau suami telah dijual suami/istri dan harganya belum dibayar atau
uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit, maka istri atau suami
berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut.
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas jelaslah bahwa meskipun seseorang
telah dinyatakan pailit, orang tersebut masih mendapat perlindungan hukum.
Dengan perkataan lain bahwa seseorang dinyatakan paiit masih dapat bertindak
bilamana suatu tindakan yang ditujukan kepadanya akan mengakibatkan kerugian
morilnya. Disamping itu pula, hal-hal yang membawa keuntungan bagi harta
hartamasih dapat dilakukan oleh si pailit, karena dengan keuntungan yang
diperoleh tersebut diharapkan dapat melunasi utang-utangnya yang sekaligus
mempercepat proses pailit berakhir, dan selanjutnya pengembalian hak untuk
mengurus harta kekayaan sendiri sebagaimana sebelum adanya pernyataan pailit.
C. Pengurusan Harta Pailit
Pengurusan adalah mengumumkan ikhwal kepailitan, melakukan
penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran harta pailit, melanjutkan usaha
debitur, membuka surat-surat telegram debitur pailit, mengalihkkan harta pailit.
melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian guna menjamin
suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara.
Sejak diucapkannya putusan pailit, debitur yang dinyatakan pailit sudah
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta pailit. Penguasaan dan
pengurusan harta pailit tersebut yang terlibat tidak hanya kurator,tetapi masih ada
pihak lainnya. Pihak-pihak yang terkait dengan pengurusan harta pailit tersebut
adalah:
1. Hakim pengawas
Kurator mempunyai tugas utama yaitu melakukan pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Agar kurator menjalankan tugasnya tersebut sesuai
dengan aturan hak dan tidak sewenang-wenang, maka perlu ada bentuk
pengawasan terhadap tindak-tindakan kurator. Disinilah perlunya peranan hakim
pengawas untuk mengawasi setiap tindakan kurator. Dalam putusan pernyataan
pailit harus diangkat seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim
Pengadilan Niaga.
Tugas hakim pengawas ialah mengawasi pengurusan dan pemberesan
harta pailit yang dilakukan oleh kurator, dan sebelum memutuskan sesuatu yang
ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, Pengadilan
Niaga wajib mendengar nasihat terlebih dahulu dari hakim pengawas. Tugas-tugas
dan kewenangan hakim pengawas adalah sebagai berikut:29
a. Memimpin rapat verifikasi;
b. Mengawasi tindakan dari kurator dalam melaksanakan tugasnya;
memberikan nasihat dan peringatan kepada kurator atas pelaksanaan tugas
tersebut;
c. Menyetujui atau menolak daftar-daftar tagihan yang diajukan oleh para
kreditur;
29
d. Meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikannya dalam rapat
verifikasi kepada hakim Pengadilan Niaga yang memutus perkara itu;
e. Mendengar saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan
kepailitan (misalnya: tentang keadaan budel, perilaku pailit dan
sebagainya);
f. Memberikan izin atau menolak permohonan si pailit untuk berpergian
(meninggalkan tempat) kediamannya.
Ketentuan mengenai hakim pengawas dalam kepailitan terletak pada UUK
dan PKPU pada bagian ketiga paragraf 1 Pasal 65-68.
2. Kurator
Kurator merupakan salah satu pihak yang cukup memegang peranan
dalam suatu proses perkara pailit. Dan karena peranannya yang besar dan
tugasnya yang berat, maka tidak sembarangan orang dapat menjadi pihak kurator.
Dalam Pasal 69 UUK dan PKPU disebutkan, tugas kurator adalah melakukan
pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.
Karena itu pula maka persyaratan dan prosedur untuk dapat menjadi
kurator ini oleh UUK dan PKPU diatur secara relatif ketat. Sewaktu masih
berlakunya peraturan kepailitan zaman Belanda, hanya Balai Harta Peninggalan
(BHP) saja yang dapat menjadi kurator tersebut. Dalam Pasal 70 ayat (1) UUK
dan PKPU disebutkan, yang dapat bertindak menjadi kurator sekarang adalah
sebagai berikut :
a. Balai Harta Peninggalan (BHP).
Untuk jenis kurator lainnya, dalam Pasal 70 ayat (2), (a), (b) UUK dan
PKPU disebutkan, yaitu kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan adalah
mereka yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang
mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan
atau membereskan harta pailit.
b. Telah terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan Pasal 70 ayat(2) huruf (a) UUK dan PKPU disebutkan,
yang dimaksud dengan keahlian khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus
pendidikan kurator dan pengurus. Dalam penjelasan Pasal 70 ayat(2) huruf (b)
UUK dan PKPU disebutkan, yang dimaksud dengan terdaftar adalah telah
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan anggota aktif
organisasi profesi kurator dan pengurus.
Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan maka debitur
pailit tidak lagi berhak melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Oleh
karena itu, untuk melindungi kepentingan, baik debitur pailit sendiri maupun
pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan debitur pailit sebelum pernyataan
pailit dijatuhkan, UUK dan PKPU telah menunjuk kurator sebagai satu-satunya
pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan harta
pailit, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan
Tugas kurator pengurus dapat dilihat pada job description dari kurator pengurus, karena setidaknya ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan kepada
kurator pengurus dalam hal proses kepailitan, yaitu:
a. Sebagai kurator sementara
Kurator sementara ditunjuk dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan
debitur melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan hartanya,
selama jalannya proses beracara pada pengadilan sebelum debitur
dinyatakan pailit. Tugas utama kurator sementara adalah untuk:
1) Mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan
2) Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator
(Pasal 7 UUK dan PKPU).Secara umum tugas kurator sementara tidak
banyak berbeda dengan pengurus, namun karena pertimbangan
keterbatasan kewenangan dan efektivitas yang ada pada kurator
sementara, maka sampai saat ini sedikit sekali terjadi penunjukan
kurator sementara.
b. Sebagai pengurus
Pengurus ditunjuk dalam hal adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU). Tugas pengurus hanya sebatas menyelenggarakan
pengadministrasian proses PKPU, seperti misalnya melakukan
pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditur, ditambah dengan
pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh
dapat merugikan hartanya.Perlu diketahui bahwa dalam PKPU debitur
masih memiliki kewenangan untuk mengurus hartanya sehingga
kewenangan pengurus sebatas hanya mengawasi belaka.
c. Sebagai kurator
Kurator ditunjuk pada saat debitur dinyatakan pailit, sebagai akibat dari
keadaan pailit, maka debitur kehilangan hak untuk mengurus harta
kekayaannya, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit
jatuh ke tangan kurator. Dari berbagai jenis tugas bagi kurator dalam
melakukan pengurusan dan pemberesan, maka dapat disarikan bahwa
kurator memiliki beberapa tugas utama, yaitu:
1) Tugas administratif
Dalam kapasitas administratifnya, kurator bertugas
untukmengadministrasikan proses-proses yang terjadi dalam
kepailitan, misalnya melakukan pengumuman (Pasal 13 ayat (4) UUK
dan PKPU); mengundang rapat-rapat kreditur ; mengamankan harta
kekayaan debitur pailit; melakukan inventarisasi harta pailit (Pasal 91
UUK dan PKPU); serta membuat laporan rutin kepada hakim
pengawas (Pasal 70 ayat (1) UUK dan PKPU). Dalam menjalankan
kapasitas administratifnya kurator memiliki kewenangan antara lain:
a) Kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti paksa badan
(Pasal 84 ayat (1)UUK dan PKPU).
b) Melakukan penyegelan (bila perlu) (Pasal 90 ayat (1) UUK dan
2) Tugas mengurus/mengelola harta pailit
Selama proses kepailitan belum sampai pada keadaan insolvensi
(pailit), maka kurator dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha
debitur pailit sebagaimana layaknya organ perseroan (direksi) atas ijin
rapat kreditur (Pasal 95 ayat (1)UUK dan PKPU). Pengelolaan hanya
dapat dilakukan apabila debitur pailit masih memiliki suatu usaha
yang masih berjalan.
Kewenangan yang diberikan dalam menjalankan pengelolaan ini
termasuk diantaranya :
a) Kewenangan untuk membuka seluruh korespondensi yang
ditujukan kepada debitur pailit (Pasal 14 junto Pasal 96 UUK dan
PKPU).
b) Kewenangan untuk meminjam dana pihak ketiga dengan dijamin
dengan harta pailit yang belum dibebani demi kelangsungan usaha
(Pasal 67 ayat (4) UUK dan PKPU).
c) Kewenangan khusus untuk mengakhiri sewa, memutuskan
hubungan kerja, dan perjanjian lainnya.
3) Tugas melakukan penjualan dan pemberesan
Tugas yang paling utama bagi kurator adalah untuk melakukan
pemberesan. Maksudnya pemberesan di sini adalah suatu keadaan
dimana kurator melakukan pembayaran kepada para kreditur
konkuren dari hasil penjualan harta pailit.
Pada prinsipnya, suatu panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak
kreditur, sehingga panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala
kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada dua macam panitia kreditur yang
diperkenalkan oleh UUK dan PKPU, yaitu:
a. Panitia kreditur sementara
Dalam Pasal 79 UUK dan PKPU disebutkan, dalam putusan pailit atau
dengan penetapan kemudian, pengadilan dapat membentuk panitia kreditur
(sementara) yang terdiri dari satu sampai tiga orang yang dipilih dari
kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator.
Yang dimaksud dengan kreditur yang sudah dikenal adalah kreditur yang
sudah mendaftarkan diri untuk diverifikasi.
b. Panitia kreditur tetap
Pasal 72 UUK dan PKPU menyatakan bahwa setelah pencocokan utang
selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan pada para kreditur
untuk membentuk panitia kreditur tetap.
D. Pemberesan Harta Pailit
Pemberesan merupakan salah satu tugas yang dilakukan oleh kurator
terhadap pengurusan harta debitur pailit. Dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UUK
dan PKPU dijelaskan bahwa yang dimaksud pemberesan adalah penguangan
setelah debitur berada dalam keadaan insolvensi, dimana insolvensi baru dapat
terjadi bila:30
1. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian.
2. Apabila ada penawaran perdamaian oleh si pailit maupun oleh kurator, tetapi
tidak disetujui oleh para kreditur dalam rapat verifikasi (pencocokan piutang).
3. Apabila terdapat perdamaian dan disetujui oleh para kreditur dalam rapat
verifikasi tetapi tidak mendapat homogolasi (pengesahan) oleh hakim
pemutusan kepailitan.
Berikut ini diuraikan tentang hal-hal yang dilakukan dalam tahap
pemberesan harta pailit :
1. Mengusulkan agar perusahaan debitur pailit dilanjutkan
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian
atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, kurator atau
kreditur yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan debitur
pailit dilanjutkan.31
30
Republik Indonesia. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 178 ayat (1).
31
Republik Indonesia. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 179 ayat (1).
Usulan untuk melanjutkan perusahaan dalam rapat tersebut
wajib diterima, apabila usul tersebut disetujui oleh kreditur yang mewakili lebih
dari ½ dari semua piutang yang diakui dan diterima sementara, yang tidak dijamin