• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang lain yang lazimnya dituangkan dalam suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit. Orang yang meminjamkan uang disebut kreditur, sedangkan yang meminjam uang disebut debitur. Debitur wajib membayarkan utangnya kepada kreditur sebagaimana yang diperjanjikan. Apabila debitur ingkar janji, kreditur dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga agar debitur dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.1

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudiaan hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurtor dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk

1

Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta : Tatanusa, 2012), hlm.1.

(2)

membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur.2

Setelah putusan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum maka putusan itu menjadi mengikat secara hukum. Pernyataan pailit mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan. Ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya oleh UUK-PKPU sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, maka yang berhak membagi harta debitur pailit dan melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan terhadap harta debitur tersebut adalah kurator sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU). Pemberesan harta pailit merupakan fase yang paling ditunggu-tunggu oleh Kreditur. Pemberesan dilakukan setelah harta pailit berada dalam kedaan insolvensi. Pemberesan harta pailit dari debitur pailit yang mempunyai perusahaan sudah dapat dilakukan apabila telah ada kepastian bahwa perusahaan debitur pailit tidak akan dilanjutkan atau apabila kelanjutannya sudah dihentikan. Pemberesan harta pailit yang menjadi tugas dan tanggungjawab kurator dilakukan dengan cara menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan dari debitur pailit. Penjualan dapat dilakukan secara lelang maupun dibawah tangan. Hasil

2

(3)

penjualannya dibagikan secara proporsional atau secara seimbang kepada kreditur.3

Pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh pihak kurator dan diawasi oleh hakim pengawas, tidak selamanya berjalan dengan baik dan benar. Hal ini selalu disertai dengan adanya kendala atau hambatan eksternal yang terjadi dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut, seperti:

1. Lambatnya penetapan tentang pernyataan pailit debitur yang dikirimkan oleh pengadilan niaga kepada kurator;

2. Ketidakcermatan pengadilan niaga dalam memeriksa harta kekayaan dari debitur pailit;

3. Tidak kooperatifnya instansi lain terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit;

4. Debitur tidak kooperatif terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit.4 Didalam UUK-PKPU ruang lingkup debitur beritikad tidak baik adalah debitur pailit yang dengan sengaja tanpa suatu alasan tidak sah tidak memenuhi kewajiban hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) UUK-PKPU, yakni kewajiban pengamanan terhadap semua harta pailit, panggilan untuk memberikan keterangan atau menghadiri rapat pencocokan piutang. Sedangkan ruang lingkup yang dimaksud dengan debitur beritikad tidak baik dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000

3

Syamsudin M.Sinaga, Op.Cit, hlm. 203.

4Sarifani Simanjuntak,”Prinsip Transparansi dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta

(4)

Tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutya disebut Perma No.1 Tahun 2000) adalah debitur, penanggung atau penjamin utang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utang-utangnya. Debitur pailit yang tidak kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat dilakukan penahanan (gijzeling). Dalam UUK-PKPU tujuan diterapkannya gijzeling adalah semata-mata untuk menekan debitur pailit agar kooperatif dalam proses kepailitan seperti harus hadir dalam rapat pencocokan piutang serta memberikan keteragan yang diperlukan. Sedangkan tujuan gijzeling dalam HIR adalah untuk menekan debitur dengan cara memaksa agar debitur membayar utangnya meskipun si debitur tersebut sudah tidak memiliki harta dengan harapan kerabatya ikut membayar utang tersebut. Adapun tujuan gijzeling dalam Perma No 1 Tahun 2000 adalah lebih ditujukan kepada debitur atau penjamin utang yang mampu akan tetapi tidak mau membayar utang-utangnya.

Adapun pihak yang berhak mengajukan permohonan paksa badan ini adalah atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas. Permohonan diajukan kepada Pengadilan Niaga. Sedangkan pelaksana dari paksa badan ini adalah jaksa yang ditujuk oleh hakim pengawas. Pelaksanaan paksa badan ini dilakukan baik ditempatkan di rumah tahanan negara maupun dirumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.5

Terhadap perbuatan debitur pailit yang tidak kooperatif atau dapat mengakibatkan kerugian bagi kreditur dapat dilakukan pembatalan yaitu dengan

5

(5)

mengajukan gugatan actio pauliana. Actio pauliana diatur dalam Pasal 41 – 47 UUK-PKPU. Actio pauliana diajukan oleh kurator atas persetujuan hakim pengawas. Gugata actio pauliana dalam kepailitan disyaratkan bahwa debitur da pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Pengajuan actio pauliana diajukan ke Pengadilan Niaga. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang-undang ini diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.6

Berdasarkan uraian tersebut, hal mengenai akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, merupakan sesuatu yang penting untuk diteliti.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur? 2. Bagaimana tindakan debitur yang dikategorikan sebagai perbuatan tidak

kooperatif?

3. Bagaimana akibat hukum perbuatan tidak kooperatif Debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit ?

6

(6)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan manfaat dan tujuan yang hendak dicapai, yaitu :

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur.

b. Untuk mengetahui bagaimana perbuatan debitur yang dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak kooperatif.

c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum perbuatan tidak kooperatif debitur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

2. Manfaat penulisan

Mengenai manfaat akan hasil penelitian skripsi ini terhadap rumusan masalah yang telah diuraikan, dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat yaitu :

a. Manfaat teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan teoritis bagi penulis dan pembaca untuk menambah pengetahuan beserta pemahaman mengenai hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia.

(7)

b. Manfaat praktis

Agar debitur mengetahui akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta debitur menurut UUK-PKPU. Agar debitur mengetahui bagaimana akibat hukum atas perbuatan tidak kooperatif debitur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai

Akibat Hukum Perbuatan tidak Kooperatif Debitur Pailit dalam

Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit “. Oleh karena itu, penulisan skripsi

ini merupakan ide asli, kalaupun terdapat judul yang hampir sama dengan judul ini tetapi substansi pembahasannya berbeda. Adapun judul yang hampir sama

yaitu “ Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit atas Debitur Kredit Sidikasi “

yang ditulis oleh Lindia Halim pada tahun 2001, Program Studi Hukum Ekonomi

dan “ Penanaman dan Tanggungjawab Kurator dalam Pengurusan Harta Pailit “

(8)

E. Tinjauan Pustaka

Kepentingan perkembangan perdagangan yang semakin cepat, meningkat, dan dalam skala yang lebih luas dan global, masalah utang piutang baik perorangan maupun perusahaan semakin rumit dan membutuhkan aturan hukum yang efektif.7 Karena itu perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan.8

Kepailitan adalah dimana debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga debitur yang bersangkutan dapat memohon sendiri ataupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya ke Pengadilan untuk dinyatakan pailit.9 Secara umum kepailitan sering diartikan sebagai suatu sitaan umum atas seluruh kekayaan debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dengan para krediturnya atau agar kekayaan debitur dapat dibagi-bagikan secara adil diantara para krediturnya.10

Syarat kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yang menyatakan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

7

Sunarmi, Hukum Kepailitan ( Jakarta : Softmedia, 2010), hlm. 1.

8

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm.69.

9

Riduan Syahrini, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata ( Banjarmasin : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm .179.

10

(9)

pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Kepailitan menyebabkan debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan sebagaimana sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak berlaku terhadap :

1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.

2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggaian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.

3. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban member nafkah menurut undang-undang.

(10)

para kreditur yang dilakukan setelah pengurusan harta pailit selesai.11 Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU menyebutkan:” dalam melaksanakan tugasnya kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau peyampaian pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan dan dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga dalam rangka meningkatkan harta pailit”.

Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Pada ketentuan Pasal 21 UUK-PKPU secara tegas

dinyatakan bahwa : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada

saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung”.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan tidak hanya debitur dan kreditur saja, tetapi ada juga hakim pengawas dan kurator. Menurut Pasal 1 angka (3) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan dan yang dimaksud dengan debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Sedangkan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.12

11

http://dali-telaumbanua.blogspot.com/2012/06/dt-15-akibat-hukum-kepailitan.html (diakses pada 06 Maret 2015).

12

(11)

Selama melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, tidak jarang kurator menemui hambatan. Salah satu pengahambat tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah adanya perbuatan tidak kooperatif dari debitur pailit. Menurut Pasal 1 huruf b Perma Nomor 1 Tahun 2000, yang

dimaksud dengan debitur tidak beritikad baik adalah “debitur, penanggung atau

penjamin yang tidak mau memenuhi kewajibannya membayar utang-utangnya,

padahal mampu untuk memenuhinya.”13 Terhadap debitur pailit dapat dikenakan

paksa badan yang terutama ditujukan apabila si debitur pailit tidak kooperatif dalam pemberesan kepailitan. Paksa badan merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitur pailit, atau direksi dan komisaris dalam hal yang pailit adalah perseroan terbatas, benar-benar membantu tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.14

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji serta mengembangkan ilmu pengetahun.15 Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yag digunakan antara lain :

13

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa badan, Pasal 1.

14

M.Hadi Shuban, Op.Cit., hlm.179.

15

(12)

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normative. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum. Dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.16 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan skunder yaitu inventrisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat dan dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.

2. Data penelitian

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.17 Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dibidang kepailitan, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

16

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.

17

(13)

b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

c. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Bahan hukum tertier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pegumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan cara membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku litaratur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari dari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari tekhnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalah penelitian.18

4. Analisa data

18

(14)

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.19

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TERHADAP

HARTA KEKAYAAN DEBITUR

19

(15)

Bab ini berisi tentang syarat permohonan pernyataan pailit, tahapan permohonan pernyataan pailit, akibat hukum pernyataan pailit terhadap harta kekayaan debitur dan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

BAB III TINDAKAN DEBITUR YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF

Bab ini memberikan penjelasan mengenai pengertian perbuatan tidak kooperatif, ruang lingkup perbuatan tidak kooperatif debitur pailit dalam pegurusan dan pemberesan harta pailit menurut UUK-PKPU dan perbuatan tidak kooperatif debitur pailit yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.

BAB IV AKIBAT HUKUM PERBUATAN TIDAK KOOPERATIF

DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN

PEMBERESAN HARTA PAILIT

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, untuk mengetahui lebih dalam proses pembel- ajaran SBK, baik seni rupa dan keterampilan maupun seni musik di kelas V SD Singapore

Menurut kajian Garfield dan Ben-Zvi (2007) perlaksaan model tersebut di dalam kelas akan memberi impak yang besar kepada pelajar dalam memahami statistik. SRLE

 Motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar terdorong untuk bertindak melakukan

Rumusan pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia.. Yang di sah kan oleh

Berbagai upaya yang terus dilakukan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan tersebut adalah kerjasama resiprokal pembebasan visa masuk Indonesia –

Ketiga, hasil penelitian menemukan beberapa hubungan variable yang signifikan dalam memengaruhi penurunan rasio pembiayaan sektor konstruksi, sehingga pada penelitian

Menurut Mani dan Krishnamoorthy2005, terdapat lebih kurang 80 spesies perosak jambu batu, namun hanya beberapa spesies dikenalpasti sebagai serangga perosakutama

Dimensi pelayanan keagamaan memiliki nilai HSQ-Metrix nol yang berarti para responden memiliki tingkat kepuasan yang standar atau tidak terjadi kesenjangan antara