• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Daftar Pustaka

A. Buku

Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Empat. Jakarta: Pradnya Pratama, 1983.

Arifin, Syamsul. Pengantar Falsafah Hukum. Bandung: Cipustaka Media, 2014.

Fuady, Munir. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi Revisi. Malang: UMM Press, 2007.

Huizink, MR. J. B. Insolventie, alih bahasa Linus Dolujawa. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.

Malik, Edward. Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan. Bandung: CV. Bandar Maju, 2012.

M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Sinaga, Syamsudin. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: Tianusa,2012.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

ST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

(2)

Sunarmi. Hukum Kepailitan Edisi 2. Medan: PT. Sofmedia, 2010.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Ed. Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.

Syahdeini, Sultan Remi. Hukum Kepailitan, Memahami

Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

B. Karya Tulis Ilmiah

Fence M. Wantu. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”. Jurnal Berkala Mimbar Hukum,Vol.19 No.3 Oktober 2007. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Erman Rajagukguk, Erman. “Bagaimana Penahanan Bisa Dianggap Positif” .

Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

C. Peraturan-Peraturan

Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Acara Pidana.

Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia. PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

(3)

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Republik Indonesia. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di lembaga perlindungan saksi dan korban.

D. Website

Mekanisme Proses Penahanan dalam Hukum Pidana.

Mulyasi W. “Gizeling dalam Perkara Pajak”. http://eprints.undip.ac.id /15739 /1 / Mulyatsih_Wahyumurti.pdf (diakses pada tanggal 30 Desember 2014).

Pramudya, Kelik .“Hukum Kepailitan di Indonesia”.

Oktober 2014).

Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli. (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Penyelesaian Hutang-Piutang dengan Paksa Badan.

Perlindungan Hukum Esensial. (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Permohonan Gizjeling dalam Perkara Kepailitan.

Simanjuntak, Ricardo. “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan Dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan”. Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, Januari 2002 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).

(4)

lib.ugm.ac.id / jurnal /download.php?dataId%3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+ badan&hl=id&gl=id (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Tumbuan, Fred B.G.. “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang diubah Perpu No. 1/1998”. Newsletter No. 33/IX/Juni/1998 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).

(5)

BAB III

PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITAN

A. Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan

Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta

pailitnya, namun ia tetap harus bekerja sama dalam pemberesan dan pengurusan

harta pailit agar semua proses dapat berjalan dengan baik. Namun, kadang kala

terdapat debitur pailit yang tidak beritikad baik, seperti enggan melunasi

utang-utangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri,

sehingga menyebabkan terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta

pailit. Debitur pailit yang tidak beritikad baik seperti inilah yang dapat ditahan.

Penahanan dalam kepailitan selain mengacu pada ketentuan yang ada

dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang

Lembaga Paksa Badan. Namun apabila ketentuan penahanan dalam Perma Nomor

1 Tahun 2000 bertentangan dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, ketentuan

dalam UUK dan PKPU-lah yang akan digunakan, karena sesuai dengan hierarki

perundang-undangan, undang-undang lebih kuat kedudukannya dibanding Perma.

Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut gijzeling merupakan

lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Menurut R. Susilo,

(6)

dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk

memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud paksa badan adalah upaya paksa tidak

langsung dengan memasukkan debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rumah

tahanan negara yang ditetapkan pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan

memenuhi kewajibannya.56

Perlu diketahui pula, paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku

bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan

dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang

tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.

Dahulu, lembaga gizjeling (penyanderaan) pernah dibekukan oleh

Mahkamah Agung dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964

dan Nomor 4 Tahun 1975. Alasan dibekukannya gijzeling adalah karena dinilai

bertentangan dengan HAM. Saat itu gijzeling menjadi alat untuk memaksa secara

fisik dan yang sering menjadi korban adalah debitur dari kalangan rakyat yang

benar-benar tak mampu melunasi utangnya. Pada masa itu, gizjeling diartikan

sebagai penyanderaan. Namun, karena dipandang tidak tepat karena tidak

mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tapi tidak mau memenuhi

kewajibannya dalam membayar utang, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang

Lembaga Paksa Badan, penerjemahannya pun disempurnakan menjadi paksa

badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian Imprisonment for Civil Debts

yang berlaku secara universal.

56

(7)

Setelah dibentuknya Perma Nomor 1 Tahun 2000, gizjeling (paksa badan)

tetap berlaku dalam bidang kepailitan (namun dalam UUK dan PKPU dikenal

dengan sebutan penahanan) dan dapat diterima oleh Pengadilan Niaga apabila ada

alasan untuk itu dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh

undang-undang. Lembaga paksa badan (gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang

dikenal dalam hukum untuk proses penegakan hukum. Penegakan hukum melalui

lembaga sandera secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma

Nomor 1 Tahun 2000. Ada dua hal yang patut dicermati dalam Perma Nomor 1

Tahun 2000 ini, yaitu:57

a. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis

diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi utang pokok;

b. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan

seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan

pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin utang yang dapat

diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi tidak mau membayar

utangnya.

Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan

pokok perkara, demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun

2000. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa

permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan

terhadap debitur yang bersangkutan. Namun sepanjang kewajiban debitur

57

(8)

didasarkan atas pengakuan utang, menurut Pasal 7, paksa badan dapat diajukan

tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

Penahanan bagi debitur pailit ini ditetapkan :

a. Dalam putusan pailit;

b. Setiap waktu dalam putusan pailit.

Penahanan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat

sebagai berikut :

a. Dalam penjara; atau

b. Di rumah tahanan.

c. Di rumah seorang kreditur.

Pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang tidak beritikad baik

dijalankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal

242 sampai dengan 258 RBg. Adapun penjabaran kedua pasal tersebut adalah :

a. Jika tidak ada atau tidak cukup barang guna menjalankan putusan maka

atas permintaan pihak yang menang dalam perkara tersebut baik secara

lisan maupun dengan surat kepada orang yang berwenang untuk

menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut disanderakan.

b. Lamanya orang yang berutang dapat disanderakan dalam surat perintah itu

mengenai lamanya waktu ia disandera.

Adapun penjabaran pasal-pasal lainnya dalam HIR dan RBg berkaitan

dengan lembaga paksa badan atau penyanderaan adalah:

(9)

1) Penyanderaan dilakukan selama 6 bulan lamanya jika ia dihukum

membayar sampai Rp 100 Pasal 244 RBg (Seratus rupiah) dan selama

1 tahun jika lebih dari Rp100 sampai dengan Rp 300 dan selama 2

tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 300 sampai dengan Rp

500 dan selama 3 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 500.

2) Biaya perkara tidak termasuk ke dalam uraian jumlah tersebut diatas.

Mengenai lama penyanderaan sebagaimana yang dimaksud dalam

HIR/RBg demikian juga yang terdapat dalam Perma, Hakim Bismar

Siregar berpendapat bahwa lama penyanderaan disesuaikan dengan

besarnya kewajiban yang harus dilunasi pihak yang kalah.

b. Pasal 244 RBg

Penyanderaan terhadap orang-orang yang telah berumur lebih dari enam

puluh lima tahun, hanya diperbolehkan menurut peraturan-peraturan yang

ada atau yang akan dikeluarkan nanti.

c. Pasal 211 HIR/Pasal 245 RBg

Anak dan turunan kebawah sekali-kali tidak dapat memerintahkan

penyanderaan kepada keluarganya sedarah dan keluarga semenda dalam

turunan keatas.

d. Pasal 212 HIR/Pasal 246 RBg Terhadap orang yang berutang yang tidak

dapat disanderakan :

1) Di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan keagamaan

(10)

2) Didalam tempat dimana kekuasaan umum bersidang dan selama ada

persidangan.

Pasal 212 HIR memberi batasan negatif, bahwa seseorang tidak dapat

disanderakan di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan ibadah

agama, selama ada kebaktian dan pada tempat-tempat di mana kuasa

umum bersidang.

e. Pasal 213 HIR/Pasal 247 RBg

1) Jika orang yang berutang itu mengajukan perlawanan terhadap

pelaksanaan penyanderaan itu berdasarkan pernyataan bahwa

perbuatan itu melanggar hukum dan atas itu dia minta keputusan itu

dengan segera, maka dia harus memasukkan surat kepada ketua

pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu atau jika

orang itu menghendaki agar dia dibawa menghadap pegawai dalam

kedua hal itu harus diputuskan dengan segera, layak tidaknya orang

yang berutang itu disanderakan dahulu sambil menunggu keputusan

pengadilan negeri.

2) Pasal 128 ayat ke 4, 6 dan 7 HIR dan Pasal 252 ayat 5, 7 dan 8 RBG

berlaku pula dalam hal ini.

3) Jika orang yang berutang mengajukan perlawanan dengan surat maka

dapatlah dia dijaga agar tidak melarikan diri sambil menunggu

keputusan dari ketua

4) Jika jaksa yang dikuasakan telah memerintahkan penyanderaan, maka

(11)

penyanderaan dimohonkan secara lisan maka catatan mengenai itu

beserta penetapannya kepada ketua pengadilan negeri.

f. Pasal 214 HIR/Pasal 248 RBg

Orang yang berutang yang tidak mengajukan perlawanan atau yang

perlawanannya ditolak dengan segera harus dibawa kedalam penjara

tempat penyanderaan.

g. Pasal 249 ayat (1) RBg

Pegawai yang melaksanakan putusan guna penyanderaan dapat

menyandera setelah memperlihatkan surat perintah akan menyandera

kepada jaksa dan menuliskan hal itu pada surat perintah itu.

Paksa badan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini berbeda

dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitur mampu, tetapi

membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun

2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitur "kelas kakap" yang

mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah).

Perbedaan mendasar antara penyanderaan dengan paksa badan adalah

bahwa setiap atau semua debitur dapat diperintahkan menjalani penyanderaan

/paksa badan bila tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan dalam putusan

pengadilan. Kriteria gijzeling apabila harta kekayaan tidak ada atau tidak cukup

membayar kewajibannya. Sementara dalam ketentuan paksa badan yang diatur

dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tidak ditimpakan dan diterapkan terhadap

(12)

sesuai dengan patokan dan tidak memenuhi kewajiban membayar kembali

utangnya padahal mampu untuk melakukannya.

Perbedaan lainnya antara gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBG

dengan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 adalah bahwa adanya

batasan umur yang dapat dikenakan yaitu maksimal harus berusia 75 tahun,

sehingga debitur yang berusia diatas 75 tahun tidak dapat dikenakan meskipun

beritikad buruk, sementara dalam HIR dan RBG tidak terdapat batasan umur

Dalam prakteknya, pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2000 masih sulit

dilakukan, walaupun Perma tersebut khususnya dalam Pasal 4 telah tegas

menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang tidak

beritikad baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah). Problematik yang utama adalah proses teknis pelaksanaan

permohonan paksa badan masih tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dan

kekhawatiran bagi hakim pengawas untuk melaksanakannya.58

Keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan diatur dalam Perma

Nomor 1 Tahun 2000 dan keberadaannya pada hakikatnya bertujuan sebagai

sarana kurator untuk mengikat debitur pailit agar beritikad baik sehingga proses

pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat berjalan dengan baik dan cepat.

B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004

58

(13)

Dasar penahanan debitur pailit yang tidak kooperatif terdapat dalam Pasal

93 yang merupakan prosedur umum penahanan, Pasal 94 yang merupakan alasan

pembebasan terhadap debitur pailit dan Pasal 95 merupakan penyebab ditahannya

seorang debitur pailit. Mengenai penahanan debitur pailit ini diatur dalam Pasal

31, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 UUK dan PKPU.

Sebelum putusan pailit diucapkan, seorang debitur juga dapat ditahan. Hal

ini tertera dalam Pasal 31 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa

putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan

pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai

sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu

putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur.

Dalam pasal ini, penyanderaan yang dimaksud adalah penyanderaan pajak, bukan

penyanderaan dalam kepailitan.

Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, debitur yang sedang dalam

penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.

Hal ini berarti sebelum putusan pailit boleh dilakukan penahanan terkait kepailitan

jika debitur melanggar ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000.

Debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan

pemberesan harta pailit, menurut UUK dan PKPU dapat ditahan, sesuai dengan

Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan

pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas,permintaan kurator,

(14)

pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan

di rumah tahanan negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan

jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

Kata “dapat” yang terdapat dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa tidak

semua debitur pailit dapat ditahan. Debitur pailit yang dapat ditahan berdasarkan

undang-undang ini hanyalah debitur yang sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UUK

dan PKPU yang menyatakan bahwa permintaan untuk menahan debitur pailit

harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa

debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 98 menyatakan bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus

melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan

semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan

memberikan tanda terima. Dalam pasal ini tersirat bahwa, jika debitur pailit

menghalangi kurator dalam melaksanakan pengamanan terhadap harta pailit atau

dalam kata lain tidak bersifat kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan aset,

maka ia dapat ditahan.

Pasal 110 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: “(1) Debitur Pailit wajib

menghadap Hakim Pengawas, Kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil

untuk memberikan keterangan.. (2) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit,

istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai

(15)

Dalam pasal ini tertera bahwa debitur yang sudah dinyatakan pailit

walaupun tidak dapat mengurusi harta pailitnya lagi, namun ia tetap diperlukan

dalam kerja sama dalam rapat verifikasi, yaitu memberikan keterangan yang tepat

pada kurator yang sedang menyusun catatan daftar utang.

Pasal 121 berbunyi : “(1) Debitur Pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. (2) Kreditur dapat meminta keterangan dari Debitur Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim Pengawas. (3) Pertanyaan yang diajukan kepada Debitur Pailit dan jawaban yang diberikan olehnya, wajib dicatat dalam berita acara.”

Jadi, dalam UUK dan PKPU dikenal 2(dua) jenis penahanan, yaitu

penahanan yang wajib dikabulkan dan penahanan yang tidak wajib dikabulkan.

Penahanan yang wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 95 UUK dan PKPU, dimana

bila debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2), ia

wajib ditahan. Ketentuan dalam Pasal 95 ini bersifat limitatif, karena hanya ketiga

pasal ini (Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)) yang membuat

seorang debitur wajib ditahan jika melanggarnya dan frase “sebagaimana

dimaksud dalam” menekankan bahwa undang-undang mengakui bahwa hanya

pelanggaran terhadap 3 (tiga) pasal di atas yang dapat membuat permintaan

penahanan seorang debitur pailit wajib dikabulkan.

Sedangkan, penahanan yang tidak wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 93

ayat (1), dimana hakim pengadilan atas usul hakim pengawas,permintaan kurator,

atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim

pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan. Usulan hakim

(16)

seorang debitur pailit ditahan. Ditahan atau tidaknya debitur pailit tergantung

kepada kebijakan hakim pengadilan itu sendiri, sehingga dalam hal ini penahanan

didasarkan pada pemikiran hakim yang bersifat subjektif.

Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 94 ayat (1) dan (2) UUK dan

PKPU, pengadilan juga berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul

hakim pengawas atau atas permohonan dabitur pailit dengan jaminan uang dari

pihak ketiga bahwa debitur pailit setiap waktu akan menghadap atas panggilan

pertama dan jumlah uang jaminan tersebut ditetapkan oleh pengadilan dan apabila

debitur pailit tidak dapat menghadap maka uang jaminan tersebut menjadi

keuntungan harta pailit. Dan apabila dalam hal diperlukan kehadiran debitur pailit

pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit maka apabila debitur

berada didalam tahanan, debitur pailit dapat diambil dari tempat tahanan tersebut

atas perintah hakim pengawas dan dilaksanakan oleh kejaksaan, sesuai dengan

Pasal 96 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU. Namun, dengan dilepasnya debitur

pailit bukan berarti bahwa dia dapat melakukan apa saja, ia dikenakan larangan

untuk meninggalkan tempat kediamannya. Pencekalan ini berlaku demi hukum

ketika putusan pailit diputuskan. Pencekalan dalam bidang kepailitan ini berarti

pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk berangkat ke

luar negeri atau tidak, kecuali jika hakim pengawas memberikan izin untuk itu.

Selama kepailitan, debitur pailit tidak diperbolehkan meninggalkan

domisilinya atau tempat tinggal/kediaman debitur pailit tersebut tanpa izin dari

hakim pengawas, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 UUK dan PKPU, hal

(17)

diperlukan kehadirannya untuk kepentingan pemeriksaan serta agar debitur pailit

tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kreditur.

Sebelum adanya undang-undang kepailitan, kewenangan absolut untuk

menerima, memeriksa dan mengadili permohonan kepailitan ada pada peradilan

umum namun setelah dibentuknya Pengadilan Niaga, kewenangan peradilan

umum dalam menerima, memeriksa dan mengadili berpindah menjadi

kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum,

sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1998 sebagaimana diubah pada Pasal 300 ayat (1) UUK dan PKPU, yang

menyatakan bahwa dengan ketentuan ini, semua permohonan penyataan pailit dan

penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya

Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti undang-undang ini, hanya dapat diajukan kepada

Pengadilan Niaga.

Dengan kata lain, UUK dan PKPU hanya mengatakan bahwa penahanan

hanya dikenakan jika debitur meninggalkan tempat tinggalnya dengan tanpa

meminta izin dari hakim pengawas dan tidak menjadi permasalahan bila telah

meminta izin hakim pengawas, kedua bila tidak hadir memberi keterangan jika

dipanggil dan ketiga tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang. Permohonan

paksa badan hanya wajib dikabulkan berdasarkan UUK dan PKPU tersebut hanya

jika debitur tidak memenuhi syarat adminsitratif dan tidak kooperatif selama masa

pengawasan hakim maupun kurator dan bukan karena keengganan atau

(18)

C. Akibat Hukum Penahanan Debitur Pailit terhadap Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit

Segala putusan hukum yang dijatuhkan terhadap debitur pailit akan

menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang

dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang

diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum

yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki

hukum.

Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari

segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek

hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu

oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat

hukum. Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi

subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Salah satu akibat hukum yang timbul

setelah adanya putusan pailit adalah berkaitan dengan penahanan debitur pailit.

Hak pengadilan untuk menahan debitur pailit muncul jika dalam proses

pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit, debitur bersifat tidak

kooperatif, yang ketentuan mengenai penahanan diatur dalam Pasal 93-96 UUK

dan PKPU, sedangkan kewajiban pengadilan dalam melaksanakan penahanan

terhadap debitur pailit adalah mengikuti prosedur penahanan yang telah diatur

dalam UUK dan PKPU sehingga dapat memberikan perlindungan hukum dan

(19)

Kewajiban untuk menjalani penahanan harus dilaksanakan oleh debitur

pailit jika debitur beritikad tidak baik dalam proses pengurusan dan pemberesan

dan hak debitur pailit yang ditahan adalah mendapatkan perlakuan yang layak dan

ditahan sesuai dengan prosedur penahanan dalam UUK dan PKPU, sehingga tidak

terjadi penyelewengan hukum yang dapat menimbulkan kerugian pada debitur

pailit.

Penahanan dalam perdata adalah paksa badan. Walaupun yang dimaksud

penahanan dalam UUK dan PKPU adalah paksa badan, namun terminologi yang

digunakan dalam UUK dan PKPU adalah penahanan. Penahanan ditujukan

kepada debitur pailit yang beritikad tidak baik sehingga debitur dapat dipaksa

untuk bersikap koopratif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Secara

prinsipnya, penahanan mempermudah pengurusan harta pailit, karena debitur

pailit akan menjadi lebih mudah ditemui jika diperlukan keterangan atau

bantuannya dalam hal pengurusan dan pemberesan. Selain itu, kurator merupakan

salah satu pihak yang dapat mengajukan permintaan penahanan, sehingga

menurutnya apabila debitur pailit ditahan, hal ini akan memudahkan proses

pengurusan dan pemberesan. Namun, ketika seorang debitur pailit ditahan,

pengurusan dan pemberesan harta pailit pasti akan terkena dampaknya.

Akibat-akibat hukum yang muncul karena adanya penahanan terhadap debitur pailit

antara lain:

1. Menurut Pasal 69 ayat (2) huruf a, dalam melaksanakan tugasnya, kurator

tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan

(20)

meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan

demikian dipersyaratkan. Dengan ditahannya debitur pailit, kurator akan lebih

mudah menemui debitur pailit jika diperlukan pemberitahuan atau

persetujuan, karena debitur dapat tetap ditemui di suatu tempat, sehingga

proses pengurusan dan pemberesan dapat cepat diselesaikan.

2. Menurut Pasal 77 ayat (1) UUK dan PKPU, setiap kreditur, panitia kreditur,

dan debitur pailit dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas

terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon kepada hakim

pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan

perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan.

Bila seorang debitur pailit ditahan, debitur tentu tidak dapat mengajukan surat

keberatan kepada hakim pengawas karena debitur sedang berada dalam

tahanan dan tidak mengetahui keadaan pasti dan perkembangan pengurusan

dan pemberesan, kecuali ketika diperlukan, debitur dapat dikeluarkan

sementara atas izin hakim pengawas. Pengeluaran sementara waktu debitur

tidak akan membuat seorang debitur mengetahui secara jelas perbuatan apa

saja yang dilakukan kurator dalam proses pengurusan dan pemberesan harta

pailit.

3. Menurut Pasal 179 ayat (1), jika dalam rapat pencocokan piutang tidak

ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang

ditawarkan tidak diterima, kurator atau kreditur yang hadir dalam rapat dapat

mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan. Bila debitur pailit

(21)

penahanannya abis atau debitur dilepas dengan uang jaminan, sehingga ia

tidak bisa menambah aset pailitnya. Padahal jika debitur masih aktif bekerja,

debitur tentu bisa mendapatkan dana tambahan sehingga meringankan utang

pailitnya sampai hakim pengawas memerintahkan kelanjutan perusahaan

dihentikan, dimana dalam hal ini debitur pailit juga dapat memberikan

usulnya pada hakim pengawas.

4. Menurut Pasal 186 UUK dan PKPU, untuk keperluan pemberesan harta pailit,

kurator dapat menggunakan jasa debitur pailit dengan pemberian upah yang

ditentukan oleh hakim pengawas. Jika debitur diberi upah, upah ini dapat

ditambah ke dalam harta pailit sehingga dapat meringankan sedikit

utang-utangnya. Dengan ditahannya seorang debitur pailit, debitur menjadi tidak

dapat membantu kurator apabila diperlukan dalam proses pemberesan. Hal ini

juga menyebabkan debitur selain tidak mendapatkan tambahan upah.

Bila dikaitkan dengan upaya penahanan, hakim pengawas dapat

melepaskan debitur pailit dari tahanan dengan atau tanpa memberikan uang

jaminan (yang jumlahnya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga) sebagai jaminan

bahwa atas panggilan yang pertama si debitur pailit tersebut dapat datang untuk

menghadap. Apabila debitur tidak datang untuk menghadap, uang jaminan

tersebut akan menjadi keuntungan harta pailit, sehingga akan mengurangi sedikit

beban dari harta pailit. Walaupun debitur pailit telah dilepas, bukan berarti ia

dapat melakukan segala sesuatu sesukanya. Pencekalan dalam bidang hukum ini

berarti pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk

(22)

izin untuk itu. Bila debitur pailit telah dilepas, maka debitur pailit harus bersifat

kooperatif agar memudahkan proses pengurusan dan pemberesan, karena apabila

debitur pailit beritikad tidak baik lagi, ia dapat kembali ditahan.

BAB IV

KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASI KETENTUAN

PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

37 TAHUN 2004

A. Asas Kepastian Hukum dalam Kepailitan

Asas, dalam pengertian sehari-hari, sering disebut sebagai prinsip, dasar,

landasan, acuan, dan sebagainya. Secara etimologi kata, asas ini dapat diterangkan

sebagai berikut:59

1. Dasar, alas, pondamen ; misalnya batu yang baik untuk rumah.

2. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir

(berpendapat dan sebagainya; misalnya : bertentangan dengan asas hukum

pidana ; pada asasnya saya setuju dengan usul saudara)

3. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya:

membicarakan asas dan tujuannya).

Teh Liang Gie sebagaimana dikutip oleh Sudikno,60

59

Syamsul Arifin, Pengantar Falsafah Hukum (Bandung: Cipustaka Media,2014), hlm. 102.

berpendapat bahwa,

Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa

60

(23)

menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada

serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

Kedudukan asas dalam hukum, menurut C.W.Paton, adalah sebagai suatu

alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu

norma hukum. Namun, Mahadi menjelaskan bahwa rumusan asas seperti yang

dihidangkan oleh Paton memberikan kesan seolah-oleh tiap norma hukum dapat

dikembalikan kepada asas, padahal kesan ini tidak beralasan.61 Namun, pada

umumnya, suatu norma itu tetap mempunyai asas yang melandasinya. Asas

hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang

oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.

Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit, akan

tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk- petunjuk bagi

hukum yang berlaku. Fungsi-fungsi asas hukum antara lain:62

1. Perundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai

pedoman bagi kerjanya.

2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan asas-asas hukum.

3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan

analogi.

4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan,

karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya.

61

Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm.103.

62

(24)

Ajaran Cita Hukum (Idee desRecht) menyebutkan adanya tiga unsur cita

hukum yang harus ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum

(rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).

Sekiranya dikaitkan dengan teori penegakan hukum sebagaimana disampaikan

oleh Gustav Radbruch dalam idee des recht yaitu penegakan hukum harus

memenuhi ketiga asas tersebut.63

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang bertujuan agar perkara kepailitan dapat

diselesaikan secara lebih cepat, adil dan terbuka. Selain itu, undang-undang ini

juga memberikan perlindungan hukum kepada pihak kreditur dan pihak debitur.

Pihak kreditur dapat memperoleh perlunasan secara proporsional dan mencegah

agar debitur tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para

kreditur, sedangkan pihak debitur dapat tetap melanjutkan usahanya.

Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi,

harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, UUK dan PKPU melaksanakan beberapa

prinsip dalam penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan. Prinsip-prinsip

tersebut merangkumi 5 (lima) hal, yaitu prinsip keadilan, prinsip penjatuhan pailit

bukan sebagai ultimun remidium, prinsip dapat diketahui oleh masyarakat umum

(terbuka), prinsip penyelesaian perkara secara cepat, dan prinsip pembuktian

secara sederhana.

63

Lihat Fence M. Wantu,“Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”,Jurnal

Berkala Mimbar Hukum,Vol.19, Nomor 3 Oktober 2007,Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas

(25)

Berdasarkan pengaturan dalam UUK dan PKPU, ketiga unsur penegakan

hukum tersebut telah terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Konsep

kepastian hukum tersimpul dalam prinsip penyelesaian perkara secara cepat dan

prinsip pembuktian secara sederhana. Unsur keadilan dalam penegakan hukum

tercermin dalam asas keadilan, sedangkan unsur kemanfaatan dapat dilihat

sebagaimana asas penjatuhan pailit sebagai cara paling akhir (ultimum remidium)

penyelesaian utang dan prinsip boleh diketahui oleh masyarakat umum

(terbuka).64

Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan

sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang

dikenakan peraturan ini. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada

kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini

untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian hukum yaitu adanya

kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga

masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum

dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang

konkret.65

Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum juga dapat tersimpul dari

syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU.

Dalam ketentuan ini menyebutkan bahwa bahwa debitur yang mempunyai dua

64

Lihat Tata Wijayanta,“Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 Nomor 2 Mei 2014, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 4.

65

(26)

atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik

atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut kepastian hukum

terhadap orang yang dijatuhi pailit jika telah memenuhi adanya tiga syarat, yaitu

harus ada utang; salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih; dan

debitur mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur.

Syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK

dan PKPU ini memang sangat sederhana. Debitur dengan kemampuan membayar

utang dapat dipailitkan oleh pengadilan ketika ketiga syarat kepailitan yaitu harus

ada utang; salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih; dan debitur

mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur secara normatif

terpenuhi.

B. Ketentuan Mengenai Syarat Penahanan Debitur Pailit

Penahanan dalam kepailitan bukan merupakan penahanan dalam ranah

pidana tapi merupakan penahanan dalam perdata yaitu gizjeling (paksa badan)

yang dikenal dengan penahanan dalam UUK dan PKPU. Oleh karena itu,

penahanan debitur pailit selain diatur dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam

Perma Nomor 1 Tahun 2000. Pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dapat

merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2000, apabila tidak diatur dalam UUK dan

(27)

PKPU). Namun, apabila terdapat pengaturan yang bertentangan, hakim harus

bertindak berdasarkan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUK dan PKPU.

Ketentuan mengenai syarat penahanan debitur pailit pun dapat dilihat dari

UUK dan PKPU. Dalam UUK dan PKPU, seorang debitur pailit dapat ditahan

dengan syarat-syarat penahanan:

1. Syarat formil

Syarat formil penahanan seorang debitur pailit tertera dalam Pasal 93 UUK

dan PKPU, yang mencakup :

a. Pengadilan dapat melakukan penahanan setiap waktu setelah putusan

pailit.

b. Penahanan diusulkan oleh hakim pengawas, permintaan kurator atau atas

permintaan seorang kreditur atau lebih.

2. Syarat materil

a. Permintaan penahanan yang wajib dikabulkan diatur pada Pasal 95 UUK

dan PKPU, dimana penahanan diwajibkan pada debitur beritikad tidak

baik yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dalam

maksud Pasal 98, Pasal 110 atau Pasal 121 ayat (1) dan (2) :

1) Debitur berupaya tidak bersikap kooperatif dengan kurator dan atau

berupaya menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen,

uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitur.

2) Debitur pailit tidak menghadap untuk memberikan keterangan kepada

hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur meskipun telah

(28)

3) Debitur pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang.

Pasal 95 bersifat limitatif, artinya di luar dari ketiga pasal di atas, hakim

pengadilan dapat memutuskan untuk menahan seorang debitur pailit,

namun hal itu bukan merupakan suatu keharusan.

b. Permintaan penahanan dapat dikabulkan apabila menurut pendapat hakim

pengadilan, penahanan itu diperlukan. Pendapat hakim dalam rangka

memutuskan penahan bersifat subjektif dan tidak dapat dituntut.

Berbeda dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, persyaratan paksa

badan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 terdiri dari :

1. Syarat formil

a. Paksa badan terhadap debitur pailit ditetapkan oleh pengadilan.

b. Paksa badan dapat dikabulkan atas permintaan pihak yang menang dalam

perkara tersebut, baik secara lisan maupun tulisan kepada orang yang

berwenang untuk menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut dapat

disandera. Hal ini berdasarkan bunyi Pasal 209 HIR, dimana dalam Pasal 2

Perma Nomor 1 Tahun 2000 menyatakan bahwa pelaksanaan paksa badan

terhadap debitur yang beritikad tidak baik dijalankan berdasarkan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal

224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Rbg, kecuali dalam hal

yang secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung ini

2. Syarat materil

a. Debitur pailit yang dapat dikenakan paksa badan adalah debitur yang

(29)

mampu tapi tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar

utang-utangnya.

b. Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur pailit yang berusia di

bawah 75 tahun.

c. Paksa badan dapat dikenakan terhadap ahli waris yang telah menerima

warisan dari debitur yang beritikad tidak baik.

d. Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik

yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah).

Penahanan terhadap debitur pailit dalam kedua peraturan di atas

mempunyai beberapa perbedaan, dimana ada ketentuan-ketentuan dalam Perma

Nomor 1 Tahun 2000 yang tidak dapat diaplikasikan dalam penahanan debitur

pailit dalam kepailitan karena bertentangan dengan ketentuan penahanan yang

terdapat pada UUK dan PKPU, seperti misalnya, ketentuan penahanan dalam

Perma Nomor 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat

dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang

sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Yang dimaksud

utang dalam ketentuan pasal ini adalah utang pajak yang berjumlah 1 miliar

rupiah, sehingga pasal ini tidak dapat diterapkan dalam penahanan kepailitan,

karena dalam kepailitan, tidak ada jumlah minimum yang menyebabkan seseorang

dapat dipailitkan dan ditahan.

Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Perma Nomor 1 Tahun

(30)

debitur pailit dapat ditahan, sehingga debitur pailit yang beritikad baik dapat tetap

ditahan tanpa memperhatikan batas maksimum umur.

Perbedaan antara kedua pengaturan itu juga dapat dilihat dari syarat

materil seorang debitur pailit ditahan. UUK dan PKPU menegaskan bahwa

debitur pailit yang wajib ditahan adalah debitur yang dengan sengaja tidak

memenuhi kewajiban sebagaimana dalam maksud Pasal 98, Pasal 110 atau Pasal

121 ayat (1) dan (2), sedangkan menurut Perma Nomor 1 Tahun 2000, debitur

yang dapat dikenakan paksa badan adalah debitur yang beritikad tidak baik, yaitu

debitur yang mampu membayar namun tidak mau memenuhi kewajiban

membayar utang-utangnya.

Ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 mengenai penahanan

debitur pailit tidak diberlakukan lagi, karena semua ketentuan mengenai

penahanan yang ada di Perma Nomor 1 Tahun 2000 sudah diatur dengan rinci

dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU, kecuali batas maksimum umur debitur pailit

yang dapat ditahan. Hal ini menunjukkan dalam UUK dan PKPU, umur tidak

dapat menjadikan seorang debitur tidak dapat dikenai penahanan. Perma Nomor 1

Tahun 2000 yang dibentuk sebelum UUK dan PKPU berguna untuk mengisi

kekosongan hukum ketika Undang-Undang Kepailitan yang digunakan pada masa

itu adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Ketentuan mengenai penahanan

yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, selama tidak

bertentangan dengannya, dapat merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2000 dalam

memutuskan penahanan terhadap debitur pailit. Namun, setelah dibentuknya

(31)

melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit hanya mengacu pada ketentuan

dalam UUK dan PKPU.

C. Masa Penahanan Debitur Pailit

Pada dasarnya, penahanan merupakan salah satu bentuk pengekangan

kebebasan terhadap seseorang sehingga penahanan dikatakan melanggar hak asasi

manusia. Namun, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 bagian menimbang ditulis

bahwa perbuatan debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi

kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu

melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih

besar daripada pelanggaran hak asasi manusia atas pelaksanaan paksa badan

terhadap yang bersangkutan.

Suatu penahanan dapat berdampak positif, karena hal ini merupakan

sarana kurator dalam mengikat debitur pailit. Penahanan merupakan konsekuensi

hukum debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan

harta pailit. Penahanan yang positif harus memenuhi beberapa prinsip yang

dijadikan patokan, seperti:

1. Prinsip “pembatasan jangka waktu penahanan” yang diberikan kepada setiap

instansi penegak hukum, telah “ditentukan secara limitatif”. Tidak bisa diulur

dan dilenturkan dengan dalih apapun. Sekali jangka waktu penahanan lewat,

(32)

2. Prinsip “perpanjangan tahanan terbatas waktunya “serta” terbatas permintaan

perpanjangannya”.

3. Prinsip pelepasan atau pengeluaran “demi hukum”, apabila masa tahanan

telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila terlampaui

jangka waktu penahanan yang telah ditentukan, debitur pailit yang

dikenakanan penahanan, harus dikeluarkan “demi hukum”.

Masa penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dijelaskan dalam

Pasal 93 ayat (3) dan (4) yang berisi masa penahanan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan

dilaksanakan.Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditor atau

lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, pengadilan dapat memperpanjang

masa penahanan setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Penjelasan pada Pasal 93 ayat (4) UUK dan PKPU menyatakan bahwa,

tidak ada batas waktu penahanan terhadap debitur pailit yang nakal. Kata “setiap

kali” pada Pasal 93 ayat (4) yang tidak menunjukkan berapa batas maksimum

lamanya seseorang dapat ditahan menimbulkan cela hukum. Jangka waktu

maksimum penahanan debitur pailit yang ditahan tidak ditulis secara jelas dalam

undang-undang ini menyebabkan kepastian hukum debitur pailit yang ditahan

tidak terjamin, karena pengadilan ,dalam menahan debitur pailit, tidak mempunyai

dasar hukum untuk memutuskan berapa waktu maksimum seorang debitur pailit

dapat ditahan. Tidak adanya standar lamanya waktu penahanan rawan

(33)

kemerdekaannya selama waktu yang tidak bisa dijamin. Oleh karena itu, demi

menjamin keadilan, hakim pengadilan berhak menentukan berapa lama seorang

debitur pailit dapat ditahan dan hal ini berdasarkan subjektivitas hakim itu sendiri

karena pada prinsipnya, seseorang yang ditahan harus dilepas atau dikeluarkan

demi hukum apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah

ditentukan.

Apabila merujuk pada paksa badan, penahanan dilakukan selama 6 (enam)

bulan lamanya dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan

maksimum selama 3 (tiga) tahun. Masa penahanan debitur pailit yang diatur

dengan rinci menyebabkan Perma Nomor 1 Tahun 2000 memberikan

perlindungan hukum pada debitur pailit terkait masa penahanan, karena debitur

pailit ditahan sesuai dengan ketentuan yang sudah dilindungi hukum.

Tidak adanya limitasi waktu yang jelas dalam penahanan debitur pailit

dalam UUK dan PKPU menyebabkan proses pengurusan dan pemberesan pailit

menjadi lama, yang bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan adanya

lembaga kepailitan. Putusan pailit yang harus diucapkan setelah 60 hari setelah

pertama kali diajukan menjadi tiada gunanya apabila proses pengurusan dan

pemberesan lama. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan dalam pelaksanaan

proses pengadilan yang cepat dan tidak berbelit-belit.

Lamanya waktu penahanan dalam kepailitan pun dapat menjadi

kewenangan pengadilan yang bersifat subjektif, karena masa waktu penahnan

tidak tertera dalam UUK dan PKPU. Padahal, batas maksimum waktu penahanan

(34)

memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi debitur pailit. Limitasi waktu

penahanan terhadap debitur pailit merupakan semacam perlindungan hukum pada

debitur yang seharusnya diberikan UUK dan PKPU.

D. Perlindungan Hukum terhadap Debitur Pailit atas Ketidakpastian

Hukum terkait Penahanan

Perlindungan hukum merupakan salah satu unsur penting dalam

pembentukan suatu negara hukum karena dalam kehidupan bernegara, ada

hubungan timbal balik antara negara dan warga negaranya. Dalam hal ini, akan

timbul hak dan kewajiban satu sama lain. Warga negara wajib mematuhi hukum

dan peraturan yang berlaku, jika ia melanggarnya, maka ia akan diberikan sanksi,

sedangkan negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga

negaranya sebagai hak tiap warga negaranya. Namun disisi lain dapat dirasakan

juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri,

oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga

negaranya.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada

subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun

yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri

(35)

suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.66

1. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Beberapa arti

perlindungan hukum menurut para ahli :

67

2. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah

perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak

asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum

dari kesewenangan.68

3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari

perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.

Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan

kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum

dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai

subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu

tindakan hukum.69

Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya

suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan

66

(diakses

pada tanggal 5 Februari 2015).

67

Satjipto Raharjo, “Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”, Jurnal Masalah Hukum.

68

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu,1987),hlm.56.

69

(36)

sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua

macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:70

1. Sarana perlindungan hukum preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah

mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar

artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak

karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong

untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada

diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan

hukum preventif.

2. Sarana perlindungan hukum represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh peradilan umum dan Peradilan

Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip

perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari

konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada

pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua

yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip

70

(37)

negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Jika dilihat dalam UUK dan PKPU, tidak dijumpai limitasi waktu

penahanan seorang debitur yang beritikad baik. Hal ini menyebabkan

perlindungan hukum terhadap debitur pailit terkait penahanan menjadi tidak jelas.

Pasalnya, pasal-pasal dalam undang-undang kepailitan yang berkaitan dengan

masa penahanan juga tidak menyatakan secara jelas berapa lama seorang debitur

dapat ditahan. Sebagai pihak debitur, tentu saja hal ini menimbulkan ketidakadilan

baginya, karena sebagai warga negara, ia juga berhak mendapat perlindungan

hukum dari produk hukum yang diciptakan pemerintah (negaranya). Batas

maksimum penahanan debitur pertama kali adalah 30 hari (sesuai dengan Pasal 93

ayat (3) UUK dan PKPU), namun setelah itu dalam undang-undang kepailitan

tidak tertera jelas batas maksimum perpanjangan hari. Jika dibiarkan, hal ini akan

merugikan pihak debitur yang tidak pernah tahu tentang kejelasan statusnya

sebagai tahanan.

Penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi ketidakpastian

hukum dan ketidakadilan yang dirasakan debitur pailit yang ditahan dapat dilihat

dari peran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan Komnas HAM.

Pasalnya, dalam lampiran Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di

lembaga perlindungan saksi dan korban, salah satu pelanggaran hukum yang

(38)

merugikan masyarakat dan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal ini, apabila

debitur pailit merasa tidak ada kepastian hukum bagi dirinya, ia dapat melapor ke

LPSK untuk meminta perlindungan hukum.

Debitur pailit juga dapat melapor ke Komnas HAM, atas tindakan paksa

badan yang dikenakan pada dirinya. Dikenakannya paksa badan pada debitur yang

tidak beritikad baik merupakan hal yang melanggar hak asasi manusia,

sebagaimana diketahui paksa badan adalah salah satu upaya untuk memaksa

debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahan/sandera di suatu tempat

tertentu, sedangkan jelas di uraikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang

Hak Asasi Manusia Pasal 19 ayat (2) bahwa tidak seorangpun atas putusan

pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan

ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang

piutang.

Dalam praktiknya, sejak diberlakukannya UUK dan PKPU yang juga

mengatur mengenai paksa badan dan Perma Nomor 1 Tahun 2000, belum ada

permohonan penahanan debitur pailit yang diajukan kreditur dikabulkan.

Beberapa permohonan yang telah dilayangkan baik melalui Majelis Hakim selalu

ditolak. Kita bisa mengambil contoh dari suatu kasus yang pernah dibatalkan.

Mahkamah Agung dengan surat edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964, sejak

tanggal 22 Januari 1964 tentang Penghapusan Sandera (Gijzeling), melarang para

hakim rnenggunakan lembaga penyanderaan/gijzeling dalam penyelesaian perkara

perdata dengan alasan tidak sesuai dengan perkemanusiaan. Perdebatan pro dan

(39)

Bismar Siregar dari Pengadilan Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gijzeling

terhadap Mardjuki bin Dulkiran dalam perkara. Bahalludin melawan Mardjuki bin

I-I. Dulkiran (Putusan Pengadilan Jakarta Utara- Timur N0. 1/ 1974/ gijz. tanggal

27 Mei 1974).

Mahkamah Agung dalarn putusannya N0. 951k/Sip/1974 tanggal 6

Februari Tahun 1975 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama

dengan menyatakan bahwa hakim pengadilan tingkat pertama telah salah

menerapkan hukumnya. Putusan ini dikuatkan dengan dengan dikeluarkannya

SEMA Nomor 4 Tahun 1975 yang pada prinsipnya menegaskan pelarangan bagi

hakim untuk menerapkan gijzeling seperti yang diatur dalam Pasal 209 HIR/ 242

RBG dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang rnenyatakan

bahwa pelaksanaan putusan hakim itu tidak meninggalkan perikemanusiaan dan

perikeadilan. Padahal gijzeling itu merupakan suatu bentuk perampasan terhadap

kebebasan bergerak seseorang.71

Hal ini menyebabkan debitur pailit menjadi memandang sebelah mata

terhadap ancaman penahanan yang diberikan. Belum adanya pelaksanaan nyata

penahanan terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif membuktikan bahwa

prosedur penahanan yang diatur dalam UUK Kepailitan dan PKPU maupun

Perma Nomor 1 Tahun 2000 belum efektif untuk dijadikan pedoman dalam

melaksanakan penahanan, sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit

terkait penahanan pun masih tersirat dan tidak dinyatakan secara jelas dalam

71

(40)

undang-undang ini sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit yang

ditahan harus diteliti dan dikaji dari sumber hukum lain selain UUK dan PKPU.

Ketidakefektifan dalam penagihan kewajiban debitur pailit disebabkan

oleh belum ada peraturan secara sempurna yang mengatur tentang prosedur

pelaksanaannya dan perlindungan hukum terkait penahanan yang tertera jelas,

belum dibuatnya peraturan khusus mengenai pelaksanaan dari penahanan terhadap

debitur yang tidak kooperatif tersebut. Sampai sekarang belum ada permohonan

penahanan debitur yang dikabulkan, karena pengadilan niaga dalam melaksanakan

prosedur penahanan tidak dapat bertindak jika tidak ada dasar hukumnya, karena

apabila dilaksanakan tanpa ada dasar hukum yang jelas, esensi dari Pengadilan

Niaga bisa diragukan karena dianggap subjektif dan sewenang-wenang dalam

(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun setelah menguraikan pembahasan daripada permasalahan tersebut

diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan salah satu hal yang

dilakukan oleh kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas untuk melunasi

utangnya. Adapun kegiatan dalam pengurusan antara lain mengumumkan

ikhwal kepailitan, melakukan penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran

harta pailit, melanjutkan usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur

pailit, mengalihkan harta pailit, melakukan penyimpanan harta pailit,

mengadakan perdamaian guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan

atau mencegah timbulnya suatu perkara. Sedangkan, pemberesan merupakan

penguangan aktiva dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitur

pailit benar-benar dalam insolvensi setelah adanya putusan pernyataan pailit.

2. Ketentuan tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan

pemberesan harta pailit yang diatur dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU telah

telah diatur cukup rinci mengatur tentang penahanan. Hal-hal yang diatur

adalah prosedur umum penahanan, alasan pembebasan terhadap debitur pailit,

penyebab ditahannya seorang debitur pailit dan pengecualian khusus

(42)

3. Kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit

dalam UUK dan PKPU dirasakan masih kurang, karena sering kali tidak

muncul kepastian hukum dalam penerapannya. Hal ini disebabkan banyaknya

ketentuan yang menimbulkan celah hukum, antara lain jangka waktu

penahanan, kemampuan hakim yang bersifat subjektif dalam melaksanakan

penahanan terhadap debitur pailit sehingga tidak adanya suatu standar

penahanan selain yang diatur pada Pasal 95 UUK dan PKPU.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan

kesimpulan diatas adalah:

1. Walaupun setelah adanya putusan pailit debitur tidak dapat lagi mengurusi

hartanya, namun ia tetap harus bekerja sama dengan kurator dalam proses

pengurusan dan pemberesan harta pailit agar proses pengurusan dan

pemberesan dapat berjalan dengan efektif, transparan dan lancar.

2. Pengaturan tentang pelaksanaan penahanan terhadap debitur pailit sebagai

salah satu upaya agar debitur dapat dipaksa untuk bersikap kooperatif demi

kelancaran pengurusan dan pemberesan harta pailit hendaknya diatur lebih

mendetail dalam UUK dan PKPU agar pelaksanaan penahanan terhadap

debitur pailit dapat memiliki legitimasi kuat, mempunyai kepastian hukum

(43)

3. Perlu adanya perbaikan terhadap ketentuan penahanan yang diatur dalam

UUK dan PKPU sehingga ke depannya, kepastian hukum dalam

(44)

BAB II

PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan

dengan pailit. Kata pailit menandakan ketidakmampuan untuk membayar serang

debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo atau yang dikenal dalam

bahasa Inggris dengan “banckrupty”. Sedangkan terhadap perusahaan debitur

yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan

insolvensi. 14

Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal

1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata

menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di

kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitur itu,

sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut

menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;

pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta

kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna

pembayaran utang-utangnya kepada semua kreditur, dan dibayar menurut

perbandingan jumlah piutang masing -masing.

14

(45)

menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal di atas adalah:15

1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak

membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang

menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk

membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual

dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua krediturnya secara

ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para

kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama.

3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya

piutang-piutang mereka.

Syarat-syarat permohonan pailit dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) UUK

dan PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonann satu atau

lebih krediturnya.

Ketentuan di atas mensyaratkan bahwa untuk mempailitikan debitur harus:

1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur;

15

(46)

Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus

creditorium. Syarat ini menegaskan bahwa dalam kepailitan dihindari sita individual, karena jika hanya terdapat 1 kreditur, maka tidak akan sesuai dengan

eksistensi hukum kepailitan yang mengatur bagaimana cara membagi harta

kekayaan debitur di antara para krediturnya.

Fred B. G. Tumbuan berpendapat bahwa keharusan ini sesuai dengan

Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian

kekayaan debitur di antara krediturnya harus dilaksanakan secara pari passu pro

parte.16

2. Tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih;

a. Pengertian “tidak membayar”;

Pengertian tidak membayar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:

1) Insolvent (tidak mampu membayar), adalah suatu keadaan dimana

aset lebih kecil daripada utang.

2) Solvent (mampu membayar namun tidak mau membayar), adalah

suatu keadaan dimana perusahaan sehat, dimana aset lebih besar

daripada utang.

Yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan

suatu debitur pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitur

tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk

16

(47)

ketidakmauan debitur untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang

telah diperjanjikan.17

b. Pengertian “lunas”

Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dalam perubahannya menambah

kata “lunas” setelah kata “tidak membayar” untuk mengatasi

kelemahan-kelemahan dalam praktek, seperti debitur yang sudah membayar tetapi

tidak lunas tidak dapat dipailitkan, karena apabila jika pelunasannya lama,

maka hal itu akan merugikan krediturnya.

c. Pengertian “utang”

Tidak adanya pengertian utang dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998 merupakan salah satu kekosongan yang terdapat dalam

undang-undang ini. Kelemahan ini kemudian diperbaiki dalam UUK dan

PKPU :

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

Secara normatif, makna utang di sini sangat luas. Utang yang

terjadi bukan hanya karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit

saja, tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari

perjanjian lainnya, antara lain seperti perjanjian sewa-menyewa, perjanjian

jual beli, perjanjian pemborongan, perjanjian tukar-menukar, perjanjian

17

Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan)”, Jurnal

(48)

sewa-beli, dan lain-lain. Demikian juga halnya kewajiban membayar

sejumlah uang yang timbul karena undang-undang adalah utang. Misalnya

pajak yang belum dibayar kepada negara adalah utang. Selain itu,

kewajiban membayar uang berdasarkan putusan pengadilan termasuk

putusan badan arbitrase yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

termasuk juga utang.18

d. Pengertian “telah jatuh waktu dan dapat ditagih”

Sutan Remy berpendapat bahwa pengertian “jatuh waktu” berbeda

dengan “dapat ditagih”, dimana utang yang telah jatuh waktu adalah utang

yang telah expired dengan sendirinya, tetapi utang yang telah dapat ditagih

belum tentu telah “jatuh waktu”.19

Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal,

pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit;

kedua, jatuh tempo yang dipercepat, yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga

pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap

bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak

membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh

tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo karena pengenaan

sanksi/denda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena

18

Syamsudin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tianusa,2012), hlm.91.

19

Sultan Remi Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillessementsverordening

Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelusuran yang peneliti lakukan dan berdasarkan data yang telah didapat dari pihak atau pengurus Baitul Maal Amanah PAMA di Kabupaten Tabalong, dijelaskan

 Motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar terdorong untuk bertindak melakukan

[r]

Rumusan pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia.. Yang di sah kan oleh

TUTOR SEBAYA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR MENGGAMBAR BUSANA DENGAN TEKNIK PEWARNAAN KERING KELAS XI TATA BUSANA B SMK NEGERI 9 SURAKARTA TAHUN AJARAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil tentang penerapan metode Balanced Scorecard dalam pengukuran kinerja Kusuma Sahid Prince Hotel Surakarta pada tahun

12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI... 1 0 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

Sedangkan untuk nilai Cox Snell’s R Square sebesar 0.343 dan nilai Nagelkerke R Square adalah 0,715 yang berarti variabilitas yang terjadi pada variabel terikat