Daftar Pustaka
A. Buku
Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Empat. Jakarta: Pradnya Pratama, 1983.
Arifin, Syamsul. Pengantar Falsafah Hukum. Bandung: Cipustaka Media, 2014.
Fuady, Munir. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi Revisi. Malang: UMM Press, 2007.
Huizink, MR. J. B. Insolventie, alih bahasa Linus Dolujawa. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
Malik, Edward. Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan. Bandung: CV. Bandar Maju, 2012.
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia, 2006.
Sinaga, Syamsudin. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: Tianusa,2012.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
ST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Sunarmi. Hukum Kepailitan Edisi 2. Medan: PT. Sofmedia, 2010.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Ed. Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.
Syahdeini, Sultan Remi. Hukum Kepailitan, Memahami
Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
B. Karya Tulis Ilmiah
Fence M. Wantu. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”. Jurnal Berkala Mimbar Hukum,Vol.19 No.3 Oktober 2007. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Erman Rajagukguk, Erman. “Bagaimana Penahanan Bisa Dianggap Positif” .
Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
C. Peraturan-Peraturan
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Acara Pidana.
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Republik Indonesia. PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Republik Indonesia. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di lembaga perlindungan saksi dan korban.
D. Website
Mekanisme Proses Penahanan dalam Hukum Pidana.
Mulyasi W. “Gizeling dalam Perkara Pajak”. http://eprints.undip.ac.id /15739 /1 / Mulyatsih_Wahyumurti.pdf (diakses pada tanggal 30 Desember 2014).
Pramudya, Kelik .“Hukum Kepailitan di Indonesia”.
Oktober 2014).
Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli. (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).
Penyelesaian Hutang-Piutang dengan Paksa Badan.
Perlindungan Hukum Esensial. (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).
Permohonan Gizjeling dalam Perkara Kepailitan.
Simanjuntak, Ricardo. “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan Dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan”. Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, Januari 2002 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).
lib.ugm.ac.id / jurnal /download.php?dataId%3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+ badan&hl=id&gl=id (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).
Tumbuan, Fred B.G.. “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang diubah Perpu No. 1/1998”. Newsletter No. 33/IX/Juni/1998 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).
BAB III
PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITAN
A. Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan
Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta
pailitnya, namun ia tetap harus bekerja sama dalam pemberesan dan pengurusan
harta pailit agar semua proses dapat berjalan dengan baik. Namun, kadang kala
terdapat debitur pailit yang tidak beritikad baik, seperti enggan melunasi
utang-utangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri,
sehingga menyebabkan terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta
pailit. Debitur pailit yang tidak beritikad baik seperti inilah yang dapat ditahan.
Penahanan dalam kepailitan selain mengacu pada ketentuan yang ada
dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan. Namun apabila ketentuan penahanan dalam Perma Nomor
1 Tahun 2000 bertentangan dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, ketentuan
dalam UUK dan PKPU-lah yang akan digunakan, karena sesuai dengan hierarki
perundang-undangan, undang-undang lebih kuat kedudukannya dibanding Perma.
Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut gijzeling merupakan
lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Menurut R. Susilo,
dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk
memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud paksa badan adalah upaya paksa tidak
langsung dengan memasukkan debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rumah
tahanan negara yang ditetapkan pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan
memenuhi kewajibannya.56
Perlu diketahui pula, paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku
bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan
dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang
tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.
Dahulu, lembaga gizjeling (penyanderaan) pernah dibekukan oleh
Mahkamah Agung dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964
dan Nomor 4 Tahun 1975. Alasan dibekukannya gijzeling adalah karena dinilai
bertentangan dengan HAM. Saat itu gijzeling menjadi alat untuk memaksa secara
fisik dan yang sering menjadi korban adalah debitur dari kalangan rakyat yang
benar-benar tak mampu melunasi utangnya. Pada masa itu, gizjeling diartikan
sebagai penyanderaan. Namun, karena dipandang tidak tepat karena tidak
mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tapi tidak mau memenuhi
kewajibannya dalam membayar utang, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan, penerjemahannya pun disempurnakan menjadi paksa
badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian Imprisonment for Civil Debts
yang berlaku secara universal.
56
Setelah dibentuknya Perma Nomor 1 Tahun 2000, gizjeling (paksa badan)
tetap berlaku dalam bidang kepailitan (namun dalam UUK dan PKPU dikenal
dengan sebutan penahanan) dan dapat diterima oleh Pengadilan Niaga apabila ada
alasan untuk itu dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh
undang-undang. Lembaga paksa badan (gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang
dikenal dalam hukum untuk proses penegakan hukum. Penegakan hukum melalui
lembaga sandera secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma
Nomor 1 Tahun 2000. Ada dua hal yang patut dicermati dalam Perma Nomor 1
Tahun 2000 ini, yaitu:57
a. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis
diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi utang pokok;
b. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan
seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan
pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin utang yang dapat
diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi tidak mau membayar
utangnya.
Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan
pokok perkara, demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun
2000. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa
permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan
terhadap debitur yang bersangkutan. Namun sepanjang kewajiban debitur
57
didasarkan atas pengakuan utang, menurut Pasal 7, paksa badan dapat diajukan
tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.
Penahanan bagi debitur pailit ini ditetapkan :
a. Dalam putusan pailit;
b. Setiap waktu dalam putusan pailit.
Penahanan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat
sebagai berikut :
a. Dalam penjara; atau
b. Di rumah tahanan.
c. Di rumah seorang kreditur.
Pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang tidak beritikad baik
dijalankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal
242 sampai dengan 258 RBg. Adapun penjabaran kedua pasal tersebut adalah :
a. Jika tidak ada atau tidak cukup barang guna menjalankan putusan maka
atas permintaan pihak yang menang dalam perkara tersebut baik secara
lisan maupun dengan surat kepada orang yang berwenang untuk
menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut disanderakan.
b. Lamanya orang yang berutang dapat disanderakan dalam surat perintah itu
mengenai lamanya waktu ia disandera.
Adapun penjabaran pasal-pasal lainnya dalam HIR dan RBg berkaitan
dengan lembaga paksa badan atau penyanderaan adalah:
1) Penyanderaan dilakukan selama 6 bulan lamanya jika ia dihukum
membayar sampai Rp 100 Pasal 244 RBg (Seratus rupiah) dan selama
1 tahun jika lebih dari Rp100 sampai dengan Rp 300 dan selama 2
tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 300 sampai dengan Rp
500 dan selama 3 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 500.
2) Biaya perkara tidak termasuk ke dalam uraian jumlah tersebut diatas.
Mengenai lama penyanderaan sebagaimana yang dimaksud dalam
HIR/RBg demikian juga yang terdapat dalam Perma, Hakim Bismar
Siregar berpendapat bahwa lama penyanderaan disesuaikan dengan
besarnya kewajiban yang harus dilunasi pihak yang kalah.
b. Pasal 244 RBg
Penyanderaan terhadap orang-orang yang telah berumur lebih dari enam
puluh lima tahun, hanya diperbolehkan menurut peraturan-peraturan yang
ada atau yang akan dikeluarkan nanti.
c. Pasal 211 HIR/Pasal 245 RBg
Anak dan turunan kebawah sekali-kali tidak dapat memerintahkan
penyanderaan kepada keluarganya sedarah dan keluarga semenda dalam
turunan keatas.
d. Pasal 212 HIR/Pasal 246 RBg Terhadap orang yang berutang yang tidak
dapat disanderakan :
1) Di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan keagamaan
2) Didalam tempat dimana kekuasaan umum bersidang dan selama ada
persidangan.
Pasal 212 HIR memberi batasan negatif, bahwa seseorang tidak dapat
disanderakan di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan ibadah
agama, selama ada kebaktian dan pada tempat-tempat di mana kuasa
umum bersidang.
e. Pasal 213 HIR/Pasal 247 RBg
1) Jika orang yang berutang itu mengajukan perlawanan terhadap
pelaksanaan penyanderaan itu berdasarkan pernyataan bahwa
perbuatan itu melanggar hukum dan atas itu dia minta keputusan itu
dengan segera, maka dia harus memasukkan surat kepada ketua
pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu atau jika
orang itu menghendaki agar dia dibawa menghadap pegawai dalam
kedua hal itu harus diputuskan dengan segera, layak tidaknya orang
yang berutang itu disanderakan dahulu sambil menunggu keputusan
pengadilan negeri.
2) Pasal 128 ayat ke 4, 6 dan 7 HIR dan Pasal 252 ayat 5, 7 dan 8 RBG
berlaku pula dalam hal ini.
3) Jika orang yang berutang mengajukan perlawanan dengan surat maka
dapatlah dia dijaga agar tidak melarikan diri sambil menunggu
keputusan dari ketua
4) Jika jaksa yang dikuasakan telah memerintahkan penyanderaan, maka
penyanderaan dimohonkan secara lisan maka catatan mengenai itu
beserta penetapannya kepada ketua pengadilan negeri.
f. Pasal 214 HIR/Pasal 248 RBg
Orang yang berutang yang tidak mengajukan perlawanan atau yang
perlawanannya ditolak dengan segera harus dibawa kedalam penjara
tempat penyanderaan.
g. Pasal 249 ayat (1) RBg
Pegawai yang melaksanakan putusan guna penyanderaan dapat
menyandera setelah memperlihatkan surat perintah akan menyandera
kepada jaksa dan menuliskan hal itu pada surat perintah itu.
Paksa badan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini berbeda
dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitur mampu, tetapi
membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun
2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitur "kelas kakap" yang
mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah).
Perbedaan mendasar antara penyanderaan dengan paksa badan adalah
bahwa setiap atau semua debitur dapat diperintahkan menjalani penyanderaan
/paksa badan bila tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan dalam putusan
pengadilan. Kriteria gijzeling apabila harta kekayaan tidak ada atau tidak cukup
membayar kewajibannya. Sementara dalam ketentuan paksa badan yang diatur
dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tidak ditimpakan dan diterapkan terhadap
sesuai dengan patokan dan tidak memenuhi kewajiban membayar kembali
utangnya padahal mampu untuk melakukannya.
Perbedaan lainnya antara gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBG
dengan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 adalah bahwa adanya
batasan umur yang dapat dikenakan yaitu maksimal harus berusia 75 tahun,
sehingga debitur yang berusia diatas 75 tahun tidak dapat dikenakan meskipun
beritikad buruk, sementara dalam HIR dan RBG tidak terdapat batasan umur
Dalam prakteknya, pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2000 masih sulit
dilakukan, walaupun Perma tersebut khususnya dalam Pasal 4 telah tegas
menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang tidak
beritikad baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah). Problematik yang utama adalah proses teknis pelaksanaan
permohonan paksa badan masih tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dan
kekhawatiran bagi hakim pengawas untuk melaksanakannya.58
Keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan diatur dalam Perma
Nomor 1 Tahun 2000 dan keberadaannya pada hakikatnya bertujuan sebagai
sarana kurator untuk mengikat debitur pailit agar beritikad baik sehingga proses
pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat berjalan dengan baik dan cepat.
B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004
58
Dasar penahanan debitur pailit yang tidak kooperatif terdapat dalam Pasal
93 yang merupakan prosedur umum penahanan, Pasal 94 yang merupakan alasan
pembebasan terhadap debitur pailit dan Pasal 95 merupakan penyebab ditahannya
seorang debitur pailit. Mengenai penahanan debitur pailit ini diatur dalam Pasal
31, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 UUK dan PKPU.
Sebelum putusan pailit diucapkan, seorang debitur juga dapat ditahan. Hal
ini tertera dalam Pasal 31 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa
putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan
pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai
sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu
putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur.
Dalam pasal ini, penyanderaan yang dimaksud adalah penyanderaan pajak, bukan
penyanderaan dalam kepailitan.
Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, debitur yang sedang dalam
penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.
Hal ini berarti sebelum putusan pailit boleh dilakukan penahanan terkait kepailitan
jika debitur melanggar ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000.
Debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit, menurut UUK dan PKPU dapat ditahan, sesuai dengan
Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan
pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas,permintaan kurator,
pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan
di rumah tahanan negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan
jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.
Kata “dapat” yang terdapat dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa tidak
semua debitur pailit dapat ditahan. Debitur pailit yang dapat ditahan berdasarkan
undang-undang ini hanyalah debitur yang sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UUK
dan PKPU yang menyatakan bahwa permintaan untuk menahan debitur pailit
harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa
debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 98 menyatakan bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus
melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan
semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan
memberikan tanda terima. Dalam pasal ini tersirat bahwa, jika debitur pailit
menghalangi kurator dalam melaksanakan pengamanan terhadap harta pailit atau
dalam kata lain tidak bersifat kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan aset,
maka ia dapat ditahan.
Pasal 110 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: “(1) Debitur Pailit wajib
menghadap Hakim Pengawas, Kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil
untuk memberikan keterangan.. (2) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit,
istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai
Dalam pasal ini tertera bahwa debitur yang sudah dinyatakan pailit
walaupun tidak dapat mengurusi harta pailitnya lagi, namun ia tetap diperlukan
dalam kerja sama dalam rapat verifikasi, yaitu memberikan keterangan yang tepat
pada kurator yang sedang menyusun catatan daftar utang.
Pasal 121 berbunyi : “(1) Debitur Pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. (2) Kreditur dapat meminta keterangan dari Debitur Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim Pengawas. (3) Pertanyaan yang diajukan kepada Debitur Pailit dan jawaban yang diberikan olehnya, wajib dicatat dalam berita acara.”
Jadi, dalam UUK dan PKPU dikenal 2(dua) jenis penahanan, yaitu
penahanan yang wajib dikabulkan dan penahanan yang tidak wajib dikabulkan.
Penahanan yang wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 95 UUK dan PKPU, dimana
bila debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2), ia
wajib ditahan. Ketentuan dalam Pasal 95 ini bersifat limitatif, karena hanya ketiga
pasal ini (Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)) yang membuat
seorang debitur wajib ditahan jika melanggarnya dan frase “sebagaimana
dimaksud dalam” menekankan bahwa undang-undang mengakui bahwa hanya
pelanggaran terhadap 3 (tiga) pasal di atas yang dapat membuat permintaan
penahanan seorang debitur pailit wajib dikabulkan.
Sedangkan, penahanan yang tidak wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 93
ayat (1), dimana hakim pengadilan atas usul hakim pengawas,permintaan kurator,
atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim
pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan. Usulan hakim
seorang debitur pailit ditahan. Ditahan atau tidaknya debitur pailit tergantung
kepada kebijakan hakim pengadilan itu sendiri, sehingga dalam hal ini penahanan
didasarkan pada pemikiran hakim yang bersifat subjektif.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 94 ayat (1) dan (2) UUK dan
PKPU, pengadilan juga berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul
hakim pengawas atau atas permohonan dabitur pailit dengan jaminan uang dari
pihak ketiga bahwa debitur pailit setiap waktu akan menghadap atas panggilan
pertama dan jumlah uang jaminan tersebut ditetapkan oleh pengadilan dan apabila
debitur pailit tidak dapat menghadap maka uang jaminan tersebut menjadi
keuntungan harta pailit. Dan apabila dalam hal diperlukan kehadiran debitur pailit
pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit maka apabila debitur
berada didalam tahanan, debitur pailit dapat diambil dari tempat tahanan tersebut
atas perintah hakim pengawas dan dilaksanakan oleh kejaksaan, sesuai dengan
Pasal 96 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU. Namun, dengan dilepasnya debitur
pailit bukan berarti bahwa dia dapat melakukan apa saja, ia dikenakan larangan
untuk meninggalkan tempat kediamannya. Pencekalan ini berlaku demi hukum
ketika putusan pailit diputuskan. Pencekalan dalam bidang kepailitan ini berarti
pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk berangkat ke
luar negeri atau tidak, kecuali jika hakim pengawas memberikan izin untuk itu.
Selama kepailitan, debitur pailit tidak diperbolehkan meninggalkan
domisilinya atau tempat tinggal/kediaman debitur pailit tersebut tanpa izin dari
hakim pengawas, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 UUK dan PKPU, hal
diperlukan kehadirannya untuk kepentingan pemeriksaan serta agar debitur pailit
tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kreditur.
Sebelum adanya undang-undang kepailitan, kewenangan absolut untuk
menerima, memeriksa dan mengadili permohonan kepailitan ada pada peradilan
umum namun setelah dibentuknya Pengadilan Niaga, kewenangan peradilan
umum dalam menerima, memeriksa dan mengadili berpindah menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum,
sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1998 sebagaimana diubah pada Pasal 300 ayat (1) UUK dan PKPU, yang
menyatakan bahwa dengan ketentuan ini, semua permohonan penyataan pailit dan
penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya
Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti undang-undang ini, hanya dapat diajukan kepada
Pengadilan Niaga.
Dengan kata lain, UUK dan PKPU hanya mengatakan bahwa penahanan
hanya dikenakan jika debitur meninggalkan tempat tinggalnya dengan tanpa
meminta izin dari hakim pengawas dan tidak menjadi permasalahan bila telah
meminta izin hakim pengawas, kedua bila tidak hadir memberi keterangan jika
dipanggil dan ketiga tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang. Permohonan
paksa badan hanya wajib dikabulkan berdasarkan UUK dan PKPU tersebut hanya
jika debitur tidak memenuhi syarat adminsitratif dan tidak kooperatif selama masa
pengawasan hakim maupun kurator dan bukan karena keengganan atau
C. Akibat Hukum Penahanan Debitur Pailit terhadap Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit
Segala putusan hukum yang dijatuhkan terhadap debitur pailit akan
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang
dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang
diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum
yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki
hukum.
Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari
segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek
hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu
oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat
hukum. Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi
subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Salah satu akibat hukum yang timbul
setelah adanya putusan pailit adalah berkaitan dengan penahanan debitur pailit.
Hak pengadilan untuk menahan debitur pailit muncul jika dalam proses
pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit, debitur bersifat tidak
kooperatif, yang ketentuan mengenai penahanan diatur dalam Pasal 93-96 UUK
dan PKPU, sedangkan kewajiban pengadilan dalam melaksanakan penahanan
terhadap debitur pailit adalah mengikuti prosedur penahanan yang telah diatur
dalam UUK dan PKPU sehingga dapat memberikan perlindungan hukum dan
Kewajiban untuk menjalani penahanan harus dilaksanakan oleh debitur
pailit jika debitur beritikad tidak baik dalam proses pengurusan dan pemberesan
dan hak debitur pailit yang ditahan adalah mendapatkan perlakuan yang layak dan
ditahan sesuai dengan prosedur penahanan dalam UUK dan PKPU, sehingga tidak
terjadi penyelewengan hukum yang dapat menimbulkan kerugian pada debitur
pailit.
Penahanan dalam perdata adalah paksa badan. Walaupun yang dimaksud
penahanan dalam UUK dan PKPU adalah paksa badan, namun terminologi yang
digunakan dalam UUK dan PKPU adalah penahanan. Penahanan ditujukan
kepada debitur pailit yang beritikad tidak baik sehingga debitur dapat dipaksa
untuk bersikap koopratif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Secara
prinsipnya, penahanan mempermudah pengurusan harta pailit, karena debitur
pailit akan menjadi lebih mudah ditemui jika diperlukan keterangan atau
bantuannya dalam hal pengurusan dan pemberesan. Selain itu, kurator merupakan
salah satu pihak yang dapat mengajukan permintaan penahanan, sehingga
menurutnya apabila debitur pailit ditahan, hal ini akan memudahkan proses
pengurusan dan pemberesan. Namun, ketika seorang debitur pailit ditahan,
pengurusan dan pemberesan harta pailit pasti akan terkena dampaknya.
Akibat-akibat hukum yang muncul karena adanya penahanan terhadap debitur pailit
antara lain:
1. Menurut Pasal 69 ayat (2) huruf a, dalam melaksanakan tugasnya, kurator
tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan
meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan
demikian dipersyaratkan. Dengan ditahannya debitur pailit, kurator akan lebih
mudah menemui debitur pailit jika diperlukan pemberitahuan atau
persetujuan, karena debitur dapat tetap ditemui di suatu tempat, sehingga
proses pengurusan dan pemberesan dapat cepat diselesaikan.
2. Menurut Pasal 77 ayat (1) UUK dan PKPU, setiap kreditur, panitia kreditur,
dan debitur pailit dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon kepada hakim
pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan
perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan.
Bila seorang debitur pailit ditahan, debitur tentu tidak dapat mengajukan surat
keberatan kepada hakim pengawas karena debitur sedang berada dalam
tahanan dan tidak mengetahui keadaan pasti dan perkembangan pengurusan
dan pemberesan, kecuali ketika diperlukan, debitur dapat dikeluarkan
sementara atas izin hakim pengawas. Pengeluaran sementara waktu debitur
tidak akan membuat seorang debitur mengetahui secara jelas perbuatan apa
saja yang dilakukan kurator dalam proses pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
3. Menurut Pasal 179 ayat (1), jika dalam rapat pencocokan piutang tidak
ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang
ditawarkan tidak diterima, kurator atau kreditur yang hadir dalam rapat dapat
mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan. Bila debitur pailit
penahanannya abis atau debitur dilepas dengan uang jaminan, sehingga ia
tidak bisa menambah aset pailitnya. Padahal jika debitur masih aktif bekerja,
debitur tentu bisa mendapatkan dana tambahan sehingga meringankan utang
pailitnya sampai hakim pengawas memerintahkan kelanjutan perusahaan
dihentikan, dimana dalam hal ini debitur pailit juga dapat memberikan
usulnya pada hakim pengawas.
4. Menurut Pasal 186 UUK dan PKPU, untuk keperluan pemberesan harta pailit,
kurator dapat menggunakan jasa debitur pailit dengan pemberian upah yang
ditentukan oleh hakim pengawas. Jika debitur diberi upah, upah ini dapat
ditambah ke dalam harta pailit sehingga dapat meringankan sedikit
utang-utangnya. Dengan ditahannya seorang debitur pailit, debitur menjadi tidak
dapat membantu kurator apabila diperlukan dalam proses pemberesan. Hal ini
juga menyebabkan debitur selain tidak mendapatkan tambahan upah.
Bila dikaitkan dengan upaya penahanan, hakim pengawas dapat
melepaskan debitur pailit dari tahanan dengan atau tanpa memberikan uang
jaminan (yang jumlahnya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga) sebagai jaminan
bahwa atas panggilan yang pertama si debitur pailit tersebut dapat datang untuk
menghadap. Apabila debitur tidak datang untuk menghadap, uang jaminan
tersebut akan menjadi keuntungan harta pailit, sehingga akan mengurangi sedikit
beban dari harta pailit. Walaupun debitur pailit telah dilepas, bukan berarti ia
dapat melakukan segala sesuatu sesukanya. Pencekalan dalam bidang hukum ini
berarti pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk
izin untuk itu. Bila debitur pailit telah dilepas, maka debitur pailit harus bersifat
kooperatif agar memudahkan proses pengurusan dan pemberesan, karena apabila
debitur pailit beritikad tidak baik lagi, ia dapat kembali ditahan.
BAB IV
KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASI KETENTUAN
PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR
37 TAHUN 2004
A. Asas Kepastian Hukum dalam Kepailitan
Asas, dalam pengertian sehari-hari, sering disebut sebagai prinsip, dasar,
landasan, acuan, dan sebagainya. Secara etimologi kata, asas ini dapat diterangkan
sebagai berikut:59
1. Dasar, alas, pondamen ; misalnya batu yang baik untuk rumah.
2. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir
(berpendapat dan sebagainya; misalnya : bertentangan dengan asas hukum
pidana ; pada asasnya saya setuju dengan usul saudara)
3. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya:
membicarakan asas dan tujuannya).
Teh Liang Gie sebagaimana dikutip oleh Sudikno,60
59
Syamsul Arifin, Pengantar Falsafah Hukum (Bandung: Cipustaka Media,2014), hlm. 102.
berpendapat bahwa,
Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa
60
menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada
serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
Kedudukan asas dalam hukum, menurut C.W.Paton, adalah sebagai suatu
alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu
norma hukum. Namun, Mahadi menjelaskan bahwa rumusan asas seperti yang
dihidangkan oleh Paton memberikan kesan seolah-oleh tiap norma hukum dapat
dikembalikan kepada asas, padahal kesan ini tidak beralasan.61 Namun, pada
umumnya, suatu norma itu tetap mempunyai asas yang melandasinya. Asas
hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.
Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.
Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit, akan
tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk- petunjuk bagi
hukum yang berlaku. Fungsi-fungsi asas hukum antara lain:62
1. Perundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai
pedoman bagi kerjanya.
2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan asas-asas hukum.
3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan
analogi.
4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan,
karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya.
61
Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm.103.
62
Ajaran Cita Hukum (Idee desRecht) menyebutkan adanya tiga unsur cita
hukum yang harus ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum
(rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).
Sekiranya dikaitkan dengan teori penegakan hukum sebagaimana disampaikan
oleh Gustav Radbruch dalam idee des recht yaitu penegakan hukum harus
memenuhi ketiga asas tersebut.63
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang bertujuan agar perkara kepailitan dapat
diselesaikan secara lebih cepat, adil dan terbuka. Selain itu, undang-undang ini
juga memberikan perlindungan hukum kepada pihak kreditur dan pihak debitur.
Pihak kreditur dapat memperoleh perlunasan secara proporsional dan mencegah
agar debitur tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para
kreditur, sedangkan pihak debitur dapat tetap melanjutkan usahanya.
Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi,
harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UUK dan PKPU melaksanakan beberapa
prinsip dalam penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan. Prinsip-prinsip
tersebut merangkumi 5 (lima) hal, yaitu prinsip keadilan, prinsip penjatuhan pailit
bukan sebagai ultimun remidium, prinsip dapat diketahui oleh masyarakat umum
(terbuka), prinsip penyelesaian perkara secara cepat, dan prinsip pembuktian
secara sederhana.
63
Lihat Fence M. Wantu,“Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”,Jurnal
Berkala Mimbar Hukum,Vol.19, Nomor 3 Oktober 2007,Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Berdasarkan pengaturan dalam UUK dan PKPU, ketiga unsur penegakan
hukum tersebut telah terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Konsep
kepastian hukum tersimpul dalam prinsip penyelesaian perkara secara cepat dan
prinsip pembuktian secara sederhana. Unsur keadilan dalam penegakan hukum
tercermin dalam asas keadilan, sedangkan unsur kemanfaatan dapat dilihat
sebagaimana asas penjatuhan pailit sebagai cara paling akhir (ultimum remidium)
penyelesaian utang dan prinsip boleh diketahui oleh masyarakat umum
(terbuka).64
Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan
sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang
dikenakan peraturan ini. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada
kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini
untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian hukum yaitu adanya
kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga
masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum
dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang
konkret.65
Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum juga dapat tersimpul dari
syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU.
Dalam ketentuan ini menyebutkan bahwa bahwa debitur yang mempunyai dua
64
Lihat Tata Wijayanta,“Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 Nomor 2 Mei 2014, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 4.
65
atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut kepastian hukum
terhadap orang yang dijatuhi pailit jika telah memenuhi adanya tiga syarat, yaitu
harus ada utang; salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih; dan
debitur mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur.
Syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK
dan PKPU ini memang sangat sederhana. Debitur dengan kemampuan membayar
utang dapat dipailitkan oleh pengadilan ketika ketiga syarat kepailitan yaitu harus
ada utang; salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih; dan debitur
mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur secara normatif
terpenuhi.
B. Ketentuan Mengenai Syarat Penahanan Debitur Pailit
Penahanan dalam kepailitan bukan merupakan penahanan dalam ranah
pidana tapi merupakan penahanan dalam perdata yaitu gizjeling (paksa badan)
yang dikenal dengan penahanan dalam UUK dan PKPU. Oleh karena itu,
penahanan debitur pailit selain diatur dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam
Perma Nomor 1 Tahun 2000. Pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dapat
merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2000, apabila tidak diatur dalam UUK dan
PKPU). Namun, apabila terdapat pengaturan yang bertentangan, hakim harus
bertindak berdasarkan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUK dan PKPU.
Ketentuan mengenai syarat penahanan debitur pailit pun dapat dilihat dari
UUK dan PKPU. Dalam UUK dan PKPU, seorang debitur pailit dapat ditahan
dengan syarat-syarat penahanan:
1. Syarat formil
Syarat formil penahanan seorang debitur pailit tertera dalam Pasal 93 UUK
dan PKPU, yang mencakup :
a. Pengadilan dapat melakukan penahanan setiap waktu setelah putusan
pailit.
b. Penahanan diusulkan oleh hakim pengawas, permintaan kurator atau atas
permintaan seorang kreditur atau lebih.
2. Syarat materil
a. Permintaan penahanan yang wajib dikabulkan diatur pada Pasal 95 UUK
dan PKPU, dimana penahanan diwajibkan pada debitur beritikad tidak
baik yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dalam
maksud Pasal 98, Pasal 110 atau Pasal 121 ayat (1) dan (2) :
1) Debitur berupaya tidak bersikap kooperatif dengan kurator dan atau
berupaya menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen,
uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitur.
2) Debitur pailit tidak menghadap untuk memberikan keterangan kepada
hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur meskipun telah
3) Debitur pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang.
Pasal 95 bersifat limitatif, artinya di luar dari ketiga pasal di atas, hakim
pengadilan dapat memutuskan untuk menahan seorang debitur pailit,
namun hal itu bukan merupakan suatu keharusan.
b. Permintaan penahanan dapat dikabulkan apabila menurut pendapat hakim
pengadilan, penahanan itu diperlukan. Pendapat hakim dalam rangka
memutuskan penahan bersifat subjektif dan tidak dapat dituntut.
Berbeda dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, persyaratan paksa
badan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 terdiri dari :
1. Syarat formil
a. Paksa badan terhadap debitur pailit ditetapkan oleh pengadilan.
b. Paksa badan dapat dikabulkan atas permintaan pihak yang menang dalam
perkara tersebut, baik secara lisan maupun tulisan kepada orang yang
berwenang untuk menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut dapat
disandera. Hal ini berdasarkan bunyi Pasal 209 HIR, dimana dalam Pasal 2
Perma Nomor 1 Tahun 2000 menyatakan bahwa pelaksanaan paksa badan
terhadap debitur yang beritikad tidak baik dijalankan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal
224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Rbg, kecuali dalam hal
yang secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung ini
2. Syarat materil
a. Debitur pailit yang dapat dikenakan paksa badan adalah debitur yang
mampu tapi tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar
utang-utangnya.
b. Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur pailit yang berusia di
bawah 75 tahun.
c. Paksa badan dapat dikenakan terhadap ahli waris yang telah menerima
warisan dari debitur yang beritikad tidak baik.
d. Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik
yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).
Penahanan terhadap debitur pailit dalam kedua peraturan di atas
mempunyai beberapa perbedaan, dimana ada ketentuan-ketentuan dalam Perma
Nomor 1 Tahun 2000 yang tidak dapat diaplikasikan dalam penahanan debitur
pailit dalam kepailitan karena bertentangan dengan ketentuan penahanan yang
terdapat pada UUK dan PKPU, seperti misalnya, ketentuan penahanan dalam
Perma Nomor 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat
dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Yang dimaksud
utang dalam ketentuan pasal ini adalah utang pajak yang berjumlah 1 miliar
rupiah, sehingga pasal ini tidak dapat diterapkan dalam penahanan kepailitan,
karena dalam kepailitan, tidak ada jumlah minimum yang menyebabkan seseorang
dapat dipailitkan dan ditahan.
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Perma Nomor 1 Tahun
debitur pailit dapat ditahan, sehingga debitur pailit yang beritikad baik dapat tetap
ditahan tanpa memperhatikan batas maksimum umur.
Perbedaan antara kedua pengaturan itu juga dapat dilihat dari syarat
materil seorang debitur pailit ditahan. UUK dan PKPU menegaskan bahwa
debitur pailit yang wajib ditahan adalah debitur yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dalam maksud Pasal 98, Pasal 110 atau Pasal
121 ayat (1) dan (2), sedangkan menurut Perma Nomor 1 Tahun 2000, debitur
yang dapat dikenakan paksa badan adalah debitur yang beritikad tidak baik, yaitu
debitur yang mampu membayar namun tidak mau memenuhi kewajiban
membayar utang-utangnya.
Ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 mengenai penahanan
debitur pailit tidak diberlakukan lagi, karena semua ketentuan mengenai
penahanan yang ada di Perma Nomor 1 Tahun 2000 sudah diatur dengan rinci
dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU, kecuali batas maksimum umur debitur pailit
yang dapat ditahan. Hal ini menunjukkan dalam UUK dan PKPU, umur tidak
dapat menjadikan seorang debitur tidak dapat dikenai penahanan. Perma Nomor 1
Tahun 2000 yang dibentuk sebelum UUK dan PKPU berguna untuk mengisi
kekosongan hukum ketika Undang-Undang Kepailitan yang digunakan pada masa
itu adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Ketentuan mengenai penahanan
yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, selama tidak
bertentangan dengannya, dapat merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2000 dalam
memutuskan penahanan terhadap debitur pailit. Namun, setelah dibentuknya
melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit hanya mengacu pada ketentuan
dalam UUK dan PKPU.
C. Masa Penahanan Debitur Pailit
Pada dasarnya, penahanan merupakan salah satu bentuk pengekangan
kebebasan terhadap seseorang sehingga penahanan dikatakan melanggar hak asasi
manusia. Namun, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 bagian menimbang ditulis
bahwa perbuatan debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi
kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu
melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih
besar daripada pelanggaran hak asasi manusia atas pelaksanaan paksa badan
terhadap yang bersangkutan.
Suatu penahanan dapat berdampak positif, karena hal ini merupakan
sarana kurator dalam mengikat debitur pailit. Penahanan merupakan konsekuensi
hukum debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit. Penahanan yang positif harus memenuhi beberapa prinsip yang
dijadikan patokan, seperti:
1. Prinsip “pembatasan jangka waktu penahanan” yang diberikan kepada setiap
instansi penegak hukum, telah “ditentukan secara limitatif”. Tidak bisa diulur
dan dilenturkan dengan dalih apapun. Sekali jangka waktu penahanan lewat,
2. Prinsip “perpanjangan tahanan terbatas waktunya “serta” terbatas permintaan
perpanjangannya”.
3. Prinsip pelepasan atau pengeluaran “demi hukum”, apabila masa tahanan
telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila terlampaui
jangka waktu penahanan yang telah ditentukan, debitur pailit yang
dikenakanan penahanan, harus dikeluarkan “demi hukum”.
Masa penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dijelaskan dalam
Pasal 93 ayat (3) dan (4) yang berisi masa penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan
dilaksanakan.Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditor atau
lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, pengadilan dapat memperpanjang
masa penahanan setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Penjelasan pada Pasal 93 ayat (4) UUK dan PKPU menyatakan bahwa,
tidak ada batas waktu penahanan terhadap debitur pailit yang nakal. Kata “setiap
kali” pada Pasal 93 ayat (4) yang tidak menunjukkan berapa batas maksimum
lamanya seseorang dapat ditahan menimbulkan cela hukum. Jangka waktu
maksimum penahanan debitur pailit yang ditahan tidak ditulis secara jelas dalam
undang-undang ini menyebabkan kepastian hukum debitur pailit yang ditahan
tidak terjamin, karena pengadilan ,dalam menahan debitur pailit, tidak mempunyai
dasar hukum untuk memutuskan berapa waktu maksimum seorang debitur pailit
dapat ditahan. Tidak adanya standar lamanya waktu penahanan rawan
kemerdekaannya selama waktu yang tidak bisa dijamin. Oleh karena itu, demi
menjamin keadilan, hakim pengadilan berhak menentukan berapa lama seorang
debitur pailit dapat ditahan dan hal ini berdasarkan subjektivitas hakim itu sendiri
karena pada prinsipnya, seseorang yang ditahan harus dilepas atau dikeluarkan
demi hukum apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah
ditentukan.
Apabila merujuk pada paksa badan, penahanan dilakukan selama 6 (enam)
bulan lamanya dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan
maksimum selama 3 (tiga) tahun. Masa penahanan debitur pailit yang diatur
dengan rinci menyebabkan Perma Nomor 1 Tahun 2000 memberikan
perlindungan hukum pada debitur pailit terkait masa penahanan, karena debitur
pailit ditahan sesuai dengan ketentuan yang sudah dilindungi hukum.
Tidak adanya limitasi waktu yang jelas dalam penahanan debitur pailit
dalam UUK dan PKPU menyebabkan proses pengurusan dan pemberesan pailit
menjadi lama, yang bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan adanya
lembaga kepailitan. Putusan pailit yang harus diucapkan setelah 60 hari setelah
pertama kali diajukan menjadi tiada gunanya apabila proses pengurusan dan
pemberesan lama. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan dalam pelaksanaan
proses pengadilan yang cepat dan tidak berbelit-belit.
Lamanya waktu penahanan dalam kepailitan pun dapat menjadi
kewenangan pengadilan yang bersifat subjektif, karena masa waktu penahnan
tidak tertera dalam UUK dan PKPU. Padahal, batas maksimum waktu penahanan
memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi debitur pailit. Limitasi waktu
penahanan terhadap debitur pailit merupakan semacam perlindungan hukum pada
debitur yang seharusnya diberikan UUK dan PKPU.
D. Perlindungan Hukum terhadap Debitur Pailit atas Ketidakpastian
Hukum terkait Penahanan
Perlindungan hukum merupakan salah satu unsur penting dalam
pembentukan suatu negara hukum karena dalam kehidupan bernegara, ada
hubungan timbal balik antara negara dan warga negaranya. Dalam hal ini, akan
timbul hak dan kewajiban satu sama lain. Warga negara wajib mematuhi hukum
dan peraturan yang berlaku, jika ia melanggarnya, maka ia akan diberikan sanksi,
sedangkan negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga
negaranya sebagai hak tiap warga negaranya. Namun disisi lain dapat dirasakan
juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri,
oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga
negaranya.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.66
1. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Beberapa arti
perlindungan hukum menurut para ahli :
67
2. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum
dari kesewenangan.68
3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari
perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan
kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum
dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai
subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu
tindakan hukum.69
Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya
suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan
66
(diakses
pada tanggal 5 Februari 2015).
67
Satjipto Raharjo, “Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”, Jurnal Masalah Hukum.
68
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu,1987),hlm.56.
69
sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua
macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:70
1. Sarana perlindungan hukum preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah
mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar
artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak
karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan
hukum preventif.
2. Sarana perlindungan hukum represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh peradilan umum dan Peradilan
Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip
perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari
konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua
yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip
70
negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.
Jika dilihat dalam UUK dan PKPU, tidak dijumpai limitasi waktu
penahanan seorang debitur yang beritikad baik. Hal ini menyebabkan
perlindungan hukum terhadap debitur pailit terkait penahanan menjadi tidak jelas.
Pasalnya, pasal-pasal dalam undang-undang kepailitan yang berkaitan dengan
masa penahanan juga tidak menyatakan secara jelas berapa lama seorang debitur
dapat ditahan. Sebagai pihak debitur, tentu saja hal ini menimbulkan ketidakadilan
baginya, karena sebagai warga negara, ia juga berhak mendapat perlindungan
hukum dari produk hukum yang diciptakan pemerintah (negaranya). Batas
maksimum penahanan debitur pertama kali adalah 30 hari (sesuai dengan Pasal 93
ayat (3) UUK dan PKPU), namun setelah itu dalam undang-undang kepailitan
tidak tertera jelas batas maksimum perpanjangan hari. Jika dibiarkan, hal ini akan
merugikan pihak debitur yang tidak pernah tahu tentang kejelasan statusnya
sebagai tahanan.
Penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan yang dirasakan debitur pailit yang ditahan dapat dilihat
dari peran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan Komnas HAM.
Pasalnya, dalam lampiran Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di
lembaga perlindungan saksi dan korban, salah satu pelanggaran hukum yang
merugikan masyarakat dan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal ini, apabila
debitur pailit merasa tidak ada kepastian hukum bagi dirinya, ia dapat melapor ke
LPSK untuk meminta perlindungan hukum.
Debitur pailit juga dapat melapor ke Komnas HAM, atas tindakan paksa
badan yang dikenakan pada dirinya. Dikenakannya paksa badan pada debitur yang
tidak beritikad baik merupakan hal yang melanggar hak asasi manusia,
sebagaimana diketahui paksa badan adalah salah satu upaya untuk memaksa
debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahan/sandera di suatu tempat
tertentu, sedangkan jelas di uraikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang
Hak Asasi Manusia Pasal 19 ayat (2) bahwa tidak seorangpun atas putusan
pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang
piutang.
Dalam praktiknya, sejak diberlakukannya UUK dan PKPU yang juga
mengatur mengenai paksa badan dan Perma Nomor 1 Tahun 2000, belum ada
permohonan penahanan debitur pailit yang diajukan kreditur dikabulkan.
Beberapa permohonan yang telah dilayangkan baik melalui Majelis Hakim selalu
ditolak. Kita bisa mengambil contoh dari suatu kasus yang pernah dibatalkan.
Mahkamah Agung dengan surat edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964, sejak
tanggal 22 Januari 1964 tentang Penghapusan Sandera (Gijzeling), melarang para
hakim rnenggunakan lembaga penyanderaan/gijzeling dalam penyelesaian perkara
perdata dengan alasan tidak sesuai dengan perkemanusiaan. Perdebatan pro dan
Bismar Siregar dari Pengadilan Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gijzeling
terhadap Mardjuki bin Dulkiran dalam perkara. Bahalludin melawan Mardjuki bin
I-I. Dulkiran (Putusan Pengadilan Jakarta Utara- Timur N0. 1/ 1974/ gijz. tanggal
27 Mei 1974).
Mahkamah Agung dalarn putusannya N0. 951k/Sip/1974 tanggal 6
Februari Tahun 1975 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama
dengan menyatakan bahwa hakim pengadilan tingkat pertama telah salah
menerapkan hukumnya. Putusan ini dikuatkan dengan dengan dikeluarkannya
SEMA Nomor 4 Tahun 1975 yang pada prinsipnya menegaskan pelarangan bagi
hakim untuk menerapkan gijzeling seperti yang diatur dalam Pasal 209 HIR/ 242
RBG dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang rnenyatakan
bahwa pelaksanaan putusan hakim itu tidak meninggalkan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Padahal gijzeling itu merupakan suatu bentuk perampasan terhadap
kebebasan bergerak seseorang.71
Hal ini menyebabkan debitur pailit menjadi memandang sebelah mata
terhadap ancaman penahanan yang diberikan. Belum adanya pelaksanaan nyata
penahanan terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif membuktikan bahwa
prosedur penahanan yang diatur dalam UUK Kepailitan dan PKPU maupun
Perma Nomor 1 Tahun 2000 belum efektif untuk dijadikan pedoman dalam
melaksanakan penahanan, sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit
terkait penahanan pun masih tersirat dan tidak dinyatakan secara jelas dalam
71
undang-undang ini sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit yang
ditahan harus diteliti dan dikaji dari sumber hukum lain selain UUK dan PKPU.
Ketidakefektifan dalam penagihan kewajiban debitur pailit disebabkan
oleh belum ada peraturan secara sempurna yang mengatur tentang prosedur
pelaksanaannya dan perlindungan hukum terkait penahanan yang tertera jelas,
belum dibuatnya peraturan khusus mengenai pelaksanaan dari penahanan terhadap
debitur yang tidak kooperatif tersebut. Sampai sekarang belum ada permohonan
penahanan debitur yang dikabulkan, karena pengadilan niaga dalam melaksanakan
prosedur penahanan tidak dapat bertindak jika tidak ada dasar hukumnya, karena
apabila dilaksanakan tanpa ada dasar hukum yang jelas, esensi dari Pengadilan
Niaga bisa diragukan karena dianggap subjektif dan sewenang-wenang dalam
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun setelah menguraikan pembahasan daripada permasalahan tersebut
diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan salah satu hal yang
dilakukan oleh kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas untuk melunasi
utangnya. Adapun kegiatan dalam pengurusan antara lain mengumumkan
ikhwal kepailitan, melakukan penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran
harta pailit, melanjutkan usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur
pailit, mengalihkan harta pailit, melakukan penyimpanan harta pailit,
mengadakan perdamaian guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan
atau mencegah timbulnya suatu perkara. Sedangkan, pemberesan merupakan
penguangan aktiva dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitur
pailit benar-benar dalam insolvensi setelah adanya putusan pernyataan pailit.
2. Ketentuan tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit yang diatur dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU telah
telah diatur cukup rinci mengatur tentang penahanan. Hal-hal yang diatur
adalah prosedur umum penahanan, alasan pembebasan terhadap debitur pailit,
penyebab ditahannya seorang debitur pailit dan pengecualian khusus
3. Kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit
dalam UUK dan PKPU dirasakan masih kurang, karena sering kali tidak
muncul kepastian hukum dalam penerapannya. Hal ini disebabkan banyaknya
ketentuan yang menimbulkan celah hukum, antara lain jangka waktu
penahanan, kemampuan hakim yang bersifat subjektif dalam melaksanakan
penahanan terhadap debitur pailit sehingga tidak adanya suatu standar
penahanan selain yang diatur pada Pasal 95 UUK dan PKPU.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan
kesimpulan diatas adalah:
1. Walaupun setelah adanya putusan pailit debitur tidak dapat lagi mengurusi
hartanya, namun ia tetap harus bekerja sama dengan kurator dalam proses
pengurusan dan pemberesan harta pailit agar proses pengurusan dan
pemberesan dapat berjalan dengan efektif, transparan dan lancar.
2. Pengaturan tentang pelaksanaan penahanan terhadap debitur pailit sebagai
salah satu upaya agar debitur dapat dipaksa untuk bersikap kooperatif demi
kelancaran pengurusan dan pemberesan harta pailit hendaknya diatur lebih
mendetail dalam UUK dan PKPU agar pelaksanaan penahanan terhadap
debitur pailit dapat memiliki legitimasi kuat, mempunyai kepastian hukum
3. Perlu adanya perbaikan terhadap ketentuan penahanan yang diatur dalam
UUK dan PKPU sehingga ke depannya, kepastian hukum dalam
BAB II
PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan
Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan
dengan pailit. Kata pailit menandakan ketidakmampuan untuk membayar serang
debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo atau yang dikenal dalam
bahasa Inggris dengan “banckrupty”. Sedangkan terhadap perusahaan debitur
yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan
insolvensi. 14
Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal
1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata
menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitur itu,
sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta
kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna
pembayaran utang-utangnya kepada semua kreditur, dan dibayar menurut
perbandingan jumlah piutang masing -masing.
14
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal di atas adalah:15
1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak
membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang
menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk
membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual
dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua krediturnya secara
ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para
kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama.
3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya
piutang-piutang mereka.
Syarat-syarat permohonan pailit dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) UUK
dan PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonann satu atau
lebih krediturnya.
Ketentuan di atas mensyaratkan bahwa untuk mempailitikan debitur harus:
1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur;
15
Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus
creditorium. Syarat ini menegaskan bahwa dalam kepailitan dihindari sita individual, karena jika hanya terdapat 1 kreditur, maka tidak akan sesuai dengan
eksistensi hukum kepailitan yang mengatur bagaimana cara membagi harta
kekayaan debitur di antara para krediturnya.
Fred B. G. Tumbuan berpendapat bahwa keharusan ini sesuai dengan
Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian
kekayaan debitur di antara krediturnya harus dilaksanakan secara pari passu pro
parte.16
2. Tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih;
a. Pengertian “tidak membayar”;
Pengertian tidak membayar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:
1) Insolvent (tidak mampu membayar), adalah suatu keadaan dimana
aset lebih kecil daripada utang.
2) Solvent (mampu membayar namun tidak mau membayar), adalah
suatu keadaan dimana perusahaan sehat, dimana aset lebih besar
daripada utang.
Yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan
suatu debitur pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitur
tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk
16
ketidakmauan debitur untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang
telah diperjanjikan.17
b. Pengertian “lunas”
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dalam perubahannya menambah
kata “lunas” setelah kata “tidak membayar” untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan dalam praktek, seperti debitur yang sudah membayar tetapi
tidak lunas tidak dapat dipailitkan, karena apabila jika pelunasannya lama,
maka hal itu akan merugikan krediturnya.
c. Pengertian “utang”
Tidak adanya pengertian utang dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 merupakan salah satu kekosongan yang terdapat dalam
undang-undang ini. Kelemahan ini kemudian diperbaiki dalam UUK dan
PKPU :
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”
Secara normatif, makna utang di sini sangat luas. Utang yang
terjadi bukan hanya karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit
saja, tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari
perjanjian lainnya, antara lain seperti perjanjian sewa-menyewa, perjanjian
jual beli, perjanjian pemborongan, perjanjian tukar-menukar, perjanjian
17
Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan)”, Jurnal
sewa-beli, dan lain-lain. Demikian juga halnya kewajiban membayar
sejumlah uang yang timbul karena undang-undang adalah utang. Misalnya
pajak yang belum dibayar kepada negara adalah utang. Selain itu,
kewajiban membayar uang berdasarkan putusan pengadilan termasuk
putusan badan arbitrase yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
termasuk juga utang.18
d. Pengertian “telah jatuh waktu dan dapat ditagih”
Sutan Remy berpendapat bahwa pengertian “jatuh waktu” berbeda
dengan “dapat ditagih”, dimana utang yang telah jatuh waktu adalah utang
yang telah expired dengan sendirinya, tetapi utang yang telah dapat ditagih
belum tentu telah “jatuh waktu”.19
Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal,
pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit;
kedua, jatuh tempo yang dipercepat, yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga
pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap
bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak
membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh
tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo karena pengenaan
sanksi/denda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena
18
Syamsudin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tianusa,2012), hlm.91.
19
Sultan Remi Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillessementsverordening
Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm.