• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Pailit. Dikaitkan dengan Klausula Arbitrase

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Pailit. Dikaitkan dengan Klausula Arbitrase"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

(studi putusan MA RI Nomor. 708K/PDT.SUS-PAILIT/2015)

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Ezra Cyntia Purba 150200113

Departemen Hukum Ekonomi

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Masa Esa atas berkat karunia dan penyertaan-Nya yang senantiasa diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Pailit Dikaitkan dengan Klausula Arbitrase (studi putusan MA RI Nomor. 708K/PDT.SUS-PAILIT/2015.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, Penulis tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, arahan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Penulis dengan senang dan rendah hati menyampaikan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan/bimbingan serta memberikan banyak ilmunya kepada Penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

7. Ibu Tri Murti Lubis, SH. M.H selaku Sekertaris Departemen Hukum Ekonomi sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan memberikan arahan/bimbingan serta memberikan banyak ilmunya kepada Penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan;

8. Kepada Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum USU yang selama ini telah banyak membantu Penulis;

9. Kepada kedua orang tua bapak Zefrianand Purba dan ibu Sri Ulina Manullang yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang;

10. Kepada kakak Penulis Asri Roulina Purba dan adik Penulis George Louis Purba yang selalu mengingatkan dan memberikan semangat untuk memperoleh gelar sarjana;

11. Kepada Sahabat Penulis Vivi Elvina Hutabarat, S.H yang mulai dari awal perkuliahan selalu menemani dan membantu Penulis dalam mengerjakan dan mencari bahan materi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini;

12. Kepada Saudara Penulis Evenelia Purba yang mengingatkan dan memberikan semangat untuk memperoleh gelar sarjana;

(5)

14. Kepada Ferawati Br. Nainggolan, S.H dan Titin Lisnawati Gultom yang menjadi teman berjuang dan sharing bersama ;

15. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

16. Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya Penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Juni 2019 Penulis

Ezra Cyntia Purba

150200113

(6)

Dikaitkan dengan Klausula Arbitrase

(studi putusan MA RI Nomor. 708K/PDT.SUS-PAILIT/2015)

 Ezra Cyntia Purba

 Sunarmi

 Tri Murti Lubis

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang- utang tersebut kepada para kreditornya. Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang berada di dalam lingkungan badan peradilan umum, bukanlah badan peradilan yang berdiri sendiri. Dasar pertimbangan dibentuknya Pengadilan Niaga adalah karena pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa Negara Asia dan Indonesia sejak bulan juli 1997. Permasalahan yang terdapat di dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai penyelesaian perkara kepailitan menurut Undang- Undang No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, peran Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan dan tentang kewenangan pengadilan niaga dalam penyelesain Perkara pailit dikaitkan dengan klausula arbitrase dalam putusan nomor. 708/K/PDT.SUS-PAILIT/2015.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat normatif yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data sekunder, yang merupakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan media elektonik/internet.

Dalam penyelesaian perkara kepailitan terdapat pihak-pihak yang terlibat antara lain: kreditor, debitor, kurator, dan juga hakim pengawas. Kewenangan Pengadilan Niaga diatur dalam pasal 300 UU Kepailitan dan PKPU yang berwenang memeriksa dan memutus perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Putusan No.708/K/PDT.SUS- PAILIT/2015 menjelaskan pada putusan tingkat pertama Majelis pada Pengadilan Negeri Medan tidak menerapkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, melainkan Majelis a quo langsung menolak pailit, dengan alasan menunggu putusan Arbitrase di Singapura Pertimbangan demikian jelas bertentangan dengan Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Kata Kunci : Perkara Kepailitan, Kewenangan, Pengadilan Niaga

 Mahasiswi Fakultas Hukum USU

 Dosen Fakultas Hukum USU

 Dosen Fakultas Hukum USU

(7)

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 13

C. Tujuan penulisan... 13

D. Manfaat penulisan... 14

E. Keaslian penulisan ... 14

F. Metode penelitian ... 15

G. Sistematika penulisan ... 17

BAB II PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR. 37 TAHUN 2004 A. Penyebab Terjadinya Perkara Kepailitan ... 19

B. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian Perkara Kepailitan ... 23

C. Proses Penyelesaian Perkara Kepailitan ... 40

D. Akibat Hukum Perkara Kepailitan ... 46

(8)

A. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga ... 57 B. Peran Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian

Perkara Kepailitan ... 60 C. Hukum Acara Kepailitan di Pengadilan Niaga ... 65

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM PENYELESAIAN PERKARA PAILIT DIKAITKAN DENGAN KLAUSULA ARBITRASE (STUDI PUTUSAN MA RI NOMOR. 708K/PDT.SUS-PAILIT/2015)

A. Kasus Posisi ... 83 B. Fakta atau Keadaan Yang Terbukti Secara Sederhana ... 91 C. Keberadaan klausula arbitrase dalam penyelesaian

Perkara kepailitan (Putusan No.708/K/PDT.SUS-PAILIT/2015) 97

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 102 B. SARAN ... 104 DAFTAR PUSTAKA ... 106

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediotrnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena keulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.

Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.1

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang

1 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, (Surabaya: Kencana, 2008) hlm 1.

(10)

memungkinkan, atau penetapaan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (voluntary petition for self bankruptcy)2.

Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang dikemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.3 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam penerima pembayaran tagihannya.4

Selain prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte, dalam sistem kepailitan terdapat pula prinsip debt collection (debt collection principle) dan prinsip debt forgivness (debt forgivness principle). Debt collection principle merupakan konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor. Pada zaman dahulu prinsip

2 Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Dalam : Emmy Yuhassarie (ed.), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta : Pusat pengkajian Hukum, 2005), hlm 55-56.

3 Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, Dalam : Rudhy A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hlm 168.

4 Ibid

(11)

debt collection dimanifestasikan dalam bentuk perbudakan, pemotongan sebagian tubuh debitor (mutiltion), dan bahkan pencincangan tubuh debitor (dismemberment). Sedangkan pada hukum kepailitan modern prinsip ini dimanisfestasikan dalam bentuk antara lain likuidasi asset.5 Sistem hukum kepailitan yang sekarang berlaku di Indonesia dan juga di Belanda sangat menekankan pada prinsip ini. Hal ini bisa dilihat dari tidak terdapatnya mekanisme penghapusan utang debitor jika harta kekayaan tidak mencukupi serta penyederhanaan dari syarat-syarat materil untuk suatu kepailitan, serta tidak terdapatnya pertimbangan terhadap kinerja keuangan debitor dan besarannya asset debitor yang melebihi utang-utang debitor tersebut.

Prinsip lain dalam kepailtan adalah prinsip debt forgiveness principle. Debt forgiveness principle adalah prinsip yang dimanifestasikan asset exemption (beberapa harta debitor dikecualikan terhadap boedel pailit), relief from imprisonment (tidak dipejara karena gagal membayar utang), dan discharge of indebtedness (pembebasan debitor atau harta debitor untuk membayar utang pembayaran yang benar-benar tidak dapat dipenuhi).6 Bentuk lain dari prinsip pengampunan kepailitan adalah diberikannya penghapusan utang serta dimungkinkannya memulai usaha baru dengan tanpa dibebani utang-utang yang lama.

5 Emmy Yuhassarie, Pemikiran Kembali Hukum Kepailitan Indonesia, Dalam : Emmy Yuhassarie (ed.), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm xix.

6 Emmy Yuhassarie, op.cit, hlm xix.

(12)

Pengaturan kepailitan di Indonesia dimulai sebelum berlakunya Faillisements Verordening dahulu hukum kepailitan itu diatur dalam 2 tempat yaitu dalam7 :

1. Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang berjudul “Van de Voorzieningen in geval van Onvormogen van kooplieden” atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi pedagang.

2. Reglement op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat von Kenneljk Onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.

Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan. Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (S.1905-217) untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut. Faillisements Verordening ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropa, golongan China dan golongan Timur Asing (S.1924-556)8. Bagi golongan Indoesia asli (pribumi) dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri, dalam masa ini untuk kepailitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum.

Jalannya sejarah Peraturan Kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang terjadi di negara Belanda dengan melalui azas konkordansi (pasal 131 IS)

7 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2007), hlm 9.

8 Ibid., hlm 10.

(13)

yakni dimulai dengan berlakunya “Code de Commerce” (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 september 1896.

Pada akhirnya setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S.1906 No.348, republic Indonesia mampu membuat sendiri Peraturan Kepailitan. Dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang nomor 4 tahun 1998.9

Pada masa berlakunya Perpu nomor 1 tahun 1998 dan UUK nomor 4 tahun 1998 pengaruh gejolak moneter yang terjadi dibeberapa Negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.

Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban membayar tadi diatur dalam Faillisements Verordening S.1905 No.217 jo. S.1906 No.348. kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas Peraturan Kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan UU tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai konsenkuensi lebih lanjut dari Perpu ini ditingkatkan menjadi Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun

9 Ibid., hlm 11.

(14)

1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September 1998 yang tertuang dalam Lembarang Negara Republik Indonesia (LNRI) tahun 1998 No. 135.

Sejak tanggal Undang-undang tersebut disahkan maka berlakulah undang-undang kepailitan yang pada prinsipnya isinya masih merupakan tambal sulam saja dari aturan sebelumnya yaitu Peraturan Kepailitan Faillisements Verordening.

Pada masa berlakunya undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan bayka permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat.10

Krisis moneter yang melanda Negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional.

Kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Oleh karena itu perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentua yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan

10 Ibid., hlm 12.

(15)

hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan.

Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya :

1. Perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor.

2. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.

3. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap para Kreditor.

Undang-undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.

Beberapa pokok materi baru dalam UUK Nomor 37 Tahun 2004, ini antara lain :

(16)

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undang-Undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk didalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.11

Pada waktu berlakunya Faillissements Verordening tersebut perkara Kepailitan dan PKPU termasuk kewenangan Pengadilan Negeri (bersifat umum) namun dengan adanya perubahan dan penambahan maupun revisi terhadap Faillissements Verordening maka kewenangan menangani sengketa kepailitan dan PKPU berubah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pertama sekali telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998. Kedudukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipertegas pula dalam Pasal 306 UU Nomor 37 Tahun 2004 yakni tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 281 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 telah dikeluarkan Kepres Nomor 97 Tahun 1999 sebagai dasar pembentukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Semarang dan di Pengadilan Negeri

11 Ibid., hlm 14.

(17)

Ujungpandang (Makasar) dan menetapkan wilayah hukum masing-masing Pengadilan Niaga tersebut sekaligus mengubah wilayah hukum pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakara Pusat. Dengan perubahan di wilayah hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang sebelumnya melingkupi seluruh wilayah R.I menjadi hanya wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung dan Provinsi Kalimantan Barat.12

Dalam UUK Tahun 2004 ini telah diatur tentang kewenangan Pengadilan sehubungan dengan perkara pailit yang mengandung klausula arbitrase, sebagaimana ditentukan dalam pasal 303, bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk member penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.13

Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, dimana para pihak menyetujui penyelesaian sengketanya diputuskan oleh pihak netral yang dipilih mereka sendiri. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa secara formal berdasarkan

12 Manahan MP Sitompul, op.cit, hlm. 146-147.

13 Rahayu Hartini, op.cit, hlm. 258-259.

(18)

kesepakatan pera pihak, dimana arbiter mempunyai wewenang memfasilitasi dan memutuskan sengketa melalui keputusan yang mengikat.14

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengertian Arbitrase telah dirumuskan sebagai berikut:15 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, dan wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999.16 Ketentuan tersebut diatas telah dengan tegas membatasi kewenangan mengadili bagi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan sengketa perdata yang disertai perjanjian arbitrase. Jika kreditor ataupun debitor membuat perjanjian dengan klausula arbitrase, maka penyelesaian sengketa harus tunduk pada arbitrase, artinya pengadilan negeri tidak berwenang menyelesaikan perkara tersebut melainkan arbitor yang telah disepakati bersama itulah yang berwenang. Tetapi bila sengketa antara debitor dan kreditor tersebut diajukan ke pengadilan niaga dengan proses kepailitan dan PKPU, maka hal ini

14 Suyud Margono, ADR dan arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm, 48.

15 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3).

16 Ibid., Pasal 11 ayat (2).

(19)

akan berbeda. Pengadilan Niaga bukan Pengadilan Negeri, sebab menurut ketentuan Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1998, pengadilan niaga berwenang memeriksa dan memutus perkara permohona prnyataan pailit dan PKPU.17 Kewenangan mengadili pengadilan niaga terhadap sengketa perdata dengan klausula arbitrase telah ditegaskan pula dalam Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan pengadilan niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang menurut klausula arbitrase sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.18

Dalam hal ini penulis tertarik pada salah satu perkara yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015, untuk mengkaji lebih dalam perkara yang terjadi antara para pihak dalam menyelesaian perkara antara kedua belah pihak menurut Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 serta kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perkara kepailitan yang dikaitan dengan klausula arbitrase. Sengketa tersebut antara PT. Nusantara Sentosa Raya dan PT. Alam Abadi Perkasa dengan PT. Siak Raya Timber yang mengajukan permohonan pernyataan pailit pada tingkat kasasi.

Perkara ini muncul ketika PT. Nusantara Sentosa Raya memberikan pinjaman kepada PT. Siak Raya Timber senilai Rp 2.000.000.000,00 yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Pinjam Meminjam Nomor 41 yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT H.Riyanto, S.H., M.Kn di kota Pekan Baru. Dan PT. Alam Abadi Perkasa pada tanggal 16 September 2010 menjual kayu terhadap termohon pailit sebanyak 1.077,07 M3. Untuk tagihan PT. Alam Abadi Perkasa tersebut sudah

17 Manahan MP Sitompul, op.cit, hlm. 45.

18 UU Nomor 37 Tahun 2004, op.cit, Pasal 303

(20)

pernah ditagih berdasarkan invoice dengan jumlah tagihan Rp 398.023.160,00 dan USD 14,140.36,00.

Sebelum mengajukan gugatan ini, PT. Nusantara Sentosa Raya dan PT. Alam Abadi Perkasa telah mengajukan permohonan pernyataan pailit didepan persidangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan tetapi Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan menolak permohonan pernyataan pailit para pemohon pailit dengan alasan bahwa oleh karena terhadap tagihan para pemohon dan kreditor lain masih menunggu penyelesaian di Arbitrase Singapura dan dari keselurahan pembuktian Para Pemohon ternyata tidak terpenuhi adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit.

Di tolaknya permohonan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan Para Pemohon pailit mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 26 Agustus 2015. Dengan didaftarkannya permohonan pailit pada tingkat kasasi bagaimanakah penyelesaian perkara pailit menurut UU No 37/2004 dan bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam penyelesaian perkara pailit dikaitkan dengan klausula arbitrase.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penulisan skripsi dengan judul “Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Pailit Dikaitkan dengan Klausula Arbitrase (studi putusan MA RI Nomor.

708K/PDT.SUS-PAILIT/2015)”.

(21)

B. Rumusan Masalah

Menurut uraian yang telah disusun pada latar belakang, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Penyelesaian Perkara kepailitan menurut undang-undang nomor 37 tahun 2004?

2. Bagaimana peran pengadilan niaga dalam penyelesaian Perkara kepailitan?

3. Bagaimana kewenangan pengadilan niaga dalam penyelesain Perkara pailit dikaitkan dengan klausula arbitrase dalam putusan nomor 708/K/PDT.SUS-PAILIT/2015 ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu yang menjadi tujuan dari pembahasan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai penyelesaian perkara kepailitan menurut UU nomor 37 tahun 2004

2. Untuk mengetahui peran pengadilan niaga dalam penyelesaian Perkara kepailitan

3. Untuk mengetahui dan memahami tentang kewenangan pengadilan niaga dalam penyelesain Perkara pailit dikaitkan dengan klausula arbitrase dalam putusan nomor 708/K/PDT.SUS-PAILIT/2015

(22)

D. Manfaat Penulisan

a. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran dan uraian yang komprehensif mengenai kewenangan pengadilan niaga dalam menangani klausula arbitrase dalam perkara kepailitan sesuai dengan peraturan UU RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta menambah wawasan ilmiah baik dalam bidang ini maupun dalam bidang terkait lainnya.

b. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan dan tambahan materi bagi para pembacanya baik umum maupun para akademis ataupun sebagai bahan referensi bagi para mahasiswa yang ingin membahas tentang peran pengadilan niaga dalam penyelesaian perkara kepailitan dan kewenangan pengadilan niaga.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yangserupa mengenai “Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Pailit Dikaitkan dengan Klausula Arbitrase (studi putusan MA RI Nomor. 708K/PDT.SUS- PAILIT/2015)”.

Penulisan skripsi ini dimulai dari mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan hak merek, peraturan perundang-undangan yang berkaitan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakan atau media cetak maupun media

(23)

elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan secara alamiah dan akademik.

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu hal atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.19 Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini antara lain:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu dengan menggunakan tipe penelitian pendekatan yuridis normatif, yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam Peraturan Perundang-Undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.20 Selain itu melihat sinkronisasi suatu aturan hukum dengan aturan lainnya secara hierarki.21

2. Sifat Penelitian

Penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian dan pelaksanaan hukum di masyarakat yang berkaitan dengan objek penelitian.22

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, UI Press, 2006) hlm. 43.

20 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm. 105.

21 Ibid

22Ibid

(24)

1. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder, yang mana terdiri dari:23

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, misalnya: UU No 37 Tahun 2004 dan juga peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku maupun tulisan-tulisan ilmiah hukum.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang berupa penjelasan mengenai bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus dan sebagainya.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Penelitian Kepustakaan yang diperoleh baik melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.24

3. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelenggarakan permasalahan hukum yang menjadi objek

23Ibid., hlm. 106.

24Ibid., hlm. 107.

(25)

kajian.25

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilakan karya yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Dalam memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalahan sebagai topik yang akan dibahas secara mendalam, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR. 37 TAHUN 2004

Bab ini akan membahas mengenai penyebab terjadinya perkara kepailitan, akibat hukum perkara kepailitan, pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara kepailitan, proses penyelesaian sengketa kepailitan, dan klausula arbitrase dalam penyelesaian perkara kepailitan.

BAB III PERAN PENGADILAN NIAGA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

25 Ibid

(26)

Bab ini akan membahas mengenai tugas dan wewenang pengadilan niaga, peranan pengadilan niaga dalam menyelesaikan pekara kepailitan, dan juga hukum acara kepailita di pengadilan niaga.

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM

PENYELESAIAN PERKARA PAILIT DIKAITKAN DENGAN KLAUSULA ARBITRASE (studi putusan MA RI Nomor. 708K/PDT.SUS-PAILIT/2015)

Bab ini akan membahas mengenai kasus posisi, fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, serta keberadaan klausula arbitrase dalam penyelesaian perkara kepailitan (putusan no.708/k/pdt.sus-pailit/2015).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang memungkinkan berguna bagi orang- orang yang membacanya.

(27)

BAB II

PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

A. Penyebab Terjadinya Perkara kepailitan

Sebagaimana diketahui, pada tahun 1997 terjadi gejolak ekonomi dan moneter di Indonesia yang mempengaruhi kehidupan perekonomian nasional. Keadaan ini membawa Negara kita dalam kesulitan besar di bidang perekonomian dan dunia usaha. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yag sangat besar. Fenomena glonalisasi tampak dengan nyata dlam bidang ekonomi, berbagai bukti dengan jelas mendukung semboyan „satu dunia, satu ekonomi‟. Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintas batas-batas Negara bangsa, sehingga ungkapan „dunia tanpa batas‟ dalam kaitannya dengan perekonomian internasional bukanlah ungkapan yang berlebihan. Untuk itu, sangat diperlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya yang terkait dalam bidang hukum bisnis. Dalam bidang hukum, diperlukan adanya kepastian hukum yang dapat menciptakan keadaan yang kondusif bagi kehidupan perekonomian nasional, sehingga memungkinkan munculnya perusahaan yang produktif dan sehat yang membawa manfaat bagi masyarakat dan Negara.26

Krisis moneter yang berkepanjangan dan tidak diduga sebelumnya itu mengakibatkan dunia usaha tidak mampu mengembangkan usahanya, bahkan

26 Manahan MP Sitompul, Hukum Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Di Dalam Dan Di Luar Proses Pengadilan, (Malang: Setara Press, 2017), hlm. 1-2.

(28)

untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya sendiri menjadi sangat sulit, seperti dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeni: “Krisis moneter itu diawali dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar AS. Hal ini telah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap para kreditor luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utang- utangnya”.27

Keadaan ini sangat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar utang, baik yang berasal dari pinjaman kredit maaupun kewajiban untuk memenuhi prestasi lainnya. Utang merupakan kewajiban yang timbul karena perjanjian atau oleh undang-undang yang harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditornya, dan bila debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut maka timbullah hak para kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta debitur melalui kepailitan. Kepailitan adalah suatu lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting dibidang hak kebendaan hubungannya dengan hak dan kewajiban subjek hukum. Lembaga ini merupakan realisai dari ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata yang mengatur tentang tanggung jawab subjek hukum (perseorangan maupun badan hukum) terhadp perikatan-perikatan yang dilakukan.28

Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Kata bangkrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari Undang-undang di Italia yang disebut dengan banca rupta. Pada abad pertengahan dieropa, terjadi praktik kebangkrutan

27 Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm. 29.

28 Manahan MP Sitompul, op.cit, hlm. 2-3.

(29)

yang dilakukan dengan menghancurkan bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditornya. Adapun di Venetika (Italia) pada waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau hancur.29

Dalam menghadapi permasalahan utang ini, dilihat dari sikap dan tindakannya terhadap kredior, terdapat dua golongan debitor. Golongan debitor yang beritikad baik (debtor good faith) dibedakan dengan golongan yang beritikad tiak baik (debtor bad faith). Asas hukum “beritikad baik” perlu diterapkan untuk melindungi para kreditor dari kemungkinan manipulasi-manipulasi utang dari pihak “debtor bad faith”.30 Debitor yang beritikad tidak baik dapat dilihat dari usaha-usaha debitor dalam mengelola perusahaannya dengan tidak berpedoman pada prinsip duty of care, sedangkan debitor yang beritikad baik dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan bisnis (business judgement) yang dilakukan benar-benar berpedoman pada prinsip duty of care ssehingga tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan maupun para kreditornya. Bila terjadi sengketa utang piutang antara debitor dengan kreditor, terhadap debtor bad faith ini tidak ada pilihan lain, selain mengajukanya ke pengadilan (in court) dengan acara perdata biasa (kreditor tunggal) atau melalui proses kepailitan jika ada dua atau lebih kreditor. Bagi debtor good faith sebelum upaya in court diterapkan perlu dicari upaya lain yang

29 Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System), (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004), hlm. 10.

30 H.P. Panggabean, Penerapan Asas-Asas Peradilan dalam Kasus Kepailitan, Ulasan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, (Vol.7, 1997), hlm. 33.

(30)

dapat menyelamatkan perusahaan si debitor sehingga menguntungkan kedua belah pihak.

Peraturan kepailitan di Indonesia idealnya harus mendukung terhadap kepentingan dunia usaha disamping mendukung kepastian hukum. Berdasarkan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1988 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisements Verordening, Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 Jo.

Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348.) “Dengan berlakunya Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditor-kreditor luar negeri agar para kreditor luar negeri memperoleh jaminan kepastian Hukum”31 dan tanggapan lain menyebutkan:

“Perpu ini merupakan usaha bersama antara Pemerintah Indonesia dengan The International Monetary Fund (IMF) dalam rangka stand by arrangement”. Perpu Nomor 1 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dan sebagai hasil legislasi telah diterbitkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU. Latar belakang dilakukannya penyempurnaan “faillessements Verordening”, pemerintah menjadikan salah satu pertimbangannya:

Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara adil, cepat, terbuka, dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan.32

31 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm.1.

32 Perpu Nomor1 Tahun 1998, Menimbang butir c.

(31)

B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan 1. Kreditor

Kreditor adalah subjek hukum baik perseorangan maupun badan hukum yang mempunyai hak untuk menagih sejumlah uang dari debitor setelah lewat waktu yang diperjanjikan atau karena kewajiban telah timbul karena Undang-Undang.

Kreditor dapat menyita dan melaksanakan penjualan benda milik debitor guna pelunasan piutangnya. Benda-benda mana yang dapat disita dan urutan-urutannya serta cara penjualannya haruslah memperhatikan hak debitor serta menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Pada asasnya debitor tidak mempersoalkan siapa kreditornya selama semua kewajiban prestasi dan syarat-syaratnya sama. Kalau kreditornya tertentu yakni berupa tagihan atas nama maka “cara pengoperannya dilakukan dengan formalitas tertentu dengan membuat akte cassie”33 atau dengan cara membuat pengakuan utang (schuld-bekentenis) baik atas tunjuk maupun atas bawa.

Para kreditor dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis sesuai tingkat kedudukannya yang dapat dibedakan dari cara pelunasannya oleh debitor. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Aneka Hukum Bisnis menyatakan:

Hasil penjualan asset debitor yang dibayarkan kepada kelompok kreditor sebagai berikut:

1) Biaya eksekusi untuk benda bergerak/tdak bergerak yang tertentu (Pasal 1139 ayat (1) KUHPerdata)

2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang (Pasal 1139 ayat (4) KUHPerdata)

33 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hlm 26.

(32)

3) Kreditor pada butir 1 dan 2 di atas adalah berdasarkan hak istimewa khusus (special voorrechten) terhadap hasil penjualan benda tertentu (Pasal 1134, 1138, 1139 ayat (1) dan (4) KUHPerdata)

4) Biaya perkara karena pelelangan (Pasal 1149 ayat (1)) atas benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya

5) Upah karyawan (Pasal 1149 ayat 94) atas benda bergerak dan tidak bergerak berupa: (Pasal 1138, 1149 KUHPedata)

6) Kreditor (Negara) untuk pelunasan pajak (Pasal 1133 alinea 2 jo. UU tentang ketentuan Pajak No. 6 Tahun 1983)

7) Kreditor pemegang gadai dan hipotek (Pasal 113 KUHPerdata) 8) Kreditor berdasarkan hak istimewa (privilege), selebihnya baik

khusus dan umum (pasal 1134, 1139 KUHPerdata)

9) Kreditor yang mempunyai kedudukan sama (pari pasu, konkuren) yang dibayar seimbang (pond-pond gewijs) menurut besar kecilnya hutang (Pasal 1132 KUHPerdata).34

Dari pengelompokan tersebut di atas dapat dilakukan pembagian kreditor ke dalam tiga bagian besar, yaitu:

1) Kreditor Separatis (Secured Creditor) 2) Kreditor Preferen

3) Kreditor Konkuren (Unsecured Creditor)

Kreditor separatis (pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggugan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya) berada di luar kepailitan karena dapat

34 Mariam Darus Badrulzaman et.al. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001), hlm 131-132.

(33)

mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjaddi kepailitan.35 Namun ditentukan kemudian bahwa hak eksekusi kreditor separatis ini ditangguhkan untuk paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.36 Penangguhan ini tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang.37 Jangka waktu penangguhan (stay) tersebut demi hukum berakhir pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insovensi.38 Sedangkan hak eksekusi kreditor separatis ini harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat dua bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.39

Kreditor preferen, mempunyai kedudukan istimewa yang harus didahulukan oleh kreditor lainnya. Biaya perkara, biaya eksekusi maupun privilege khusus dan umum serta utang pajak adalah tagihan-tagihan harus didahulukan pelunasannya.

Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak istimewa dan bukan pula pemegang hak tanggungan, dan kedudukannya masaing-masinga adlah sama. Pembayaran utang pada kreditor konkuren adalah menurut keseimbangan yang biasa disebut pembayaran secara “pari passu pro rata parte”.

Pembayaran secara berimbang ini juga berlaku apabila ternyata dalam verifikasi jumlah harta lebih kecil dari jumlah utang.

Berpegang pada asas concursus creditorium, bila putusan pernyataan pailit telah di tetapkan, maka diterima suatu anggapan hukum bahwa seluruh kreditor menjadi pihak dalam putusan tersebut dan terikat atas isi putusan itu. Berdasarkan pada asas dan anggapan hukum tersebut, maka setiap kreditor berhak mengajukan

35 UU No. 37 Tahun 2004, Pasal 55 ayat (1).

36 Ibid., Pasal 56 ayat (1).

37 Ibid., Pasal 56 ayat (2).

38 Ibid., Pasal 57 ayat (1).

39 Ibid.,Pasal 59 ayat (1).

(34)

upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali atas putusan pernyataan pailit itu.40

2. Debitor

Debitor adalah si berhutang yang dapat dituntut atau diminta untuk membayar utang atau kewajibannya oleh si kreditor. Sering terjadi si debitor tidak memenuhi kewajibannya baik disebabkan karena kesengajaan maupun karena kelalaiannya.

Akibatnya si kreditor akan meminta pertanggung jawabannya si debitor. Debitor yang lalai yakni melakukan wanprestasi dapat digugugat di depan hakim. Seorang debitor dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah di perjanjikan.41 Mereka yang dapat dinyatakan sebagai debitor pailit adalah:42

a. Orang perorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah.

b. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berbadan hukum seperti firma.

c. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum.

d. Harta peninggalan.

Bagi jenis-jenis debitor tersebut di atas jelas perbedaan pengaturannya dalam undang-undang kepailitan, artinya aturan kepailitan bagi perusahaan besar maupun perusahaan kecil, berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum sama saja aturan kepailitan yang diterapkan. Perlu dipikirkan dan dipertimbangkan apakah tidak sebaiknya dibuat aturan main yang berbeda untuk:

40 Manahan MP Sitompul, op.cit. hlm 57.

41 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XVII, (Jakarta: Inter Nusa, 1983) hlm 147.

42 Ibid

(35)

1) Perusahaan besar dan perusahaan yang tergolong perusahaan kecil dan menengah;

2) Perusahaan koperasi dan non koperasi;

3) Perusahaan debitor yang sahamnya telah terdaftar di bursa efek dan belum terdaftar;

4) Perusahaan-perusahaan yang merupakan bank dan lembaga pembiayaan di satu pihak dan perusahaan lainnya;

5) Perorangan dan badan hukum;

6) Perorangan yang pengusaha dan bukan pengusaha, ibu rumah tangga, pensiunan, dokter, pengacara, dan perorangan lainnya yang hidup dari pendapatan tetap maupun tidak tetap;

7) Perorangan yang memiliki utang yang keseluruhannya di bawah jumlah tertentu dan perorangan yang memiliki utang yang keseluruhannya di atas jumlah tertentu.43

3. Hakim Pengawas

Debitor pailit tidak dapat lagi menguasai dan mengurus kekayaannya, maka harus diangkat dan ditunjuk Kurator untuk mengurus dan menguasai kekayaan Debitor yang dinyataakan pailit tersebut. Kurator juga perlu diawasi dalam melaksanakan tugasnya agar tidak menyalahgunakan kewenangannya atau untuk tidak melakukan hal-hal lain yang tidak diinginkan, untuk itu harus diangkat seorang Hakim Pengawas oleh Pengadilan Niaga. Dalam Putusan Pernyataan pailit harus

43Sutan Remy Sjaehdeini II, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institute Bankir Indonesia, 1993), hlm.

119.

(36)

diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan Niaga.44

Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan Hakim Majelis.45 Sesorang yang ahli dapat diangkat sebagai hakim ad hoc baik pada pengadilan niaga tingkat pertama, kasasi maupun pada tingkat peninjauan kembali berdasarkan Keputisan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Syarat-syarat menjadi hakim ad hoc sama dengan menjadi seorang hakim pengadilan niaga, kecuali syarat telah berpengalaman sebagain hakim dalam pengadilan niaga dapat diangkat sebagai Hakim Pengawas yang ditunjuk berdasarkan putusan pernyataan pailit, yang tugasnya adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dikuasai oleh Kurator.

Tugas-tugas Hakim Pengawas dalam Kepailitan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.

b. Memberikan pendapat kepada pengadilan (Hakim Majelis) sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit.

c. Mendengar keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan.

d. Melimpahkan pemeriksaan saksi kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal saksi dalam hal saksi bertempat tinggal diluar wilayah hukum pengadilan yang memutus pailit.46

Tugas-tugas Hakim Pengawas dalam rangka PKPU dapat diuraikan sebagai berikut:

44 UU Nomor 37 tahun 2004, Pasal 15.

45 Ibid., Pasal 301

46 Ibid., Pasal 65,66,67.

(37)

a. Atas permintaan Pengurus, mendengar saksi atau memerintahkan pemeriksaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU.

b. Mengusulkan kepada pengadilan niaga tentang penggantian Pengurus atau penambahan pengurus.

c. Mengangkat seorang ahli atau beberapa ahli untuk melakukan pemeriksaan tentang keadaan harta debitor dan menerima laporan dalam jangka waktu tertentu.

d. Memberi persetujuan kepada pinjaman debitor terhadap pihak ketiga serta mengganggunkan harta kekayaan debitor.

e. Memohonkan agar PKPU diakhiri dengan alasan debitor melakukan tindakan beritikad buruk dalam pengurusan hartanya, telah merugikan atau mencoba merugikan kreditornya, lalai melaksanankan tindakan- tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan niaga atau Pengurus demi kepentingan harta debitor, atau bila keadaan harta debitor tidak memungkinkan dilanjutkan PKPU atau debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor pada waktunya.

Dalam hal Pengadilan Niaga menetapkan PKPU Sementara, wajib menunjuk seorang hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga serta mengangkat satu atau lebih Pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

4. Kurator

Dalam putusan pernyataan pailit juga diangkat dn ditunjuk seorang Kurator yang tugsnya adalah untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan terhadap harta

(38)

pailit, karena dengan adanya pernyataan pailit si dbitor tidak dapat lagi menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Penunjukan Kurator ini adalah atas usul dari debitor maupun kreditor, sedang kewenangan pengangkatannya berada pada Pengadilan Niaga (Majelis Hakim). Kreditor maupun Debitor masing-masing dapat mengusulkan lebih dri satu calon Kurator, namun Pengadilan Niaga akan memutuskan siapa dan berapa orang yang akan diangkat menjadi Kurator dalam suatu Kepailitan. Sebelum berlakunya UU Nomor 44 Tahun 1998 yang menjaadi Kurator hanya Balai Harta Peninggalan (BHP) saja, tetapi setelah berlaku UU Nomor 44 tahun 1998 selain BHP dapat juga pihak lain bertindak sebagai Kurator yakni:47

a. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit, dan

b. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

Kurator dapat digantikan sewaktu-waktu atas kehendak dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan penetapan pengadilan yakni:48

a. Atas permohonan Kurator sendiri.

b. Atas permohonan Kurator lainnya, jika ada.

c. Usul Hakim Pengawas, atau d. Permintaan Debitur Pailit.

Selain atas permohonan dan pihak-pihak tersebut, Pengadilan Niaga harus memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan rapat kreditor dengan putusan yang

47 Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 67 a UU No. 4 Tahun 1998.

48 UU Nomor 27 Tahun 2004, Pasal 71 ayat (1).

(39)

diambil berdasarkan suara setuju lebih dari separuh jumlah piutang kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.49

Dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Kepailitan dapat dikemukakan beberapa tugas-tugas dan wewenang Kurator sebagai berikut:

a. Melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.

b. Mengumumkan putusan Hakim tentang pernyataan pailit dalam Berita Negara dan surat kabar yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas.

c. Melaksanankan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya.

d. Meminta penyegelan harta pailit kepada Pengadilan Niaga dngan alasan untuk mengamankan harta pailit dengan melalui Hakim Pengawas.

e. Membuat pencatatan harta pailit termasuk surat, dokumen, uang dan perhiasan, efek dan surat berharga lainnya. Pencatatan (inventarisasi) ini dapat dilakukan di bawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas.

f. Menyusun daftar utang dan piutang harta pailit, jumlah piutang masing- masing kreditor.

g. Melanjutkan usaha debitor pailit atas persetujuan panitia Kreditor sementara, bila panitia kreditor tidak ada diangkat maka untuk melanjutkan usaha debitor tersebut Kurator harus memerlukan izin dari Hakim Pengawas.

49 Ibid., Pasal 71 ayat (2).

(40)

h. Membuka surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitor pailit, sedang surat dan telegram yang tidak berkaitan dengan harta pailit harus diserahkan kepada debitor pailit.

i. Menerima pengakuan dan keberatan yang berkaitan dengan harta pailit.

j. Member sejumlah uang yang ditetpkan oleh Hakim Pengawas untuk biaya hidup debior pailit dan keluarganya.

k. Mengalihkan harta pailit sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atas persetujuan Hakim Pengawas.

l. Menyimpan uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya, kecuali bila Hakim Pengawas ditentukan lain.

m. Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara, yakni setelah meminta saran dari panitia kreditor sementara dan dengan izin dari Hakim Pengawas.

n. Memanggil debitor untuk memberikan keterangan yang diperlukan oleh Hakim Pengawas, panitia kreditor dan Kurator.

o. Memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang.

p. Melakukan pinjaman dari pihak ketiga hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit.

q. Menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga (3) bulan, laporan tersebut bersifat tebuka untuk umum.

Kurator mempunyai dua kewajiban hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kewajiban tersebut adalah a). statutory duties, yaitu kewajiban-

(41)

kewajiban yang ditentukan oleh Undang-undang; dan b). fiduciary duties atau ficuciary obligations yang diemban oleh Kurator karena Kurator memiliki fiduciary relationship terhadap.50

a. Pengadilan, yang dalam UU Kepailitan Indonesia diwakili oleh Hakim Pengawas

b. Debitor.

c. Para Kreditor.

d. Para Pemegang Saham.

Dengan adanya fiduciary relationship ini maka Kurator akan mengemban kepercayaan dari pengadilan, debitor, para kreditor dan para pemegang saham untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan pihak- pihak tersebut karena dengan demikian kurator bertanggung jawab kepada pihak- pihak tersebut. “Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya dengan tidak memihak”.51

5. Pengurus

Dalam hal permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor maupun kreditor, Pengadilan Niaga harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus pula menunjuk seorang hakim pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga serta mengangkat satu atau lebih Pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor. Dengan diangkatya seorang, atau lebih Pengurus, maka dengan sendirinya kekayaan debitor berada di bawah pengawasan Pengurus. Debitor hanya dapat melakukan tidakan pengurusan dan pengalihan atas kekayaannya apabila mendapat

50 Sultan Remi Sjahdeini II, op.cit. hlm. 224-225.

51 Ibid

(42)

persetujuan dari pengurus. Tindakan debitor yang dilakukannya tanpa persetujuan Pengurus tidak akan mengikat harta kekayaan tersebut.52

Pengurus yang diangkat haruslah independen dan tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan debitor atau kreditor. Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah:

a. Orang perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitor, dan

b. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peratran perundang-undangan.

Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitor. Pertanggung jawaban Pengurus atas kesalahan dan kelalaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitor akan didasarkaan pada prinsip fiduciare duty. Kreditor ataupun pihak-pihak yang dirugikan dapat menggugat Pengurus bila dalam melaksanakan tugasnya telah menyebabkan harta kekayaan debitor berkurang nilainya. Tanggung jawab Pengurus ini bukan hanya terhadap kerugian harta debitor akibat perbuatan yang disengaja saja tapi juga terhadap kerugian yang timbul karena kelalaian Pengurus. Namun, tugas utama Pengurus adalah bersama-sama dengan debitor mengurus kepentingan si debitor mengenai harta bendanya, artinya bahwa debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya tanpa persetujuan dari Pengurus.53

52 Manahan MP Sitompul, op.cit, 153-154.

53 Ibid

(43)

Imbalan jasa Pengurus ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yakni setelah PKPU berakhir dan harus dibayar lebih dahulu dari harta debitor. Untuk itu telah dikeluarkan Kep. Men. Keh. RI Nomor MH 09 HT. 05 10 THN. 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus.

Pengurus wajib melaporkan keadaan harta debitor untuk setiap 3 bulan, dan laporan tersebut harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga agar dapat dilihat setiap orang, bila ada masyarakat yang menginginkan untuk memperolehnya boleh dengan cuma-cuma. Jangka waktu pelaporan tersebut dapat diperpanjang oleh Hakim Pengawas.54

6. Peranan Ahli

Apabila PKPU telah dikabulkan, Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeiksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Ahli yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah dalam rangka menerapkan asas due diligence, karena dengan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan tuntas dapat mengetahui keadaan sebenarnya dari harta debitor. Selanjutnya dapat diperoleh penilaian yang akurat apakah harta debitor memungkinkan untuk melakukan penawaran-penawaran dalam rencana perdamaian yang diajukan debitor. Ahli sangat berperan dalam mewujudkan prinsip due diligence ini karena keadaan debitor dpat diketahui secara rinci tentang utang piutang perusahaan sekaligus mengaudit keuangan perusahaan si

54 Ibid

(44)

debitor melalui tenaga akuntan. Konsultan hukum sangat diperlukan tenaganya untuk meneliti kedudukan perusahaan Debitor dari segi hukum baik yang berkaitan dengan hubungan perusahaan debitor dengan perusahaan induk, atau untuk kemungkinan melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi.55

Seberapa banyak ahli dan jenis keahlian yang diperlukan tergantung daripada permasalahan yang mungkin ditemukan dalam suatu perusahaan debitor yang sedang tidak sehat tersebut. Seorang ahli yang spesifik pengetahuannya dapat diangkat untuk mengetahui secara teknis permasalahan demi untuk terwujudnya keterbukaan dalam mendapatkan keadaan sebenarnya dari perusahaan debitor.

Semua laporan tentang keberadaan harta debitor dan perhitungan keuangan dan hal-hal lain yang perlu, dilakukan dan disusun oleh ahli dengan bekerja sama dengan debitor dan Pengurus.

PKPU diajukan oleh debitor ataupun kreditor adalah pada saat posisi debitor sedang dalam keadaan genting karena ancaman kepailitan sudah mendesak.

Sehinga bila debitor hendak mengajukan rencana perdamaian dan tahap-tahap pelaksanaannya perdamaian itu hingga diperoleh PKPU Tetap, ada hal yang perlu dilakukan debitor yakni melaksanakan “prinsip-prinsip keterbukaan” dari pihak debitor tentang keadaan perusahhaannya. Keterbukaan informasi ini akan menentukan apakah kreditor akan menyetujui atau menolak proses perdamaian yang ditawarkan. Hal-hal yang ditawarkan dalam rencana perdamaian dengan adanya keterbukaan informasi, lebih memungkinkan tercapainya suatu kesepakatan yang mengarah kepada reorganisasi yang lebih luas cakupannya.56

55 Ibid

56 Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, maka guru perlu mempelajari dan mempertimbangkan masalah Strategi mengajar yang tepat yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil tentang penerapan metode Balanced Scorecard dalam pengukuran kinerja Kusuma Sahid Prince Hotel Surakarta pada tahun

Nawatmi (2012) mendefinisikan nilai tukar sebagai harga dari mata uang asing dalam mata uang domestik, sehingga peningkatan nilai tukar berarti meningkatnya harga dari valuta

LPEI sebagai agen Pemerintah dapat membantu memberikan pembiayaan pada area yang tidak dimasuki oleh bank atau lembaga keuangan komersial ( fill the market gap )

Penarikan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling (Nurdiani, 2014) yaitu diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari sampel sebelumnya yang dalam

[r]

[r]

1. Komponen aerasi, yaitu bagian akar yang mencuat kebagian atas dari sistem perakaran dam berfungsi sebagai pertukaran gas. Komponen penyerapan dan penjangkaran, yaitu