• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN MENURUT

D. Akibat Hukum Perkara Kepailitan

Akibat hukum dari kepailatan adalah si pailit tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan kepengurusan dan pemilikan terhadap harta kekayaan atau asset. Tetapi kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya, jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum diluar hukum kekayaan.76 Kepailitan tidak menghilangkan sama sekali kewenangan si pailit untuk melakukan kepengurusan dan pemilikan harta yang berhubungan dengan pribadinya. Jadi tindakan yang membawa akibat-akibat hukum terhadap boedel pailit (aset) hanya dapat dilakukan oleh kurator yang ditunjuk dalam putusan

74 Ibid

75 Ibid

76 Bernadette Waluyo, ,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Mandar Maju, 1999),. hlm 1.

pailit. Dalam batas-batas tertentu si debitor pailit dapat melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum kekayaan sepanjang perbuatan tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit, kurator dapat meminta pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit.

Lebih lanjut mengenai Akibat Kepailitan dalam UUK No. 37 Tahun 2004 diatur pada bagian tersendiri pada bab II, Bagian kedua mulai dari pasal 21 sampai dengan pasal 64.

1. Akibat Kepailitan Terhadap Debitur Pailit dan Hartanya

Dalam lampiran pasal 19 UUK No. 4 Tahun 1998 jo pasal 21 UUK No. 37 Tahun 2004, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu.

Dan menurut pasal 22 UUK No. 37 Tahun 2004, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:

a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pension, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau

c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban member nafkah menurut undang-undang.

Adapun yang dimaksud semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan, misalnya warisan. Menurut Pasal 40 UUK No. 37 Tahun 2004, segala warisan yang selama kepailitan menjadi hak debitur pailit, tidak boleh diteriima oleh

kurator, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Sedangkan untuk menolak semua warisan, kurator memerlukan izin dari hakim pengawas.77

Berdasarkan ketentuan lampiran pasal 19 UUK Tahun 1998 jo pasal 21 UUK Tahun 2004 tersebut, yang dinyatakan pailit adalah seluruh kekayaan debitur, bukan pribadinya. Karena itu, menurut pasal 24 UUK Tahun 2004, dengan dinyatakannya pailit, si pailit demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya yang termasuk dalam kkepailitan, begitu pula haknya untuk mengurus, sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Tanggal putusan dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Yang dimaksud “waktu setempat” adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, misalnya putusan diucapkan di Surabaya pada tanggal 24 Desember 2005 pukul 13.00 WIB, maka putusan tersebut dihitung mulai berlaku sejak pukul 00.00.

Menurut lampiran pasal 104 UUK, apabila nilai harta pailit yang dapat dibayarkan kepada kreditur yang diistimewakan dan kreditur konkuren melebihi jumlah tagihan terhadap harta pailit, dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak putusan pernyataan pailit mempunyai kekuatan ukum yang tetap, hakim pengawas dapat mmenetapkan:

a. Batas akhir pengajuan tagihan;

b. Hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan utang.

Penentuan waktu pelaksanaan rapat setidak-tidaknya 14 hari setelah batas akhir pengajuan tagihan. Untuk piutang-piutang yang nilainya tidak ditetapkan atau tidak pasti, tidak dapat dinyatakan dalam uang Indonesia atau sama sekali tidak

77 Rahayu Hartini,op.cit. hlm. 104.

dapat dinyatakan dalam uang, dalam pencocokannya diperhitungkan menurut taksiran harga dalam uang Indonesia. Penetapan nilai piutang kedalam mata uang rupiah dilakukan pada tanggal putusaan pernyataan pailit ditetapkan.78

2. Akibat Kepailitan Terhadap Eksekusi Atas Harta Kekayaan Debitur Pailit

Di dalam ketentuaan lampiran UUK pasal 32 jo psal 31 ayat (1) UUK no. 37 Tahun 2004 disebutkan, bahwa segala putusan hakim menyangkut setiap bagian harta kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus segera dihentikan dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor. Dalam penjelasan ayat (1) menyebutkan dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, ketentuan ini tidak berlaku bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bahwa setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Sementara itu dalam pasal 56 disebutkan bahwa, hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Penangguhan mana tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang. Dan selama jangka waktu penangguhan tersebut, Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun

78 Ibid, hlm.106.

benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usahan debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga.

Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk menganggkat penangguhan atau mengubah sayarat penangguhan tersebut. Apabila kurator menolak permohonan maka, kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas. Kemudian hakim pengawas dalam waktu paling lambat 1(satu) hari setelah permohonan tersebut diterima, wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, kreditor dan pihak ketiga untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Selanjutnya Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada Hakim Pengawas.

Terhadap putusan Pengadilan sbagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan upaya hukum apapun termasuk Peninjauan Kembali. Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya (pasal 31 ayat (2) UUK No. 37 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan “jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya” antara lain pencoretan terhadap penyitaan tanah atau kapal yang terdaftar.79

79 Rahayu Hartini, op.cit, hlm. 109.

Ayat (3) nya menyebutkan, dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 93, Debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Yang dimaksud dengan “penahanan” dalam ketentuan ini adalah gijzeling.

3. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Timbal Balik Yang Dilakukan Sebelum Kepailitan

Kepailitan meliputi seluruh utang dan piutang debitur pada saat pernyataan pailit dilakukan. Dengan adanya pernyataan pailit, maka kemudian pengurusan harta pailit dilakukan oleh kurator. Menurut ketentuan pasal 36 ayat (1)-(5) UUK No.

37 Tahun 2004, dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau sebagian baru dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut.

Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu tidak tercapai, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut diatas, kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.80

Apabila Kurator menyatakan kesanggupannya maka kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak berlaku

80 Ibid

terhadap perjanjian yang mewajibkan debitor melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan.

Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelu penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam hal harta pailit dirugikan karna penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka pihak lawan wajib membayar ganti kerugian tersebut (pasal 37 ayat (1)-(2) UUK No. 37 Tahun 2004).

Dalam hal debitor telah menyewa suatu benda maka baik kurator maupun pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Dan dalam hal melakukan penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus pula diindahkan pemberitahuan penghentian menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 (Sembilan puluh) hari. Dalam hal uang sewa telah dibayar dimuka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut. Maka sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, uang sewa merupakan utang harta pailit (pasal 38 ayat (1)-(4) UUK No. 37 Tahun 2004).81 Ketentuan mengenai

81 Ibid

pemutusan hubungan kerja, kurator tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan (pasal 39 ayat (1) UUK No. 37 Tahun 2004).

Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang pernyataan pailit.

4. Akibat Kepailitan Terhadap Kewenangan Berbuat Debitur Pailit Dalam Bidang Hukum Harta Kekayaan

Setelah ada putusan pernyataan pailit, debitur dalam batas-batas tertentu masih dapat melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum kekayaan sepanjang perbuatan tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Sebaliknya apabila perbuatan hukum tersebut akan merugikan harta pailit, kurator dapat minta pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit.

Pembatalan tersebut bersifat relatif, artinya hal itu hanya dapat digunakan untuk kepentingan harta pailit sebagaimana diatur dalam pasal 41 UUK No. 37 Tahun 2004.

Orang yang mengadakan transaksi dengan debitur tidak dapat mempergunakan alasan itu untuk minta pembatalan. Tindakan kurator tersebut disebut Actio Paulina. Pengaturan tentang Actio Paulina tersebut ada dalam pasal 1341 KUHPerdata dan pasal 41-55 UUK.

Dalam pasal 41, bahwa untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan, apabila dapat dibuktikan bahwa, pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur dan pihak dengan

siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur (ayat 2). Akan tetapi untuk perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh debitur berdasarkan Undang-Undang, misalnya kewajiban membayar pajak, tidak dapat dimintakan pembatalan (ayat 3).

5. Akibat Kepailitan Terhadap Barang Jaminan

Menurut ketentuan dalam pasal 55 jo pasal 56 UUK No. 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak kreditur untuk mengeksekusi barang agunan dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Penangguhan ini bertujuan untuk:

a. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian atau b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit atau c. Untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugas secara optimal.

Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksudkan dilarang mengeksekusi atau memohon sita atas barang yang menjadi agunan.

Penangguhan tersebut tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijaminkan dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang. Termasuk dalam pengecualian terhadap penangguhan dalam hal ini adalah kreditor yang

timbul dari perjumpaan utang (set off) yang merupakan bagian atau akibat dari mekanisme transaksi yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan Berjangka (pasal 56 ayat (2) UUK No. 37 Tahun 2004).

Dalam penjelasan ayat (3) disebutkan bahwa, Harta pailit yang dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaaan.

Sedang yang dimaksud dengan perlindungan yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditur atau pihak ketiga yang berhak ditangguhkan. Dengan pengalihak harta yang bersangkutan, hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan yang dimaksud antara lain berupa:

a. Ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit b. Hasil penjulan bersih

c. Hak kebendaan pengganti

d. Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.

Selanjutnya didalam pasal 59 UUK 2004, menyatakan bahwa: dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 56, 57, dan pasal 58, kreditur pemegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat dua bulan terhitung sejak dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 ayat (1).

Setelah lewat dua bulan, kurator harus menuntut diserahkannya barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut. Akan tetapi setiap waktu kurator dapat membebaskan barang yang menjadi agunan dengan membayar kepada kreditur yang bersangkutan jumlah terkecil antara harga pasar barang agunan dan jumlah utang dijamin dengan barang agunan tersebut. Kreditur pemegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, missal hak agunan atas panenan. Dan atas tuntutan kurator atau kreditur yang diistimewakan pemegang hak tanggungan, hak gadai wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.82

82 Ibid

BAB III

PERAN PENGADILAN NIAGA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

A. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga

Mengenai tugas dan kewenangan Pengadilan Niaga ini diatur dalam pasal 300 (dalam UUK 1998 pasal 280). Pengadilan Niaga berada dibawah lingkungan Peradilan Umum, yang tugas-tugasnya adalah:

a. Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit b. Penundaan kewajiban pembayaran utang

c. Memeriksa perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang (misalnya, sengketa di bidang HAKI saat ini telah masuk wilayah Pengadilan Niaga).

Dalam UUK Tahun 2004 ini telah diatur tentang kewenangan Pengadilan sehubungan dengan perkara pailit yang mengandung klausula arbitrase, sebagaimana ditentukan dalam pasal 303, bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk member penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka

buat memuat klausula arbitrase.83 Berlakunya Undang-undang Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan absolute dari Pengadilan Umum atas permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).84 Seperti diketahui bahwa secara teoritis system peradilan di Indonesia mengenal dua macam kewenangan, yaitu kewenangan mutlak/absolute dan kewenangan relatif.

Kewenangan mutlak atau absolute diartikan sebagai pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan yang berkaitan dengan pemberian kekuasaan untuk mengadili (attribute van rechtsmacht). Dengan kata lain, kewenangan mutlak atau absolute ini berbicara mengenai kewenangan badan-badan peradilan dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara. Konsekuensinya, suatu pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak pengadilan lain. Selain kewenangan absolute dan relatif, Pengadilan Niaga juga memiliki kewenangan secara komprehansif. Pasal 280 Undang-undang Kepailitan 1998, menyatakan bahwa kewenagan secara komprehensif itu adalah kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan seputar kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan.85

83 Rahayu Hartini, op.cit, hlm. 258-259.

84 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 171.

85Komisi Hukum Nasional, Salah Satu Isu Krusial setelah penyempurnaan peraturan kepailitan, diakses dari www.komisihukum.go.id/files/hasil/2004/hakimAdHoc-PengadilanNiaga.pdf%3FPHPSESSID%3DI7b1844631006d2cea5oe7e1a2dd5bdb+peranan+peng

Kewenangan secara komprehensif yang dimiliki Pengadilan Niaga bukan tidak mungkin menimbulkan permasalahan terkait dengan titik taut dengan kewenangan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam hal pemeriksaan perkara, karena permasalahan seputar kepailitan tidak hanya berkaitan dengan utang sebagai pokok utama, melainkan hal-hal lain seperti pembatalan perjanjian perdamaian, actio paulina, keabsahan surat-surat, dan lain-lain.86 Kondisi inilah yang memicu beberapa masalah karena sudah ditegaskan secara eksplisit bahwa pemeriksaan di Pengadilan Niaga adalah bersifat sederhana, suatu hal yang sulit untuk dilakukan bila menyangkut pemeriksaan lain di luar Pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan 1998.87

Berdasarkan sifat sederhana dari suatu perkara di Pengadilan Niaga, maka yang harus dibuktikan cukup pada suatu keadaan berhenti membayar. Kondisi tersebut membawa konsekuensi berbeda-beda. Sebagian pihak mengatakan cukup dipenuhinya syarat kepailitan dalam pasal 1 ayat (1) maka salah satu pihak (termohon pailit) dapat langsung dinyatakan pailit. Sementara, di lain pihak mengatakan diperlukan suatu analisis lebih lanjut dibidang hukum ekonomi dan bisnis untuk menyatakan bahwa termohon pailit dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Berlakunya Undang-undang Kepailitan telah memindahkan kewenangan mutlak Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagi pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima

adilan+niaga+dalam+menyelesaikan+sengketa+kepailitan&hl=id&ct=cln&cd=1 tanggal 19 Maret 2019.

86 Konsep Actio Paulina dalam Pasal 1341 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

87 Komisi Hukum Nasional, op.cit. hlm.7.

permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.88 Dasar utama kewenangan mutlak ini adalah penjelasan Pasal 280 ayat 1 Undang-undang Kepailitan, yang menyebutkan bahwa:

“semua permohonan prnyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah undang-undang tentang kepailitan sebagaimana diubah oleh Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga.”

Sehingga hanya Pengadilan Niaga yang memiliki kekuasaan untuk menerima permohonan pernyataan pailit. Apabila melihat isi Undang-undang Kepailitan, maka dapat diketahui bahwa proses kepailitan tidak hanya berkisar pernyataan pailit, dan PKPU belaka. Banyak hal lainnya yang harus diselesaikan oleh pihak pengadilan dalam rangka kepailitan, misalnya putusan pembatalan transaksi yang dicurigai dapat merugikan harta pailit (action paulina), pembuktian, sengketa mengenai verifikasi utang.89

B. Peranan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Salah satu konsiderans Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang oleh UU Nomor 4 tahun 1998 menyebutkan bahwa Failliasements Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217jo. Staatsblad 1906 Nomor 348, sebagian besar tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu dilakukan perubahan. Bila ditinjau dari segi hukum acara maupun Hukum Materil, Faillissements Verordening tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian utang piutang. Sehingga telah

88Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan, dan Penjelasan Pasal 1 tersebut, lalu Pasal 280 dan penjelasannya.

89 Aria Suyudi, op.cit, hlm. 40.

dilakukan revisi atas kelemahan yang terdapat dalam Faillissements Verordening antara lain:90

a. Tidak jelasnya time frame yang diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan, akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama.

b. Jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui PKPU juga sangat lama yaitu memakan waktu 18 bulan.

c. Apabila pengadilan menolak PKPU, Pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitor dalam keadaan pailit.

d. Kedudukan kreditor masih lemah, umpamanya dalam hal pembatalan perbuatan debitor yang merugikan kreditor, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 hari sebelum pailit, sedangkan dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 jangka waktu tersebut diberikan sampai dengan 1 tahun.

Pada waktu berlakunya Faillissements Verordening tersebut perkara Kepailitan dan PKPU termasuk kewenangan Pengadilan Negeri (bersifat umum) namun dengan adanya perubahan dan penambahan maupun revisi terhadap Faillissements Verordening maka kewenangan menangani sengketa kepailitan dan PKPU berubah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pertama sekali telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998. Kedudukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipertegas pula dalam Pasal 306 UU Nomor 37 Tahun 2004 yakni

90 Bismar Nasution, Hukum Kepailitan (Diktat), Program Magister Kenotaritan PPS USU, 2003, hlm.8.

tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 281 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 telah dikeluarkan Kepres Nomor 97 Tahun 1999 sebagai dasar pembentukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Semarang dan di Pengadilan Negeri Ujungpandang (Makasar) dan menetapkan wilayah hukum masing-masing Pengadilan Niaga tersebut sekaligus mengubah wilayah hukum pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakara Pusat. Dengan perubahan di wilayah hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang sebelumnya melingkupi seluruh wilayah R.I

Selanjutnya berdasarkan Pasal 281 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 telah dikeluarkan Kepres Nomor 97 Tahun 1999 sebagai dasar pembentukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Semarang dan di Pengadilan Negeri Ujungpandang (Makasar) dan menetapkan wilayah hukum masing-masing Pengadilan Niaga tersebut sekaligus mengubah wilayah hukum pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakara Pusat. Dengan perubahan di wilayah hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang sebelumnya melingkupi seluruh wilayah R.I

Dokumen terkait