• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Tinjauan Umum Tentang Fatwa

2.1.1 Kedudukan Hukum Fatwa Dalam Sistem Hukum Indonesia

Menurut Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indoneisa Nomor : U-596/MUI/X/1997 Tentang Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 2 Oktober 1997 sidang komisi fatwa MUI diadakan apabila ada permintaan (pertanyaan) dari masyarakat, pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan atau atas permintaan MUI. Dengan demikian pemerintah adalah salah satu pihak yang dapat meminta fatwa atau nasihat kepada MUI untuk suatu masalah tertentu terkait dengan agama Islam atau umat Islam di Indonesia. Fatwa

155

Zafrullah Salim,Kedudukan Fatwa Dalam Negara Hukum Republik Indonesia, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-undangan, Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan Badan Litban Dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2012.

atau nasihat MUI tersebut diperlukan oleh pemerintah salah satunya terkait dengan eksistensi suatu peraturan perundang-undangan tertentu yang nyata-nyata berhubungan erat dengan kepentingan umat Islam di Indonesia. Dibawah ini adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan umat Islam di Indonesia.

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berbagai peraturan pelaksanaannya.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

7) Dan lain-lain.

Selain itu terdapat juga beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara materiil mengandung unsur-unsur syariah, yang patut diduga ada para peranan fatwa atau nasihat MUI dalam proses pembentukannya.

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990 tentang Kesehatan.

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

7) Dan lain-lain.

Peranan fatwa MUI atau fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) dalam penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah dapat terlihat dengan adanya beberapa fatwa dibawah ini.

1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro. 2) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

Tabungan.

3) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Deposito.

4) Dan lain-lain.

Sedangkan peranan fatwa MUI atau fatwa DSN-MUI dalam penyelenggaraan kegiatan pasar modal syariah dapat terlihat dengan adanya beberapa fatwa dibawah ini.

1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 20/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi UntukReksadana Syari’ah.

2) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang

Obligasi Syari’ah.

3) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang

Obligasi Syari’ah Mudharabah.

4) Dan lain-lain.

MUI menyadari bahwa masalah kemasyarakatan yang dihadapi sekarang dan dimasa yang akan datang akan semakin komplek. Oleh sebab itu pada tahun 2001 MUI membentuk Komisi Hukum dan Perundang-Undangan sebagai sarana

untuk “meningkatkan efektifikas penyerapan Fatwa MUI dalam pembangunan hukum nasional dan pembentukan Peraturan perundang-undangan”156. “Dalam

konteks ini, tugas Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI adalah”157: a. “melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan pelaksanaan syariat dan kepentingan umat Islam;

b. mempersiapkan usulan/masukan bagi penyusunan RUU dan Peraturan Perundangan-Undangan lainnya khususnya berkaitan syari’at Islam sejauh

diperlukan.

c. memberikan tanggapan atas berbagai rancangan peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak sesuai dengan syariat dan kepentingan umat Islam;

d. mengusulkan perubahan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan syariat dan/atau kepentingan umat Islam;

e. mengawal dan mendorong pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat dan/atau kepentingan umat Islam;

f. mengajukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

156

Wahiduddin Adams, Fatwa MUI Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-Undangan, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif HukumDan Perundang-undangan, Puslitbang Lektur Dan Khazanah KeagamaanBadan Litban Dan DiklatKementerian Agama RI Tahun 2012.

157

tinggi dan syariat Islam baik kepada Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung”.

Sejauh ini Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI telah melakukan kajian terhadap beberapa rancangan undang-undang (RUU) dan atau rancangan undang-undang yang telah disahkan menjadi undang-undang, diantaranya adalah:

1) RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. 2) RUU tentang Kesehatan.

3) RUU tentang Penghapusan Diskriminasi RAS dan Etnis. 4) RUU Administrasi Kependudukan.

5) RUU tentang Pemerintahan Aceh.

6) UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 -2025.

7) Dan lain-lain

Selain itu terdapat juga beberapa rancangan undang-undang (RUU) dimana Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI dapat berperan memberikan fatwa atau saran-sarannya, diantaranya:

1) RUU tentang Jaminan Produk Halal. 2) RUU tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

3) RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

4) RUU tentang Asuransi Syari'ah.

5) RUU tentang Kerukunan Umat Beragama. 6) RUU tentang Penanganan Fakir Miskin.

7) Dan lain-lain.

Dalam kenyataannya, disamping mempunyai efek positif, fatwa MUI tersebut ternyata berpotensi menimbulkan efek yang negatif apabila tidak disikapi dengan bijaksana. Hal tersebut dapat dilihat dalam fatwa MUI yang menyatakan aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Fatwa tersebut telah dijadikan legalisasi oleh sebagian orang untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap pengikut aliran Ahmadiyah tersebut. “Koran Tempo (28 Desember 2007) memuat sebuah artikel

panjang “Fatwa dan Kekerasan” yang ditulis Akh Muzakki (dosen IAIN Sunan

Ampel Surabaya, kandidat doktor di University of Queensland, Australia)”158. Salah satu definisi hukum adalah kaidah (norma), yaitu perintah dan larangan yang merupakan tata tertib hidup bermasyarakat. Kaidah (norma) ini mengandung unsur paksaan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi. Di dunia, sanksi tersebut dapat berasal dari pemerintah ataupun dari masyarakat.Di akhirat, sanksi tersebut berasal dari Allah SAW.

Dilihat dari sumbernya, sumber hukum terbagi dua, yaitu; (a) sumber hukum materiil, dan (2) sumber hukum formil. Sumber hukum formil adalah isi hukum yang berasal sari perasaan hukum atau keyakinan hukum masing-masing individu dalam masyarakat dan pendapat umum (public opinion) yang hidup dimasyarakat secara kolektif. Dengan demikian fatwa dapat dilihat sebagai sumber hukum materiil karena kebenaran fatwa tersebut secara individu sesuai dengan perasaan hukum atau keyakinan hukum pemeluk agama Islam di

158

Zafrullah Salim,Kedudukan Fatwa Dalam Negara Hukum Republik Indonesia, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-undangan, Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan Badan Litban Dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2012.

Indonesia. Karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka perasaan hukum atau keyakinan hukum individu tersebut dimungkinkan berkembang menjadi pendapat umum. Dalam hal ini adalah pendapat umum masyarakat muslim Indonesia. Fatwa juga bisa dianggap sebagai sumber hukum formil apabila dikeluarkan oleh suatu lembaga formal tertentu dan dijadikan suatu tindakan hukum tertentu yang menentukan berlakunya hukum.

“Bagir Manan, dengan mengutip pendapat N.E. Van Duyvendijk,

menempatkannya sebagai bagian dari sumber hukum materiil dalam kelompok tradisi (pendapat keagamaan dan moral, tradisi di bidang hukum). Sebaliknya Utrecht memasukkan agama (hukum agama) sebagai sumber hukum formil, dengan menjelaskan bahwa di daerah-daerah (Indonesia) yang pandangan hidup penduduknya sangat terikat oleh agama, sumber hukum (agama) penting

sekali”159.

Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 disusun berdasarkan didahului dengan standarisasi rujukan kitab-kitab fikih bagi hakim pengadilan agama dalam memutus suatu perkara. Terdapat 13 kitab fikih yang menjadi rujukan, yaitu160; (a) Al-Bajuri, (b) Fath al-Muin, (c) Syarqawi ‘ala at-Tahrir, (d) Qalyubi/Mahalli, (e) Fath al-Wahhab dengan syarahnya, (f) Tuhfah, (g) Targhib al-Musytaq, (h)Qawanin al-Syar’iyyah li Sayid Ibnu Yahya, (i) Qawanin al-Syar’iyyah li Sayid Shadaqah Dahlan, (j) Syamsuri fi al-Faraidh, (k) Bughyah al-Musytarsyidin, (l) Al-Fiqh ‘alaa Madzahib al-Arba’ah, dan (m)Mughni al-Muhtaj. Hal tersebut menunjukan bahwa fatwa (dalam bentuk fikih) merupakan sumber hukum formil di Indonesia.

159

Zafrullah Salim,Kedudukan Fatwa Dalam Negara Hukum Republik Indonesia, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan Perundang-undangan, Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan Badan Litban Dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2012.

160