• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Terhadap Perjanjian Franchise

BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERJANJIAN

F. Kedudukan Hukum Terhadap Perjanjian Franchise

51

Adrian Sutedi, loc. Cit. 52

yang mengatur tentang hal itu secara khusus belum ada. Peraturan perUndang-Undangan yang memiliki hubungaan dengan franchise adalah sebagai berikut: 1. Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1338

KUHPerdata menganut sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan Hukum diberikan kebebasan untuk menentukan Perjanjian baik yang sudah dikenal didalam KUHPerdata. Di samping itu, yang menjadi dasar Hukum dalam pengembangan franchise di indonesia adalah Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya Perjanjian, yaitu kesepakatan kedua belah Pihak, cakap untuk melakukan perbuatan Hukum, adanya objek tertentu dan adanya kausa yang halal.

2. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba. Peraturan pemerintah ini terdiri atas 11 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah ini meliputi pengertian waralaba, para Pihak dalam Perjanjian waralaba, keterangan-keterangan yang harus disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dan bentuk Perjanjiannya.

3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Usaha Waralaba. Keputusan Menteri ini terdiri atas 8 bab dan 26 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam keputusan menteri ini meliputi: pengertian umum, bentuk Perjanjiannya, kewajiban pendaftaran, dan kewenanangan penerbitan surat tanda pendaftaran usaha waralaba, persyaratan waralaba, pelaporan, sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

4. Keputusan Menteri Perdagangan Nomor: 376/ Kep/XI/ 1998 Tetang Kegiatan Perdagangan. Keputusan Menteri Perdagangan ini telah memungkinkan perusahaan asing dalam status penanaman modal asing dapat melakukan penjualan hasi lproduksinya didalam negeri sampai pada tingkat pengecer dengan mendirikan perusahaan patungan antara perusahaan asing di bidang produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur.

Dengan keputusan tersebut franchisor yang memproduksi barang dapat melakukan hubungan langsung dengan pengecernya, para pengecer tersebut adalah para franchisee. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran

Usaha Waralaba telah ditentukan bentuk franchise atau Perjanjian waralaba yaitu bentuknya tertulis. Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku Hukum Indonesia.

Dengan keadaan demikian menyebabkan kedudukan Hukum dalam Perjanjian waralaba seimbang antara Pihak yang satu dengan yang lain (franchisor dan franchisee) dengan dasar pertimbangan-pertimbangan Hukum yang berlaku dan sesuai dengan waralaba (franchise) perikatan yang dibuat merupakan suatu perikatan kebebasan berkontrak yang semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya, semua mengandung arti meliputi seluruh Perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak

dikenal sebagai Undang-Undang, Perjanjian franchise merupakan Perjanjian yang namanya tidak dikenal didalam Undang-Undang namun diatur didalam Pasal 1338 KUHPerdata dan merupakan landasan Hukum didalam membuat suatu Perjanjiannya.53

53

BAB III

ASPEK HUKUM TERHADAP MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA TEH POCI DI KOTA MEDAN

A. Perlindungan Hukum di Bidang Sistem Pembagian Hasil Usaha Waralaba (Franchise) Teh Poci

Didalam Perjanjian waralaba Teh Poci bahwa perlindungan Hukum dalam bidang pembagian hasil usaha dijelaskan didalam Pasal 1 yang menyebutkan Pihak Pertama wajib memberikan perAngkat usaha Teh Poci kepada Pihak kedua apabila Pihak kedua telah membayar atau menginvestasikan uang sebesar Rp. 3.500.000,- kepada Pihak Pertama sebagai tanda bahwa Perjanjian sah dan mengikat apabila adanya pembayaran investasi yang dilakukan Pihak kedua kepada Pihak Pertama. Adapun yang menjadi hak dari Pihak Pertama pada saat telah dilakukan pembayaran adalah yang tercantum didalam Pasal 3 Ayat 3b yang berbunyi :

Atas penerimaan investasi tersebut, Pihak Pertama akan menyerahkan perAngkat usaha Teh Poci kepada Pihak kedua yang meliputi:

1. 1 unit meja counter es Teh Poci 2. 1 unit mesin seal es Teh Poci

Pada Pasal 3 Ayat 3c juga dijelaskan bahwa Pihak kedua selaku penerima waralaba besedia menyediakan dan menanggung biaya untuk memperoleh tempat counter penjualan termasuk menanggung biaya sewa dan listrik Pihak Pertama harus mengetahui lokasi usaha yang dijalankan oleh Pihak kedua.

Pasal 3 Ayat 3d dijelaskan bahwa Pihak kedua menyediakan karyawan baik SPG/SPB dan menanggung gaji tersebut tanpa melibatkan Pihak Pertama didalamnya bahkan tidak mencampuri uang yang telah diberikan oleh Pihak kedua kepada Pihak Pertama uang tersebut telah dijelaskan pada Perjanjian yang telah dijelaskan di atas.

Pasal 5 dijelaskan bahwa apabila Pihak kedua akan melajutkan kontrak yang telah berakhir maka wajib membayar biaya atas penggunaan merek cap poci sebesar Rp. 500.000,- kepada Pihak Pertama.

Dapat di ketahui bahwa didalam seluruh isi Perjanjian teh cap poci yang memuat mengenai pembagian hasil usaha waralaba Teh Poci keseluruhan yang tercantum di atas merupakan kewajiban dari Pihak kedua untuk memenuhi syarat-syarat serta menjalakan usaha Teh Poci dengan biaya-biaya yang telah ditetapkan didalam isi Perjanjian di atas kemudian diluar dari isi Perjanjian mengenai pembagian usaha menjadi hak dari Pihak kedua untuk mendapatkan keuntungan dari konsumen dengan tidak ada pengaturan cara penjualan atau penetapan harga yang ditawarkan oleh Pihak kedua kepada konsumen didalam Perjanjian waralaba Teh Poci.

Apabila terjadi suatu pelanggaran atas suatu ketentuan yang berlaku didalam menjalankan usaha Teh Poci baik dari segi pembagian hasil usaha maupun diluar pembagian hasil usaha selama memuat atau tercantum didalam Perjanjian maka perlindungan Hukum yang diberikan adalah terdapat dalam Pasal 7 Ayat 2 Perjanjian waralaba Teh Poci yang berbunyi:

Apabila Pihak kedua melanggar salah satu ketentuan dalam Perjanjian ini, jika dapat diperbaiki, Pihak kedua wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut dalam waktu 15 (Lima belas) Hari setelah adanya pemberitahuan tertulis dari Pihak Pertama, atau Pihak Pertama dapat mengakhiri Perjanjian ini efektif 30 (tiga puluh) Hari setelah pemberitahuan tertulis tersebut diterima oleh Pihak kedua dan atas pengakhiran tersebut Pihak Pertama berhak untuk mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) dari Pihak kedua.

Perlidungan Hukum yang tercantum didalam Perjanjian waralaba Teh Poci ini dapat dilihat juga berpedoman atau memiliki dasar Hukum didalam Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah Pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang -Undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

B. Upaya dan Kewajiban Para Pihak Yang Terlibat dalam Perjanjian Waralaba

Dalam menjalankan suatu Perjanjian yang telah dibuat maka upaya yang dijalankan dengan mengikuti semua aturan-aturan yang berlaku didalam Perjanjian tersebut, adapun aturan-aturan yang termaktub yang harus dijalankan oleh Pihak kedua sesuai surat pernyataan yang dibuat oleh Pihak Pertama untuk disetujui oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut:

1. Tidak akan membuka counter es Teh Poci dengan memindahkan counter dari satu tempat ketempat lain/ mobile counter (mengikuti event) seperti aturan yang telah ditetapkan oleh PT. Gunung Slamat

2. Bila disatu tempat sudah ada counter Teh Poci maka saya dengan sadar tidak akan membuka counter Teh Poci ditempat tersebut dengan minimal jarak 300 M (tiga Ratus meter)

3. Bila saya memindahkan counter Teh Poci, saya akan mengkoordinasikan kepada Pihak PT. Gunung Slamat dan akan membuat form pindah tempat yang sudah disediakan oleh PT. Gunung Slamat

4. Tidak akan mendisplay (memajang) produk selain produk Teh Poci di atas meja counter Teh Poci

5. Tidak akan menggunakan gula biang (Gula Sintesis) sebagai pemanis es Teh Poci yang dijual dan mengikuti petunjuk dan komposisi pembuatan Teh Poci yang telah dibuat PT. Gunung Slamat

Sehingga didalam pelaksanaannya usaha yang dijalan dapat berjalan dengan baik sesuai aturan maupun prosedur yang berlaku dari masing-masing Pihak, walaupun diketahui bahwa upaya-upaya yang dilakukan lebih berperan serta kepada Pihak Pertama sebagai pemberi waralaba sebagai pemberi hak dan kewajiban di samping itu Pihak kedua atau disebut penerima waralaba memiliki hak atas penjualan sehingga mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari konsumen sedangkan kewajiban harus dijalankan sesuai dengan prosedur Hukum sesuai Perjanjian yang dibuat. Maka upaya Hukum dalam suatu Perjanjian waralaba dapat terjalankan.

Kewajiban yang harus dijalankan oleh para Pihak didalam suatu Perjanjian berdasarkan kesepakan kedua belah Pihak, kewajiban-kewajiban yang terdapat didalam Perjanjian waralaba Teh Poci sesuai dengan analisis yang telah disebutkan di atas adalah:

1. Kewajiban pemberi waralaba atau Pihak Pertama adalah:

a. Pihak Pertama memberikan penggunaan merek kepada Pihak kedua setelah melakukan kesepakatan dalam Perjanjian waralaba Teh Poci

b. Pihak Pertama memberikan perangkat usaha es Teh Poci kepada Pihak kedua setelah Pihak kedua menyerahkan investasi dana sebesar Rp. 3.500.000,- (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) kepada Pihak Pertama, alat-alat penjualan yang diberikan Pihak Pertama kepada Pihak kedua berupa 1 unit meja counter es Teh Poci, 1 unit mesin seal es Teh Poci

c. Pihak Pertama memberikan standart pembuatan es Teh Poci kepada Pihak kedua

d. Pihak Pertama wajib memberikan bahan baku dan sarana lain kepada Pihak kedua sesuai dengan Perjanjian yang berlaku

e. Pihak Pertama memberikan jangka waktu kepada Pihak kedua atas masa Perjanjian waralaba Teh Poci yang dibuat

f. Pihak Pertama dapat mencabut hak atas uasaha waralaba Teh Poci apabila dalam jangka waktu satu Minggu Pihak kedua tidak memperpanjang Perjanjian yang berlaku setelah Perjanjian itu berakhir

g. Pihak Pertama wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pihak kedua apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan Pihak Pertama didalam Perjanjian waralaba Teh Poci

h. Apabila terdapat kesalahan atau perselisihan maka Pihak Pertama menyelesaikan masalah tersebut kepada Pihak kedua melalui jalan musyawarah dan mufakat. Dan apabila tidak ditemukannya jalan mufakat maka Pihak Pertama akan menempuh jalur Hukum Pihak Pertama berdomisili

2. Kewajiban penerima waralaba atau Pihak kedua

a. Pihak kedua menyepakati dengan Pihak Pertama agar terjadi Perjanjian kerjasama penjualan es Teh Poci

b. Pihak kedua wajib mebayar dana investasi sebesar Rp. 3. 500.000,- (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) kepada Pihak Pertama sebagai pembelian atas perAngkat usaha es Teh Poci dan pemakaian merek Teh Poci

c. Pihak kedua wajib menanggung biaya tempat penjualan es Teh Poci termasuk biaya sewa dan listrik tanpa melibatkan Pihak Pertama sesuai ketentuan yang berlaku didalam Perjanjian Teh Poci

d. Pihak kedua wajib menggunakan bahan baku dan sarana lain yang ditentukan oleh Pihak Pertama

e. Pihak kedua wajib bertanggung jawab apabila ada tuntutan dari konsumen akibat adanya kelalaian tanpa melibatkan Pihak Pertama

f. Pihak Pertama harus menggunakan pendingin untuk menyimpan es teh tidak lebih dari 12 jam sesuai aturan yang diberi oleh Pihak Pertama dikarenakan berpengaruh terhadap kualitas dari es Teh Poci.

g. Pihak kedua wajib menjalankan usaha Teh Poci tanpa adanya usaha lain yang sejenis di counter tempat penjualan es Teh Poci sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh Pihak Pertama

h. Pihak kedua wajib menjalankan usha es Teh Poci tanpa meminjamkan atau menyewakan perlengkapan es Teh Poci kepada Pihak ketiga

i. Pihak kedua wajib menginformasikan kepada Pihak Pertama apabila akan memindahkan tempat usaha Teh Poci dengan mendapatkan persetujan tertulis dari Pihak Pertama

j. Pihak kedua wajib mengganti kerusakan atau pergantian suku cadang selama jangka waktu Perjanjian sesuai dengan aturan yang berlaku didalam Perjanjian Teh Poci

k. Pihak kedua wajib membayar biaya atas penggunaan merek cap poci sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) apabila ingin memperpanjang Perjanjian Teh Poci

l. Pihak kewajiban wajib mencabut segala atribut merek Teh Poci apabila Perjanjian telah berakhir selambat-lambatnya 1 Minggu sejak Perjanjian berakhir

m. Pihak kedua wajib memperbaiki apabila terjadi pelanggaran yang telah dibuat selama 15 (Lima Belas) Hari setelah adanya pemberitahuan tertulis dari Pihak Pertama

n. Pihak kedua wajib mengganti kerugian sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) apabila Pihak Pertama mengakhiri Perjanjian karena terjadi pelanggaran dari Pihak Pertama dan dikarenakan tidak adanya tanggapan dari

Pihak kedua setelah dilayAngkan pemberitahuan secara tertulis dari Pihak Pertama kepada Pihak kedua masa efektif dari surat yang dilayAngkan Pihak Pertama 30 (Tiga Puluh) Hari setelah surat pemberitahuan secara tertulis dilayangkan oleh Pihak Pertama

Dalam Perjanjian franchise mengandung aspek-aspek Hukum diantaranya adalah : Perjanjian franchise merupakan transaksi bisnis, dalam hal ini juga dapat dimasukkan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) karena adanya unsur-unsur asing antara franchisor dan franchisee, bila masing-masing Negara mempunyai pengertian yang berlainan maka diketahui Hukum mana yang akan digunakan dalam Perjanjian franchise tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengenai Hukum yang harus dipergunakan dalam Perjanjian franchise. Hal ini disebabkan karena hak-hak dan kewajiban dari masing-masing Pihak yang harus dilaksanakan menurut Perjanjian franchise dapat terjadi atau berlangsung di Negara yang bersangkutan atau dari Negara ke Tiga.

Di dalam Perjanjian franchise ini Hukum yang berlaku dapat ditentukan oleh para Pihak sendiri atau berdasarkan Asas- asas umum berlaku pada kontrak Internasional. Melengkapi pendapat di atas, British franchise Assosiation (BFA) mendifinisikan franchise sebagai Perjanjian lisensi yang diberikan oleh

franchisor kepada franchisee yang berisi :54

54

V. Winarto, Pengembangan Waralaba (Franchise) di Indonesia, aspek Hukum dan

Non Hukum, Makalah dalam Seminar Aspek-aspek Hukum tentang Franchising oleh Ikadin cabang, 1993. Surabaya, hal. 8.

1. Memberikan hak kepada franchisor untuk melakukan pengawasan yang berlanjut selama periode berlangsung .

2. Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan kepada franchise dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subyek franchisenya (berhubungan dengan pemberian pelatihan dan merchandicing dan lain-lain). 3. Mewajibakan franchisee untuk secara berkala, selama franchise berlangsung,

harus membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas produk atau jasa yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee.

4. Bukan merupakan suatu transaksi antara perusahaan induk (Holding

Company) dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk yang

sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya

Perjanjian franchise merupakan dokumen yang di dalamnya seluruh transaksi dijabarkan secara bersama. Perjanjian Franchise harus secara tepat menggambarkan janji- janji yang dibuat dan harus adil, serta pada saat yang bersamaan menjamin bahwa ada kontrol yang cukup untuk melindungi integritas sistem. Dasar dari Perjanjian waralaba adalah Asas kebebasan berkontrak yang dianut Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut maka para Pihak wajib tunduk dan melaksanakan isi Perjanjian yang mereka buat sendiri.55

Di samping itu, aspek Hukum terhadap munculnya Waralaba Teh Poci di Kota Medan ada Tiga hal penting untuk suskesnya suatu bisnis Teh Poci yang dijalankan dengan sistem franchise adalah sebagai berikut:

55

P. Lindawati S. Sewu, Franchise, Pola bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum

a) Administrasi yang baik, mudah, cepat, sederhana, dan biaya murah menjadi sangat penting karena sebagai sarana penghubung data dan informasi antara

franchisee dengan franchisor.

b) Supervisi yang tepat dan berkelanjutan menjadi sangat penting karena pembeli franchise bukanlah seorang pembeli lepas. Namun pembeli franchise adalah orang yang menumpukan sebagian besar harapannya kepada kebesaran nama dan sistem yang dimiliki oleh franchisor. Hal – hal yang berkaitan dengan masalah teknis pengelolaan bisnis rata – rata masih kurang dipahami oleh franchisee, mereka memerlukan bimbingan dari franchisor untuk menjalankan operasional bisnisnya.

c) Yudikasi atau penegakan peraturan menjadi sangat penting karena mula – mula franchise dan franchisor adalah orang lain yang tidak saling kenal kemudian mengikatkan diri dalam sebuah Perjanjian bisnis, sehingga wajar apabila dalam pengelolaan bisnisnya harus tunduk pada aturan-aturan main yang telah disepakti di awal. Pelanggaran terhadap kesepakatan akan mengakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban para Pihak dan dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi bisnis itu sendiri. Suatu masalah dianggap atau menjadi ada pada saat yang seharusnya terjadi ( das sein) tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi (das Sollen). Sehingga ketika tidak ada atau ditentukan tentang hal-hal yang seharusnya maka identifikasi masalah menjadi tidak pernah ada atau tidak dapat disimpulkan.

Sistem bisnis franchise pada saat ini tidak hanya pada penjualan produk dalam bentuk barang tetapi sudah berkembang pada penjualan ide atau jasa. Yang penting dalam perkembangan franchise saat ini adalah bagaimana mengembangkan konsep atau ide franchisor agar dapat dikembangkan oleh

franchisee dengan mutu, standar dan keseragaman tetap terjaga.56

Tonggak kepastian Hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Keluarnya Peraturan Pemerintah ini dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha dengan Waralaba di seluruh Indonesia maka perlu mendorong pengusaha nasional terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai Pemberi Waralaba nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri. Selain hal tersebut pemerintah memandang perlu mengetahui

Sehinga, dengan berkembangnya Teh Poci di kota Medan mengakibatkan persaingan yang sangat hebat dengan warabala lainnya, namun, Teh Poci dari Tahun ke Tahun makin meningkat dan memiliki grafik yang baik.

C. Peraturan yang Mengatur Tentang Penjanjian Waralaba dalam Hukum Perdata (BW)

56

Joseph Mancuso & Donald Boroian, Pedoman Membeli dan Mengelola Franchise, Delapratasa, Jakarta, 1995, hal 30-32.

legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba.

Di samping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat Perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospectus penawaran Waralaba kepada Pemerintah dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan Perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan Perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha dan kepastian Hukum bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam memasarkan produknya. Selanjutnya Secara khusus belum ada aturan yang mengaturnya, namun peraturan perundang-Undangan yang memiliki hubungan dengan Franchise

Ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian Hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Segala peraturan yang mengatur tentang franchise tetaplah harus tunduk pada peraturan dan ketentuan dalam KUHPerdata. Ketentuan mengenai perjanijan dalam KUHPerdata itu diatur dalam buku III yang mempunyai sifat terbuka, dengan sifatnya yang terbuka itu akan memberikan kebebasan

berkontrak kepada para Pihaknya, dengan adanya Asas kebebasan berkontrak memungkinkan untuk setiap orang dapat membuat segala macam Perjanjian.

Perjanjian Lisensi harus tunduk pada ketentuan umum Hukum Perdata Pasal 1319 KUHPerdata yang berisi “Semua Perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Selain Asas kebebasan berkontrak suatu Perjanjian juga harus menganut Asas konsensualitas, Asas tersebut merupakan dasar dari adanya sebuah pernjian yang akan dibuat oleh para Pihak adanya kata sepakat antara para Pihak dalam perjanian.

Didalam pernjian diperlukan kata sepakat, sebagai lAngkah awal sahnya suatu Perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjnjian tersebut maka Perjanjian itu akan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para Pihaknya hal itu diatur dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi :

“ Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Di samping kedua Asas di atas ada satu faktor utama yang harus dimiliki oleh para Pihak yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing Pihak untuk melaksanakan Perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur di dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi : “ Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Didalam membuat suatu Perjanjian para Pihak harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu Perjanjian :

a. Adanya kata sepakat diantara para Pihak. b. Kecakapan para Pihak dalam Hukum. c. Suatu hal tertentu.

d. Kausa yang halal.

2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;

Ketentuan Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 tentang merek merupakan salah satu peraturan yang menjadi dasar Hukum dari terbentuknya suatu Perjanjian franchise merek dagang dan juga merupakan faktor utama serta memegang peranan yang sangat penting di dalam adanya suatu franchise.

Franchise merupakan pengkhususan dari merek

Setiap usaha waralaba (Franchise) yang akan berdiri dan memulai usahanya harus mendaftarkan diri agar usahanya tersebut sah atau legal menurut Hukum yang berlaku. Kewajiban bagi setiap penerima waralaba (franchise) untuk mendaftarkan usahanya diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 dijelaskan : “Bahwa setiap penerima waralaba (Franchisee) atau penerima waralaba (Franchisee) lanjutan, wajib mendaftarkan perjnjian waralaba nya beserta keterangan tertulis sebagamana yang dimaksud didalam Pasal 5 keputusan ini pada Departemen perindustrian dan perdagangan Pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW”.

Dokumen terkait