ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) PADA TEH POCI DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh :
070200398 M. SUHAJI UTAMA
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) PADA TEH POCI DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh :
070200398 M. SUHAJI UTAMA
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
Menyetujui,
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP. 19660303 198508 1 001 Dr. Hasim Purba,S.H., M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS
NIP. 196 220 421 198 803 1004 NIP. 195 303 121 983 031 002 Ramli Siregar, SH.,M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
ABSTRAK
Sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, sumber daya manusia dan management, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Pertumbuhan Bisnis Franchise di Indonesia terutama pertumbuhan bisnis pada minuman Teh Poci di Kota Medan mengalami peningkatan dan perkembangan di dalam bisnis waralaba. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana memberikan perlindungan pada investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor sering kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan klausula yang diajukan tanpa memperdulikan resiko-resiko yang dihadapi dikemudian hari.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan library research, selain itu tinjauan lapangan terhadap pemilik Teh Poci juga dilakukan untuk melakukan melakukan interview atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu perkembangan waralaba Teh Poci, Teh Poci yang memiliki ciri khas dalam minuman dengan berbagai varian rasa serta modal yang kecil untuk membuka usaha dalam berwaralaba menyebabkan timbulnya beberapa aspek seperi dampak Teh Poci terhadap waralaba lain. Penjualan Teh Poci yang dari segi biaya terjangkau dapat dinikmati semua kalangan merupakan salah satu faktor Teh Poci dapat menjadi waralaba yang semakin baik dan meningkat dalam bidang penjualan tidak hanya dari segi dan dampak tetapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak berasaskan kebebasan berkontrak membuat para pihak yang menjalankannya, Harus menjalankan segala kewajiban dan hak sebagai Produsen dan Konsumen.
Terdapat Ketentuan-ketentuan Peraturan yang memiliki hubungaan dengan
franchise adalah: Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata, Peraturan
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul “ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN
WARALABA (FRANCHISE) PADA TEH POCI DI KOTA MEDAN” yang
diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan salah satu syarat akademis untuk
menyelesaikan perkuliahan dan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna pada isi
maupun penulisannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis. Untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan dalam rangka penyempurnaan dan
sebagai bahan perbaikan penulisan skripsi ini untuk meningkatkan kemampuan
penulisan dan peningkatan kualitas lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Dalam masa perkuliahan, khususnya periode penyelesaian skripsi ini tidak
terlepas dari pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan moril maupun
materil ataupun semangat yang diberikan pada penulis dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang dalam serta
penghargaan yang tinggi kepada :
1. Kedua orang tua yaitu ayahanda tercinta dan ibunda tercinta yang dengan
ikhlas telah memberikan kasih sayang, pengertian, mendidik penulis sedari
kanak-kanak sampai ke Perguruan Tinggi (Fakultas Hukum USU),
dan materil) semua dengan penuh kesabaran, kesemua itu tidak ternilai
harganya.
2. Abang dan Adik-adik tersayang Riko Nugraha, SH., M. Agung Primadi
Taris dan M. Iqbal Fauzan yang telah memberikan dorongan semangat,
dukungan serta nasehat kepada penulis selama ini.
3. Seseorang yang special Fatin Soraya di dalam kehidupan saya yang telah
memberikan support, doa dan kasih sayang didalam penulisan skripsi
serta selalu meluangkan waktu untuk menyemangati di dalam penulisan
skripsi.
4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak M. Husni, SH,M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, sebagai Ketua Departemen
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Syamsul Rizal, SH.M.Hum, sebagai Ketua Jurusan Perdata BW
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak Prof. Tan Kamelo, SH,MS sebagai Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan banyak pengarahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan banyak pengarahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum sebagai Dosen Wali yang meberikan
bimbingan, saran, motivasi, bantuan agar penulis menyelesaian studi.
12. Ibu Syamsiar Yulia, SH,M.Kn sebagai dosen yang selalu menasehati saya
selama masa perkuliahan dan memberikan motivasi serta semangat kepada
13. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang memberikan perkuliahan dan bimbingan dari semester I sampai
selesai.
14. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
memberikan layanan yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar.
15. Doni, Yudi, Nanda, Dearma, Fajar, Dila, Febri, yang telah menemani
penulis di masa perkuliahan yang sudah banyak membantu dan selalu
menjadi yang terbaik di saat suka dan duka penulis.
16. Saudara-saudara penulis yang selalu mendukung dan selalu berharap agar
cepat menyelesaikan perkuliahan.
17. Teman-teman MPMF dan PEMA periode 2009-2010 penulis yang tidak
dapat disebutkan satu persatu serta semua pihak yang telah ikut membantu
menyelesaikan skripsi ini.
18. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, khususnya stambuk 2007 yang telah memberikan motivasi penulis
selama ini.
Terakhir semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya
kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak
langsung selama masa menuntut ilmu dan penyelesaian skripsi.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
semua pembaca dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Medan, 28 Januari 2011
Hormat Saya
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah. ... 1
B. Perumusan Masalah. ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan. ... 4
D. Keaslian Penulisan. ... 5
E. Tinjauan Kepustakaan. ... 5
F. Metode Penulisan. ... 8
G. Sistematika Penulisan. ... 12
BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA FRANCHISE) ... 14
A. Defenisi Perjanjian Waralaba (Franchise) ... 14
B. Asas-asas dan Tujuan Perjanjian Franchise ... 18
C. Unsur-Unsur Franchise ... 29
D. Syarat-syarat Perjanjian Waralaba ... 32
E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perjanjian Franchise .. 34
BAB III ASPEK HUKUM TERHADAP MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA TEH POCI DI KOTA MEDAN. ... 41
A. Perlindungan Hukum di Bidang Sistem Pembagian Hasil
Usaha Waralaba (Franchise) Teh Poci. ... 41
B. Upaya dan Kewajiban Para Pihak Yang Terlibat dalam
Perjanjian Waralaba ... 43
C. Peraturan yang Mengatur Tentang Perjanjian Waralaba
Dalam Hukum Perdata (BW) ... 51
D. Penegakan Hukum Terhadap Waralaba (Franchise) ... 55
E. Perlindungan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian
Waralaba Teh Poci. ... 54
F. Perlindungan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian
Waralaba Teh Poci ... 57
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP ISI PERJANJIAN
WARALABA (FRANCHISE) TEH POCI ... 59 A. Latar Belakang Serta Dampak Dan Perkembangan Teh Poci
Di Kota Medan ... 59
B. Faktor-faktor Yang Mendorong Pertumbuhan Waralaba
Teh Poci ... 61
C. Akibat Yang Ditimbulkan Para Pihak Apabila Melakukan
Wanprestasi Dalam Melaksanakan Perjanjian Tersebut ... 64
D. Analisis Hukum Terhadap Isi Perjanjian Waralaba
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 75
A. Kesimpulan. ... 75
B. Saran. ... 76
ABSTRAK
Sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, sumber daya manusia dan management, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Pertumbuhan Bisnis Franchise di Indonesia terutama pertumbuhan bisnis pada minuman Teh Poci di Kota Medan mengalami peningkatan dan perkembangan di dalam bisnis waralaba. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana memberikan perlindungan pada investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor sering kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan klausula yang diajukan tanpa memperdulikan resiko-resiko yang dihadapi dikemudian hari.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan library research, selain itu tinjauan lapangan terhadap pemilik Teh Poci juga dilakukan untuk melakukan melakukan interview atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu perkembangan waralaba Teh Poci, Teh Poci yang memiliki ciri khas dalam minuman dengan berbagai varian rasa serta modal yang kecil untuk membuka usaha dalam berwaralaba menyebabkan timbulnya beberapa aspek seperi dampak Teh Poci terhadap waralaba lain. Penjualan Teh Poci yang dari segi biaya terjangkau dapat dinikmati semua kalangan merupakan salah satu faktor Teh Poci dapat menjadi waralaba yang semakin baik dan meningkat dalam bidang penjualan tidak hanya dari segi dan dampak tetapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak berasaskan kebebasan berkontrak membuat para pihak yang menjalankannya, Harus menjalankan segala kewajiban dan hak sebagai Produsen dan Konsumen.
Terdapat Ketentuan-ketentuan Peraturan yang memiliki hubungaan dengan
franchise adalah: Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata, Peraturan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya franchise merupakan suatu konsep pemasaran dalam
rAngka memperluas jaringan usaha secara cepat, Sistem franchise dianggap
memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, SDM dan
managemen, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan Pihak lain.
Franchise juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk
mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan franchise.
Di samping itu, fenomena yang menarik dari Tahun ke Tahun yaitu makin
tumbuh suburnya Bisnis Franchise, terutama pada bidang makanan maupun
minuman. Kalau di amati saat ini banyak sekali usaha baru yang sangat
beranekaragam menawarkan berbagai jenis produk dan jasa, misalnya usaha
makanan dan minuman yang modern. Beberapa diantara mereka membuka
gerainya di pusat-pusat pertokoan atau di jalan utama di lokasi yang strategis di
tengah kota. Contoh yang sangat mudah adalah usaha makanan Mc Donald,
Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Dunkin Donuts dan begitu juga sebuah
minuman Teh Poci yang begitu popular di Indonesia.
Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey
Pisa, KFC, Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat
dimulai sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259
mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima franchise
asing terpaksa menutup usahanya karena nilai Rupiah yang terperosok sangat
dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia.
Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil ditandai dengan
perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air
mengalami perkembangan yang sangat pesat.1
Franchise Pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine
Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh
perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan
kendaraan bermotor dengan menunjuk distRibutor franchise pada Tahun 1898.
Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika
sebagai saluran distRibusi di AS dan Negara-Negara lain. SedAngkan di Inggris
franchise dirintis oleh J Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada
dekade 60-an. Franchise saat ini lebih didominasi oleh franchise rumah makan
siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada Tahun 1919 ketika A&W Root Beer
membuka restaurant cepat sajinya. Pada Tahun 1935, Howard Deering Johnson
bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran
modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri
menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan
membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam
perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama
di Tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi franchise sebagai format bisnis
(business format) atau sering pula disebut sebagai franchise generasi kedua.
Perkembangan sistem franchise yang demikian pesat terutama di Negara asalnya,
AS, menyebabkan franchise digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai
bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS.
SedAngkan di Inggris, berkembangnya franchise dirintis oleh J. Lyons melalui
usahanya Wimpy and Golden Egg, pada Tahun 60-an. Bisnis franchise tidak
mengenal diskriminasi. Pemilik franchise (franchisor) dalam menyeleksi calon
mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama.2
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi perhatian dalam
Perjanjian franchise adalah faktor-faktor apa yang mendorong pertumbuhan
Bisnis Franchise di Indonesia terutama pertumbuhan bisnis pada minuman Teh
Poci di Kota Medan.
Dalam penulisan ini, secara secara garis besarnya terdapat beberapa
permasalahan dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) terhadap Teh Poci, Adapun
pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dampak tumbuh dan berkembangnya Teh Poci di Kota
Medan?
2. Apa Faktor-Faktor yang mendorong Pertumbuhan Bisnis Minuman Teh
Poci ?
2
3. Apa akibat yang timbul apabila Para Pihak melakukan Wanprestasi dalam
melaksanakan Perjanjian tersebut ?
4. Bagaimana analisis substantif terhadap Perjanjian waralaba Teh Poci ?
Permasalahan di atas merupakan beberapa penilaian yang tepat untuk
membahas mengenai aspek Hukum dalam Perjanjian waralaba (Franchise) Pada
Minuman Teh Poci yang berkembang di kota Medan.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dampak dan berkembangnya Minuman Teh Poci.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang dapat mendorong dan/atau
mempengaruhi Perjanjian waralaba (Franchise) Teh Poci.
3. Untuk mengetahui akibat yang timbul apabila para Pihak melakukan
wanprestasi dalam melaksanakan Perjanjian.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil kajian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan
beberapa konsep ilmiah sehingga memberikan sumbangan bagi perkembangan di
dalam Hukum Waralaba.
2. Secara Praktis
a. Sebagai suatu hal yang dapat menambah wawasan sarta pengetahuan bagi
penulis mengenai aspek Hukum dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) pada
b. Sebagai bahan masukan, solusi serta tanggapan terhadap Perjanjian Waralaba
(Franchise) tentang berkembang dan meningkatnya suatu waralaba.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan di
bidang Hukum.
D. Keaslian Penulisan
Pada dasarnya, penulisan skripsi yang berjudul mengenai Aspek Hukum
dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) Pada Teh Poci di Kota Medan, pada
dasarnya belum pernah di tulis sebagai skipsi. Dengan demikian, skripsi ini masih
asli serta dapat dipertanggung jawabkan penulis secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
Secara etimologi pengertian dari waralaba (franchise) merupakan modal izin dari satu orang kepada orang lain yang memberi hak penerima waralaba
(franchisee) untuk mengadakan bisnih di bawah nama dagang pemilik waralaba
(franchisor), meliputi seluruh elemen dan/atau dasar yang dibutuhkan untuk
membuat orang yang sebelum terlatih dalam berbisnis untuk mampu menjalankan
bisnis yang dikembAngkan atau dibangun oleh franchisor di bawah brand
milikinya, dan setelah detraining untuk menjalankan berdasarkan pada basic yang ditentukan sebelumnya dengan pendampingan yang berkelanjutan.3
Di samping itu pentingnya peran nama dagang dalam pemberian waralaba
dengan imbalan royalty sejalan namun agak berbeda disini lebih menekankan
3
pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan
memanfaatkan merek dagang pemberi waralaba (franchisor) dengan kewajiban
pada Pihak penerima waralaba (franchisee) untuk mengikuti metode dan tata cara
atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba kaitannya dengan
pemberian izin dan kewajiban pemenuhan standart dari pemberi waralaba dapat
menjalankan usahanya dengan baik.4
Istilah-istilah dalam franchise sebenarnya sudah sering digunakan dalam
praktek perdagangan kata franchise ini sendiri berasal dari bahasa prancis yaitu
“franchir”, yang artinya dibebaskan dari membayar upeti atau pajak karena di
abad pertengahan ini memiliki hak dan kewenangan selain dari bahasa prancis Didalam suatu hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat
dan sukses dengan usaha yang relative baru atau lemah dalam usaha tersebut
dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha penyediaan
produk dan jasa langsung kepada konsumen sehingga menimbulkan suatu format
didalam bisnis tersebut agar perkembangan dari suatu usaha atau bisnis dapat di
arahkan sesuai dengan elemen-elemen yang terdapat didalam suatu franchise
antara lain:
1. franchisor
2. franchisee
3. master franchise
4. elemen-elemen biaya
4
asal mula franchise juga bersal dari bahasa latin yakni francorum rex yang artinya
“bebas dari ikatan” yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha.5
Dengan munculnya elemen-elemen yang terdapat didalam franchise maka,
timbulah suatu Hukum atau regulasi yang mengatur mengenai waralaba di
Indonesia yang terdapat di PP Nomor 42 Tahun 2004 yang mengatur tentang
segala kepentingan dalam berwaralaba. Di dalam pengaturan tersebut telah
memiliki suatu keabsahan. Selain itu terdapat juga pengaturan lain mengenai
penyelenggaraan waralaba yang diatur didalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor:31/M-DAG/PER/8/2008.6
Dalam PP 42 Tahun 2004 waralaba adalah Hak khusus yang dimiliki
orang perseorangan dan/atau badan Hukum terhadap sistem bisnis dengan ciri
khas usaha dalam rangka memasarkan barang/jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh Pihak lain berdasarkan Perjanjian
waralaba.7
Seorang pemegang franchise biasanya tidak secara otomatis berhak
menjual operasi franchisenya tetapi perlu mendapatkan persetujuan pemilik
franchise terlebih dahulu untuk menjual atau mengalihkan Perjanjian kepada
pembeli yang diusulkan sehingga aspek penerapan Hukum waralaba ini sendiri
5
Franchise bible, graha info franchise, Jakarta, 2009, hal. 7. 6
Bedasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.31/M-DAG/PER/8/2008 Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 Ayat (1): Waralaba diselenggarakan berdasarkan Perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba dan mempunyai kedudukan Hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku Hukum Indonesia.
7
mengacu kepada bentuk atas suatu Perjanjian waralaba, Perjanjian waralaba
adalah suatu dokumen Hukum yang menggariskan tanggung jawab dari pemilik
dan pemegang franchise, setiap pemilik franchise mempunyai bentuk
Perjanjiannya sendiri yang disusun oleh pengacaranya supaya tidak merugikan
pemilik dan melindunginya.8
Perjanjian yang terkandung didalam franchise memiliki suatu arti
Perjanjian merupakan suatu peristiwa seseorang berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal, Dari hal ini maka timbul dan terciptanya hubungan antara dua orang
atau lebih yang menciptakan suatu perikatan, Dengan bentuknya Perjanjian
tersebt sehingga Para Pihak wajib untuk menghormati dan melaksanakan isi
Perjanjian tersebut baik secara tidak tertulis maupun yang teritulis.
9
8 Queen J Douglas, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993, hal. 45.
9
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, 2002, hal 1.
F. Metode Penulisan
a. Lokasi Penelitian
Lokasi yang ditentukan dalam melakukan penelitian skripsi ini adalah
Waralaba minuman Teh Poci Kota Medan, Jl. Gajah mada samping gramedia
Medan.
b. Spesifikasi Penelitian dan Metode Pendekatan
Spesifikasi penelitian ini adalah termasuk deskriptif10
Metode pendekatan penelitian ini mempergunakan metode pendekatan
yuridis normatif dan metode kualitatif. Metode pendekatan yuridis normatif , sebab hanya
menggambarkan aspek Hukum dalam Perjanjian waralaba
2. Metode pendekatan
11
dipergunakan dengan cara melihat bahan-bahan pustaka seperti Undang-Undang
dan literatur-literatur tentang pokok permasalahan yang di teliti. SedAngkan
metode yuridis empiris12
Metode pendekatan secara kualitatif bermanfaat untuk melakukan analisis
data secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic),
hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dan mendalam dengan tidak
mempergunakan analisis secara kualitatif.
diperoleh dari waralaba minuman Teh Poci dengan cara
melakukan wawancara kepada franchisee atau penerima waralaba tersebut.
13
1. Pedoman Wawancara (Interview Guide)
Adapun struktur wawancara yang dilakukan penulis pada saat melakukan
penelitian adalah sebagai berikut:
Pedoman yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline
yang berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara.
10
Koentjaraningrat, metode-metode penelitian, artinya menggambar objek PT. Gramedia, Jakarta, 1985, hal 10
11
Ibid, hal 15 12
Ibid, 17 13
Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2. Pembukaan (Opening)
Menciptakan atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling
menghargai sehingga dapat membentuk hubungan positif antara pewawancara
dan responden.
3. Isi (The Body)
Pewawancara menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan
mempersiapkan pertanyaaan lanjutan dari pedoman wawancara.
4. Penutup (The Closing)
Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah
didapati dari responden.
c. Metode Pengumpulan Data dan Analisa Data
1. Jenis dan Sumber Data
Untuk terlaksananya penelitian dan penulisan ini diperlukan sejumlah data
yang dikelompokkan pada :
a) Data primer, merupakan satu bentuk data yang akan diperoleh secara
langsung melalui observasi terhadap objek peneliti.
b) Data sekunder, Data sekunder di dalam penelitian ini bersumber didasari :
1) Bahan Hukum primer, yaitu bahan Hukum berupa peraturan-peraturan
ketenagakerjaan.
2) Bahan Hukum sekunder, yakni bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan Hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan
3) Bahan Huku m tersier, yakni yang memberi informasi lebih lanjut
mengenai Hukum primer dan bahan Hukum sekunder seperti kamus
Hukum.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi
dan menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
a. Tinjauan Kepustakaan
Yakni berupa buku bacaaan yang relevan dengan penulisan skipsi ini,
dengan cara membaca dan mempelajari bahan buku bacaan maupun
perUndang-Undangan dan juga sumber lain yang berhububngan dengan penulisan ini dan
dijadikan sebagai dasar untuk menghasilkan suatu karya ilmiah dengan
sebaik-baiknya agar lebih berbobot, yang mana data-data ini diperoleh dari penelitian
kepustakaan (library research).14
Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami
individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dengan maksud melakukan
eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak bisa dilakukan melalui
pendekatan lain. b. Tinjauan Lapangan
Yakni dengan melakukan tinjauan secara langsung terhadap Pemilik
maupun Pegawai Teh Poci yang berada di wilayah propinsi Sumatera Utara (
Khususnya Kota Medan) di samping itu penulis juga melakukan interview atau
tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
14
3. Analisis Data
Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian dan penulisan
skripsi ini melalui suatu pengamatan yang teruji, guna mendapatkan gambaran
tentang pemecahan masalah, pengajuan analisa sangat diperlukan, sehingga studi
ini memenuhi syarat untuk dijadikan bahan masukan bagi Pihak terkait. Maka
penelitian ini mempergunakan analisa kualitatif, yang dijabarkan dan disajikan
lebih lanjut dalam pembahasan secara tuntas permasalahannya.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Di dalam bab ini disajikan pengantar-pengantar permasalahan
pokok yang terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,
Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.
Bab II : Latar Belakang Munculnya Perjanjian Waralaba (Franchise)
Dalam ini uraikan sekilas tentang Latar Belakang Munculnya
Perjanjian Waralaba (Franchise) yang terdiri dari; Defenisi
Perjanjian Waralaba (Franchise), Asas-asas dan Prinsip-prinsip
Perjanjian Franchise, Unsur-Unsur Franchise, Syarat-syarat
Perjanjian Waralaba, Faktor yang Mempengaruhi Perjanjian
Bab III : Aspek Hukum Terhadap Munculnya Perjanjian Waralaba Teh Poci di Kota Medan.
Dalam Bab ini menjelaskan tentang Aspek Hukum terhadap
Munculnya Perjanjian Waralaba Teh Poci yang terdiri atas;
Perlindungan Hukum di Bidang Sistem Pembagian Hasil Usaha
Waralaba (Franchise) Teh Poci, Upaya dan Kewajiban Para Pihak
Yang Terlibat dalam Perjanjian Waralaba, Peraturan yang
Mengatur Tentang Penjanjian Waralaba dalam Hukum Perdata
(BW), Penegakan Hukum Terhadap Waralaba (Franchise),
Perlindungan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian Waralaba
Teh Poci, Tanggung Jawab Para Pihak Terhadap Perjanjian
Waralaba.
Bab IV : Analisis Hukum Terhadap Isi Perjanjian Waralaba (Franchise) Teh Poci
Dalam Bab ini diuraikan sekilas tentang Analisis Hukum Terhadap
Isi (Substansi) Perjanjian Waralaba (Franchise) yang terdiri atas:
Latar Belakang Serta Dampak dan Berkembangnya Teh Poci di
Kota Medan, Faktor-faktor yang Mendorong Pertumbuhan
Waralaba Teh Poci, Akibat Yang Ditimbulkan Apabila Para Pihak
Melakukan Wanprestasi Dalam Melaksanakan Perjanjian Tersebut,
BAB V : Kesimpulan Dan Saran
Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari seluruh
Penulisan serta saran dan mudah-mudahan berguna bagi penulis
BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)
A. Defenisi Perjanjian Waralaba (Franchise)
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan dalam Pasal
1313 Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.15
Waralaba (franchise) adalah modal izin dari satu orang kepada orang lain
yang memberi hak penerima waralaba (franchisee) untuk mengadakan bisnih di
bawah nama dagang pemilik waralaba (franchisor), meliputi seluruh elemen
yang dibutuhkan untuk membuat orang yang sebelum terlatih dalam berbisnis
untuk mampu menjalankan bisnis yang dikembAngkan atau dibangun oleh
franchisor di bawah brand miliknya, dan setelah detraining untuk menjalankan
berdasarkan pada basic yang ditentukan sebelumnya dengan pendampingan yang
berkelanjutan.
Maka dapat ketahui
Franchise atau disebut juga sebagai waralaba merupakan suatu gambaran awal
para entrepreneur atau yang sering disebut sebagai wiraswastawan dapat
menjalankan dan mengembAngkan suatu opersasi dalam bidang waralaba yang
akan menghasilkan suatu keuntungan sesuai dengan cara pengelolaan bisnis yang
sedang dijalaninya.
16
15
Subekti R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Pasal 1313, hal. 282
16
Selain itu di Indonesia terdapat dua pengaturan mengenai waralaba yang
salah satunya terdapat didalam PP No 42 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (1)
menjelaskan pengertian dari waralaba yang berarti Hak khusus yang dimiliki
orang perseorangan dan/atau badan Hukum terhadap sistem bisnis dengan ciri
khas usaha dalam rAngka memasarkan barang/jasa yang telah terbukti berhasil
dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh Pihak lain berdasarkan
Perjanjian waralaba sedAngkan dalam Pasal 3 PP No 42 Tahun 2007 Pasal 3
megaskan bahwa salah satu kriteria waralaba adalah hak kekayaan
intelektualyang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten, dan rahasia
dagang.17 Waralaba juga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, yang didalam pengertian waralaba pada black’s law dictionary yang
lebih menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau
jasa dengan memanfaatkan merek dagang franchisor (pemberi waralaba) dengan
kewajiban pada Pihak franchisee (penerima waralaba) untuk mengikuti metode
dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba akan
memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar
penerima waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.18
17
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 Pasal 1 dan Pasal 3 18
Widjaja Gunawan, Op. cit., hal. 15.
Pemberian
waralaba ini didasarkan pada suatu franchise agreement, maksudnya seorang
penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan
mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan
waralaba.19 Di samping mengenal kata franchise atau yang sering disebut
sebagai waralaba tenyata didalam waralaba dikenal suatu istilah yang disebut
sebagai mem-franchise-kan, mem-franchise-kan adalah suatu metode perluasan
pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distRibusi produk serta
pelayanannya dengan membagi bersama standart pemasaran dan operasional
sehingga pemegang franchise yang membeli suatu bisnis menarik manfaat dari
kesadaran pelanggan akan nama dagang, sitem teruji dan pelayanan lain yang
disediakan pemilik franchise.20
Kontak awal atau membuat kontak awal dalam memulai suatu franchise
merupakan Salah satu metode termudah untuk memperoleh informasi mengenai
franchise adalah dengan menjawab iklan yang menawarkan kesempatan franchise, atau pada saat mengunjungi suatu usaha yang di-franchise-kan dapat
meminta alamat franchisor (pemilik waralaba) dan yang pada umumnya
permintaan akan informasi suatu franchise (waralaba) akan disambut baik oleh
pemilik waralaba. Selain itu dalam mengkaji kesempatan membeli franchise
(waralaba) antara pemilik dan pemegang harus bersama-sama menilai atau
mencari informasi bagaimana dengan hal-hal yang menyangkut penjualan dan
laba yang diharapkan dari sebuah usaha waralaba. Informasi atas suatu waralaba
juga harus menjawab segi penting dari suatu proses pengkajian berupa
menyadarkan bahwa pemilik franchise itu sebenarnya seorang pakar dan operator
dari dua jenis bisnis, yang satu bisnis mem-franchise-kan dan yang kedua bisnis
di-franchise-kan, Pemilik franchise mengoprasikan sejumlah keluarannya sendiri
19
Ibid., hal. 16. 20
yang disebut sebagai milik perusahaan atau lokasi perusahaan yang lokasi
tersebut dapat dimanfaatkan untuk latihan riset, Pengembangan dan keperluan
franchise lainnya sekaligus menjadi sumber pendapatannya juga.21
Suatu bisnis waralaba juga mempunyai suatu format didalam
pengembangannya baik dari mulai beroprasi hingga mencapai suatu laba atau
keuntungan didalamnya sehingga sebelum usaha itu dimulai biaya awal
merupakan salah satu fakto utama agar bisnis franchise ini dapat beroperasi atau
terjalankan. Biaya awal waralaba mempunyai prinsip yang digunakan untuk
membayar suatu lisensi atau hak untuk menggunakan merek yang diwaralabakan
selama jangka waktu waralaba selain itu juga digunakan sebagai hak meminjam
pedoman operasional selama jangka waktu waralaba. Jumlah yang harus
dikeluarkan oleh seorang franchisee (penerima waralaba) tergantung kepada
seorang franchisor (pemberi waralaba) setelah pengoperasian waralaba dimulai
seorang penerima waralaba harus membaya biaya selanjutnya kepada pemilik
waralaba atau yang sering disebut royalty fee.22
1. Kelangsungan operasional pewaralaba dalam kaitannya dengan bimbingan
berkesinambungan bagi para terwaralaba.
Besar biaya yang harus
dikeluarkan oleh penerima waralaba tergantung kepada pemberi waralaba karena
pada prinsipnya ada dan digunakan untuk:
2. Pelaksanaan audit waralaba dan evaluasi bisnis yang keduanya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari bimbingan berkesinambungan
3. Penelitian dan pengembangn pengelolaan merek dan strategi pemasaran.
21
Douglas J Queen, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993, hal. 30.
22
Biasanya untuk keperluan eksekusi dari pengelolaan merek dan strategi
pemasaran, franchisor memerlukan dana yang akan diambil dari dana iuran dan
promosi bersama bukan dari royalty fee.23
Bahwa kebebasan berkontrak adalah salah satu Asas dari Hukum
Perjanjian dan ia tidak berdiri sendiri, maknanya hanya dapat ditentukan setelah
memahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan Asas-asas Hukum
Perjanjian yang lain, yang secara menyeluruh Asas-asas ini merupakan pilar,
tiang, pondasi dari Hukum Perjanjian.
Contoh franchise besar dan berasal
dari luar Indonesia dan yang telah sukses mem-franchise-kan usahanya telah
dapat dirasakan diindonesia seperti pizza hut, kfc,texas chicken, dan tidak hanya
itu Indonesia sendiri sebagai Negara besar juga telah mempunyai franchise
dengan omset yang cukup besar hal itu dengan munculnya suatu usaha waralaba
Teh Poci yang telah di franchisekan di berbagai wilayah di Indonesia Dan
khususnya di medan Teh Poci telah berkembang pesat diberbagai tempat dan
wilayah seperti di jalan-jalan,sekolah,rumah makan bahkan tempat perbelanjaan
di kota Medan.
B . Asas-Asas dan Prinsip-prinsip Perjanjian Franchise
Sebagaimana diketahui di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa azas
sebagai berikut :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
24
23
Ibid., hal. 11. 24
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hal.40
Asas kebebasan berkontrak berhubungan
Perjanjian ini diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah
satu Asas yang sangat penting didalam Hukum Perjanjian, kebebasan adalah
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak Asasi manusia.25 Hak Asasi dengan kewajiban Asasi, dengan perkataan lain bahwa didalam kebebasan
terkandung tanggung jawab, didalam Hukum Perjanjian nasional Asas kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan
perlu dipelihara sebagai modal pengembangan kepribadian untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan
seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas kebebasan berkontrak
mendukung kedudukan yang seimbang diantara para Pihak, sehingga sebuah
Perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua Pihak.26 Asas kebebasan berkontrak, menyebutkan bahwa terikat pada Perjanjian
yang harus dipenuhi secara moral, secara Hukum karena berada dalam suatu
masyarakat yang beradab dan maju. Masyarakat seperti ini terdapat kebebasan
untuk berpartisipasi dalam lalu lintas yuridis-ekonomi, untuk itu diperlukan suatu
prinsip yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian dari
hak-hak dan kebebasan manusia.27
25
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993.
26
Ibid
27
Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
2. Asas Konsensualisme
Kesepakatan mereka yang mengikat diri adalah esensial dari Hukum
Perjanjian. Asas ini dinamakan Asas konsensualisme yang menentukan adanya
Perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata
mengandung arti kemauan para Pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan
untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa
Perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber
pada moral. fakta sunt servanda (janji itu mengikat) dan menyebutkan
promisorum impledorum obligantion (kita harus memenuhi janji kita).28 Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan Asas kebebasan
berkontrak dan Asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 Ayat 1
KUHPerdata menyebutkan semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang- Undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua
mengandung arti meliputi seluruh Perjanjian baik yang namanya dikenal maupun
yang tidak dikenal oleh Undang-Undang.29
Seseorang yang mengadakan Perjanjian dengan Pihak lain akan
menumbuhkan kepercayaan diantara Pihak, bahwa satu sama lain akan
memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya, tanpa adanya
kepercayaan maka Perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para Pihak, 3. Asas Kepercayaan
28
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993.
dengan kepercayaan, kedua Pihak mengikatkan dirinya dan Perjanjian itu
mempunyai kekuatan sebagai Undang-Undang.30
Bahwa para Pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, terikatnya
para Pihak pada Perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan,
akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan
dan kepatutan serta moral yang mengikat para Pihak. 4. Asas Kekuatan Mengikat
31
Asas ini menempatkan para Pihak didalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan,
dan lain-lain. Masing-masing Pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua Pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia
ciptaan tuhan.
5 . Asas Persamaan Hukum
32
Asas ini menghendaki kedua Pihak memenuhi dan melaksanakan
Perjanjian, Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari Asas persamaan,
kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul
pula beban untuk melaksanakan Perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat 6. Asas Keseimbangan
30 Ibid 31
Ibid 32
bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.33
Perjanjian sebagai suatu figur Hukum harus mengandung kepastian
Hukum Kepastian Hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat Perjanjian itu
yaitu sebagai Undang-Undang bagi para Pihak. 7 . Asas Kepastian Hukum
34
Asas ini dituAngkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, Asas kepatutan
disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi Perjanjian. Asas kepatutan ini
harus dipertahankan karena melalui Asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan
juga oleh rasa keadilan. 8. Asas Kepatutan
35
1. Asas konsensualisme yang artinya artinya Perjanjian itu ada karena
persesuaian 9. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 menyebutkan suatu Perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat Perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang.
Dari seluruh asas yang tersebut di atas makan, terdapatnya
Asas-asas yang termaktub di dalam sebuah Perjanjian waralaba yakni, bebagai berikut:
kehendak atau konsensus semata-mata.
33 Ibid 34
Ibid 35
2. Asas kekuatan mengikat dari Perjanjian
3. Asas kebebasan berkontrak
Dengan adanya tujuan dari waralaba sehingga peran yang penting
didalam menjalankan hak dan kewajiban dari franchisor maupun franchisee
maka Perjanjian waralaba harus secara tepat menggambarkan janji-janji yang
dibuat dan harus adil, serta pada saat yang bersamaan menjamin bahwa ada
kontrak yang cukup melindungi integritas sistem.36
36
Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba, Cakrawala, Yogyakarta, 2007, hal 23. 1.
Berdasarkan peraturan
pemerintah No. 42 Tahun 2007, Perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis
dalam bahasa Indonesia, hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 Ayat 1. Perjanjian
waralaba tidak perlu dibuat dalam bentuk akta notaris, para Pihak dapat membuat
sendiri di bawah tangan dengan ketentuan KUHPerdata. Hal-hal yang diatur oleh
Hukum dan Peraturan PerUndang-Undangan merupakan yang harus ditaati oleh
para Pihak dalam Perjanjian waralaba, jika para Pihak mematuhi semua peraturan
tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan Perjanjian
waralaba akan tetapi, sering terjadi penyimpangan, penyimpangan menimbulkan
wanprestasi, wanprestasi terjadi ketika salah satu Pihak tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana tertera didalam Perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi
dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu Pihak, terhadap kerugian yang
ditimbulkan dalam pelaksanaan Perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan
Hukum bagi Pihak yang dirugikan, yaitu Pihak yang dirugikan berhak menuntut
ganti rugi kepada Pihak yang menyebabkan kerugian, kemungkinan Pihak yang
diberikan oleh Hukum di Indonesia.37
37
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal 96.
Sehingga tujuan dari adanya suatu
Perjanjian waralaba merupakan aspek perlindungan atau memberikan
perlindungan Hukum kepada para Pihak dari perbuatan merugikan Pihak lain,
hal ini dikarenakan Perjanjian tersebut dapat menjadi dasar Hukum yang kuat
untuk menegakkan perlindungan Hukum bagi para Pihak yang terlibat dalam
sistem waralaba, jika salah satu Pihak melanggar isi Perjanjian, maka Pihak lain
dapat menuntut Pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan Hukum yang
berlaku.
Pada dasarnya Franchisee adalah sebuah Perjanjian mengenai metode
pendistRibusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka
waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha
pendistRibusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam
wilayah tertentu dan usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan
cara yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, Franchisor memberikan bantuan
(assistance) terhadap waralaba, sebagai imbalannya penerima waralaba
membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty sehingga dalam sistem
waralaba terdapat tiga komponen yaitu :
1. Franchisor, yaitu Pihak yang memiliki sistem atau cara-cara dalam berbisnis
2. Franchisee, yaitu Pihak yang membeli waralaba atau sistem dari pemberi
waralaba (franchisor)sehingga memiliki hak untuk mejalankan bisnis dengan
3. Franchise, yaitu sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan
pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada
franchisee.38
3. Masing-masing Pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk
beberapa Negara dijadikan syarat, untuk mendapatkan nasihat dari ahli
Hukum yang kompeten, mengenai isi dari Perjanjian tersebut dan dengan
waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.
Di dalam Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat, adapun
syarat- syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan kerjasama sebaiknya tertuang dalam suatu Perjanjian waralaba
yang disahkan secara Hukum
2. Kesepakatan kerjasama ini menjelaskan secara rinci segala hak, kewajiban
dan tugas dari Franchisor dan Franchisee
39
Setiap Perjanjian waralaba dikembangkan secara khusus dan tidak meniru
Perjanjian yang dibuat dalam konteks/faktor yang berbedadengan kata lain Sehingga dengan adanya
syarat-syarat yang berlaku didalam suatu Perjanjian waralaba dapat ditarik
kesimpulan terdapat tiga prinsip dari suatu Perjanjian waralaba yakni:
1) Harus jujur dan jelas
2) Tiap Pasal dalam Perjanjian harus adil
3) Isi dari Perjanjian dapat dipaksakan berdasarkan Hukum
38
Supriadi, Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam, Konsep Bisnis Waralaba
Franchising), excellent group, pmiikomfaksyahum.wordpress.com, edisi sabtu, 24 april 2010. di
akses pada tanggal 18 januari 2011 39
Perjanjian yang dibuat berdasarkan suatu kebebasan didalam pembuatan
Perjanjiannya sehingga menyebabkan Sebab Perjanjian waralaba dikembAngkan
secara khusus dan tidak meniru Perjanjian yang dibuat dalam konteks/faktor yang
berbeda.
Adapun hal-hal yang mempengaruhi dari gambaran di atas bahwa
pripsip-prinsip di atas menyebabkan terjadinya suatu hak dan kewajiban antara pemberi
waralaba dan penerima waralaba yaitu Sebelum membuat Perjanjian tertulis
tersebut frenchisor atau pemberi waralaba wajib menyampaikan keterangan
tertulis secara benar kepada frenchisee atau penerima waralaba, mengenai hal-hal
berikut:
1. Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya
termasuk neraca dan daftar rugi laba selama-lamanya dua Tahun terakhir
2. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
menjadi objek waralaba
3. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima waralaba
4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan dari pemberi waralaba kepada
penerima waralaba
5. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba
6. Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan dan Perjanjian waralaba.
7. Hal-hal lain yang perlu diketahui oleh penerima waralaba dalam rAngka
dan perdagangan nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang ketentuan dan tata
cara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba).40
Standar operasi baku adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi bisnis
yang akan dikembAngkan dengan sistem waralaba. Jadi jangan pelit bikin
ketentuan yang nanti akan di bakukan menjadi standar operasi, dengan
menerapkan standar operasi baku, diharapkan dimanapun lokasi domisili
pelanggan, mereka akan dapat menikmati kualitas produk dan pelayanan yang
sama. Contoh bisnis waralaba KFC, Karyawan terlihat sangat professional,
bahkan seolah-olah mereka itu menguasai semua bidang kerjanya dan sangat Dengan kata lain selain syarat yang tertuang didalam Perjanjian waralaba
maka Membangun dan mengembAngkan bisnis dengan system waralaba, akan
menguatkan syarat yang tercantum didalam franchise :
a. Membuat ciri khas usaha
Inilah yang membedakan antara bisnis waralaba dengan bisnis lainnya. Bisnis
waralaba harus memenuhi syarat utama adanya ciri khas usaha. Ciri khas
usaha ini adalah suatu keunggulan atau perbedaan yang membedakan antara
bisnis yang miliki dengan bisnis milik orang lain. Adanya ciri khas ini, bisnis
tidak mudah ditiru oleh pemilik usaha lain dan justru ciri khas tersebut
mampu menciptakan ketergantungan konsumen terhadap produk atau bisnis.
Ciri khas bisa terdapat pada produknya, system manajemennya, cara
penjualan dan pelayanan, penataan produk dan pada cara distRibusinya.
b. Membuat standar operasi baku
40
menikmati pekerjaannya sehingga terlihat ikhlas melayani pelanggan, dan
yang melihat berdecak kagum dan puas atas pelayanannya, itulah hasil dari
standar operasi yang diberlakukan perusahaan. Perusahaan memberlakukan
standar operasi yang sudah dibakukan, sehingga dimanapun ada gerai KFC,
pasti produk dan pelayanannya sama.
c. Membuat HaKI-nya (Hak atas Kekayaan Intelektual)
Bisnis waralaba memerlukan HaKI untuk melindungi ciri khas bisnisnya, ada
empat hak atas kekayaan intelektual yang terdapat bisnis waralaba yang
melindungi pemilik haknya, atas bisnis waralaba yaitu merek, hak cipta,
paten, rahasia dagang yang harus didaftar ke direktorat Jenderal hak atas
kekayaan intelektual departemen Hukum dan hak Asasi manusia.
d. Membuat Cara Duplikasi yang mudah dan praktis
Cara duplikasi yang mudah dan praktis adalah mudah diajarkan dan
diaplikasikan atau mudah dilaksanakan sehingga franchisee yang belum
memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat
melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan
manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh franchisor. Jangan
buru-buru mewaralabakan bisnis kalau belum dapat membuat cara duplikasi
yang mudah dan praktis.
e. Membuat keuntungan yang bertumbuh
Keuntungan yang bertumbuh pada bisnis waralaba membuktikan bahwa :
2) Manajemen nya telah teruji profesionalisme dan etos kerjanya, sehingga
mampu menjamin franchisee memperoleh haknya untuk mendapat
keuntungan dari bisnis waralaba
3) Bisnis tersebut telah diterima dan diinginkan oleh masyarakat
f. Menciptakan supporting management berkelanjutan
Franchisor memberikan dukungan manajerial (supporting management)
kepada franchisee selama masa kontrak, tujuannya supaya franchisee dapat
berbisnis dengan lancar dan menguntungkan. Franchisor harus memberikan
supporting management karena franchisor lebih berpengalaman daripada franchisee dalam menjalankan bisnis waralaba.
g. Membuat Prospektus Bisnis
Menjual bisnis waralaba kepada calon franchisee maka diperlukan marketing
tools yang dinamakan prospectus bisnis waralaba.
h. Membuat kontrak/ Perjanjian waralaba
Membangun dan mengembAngkan bisnis dengan cara menjual sistem
waralaba diperlukan sebuah sarana yang akan mengamankan hubungan
kerjasama antar keduanya yaitu kontrak/Perjanjian waralaba.41
Sebagaimana diketahui bahwa hal-hal yang terkandung didalam suatu
franchise (waralaba) mencakup bagian-bagian tertentu salah satunya Perjanjian
timbal balik merupakan Perjanjian yang didalamnya masing-masing Pihak
C. Unsur-Unsur Franchise
41
menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan
debitur secara timbal balik.42 Royalti fee yang merupakan uang yang didapat
franchisor karena franchisee nggunakan merek dagangnya milik franchisor ini
dilindungi oleh Undang-Undang dan menurut ketentuan Undang-Undang yang
berlaku merek tersebut dimiliki oleh pemegang haknya.43
42
Adapun unsur-unsur yang dimiliki atas kutipan di atas adalah sebagai
berikut:
a. Waralaba merupakan Perjanjian timbal balik antara franchisor dan
franchisee.
b. Franchisee berkewajiban membayar fee kepada franchisor.
c. Franchisee diizinkan menjual dan mendistRibusikan barang atau jasa
franchisor menurut cara yang telah ditentukan franchisor atau mengikut i
metode bisnis yang dimiliki franchisor.
d. Franchisee menggunakan merek nama perusahaan atau juga simbol-simbol
komersial franchisor.
Selain itu Unsur Perjanjian waralaba telah dijelaskan sebagai berikut:
a. Adanya dua Pihak yaitu franchisor dan franchisee, Franchisor sebagai Pihak
yang memberikan bisnis waralaba dan franchisee merupakan Pihak yang
menerima bisnis waralaba.
b. Adanya penawaran dalam bentuk paket usaha dari franchisor
januari 2011 43
c. Adanya kerjasama dalam bentuk pengelolaan unit usaha antara franchisor
dan franchisee.
d. Dipunyai unit usaha tertentu (outlet) oleh Pihak franchisee yang akan
memanfaatkan paket usaha milik franchisor.
e. Terdapat Perjanjian tertulis berupa Perjanjian baku antara franchisor dan
franchisee.44
Perjanjian waralaba akan tetapi, sering terjadi penyimpangan,
penyimpangan menimbulkan wanprestasi, wanprestasi terjadi ketika salah satu
Pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera didalam Perjanjian
waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu
Pihak, terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan Perjanjian
waralaba ini berlaku perlindungan Hukum bagi Pihak yang dirugikan, yaitu Pihak
yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada Pihak yang menyebabkan Berdasarkan peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2007, Perjanjian
waralaba harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, hal tersebut sesuai
dengan Pasal 4 Ayat 1. Perjanjian waralaba tidak perlu dibuat dalam bentuk akta
notaris, para Pihak dapat membuat sendiri di bawah tangan dengan ketentuan
KUHPerdata. menyebutkan hal-hal yang diatur oleh Hukum dan Peraturan
PerUndang-Undangan merupakan yang harus ditaati oleh para Pihak dalam
Perjanjian waralaba, jika para Pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka
tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan
44
kerugian, kemungkinan Pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi, merupakan
bentuk perlindungan Hukum yang diberikan oleh Hukum di Indonesia.45
Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para Pihak dalam
Perjanjian waralaba, wanprestasi dari Pihak franchisee dapat berbentuk tidak
membayar biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang
dilakukan franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem
waralaba dan lain-lain. Wanprestasi dari Pihak franchisor dapat berbentuk tidak
memberikan fasilitas sehingga sistem waralaba tidak berjalan dengan
sebagaimana mestinya, tidak mau membantu franchisee dalam kesulitan yang
dihadapi ketika melakukan usaha waralaba dan lain-lain.46
d. Suatu sebab atau causa yang halal
Dengan penjelasan atas hal-hal di atas maka unsur-unsur yang terdapat
didalam waralaba dapat dipenuhi dan dilaksanakan sesuai aturan-aturan yang
berlaku sehingga Pihak-Pihak yang melaksankan franchise dapat menjalankan
usahanya dengan baik.
D. Syarat-Syarat Perjanjian Waralaba
Syarat sah Perjanjian sehingga berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a. sepakat mereka mengikatkan dirinya.
b. cakap untuk membuat perikatan
c. suatu hal tertentu
45 Ibid 46
Kesepakatan Kerjasama dalam Waralaba Dalam Perjanjian tentang
waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kesepakatan kerjasama sebaiknya tertuang dalam suatu Perjanjian
waralaba yang disahkan secara Hukum.
2. Kesepakatan kerjasama ini menjelaskan secara rinci segala hak,
kewajiban dan tugas dari pengwaralaba (franchisor) dan pewaralaba
(franchisee).
3. Masing-masing Pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan
untuk beberapa Negara dijadikan syarat, untuk mendapatkan nasihat
dari ahli Hukum yang kompeten, mengenai isi dari Perjanjian tersebut
dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.
Berdasarkan pengertian tersebut terdapat perbuatan Hukum antara
franchisor dan franchisee sehingga menimbulkan Perjanjian. Selain hal di atas
salah satu hal yang menjelasakan atas syarat dari suatu Perjanjian waralaba
adalah penerima waralaba utama wajib memberitahukan secara tertulis dokumen
autentik kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima waralaba utama
memiliki hak atau izin membuat Perjanjian waralaba lanjutan dari pemberi
waralaba. Maka dengan demikian didalam Pasal 7 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, telah
ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam Perjanjian waralaba atau frenchise
yang saling berkesinambungan dengan syarat yang terdapat didalam suatu
1. Nama, alamat dan tempat kedudukan persahaan masing-masing Pihak
2. Nama dan jabatan masing-masing Pihak yang berwenang menandatangani
Perjanjian.
3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas
usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara
distRibusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek
waralaba.
4. Wilayah pemasaran
5. Jangka waktu Perjanjian dan tata cara perpanjangan Perjanjian serta
syarat-syarat perpanjangan Perjanjian
6. Cara penyelesaian perselisihan
Dengan demikian mengenai prinsip atas suatu Perjanjian waralaba dapat
diketahui dari berbagai aspek yang ada dan dapat dilihat dari berbagai sisi yang
menjadikan franchise (waralaba) menjadi suatu awal yang baik atas suatu bisnis
dengan dasar-dasar dan pemahaman yang baik, tidak hanya itu franchise dengan
prinsipnya juga mengikat kedua belah Pihak antara franchisor maupun franchisee
didalam suatu Perjanjian yang dibuat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi
Pihak yang terikat.47
Di Indonesia masalah hak milik intellektual dalam beberapa aspek sudah
diatur lewat Undang-Undang hak cipta, Undang-Undang hak patent, dan
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perjanjian Franchise
Undang-Undang perindustrian. Begitu juga UU Merek yang meskipun
memerlukan revisi cukup memberi perlindungan Hukum pemilik hak intelektual.
Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memberikan perlindungan pada
investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor serig
kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan
klausula yang diajukan.48
Franchisor hampir tak memiliki resiko yang langsung, sementara franchisee selain berhadapan dengan resiko investasi, resiko persaingan,
kesalahan manajemen, dan pangsa pasar, juga harus membayar royalty. Belum
lagi menghadapi resiko perlakukan tak adil berupa mekanisme kontrol yang
berlebihan, pencabutan franchise atau memberikannya kepada pengusaha lain.
Apabila belum ada perangkat Hukum yang mengatur tentang franchise di
Indonesia, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui kontrak franchise yang
dibuat Pihak-Pihak yang terlibat karena didalam KUHPerdata yang sekarang
berlaku, secara tegas mengakui bahwa Perjanjian yang disepakati oleh beberapa
Pihak, mengikat mereka sebagai Hukum.49
Kemudian darai pada itu diberbagai Negara Perjanjian waralaba bisa
berbeda karena adanya perbedaan Hukum, namun Perjanjian waralaba harus
dibuat secara komprehensif dan memuat ketentuan yang berkaitan dengan hak
dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba (franchisor dan franchisee)
sehingga dalam Perjanjian waralaba yang merupakan salah satu aspek
perlindungan Hukum kepada para Pihak dari perbuatan merugikan Pihak lain, hal
48
januari 2011 49
ini dikarenakan Perjanjian tersebut dapat menjadi dasar Hukum yang kuat untuk
menegakkan perlindungan Hukum bagi para Pihak yang terlibat dalam sistem
waralaba, jika salah satu Pihak melanggar isi Perjanjian, maka Pihak lain dapat
menuntut Pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan Hukum yang berlaku dan
pewaralabaan menyebutkan Perjanjian waralaba adalah suatu Perjanjian yang
mendokumentasikan hubungan Hukum tentang kewajiban yang ada antara
franchisor dan franchisee.50
5. Jangka waktu Perjanjian dan tata cara perpanjangan Perjanjian serta
syarat-syarat perpanjangan Perjanjian
Sehingga dari penjelasan di atas terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dari Perjanjian waralaba adalah Maka dengan demikian didalam
Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/
Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha
Waralaba, telah ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam Perjanjian waralaba
atau frenchise yang saling berkesinambungan dengan syarat yang terdapat
didalam suatu Perjanjian waralaba adalah sebagai berikut:
1. Nama, alamat dan tempat kedudukan persahaan masing-masing Pihak
2. Nama dan jabatan masing-masing Pihak yang berwenang menandatangani
Perjanjian
3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara
distRibusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek
waralaba.
4. Wilayah pemasaran
50
6. Cara penyelesaian perselisihan.51
5. Konfirmasi Pihak independen.
Selain itu aplikasi didalam suatu Perjanjian waralaba juga merupakan
suatu faktor penting didalam menjalankan suatu franchise. Aplikasinya
Perjanjian waralaba dapat dibagi yakni:
1. Perjanjian dari masing-masing Pihak, Sebelum dan sesudah Perjanjian
2. Perincian peraturan yang harus ditaati
3. Perincian penyediaan barang didalam Perjanjian
4. Perjanjian berakhir bila unit dari waralaba diberi oleh Pihak lain tanpa
sepengetahuan penerima waralaba
52
Keseluruhan unsur yang tercantum sebagai pokok dari suatu perjanjan
franchise (waralaba) telah memenuhi syarat minimal dari segi Hukum dan
memenuhi kriteria sebagai Perjanjian yang sudah baik dan memberikan
perlindungan terhadap franchisor dan franchise secara seimbang adapun bisnis
franchise telah berkembang di indonesia, namun peraturan perUndang-Undangan
Dengan adanya hal-hal di atas faktor yang mempengaruhi terbentuknya
suatu Perjanjian waralaba dapat terlaksana dengan baik dan hasil atas suatu
Perjanjian tersebut dapat memberikan kenyamanan didalam menjalankan suatu
franchise antara pemberi waralaba dan penerima waralaba.
F. Kedudukan Hukum Terhadap Perjanjian Franchise
51
Adrian Sutedi, loc. Cit. 52
yang mengatur tentang hal itu secara khusus belum ada. Peraturan
perUndang-Undangan yang memiliki hubungaan dengan franchise adalah sebagai berikut:
1. Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1338
KUHPerdata menganut sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan
Hukum diberikan kebebasan untuk menentukan Perjanjian baik yang sudah
dikenal didalam KUHPerdata. Di samping itu, yang menjadi dasar Hukum
dalam pengembangan franchise di indonesia adalah Pasal 1320 KUHPerdata,
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya Perjanjian, yaitu
kesepakatan kedua belah Pihak, cakap untuk melakukan perbuatan Hukum,
adanya objek tertentu dan adanya kausa yang halal.
2. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba. Peraturan
pemerintah ini terdiri atas 11 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam peraturan
pemerintah ini meliputi pengertian waralaba, para Pihak dalam Perjanjian
waralaba, keterangan-keterangan yang harus disampaikan oleh pemberi
waralaba kepada penerima waralaba dan bentuk Perjanjiannya.
3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 259/ MPP/ Kep/
7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Usaha Waralaba.
Keputusan Menteri ini terdiri atas 8 bab dan 26 Pasal. Hal-hal yang diatur
dalam keputusan menteri ini meliputi: pengertian umum, bentuk
Perjanjiannya, kewajiban pendaftaran, dan kewenanangan penerbitan surat
tanda pendaftaran usaha waralaba, persyaratan waralaba, pelaporan, sanksi,
4. Keputusan Menteri Perdagangan Nomor: 376/ Kep/XI/ 1998 Tetang Kegiatan
Perdagangan. Keputusan Menteri Perdagangan ini telah memungkinkan
perusahaan asing dalam status penanaman modal asing dapat melakukan
penjualan hasi lproduksinya didalam negeri sampai pada tingkat pengecer
dengan mendirikan perusahaan patungan antara perusahaan asing di bidang
produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur.
Dengan keputusan tersebut franchisor yang memproduksi barang dapat
melakukan hubungan langsung dengan pengecernya, para pengecer tersebut
adalah para franchisee. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
1997 Tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran
Usaha Waralaba telah ditentukan bentuk franchise atau Perjanjian
waralaba yaitu bentuknya tertulis. Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa Indonesia
dan terhadapnya berlaku Hukum Indonesia.
Dengan keadaan demikian menyebabkan kedudukan Hukum dalam
Perjanjian waralaba seimbang antara Pihak yang