• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Indonesia Menganut Sistem Pemerintahan Presidensial 1. Indonesia Menganut Sistem Pemerintahan Presidensial

3. Kedudukan Kementerian Negara

Pada sub-bab ini penulis akan mendiskusikan terkait kedudukan kementerian negara sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008. Diskusi ini sangat penting mengingat, UU No. 39 Tahun 2008 hadir karena perintah langsung dari Pasal 17 ayat (4) UUD NRI 1945. Oleh karena UU No. 39 Tahun 2008 merupakan perintah UUD

80 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, h. 114-115.

33

NRI 1945 maka, perlu untuk teliti konsistensinya dengan amanat UUD NRI 1945, maksudnya apakah benar-benar UU a quo memanisfestasikan kehendak original dari UUD NRI 1945 atau tidak.

Terkait kementerian negara ini di dalam UUD NRI 1945 di atur dalam Bab V Pasal 17. Adapun yang menjadi materi muatan Pasal 17, yaitu: “Ayat (1), Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Ayat (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ayat (3) setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (4) pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara di atur dalam undang-undang”. Di uraian tersebut, tampak bahwa Pasal 17 sama sekali tidak merumuskan definisi kementerian negara. Namun, apabila merujuk dari UU No. 39 Tahun 2008, maka akan dijumpai definisi kementerian negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 2008:

“kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Sedangkan ditegaskan oleh Pasal 1 angka 2 UU No. 39 Tahun 2008 bahwa yang memimpin kementerian dengan kedudukan sebagai pembantu Presiden adalah Menteri negara.

Sampai di sini penulis berpendapat bahwa UU No. 39 Tahun 2008 masih sesuai dengan UUD NRI 1945. Sebab, tampak bahwa kementerian negara kedudukannya adalah sebagai pembantu Presiden. Namun, jika ditelaah lebih jauh, akan tampak bahwa ada kementerian negara yang tidak dapat ubah oleh Presiden81 bahkan kementerian ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.82 Kementerian ini adalah

81 Lihat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

82 Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

34

Kementerian luar negeri, Kementerian pertahanan, dan Kementerian dalam negeri.

Tentu ini fenomena ini merupakan fenomena fallacy. Sebab, di pihak UU No. 39 Tahun 2008 menyatakan dengan tegas bahwa menteri sebagai pembantu, namun, di sisi yang lain, UU ini mengatakan bahwa ada menteri yang tidak dapat ubah atau bahkan di bubarkan oleh Presiden. Padahal UUD NRI 1945 dengan tegas menyatakan bahwa menteri hanyalah sebagai pembantu atau mandataris yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Artinya, Presiden memiliki kewenangan untuk mengubah bahkan membubarkan kementerian ini. Sehingga, dengan adanya kaidah yang membatasi Presiden tersebut berdampak pada inkonsisten dengan UUD NRI 1945 ini, dan tentu saja memiliki konsekuensi inkonstitusional. Sebab, adalah keniscayaan bagi UU yang sebagai pelaksana dari UUD NRI 1945 untuk taat kepada UUD NRI 1945 sebagai the supreme law of the land.

Kemunculan kaidah di atas tentu saja bukan hadir tanpa sebab. Karena kaidah di atas, sangat mirip dengan pandangan beberapa ahli hukum Indonesia yang terkenal.

Dugaan penulis kemunculan kaidah di atas, sangat kuat dipengaruhi oleh pendapat para ahli tersebut. Ahli yang dimaksud oleh penulis ada banyak tetapi penulis hanya mencantumkan dua saja, yaitu Jimly Asshiddiqie dan Moh. Mahfud MD.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa Menteri adalah kepala eksekutif yang sebenarnya, yang kemudian bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini dikarenakan, dalam penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan dinyatakan bahwa Menteri itu bukanlah pejabat yang biasa. Kedudukannya sanggat tinggi sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif sehari-hari. Artinya para Menteri itulah pada pokoknya yang merupakan pimpinan pemerintahan dalam arti yang sebenarnya di bidang tugasnya

35

masing-masing. Ditambah lagi pasca perubahan UUD NRI 1945 ketentuan mengenai kementerian negara ini disusun dalam bab yang terpisah dan tersendiri dari Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara.83 Menurutnya pemisahan ini pada pokoknya, disebabkan karena kedudukan Menteri-menteri negara itu dianggap sangat penting dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI 1945. Dengan dasar tersebut kemudian jimly Asshiddiqie sampai pada kesimpulan bahwa Presiden Republik Indonesia menurut UUD NRI 1945 bukanlah merupakan kepala eksekutif.84

Senada dengan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD juga memberikan penjelasan terkait kedudukan menteri-menteri dalam domain eksekutif, yaitu:

Hal lain yang perlu ditegaskan sehubungan dengan adanya menteri negara ini ialah bahwa, para menteri itu bukanlah pegawai tinggi biasa, oleh karena menteri-menteri-lah yang menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executief) dalam praktik. Memang yang dimaksud ialah, para menteri itu ialah pemimpin-pemimpin negara. dari penjelasan ini memang menjadi jelas bahwa para menteri itu berkedudukan sebagai pemerintah atau pemegang kekuasaan sebagai pembantu presiden di tingkat pusat. Untuk menetapkan politik pemerintahan dan koordinasi dalam pemerintahan negara para menteri bekerja bersama, satu sama lain, se-erat-eratnya di bawah pimpinan presiden.85

Jika mencermati pendapat Mahfud MD sebagaimana sudah penulis kemukakan di atas, tampak bahwa menurut Mahfud MD, Menteri dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki kekuasaan atau kewenangan. Sehingga, karena Menteri dianggap memiliki kekuasaan atau kewenangan maka, kesimpulan akhirnya pun seharusnya sama dengan Jimly Asshiddiqie, bahwa Menteri-lah yang merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya. Namun, Mahfud MD ketika sampai

83 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, …,Op.

Cit., h. 147.

84 Ibid.

85 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, h. 116.

36

pada kesimpulan, justru menunjukkan fenomena fallacy dalam pernyataan. Sebab, bagaimana tidak? Mahfud MD menyatakan bahwa “para Menteri itu berkedudukan sebagai pemerintah atau pemegang kekuasaan sebagai pembantu Presiden di tingkat pusat”. Di lain sisi Mahfud MD hendak menyatakan bahwa Menteri memiliki kekuasaan atau kewenangan, tetapi, di lain pihak Mahfud MD juga menyatakan bahwa Menteri sebagai pembantu Presiden. Padahal jika, Mahfud MD menyatakan bahwa Menteri adalah pembantu Presiden, maka seharusnya kesimpulan yang ditarik adalah Menteri tidak memiliki kewenangan sama sekali.

Uraian argumentasi Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD di atas, jika dilihat sepintas seolah-olah benar. Tetapi, jika dicermati justru memiliki cacat konsep yang fundamental. Sebab, bagaimana tidak? Hanya karena menteri menjalankan urusan pemerintahan sehari-sehari dan bukan merupakan pejabat biasa, kemudian dengan tegas menyimpulkan bahwa eksekutif yang sebenarnya adalah Menteri. Padahal sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan presidensial yang mana memposisikan Presiden sebagai pemegang tunggal kekuasaan eksekutif dan sekaligus kepala negara dan Menteri hanyalah sebagai pembantunya mereka, yang mana argumen ini juga diakui oleh Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD.

Seharusnya menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden bukan eksekutif, melainkan hanya pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Selanjutnya, Presiden yang akan bertanggung jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan86 kepada rakyat. Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka seharusnya

86 Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia: Menurut UUD 45 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2016, h. 37.

37

kedudukan Menteri sebagai pembantu Presiden hanya bertindak untuk dan atas nama Presiden atau dengan kata lain, Menteri karena kedudukannya sebagai pembantu maka, Menteri tidak memiliki kewenangan sama sekali. Sebab, yang empunya kewenangan adalah Presiden. Selain itu, dalam sistem pemerintahan presidensial, yang bertanggung jawab adalah Presiden bukan Menteri.87 Maksudnya, ketika terjadi persoalan terhadap urusan pemerintahan yang sedang dikerjakan oleh Menteri, maka yang bertanggung jawab itu bukanlah Menteri tersebut, melainkan Presiden.

Dengan demikian, jika benar dugaan penulis, seharusnya hal tersebut tidak terjadi, seharusnya yang menjadi basis kemunculan kaidah-kaidah dalam UU No. 39 Tahun 2008 adalah UUD NRI 1945 kedua pendapat ahli di atas yang tidak sesuai dengan asas presidensialisme.

87 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, …, Op. Cit., h. 325.

Dokumen terkait