• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLA HUBUNGAN PRESIDEN DAN MENTERI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II POLA HUBUNGAN PRESIDEN DAN MENTERI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

POLA HUBUNGAN PRESIDEN DAN MENTERI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL

Bab ini akan menjelaskan argumen bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden adalah pemegang tunggal kekuasaan pemerintahan dan sekaligus kepala negara. Sedangkan Menteri hanyalah sebagai pembantu atau mandataris Presiden. Karena Menteri dalam sistem pemerintahan presiden hanyalah merupakan mandataris Presiden, maka, seharusnya Menteri hanyalah bertindak untuk dan atas nama Presiden diluar itu tidak dapat dibenarkan.

Argumen tersebut di mulai dengan menjelaskan terlebih dahulu secara teoretis- konseptual mengenai pola hubungan antara Presiden dan Menteri dalam sistem pemerintahan presidensial sehingga menjustifikasi asumsi penulis bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden adalah pemegang tunggal kekuasaan eksekutif dan sekaligus kepala negara. Sedangkan Menteri kedudukannya hanyalah sebagai mandataris Presiden yang memiliki konsekuensi logis bahwa Menteri dalam sistem pemerintahan presidensial, sama sekali tidak memiliki kewenangan.

(2)

2

A. Sistem Pemerintahan Presidensial

1. Pemisahan Kekuasaan Sebagai Basis Sistem Pemerintahan Presidensial

Sebagai upaya untuk menjelaskan mengenai pola hubungan Presiden dan Menteri dalam sistem pemerintahan presidensial, penulis dalam sub-bab ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai dasar dari sistem pemerintahan presidensial, yaitu pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan di sini memiliki makna ganda, yaitu pertama, prakondisi pembentukan rezim presidensial. Dan kedua, bagaimana pemerintahan konstitusional dijalankan, yaitu dengan pemisahan kekuasaan pemerintahan secara fungsional. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka pada sub bab ini penulis akan membahas kedua point tersebut.

Secara historis sebelum adanya rezim presidensial terbentuk sistem pemerintahan yang muncul dan dipraktikkan pertama kali adalah sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini pertama kali di praktikkan di Inggris.1 Oleh sebab itu, Douglas V. Verney mengingatkan bahwa untuk menganalisis sistem pemerintahan parlementer sebaiknya dimulai dengan mengacu kepada berbagai lembaga dalam sistem politik Inggris.2 Pun mengacu kepada pengalaman Inggris dalam membangun sistem parlementer. Sebab, menurut CF. Strong “the history of the growth of the cabinet system in Britain is one of the most instructive studies in the whole realm of

1 I Made Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi Modern, Abardin, Bandung, 1990, h. 25.

2 Arent Lijphart, Parliamentary Government and…, Op., Cit., h. 39.

(3)

3

the science of government.”3 Adapun yang menjadi ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer, yaitu:

The assembly becomes a parliament; (2) the executive is divided into two parts;

(3) the head of state appoints the head of government; (4) the head of government appoints the ministry; (5) the ministry (or goverment) is a collective body; (6) Ministers are usually members of parliament; (7) the government is politically responsible to the assembly; (8) the head of government may advise the head of state to dissolve parliament (9) parliament as a whole is supreme over its constituent parts, government and assembly, neither or which may dominate the other; (10) the government as a whole is only indirectly responsible to the electorate; (11) parliament is the focus of power in the political system.4 [(1) Majelis menjadi parlemen; (2) Eksekutif dibagi kedalam dua bagian; (3) Kepala negara mengangkat kepala pemerintahan; (4) Kepala pemerintahan mengangkat menteri; (5) Kementerian (pemerintah) ada lah badan kolektif; (6) Menteri biasanya merupakan anggota parlemen; (7) Pemerintah bertanggung jawab secara politik kepada majelis; (8) Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara; (9) Parlemen sebagai suatu kesatuan memiliki supremasi atas kedudukan yang lebih tinggi dari bagian-bagiannya pemerintah dan majelis, tetapi mereka tidak saling menguasai; (10) Pemerintah sebagai suatu kesatuan hanya bertanggung jawab secara tak langsung kepada pemilih; (11) Parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik].5

Berdasarkan uraian sistem pemerintahan parlementer di atas, maka, dapat disimpulkan bahwa: pertama, dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan adalah perdana menteri (dalam pengambilan keputusan dilakukan secara kolegial oleh menteri) dan kepada negara disebut presiden (atau raja atau ratu). Perdana menteri memimpin kabinet dan memikul tanggung jawab sepenuhnya sebagai pemimpin lembaga eksekutif. Para menteri ditentukan oleh formatur kabinet yang biasanya

3 CF. Strong, Modern Political…, Op., Cit., h. 212. Terjemahan bebasnya: sejarah pertumbuhan sistem kabinet di Inggris adalah salah satu studi paling instruktif di seluruh bidang ilmu pemerintahan.

4 Arent Lijphart, Parliamentary Government and Presidential Government, dalam Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, h. 31.

5 R.M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004, h. 156.

(4)

4

menjadi perdana menteri. Presiden atau raja, atau ratu adalah pejabat yang tidak mempunyai kekuasaan sehari-hari yang nyata karena kekuasaannya bersifat simbolis.

Pejabat ini tidak bisa diminta pertanggung jawaban sehingga timbul istilah “the king can do not wrong.” Kedua, dalam hubungannya dengan parlemen, perdana menteri dalam sistem parlementer bertanggungjawab pada parlemen. Perdana Menteri dan kabinetnya dapat diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak percaya..

Setelah sistem parlementer, dalam perkembangan kemudian muncul sistem pemerintahan yang baru, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Dan negara yang merupakan tanah kelahiran dari sistem pemerintahan presidensial ini adalah Amerika Serikat. Juga contoh ideal karena memenuhi hampir semua kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial. Hal tersebut tampak dalam pernyataan Strong: “the principle of the non-parliamentary or fixed executive is most perfectly illustrated in the case of the United State of America”.6 Senada dengan Strong, Ball dan Peters, menyatakan: “Amerika Serikat merupakan the outstanding example of the presidential form of government”.7 Meski tidak setegas Strong, Ball dan Peters, Asshiddiqie mengemukakan bahwa Amerika Serikat sering disebut sebagai salah satu contoh ideal pemerintahan presidensial di dunia.8 Oleh karena itu, Verney mengingatkan bahwa kajian terhadap sistem presidensial sebaiknya dimulai dengan menelaah sistem politik Amerika Serikat.9

6 C.F. Strong, Modern Political…, Op., Cit., h. 233.

7 Alan R Ball & B. Guy Peters, Modern Politics…, Op., Cit., h. 63.

8 JimlyAsshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum…, Op., Cit., h. 316.

9 Arend Lijphart, Parliamentary Government and…, Op., Cit., h. 39.

(5)

5

Kelahiran sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Amerika Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris serta sejarah singkat pembentukan konstitusi Amerika Serikat.10 Terkait dengan upaya melepaskan diri dari koloni Inggris tersebut, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan:

Latar belakang negara Amerika Serikat menganut sistem presidensial adalah kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka, mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politica itu terdapat sistem check and balances.11

Sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap Inggris, pembentuk konstitusi (framers of the constitution) Amerika Serikat berupaya membentuk sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang dipraktikkan di Inggris. Dimana sistem pemerintahan tersebut oleh Strong dikatakan sebagai, the conception of independence of the executive from the legislative dan konsep ini merupakan salah satu konsep yang disepakati pendiri negara Amerika Serikat12 dan konsep pemisahan tersebut ditransformasikan dalam Article I dan Article II Konstitusi Amerika Serikat. Tidak hanya pemisahan antara legislatif dan eksekutif, jabatan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan pertama kali muncul di Amerika Serikat ada abad ke-18.13 Menurut Harun Alrasyid, jabatan presiden dalam negara berbentuk republik demikian

10 I Made Pasek Diantha, Tiga Pokok Sistem…, Op. Cit., h. 33.

11 Moh.Kusnardi &Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata…, Op. Cit., h. 177.

12 C.F. Strong, Modern Political…, Loc. Cit.

13 Denny Indrayana, Mendisain…, Loc. Cit.

(6)

6

merupakan hasil Konvensi Federal pada 1787: “The executive power shall be vested in a President of the United States of America…”.14 Sebagaimana dinyatakan oleh Jack Bell, sekalipun memilih presiden dan menolak raja, para perancang konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa presiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa (the Executive must have the power to cope with the problems of nation).15 Karena itu, dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden namun dengan tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran.16

Meskipun Konstitusi Amerika Serikat menganut ajaran separation of power, tetapi perlu dimengerti bahwa pada waktu itu Amerika Serikat masih menerapkan pemisahan kekuasaan secara mutlak (pure separation of powers).17 Nanti pasca kasus Marbury versus Madison Tahun 1803 baru terjadi pembangkangan terhadap pure separation of powers. Sebab Mahkamah Agung Amerika Serikat, dibawah Chief justice John Marshall melakukan pengujian (judicial review) UU sebagai produk legislatif, di muka sidang pengadilan.18 Sehingga, berdasar pada kasus tersebut, pemikiran yang selanjutnya dikembangkan adalah perlunya menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Oleh sebab itu, diperlukanlah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances).

Melalui mekanisme ini, setiap cabang kekuasaan dapat saling mengawasi dan

14 Harun Alrasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, h. 10.

15 Jack Bell, The Presidency: Office of Power, Allyn and Bacon Inc, 1967, h. 8.

16 Louis W. Koening, The Chief Executive, Harcourt, Barance & World, Inc, 1964, h. 19.

17 Lihat Supra Sub-BAB II A angka 1, h. 19.

18 Hans Kelsen, General Theory of law and State (terjemahan Raiusun Muttaqien), Nusamedia, Bandung, 2006, h. 382.

(7)

7

mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.19 Dengan kata lain, dari yang tadinya menganut pure separation of powers kini di Amerika Serikat bergeser menjadi separation of power bermodel checks and balances.20

Dari penjelasan maka, penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut.

Pertama sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang muncul pertama kali di Amerika Serikat sebagai bentuk penolakan Amerika Serikat terhadap pemerintahan Raja George III dan pengaruh Inggris. Kedua, sistem pemerintahan presidensial dipengaruhi oleh ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu. Ketiga, karena pengaruh separation of power, kekuasaan eksekutif berdiri sendiri secara terpisah dari kekuasaan legislatif. Pemisahan ini memiliki makna bahwa kekuasaan eksekutif tidak mencampuri urusan legislatif, sebaliknya legislatif tidak mencampuri urusan eksekutif, tetapi kedua-duanya dibingkai oleh prinsip check and balances.

Bertolak dari penjelasan di atas, pada bagian ini penulis akan menjelaskan mengenai separation of powers spesifik mengenai makna ganda dari separation of powers.

Sebagaimana sudah penulis jelaskan diatas, bahwa menurut ajaran separation of powers kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan dibingkai oleh prinsip check and balances. Ajaran separation of powers ini, jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai pemisahan kekuasaan semata, misalnya

19 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi … Op. Cit., h. 23.

20 Ibid.

(8)

8

eksekutif sebagai pelaksana UU atau legislatif sebagai pembentuk UU,21 melainkan juga pemisahan pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Maksudnya, pemilihan legislatif pilih langsung oleh rakyat berdasarkan pemilihan umum. Sedangkan eksekutif juga dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan pemilihan umum.

Konsekuensi logis dari pemisahan tersebut, tidak hanya legislatif yang bertanggung jawab langsung kepada rakyat, melainkan eksekutif juga bertanggung jawab langsung kepada rakyat.

Dengan demikian, tampak jelaslah bahwa separation of powers tidak hanya bermakna satu tetapi dua, yaitu pemisahan fungsi kekuasaan dan pemisahan pemilihan umum baik legislatif maupun eksekutif. Atas dasar pernyataan tersebut, maka pada bagian ini penulis akan membahas pemisahan kekuasaan spesifik pemisahan dalam konteks pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Selain itu, hendak juga membahas mengenai kekuasaan Presiden sebagai eksekutif tunggal dan sekaligus sebagai kepala negara.

Pada dasarnya diskusi mengenai sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari diskusi terkait doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers).

Sebab, sistem pemerintahan presidensial didasarkan pada asas separation of powers.22 Namun, asas separation yang dimaksud adalah pemisahan pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Jika dalam sistem pemerintahan parlementer legislatif berasal dari pemilihan umum sedangkan kepala eksekutif, yaitu Menteri berasal dari

21 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT RajaGrafindo Persada, Depok, 2018, h. 56.

22 Ahmad Yani, Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktik Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15, No. 2, Juli 2018: 55-68, h.

60.

(9)

9

legislatif atau tidak melalui pemilihan umum. Sehingga, menteri dalam sistem pemerintahan parlementer bertanggung jawab kepada parlemen.23 Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial. Dimana, tidak hanya legislatif dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum tetapi juga kepala eksekutif.24 Hal senada dikemukakan oleh CF. Strong bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu, sehingga Presiden dalam masa jabatannya tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen.25

Selain itu, Sumbodo Tikok juga menyatakan bahwa Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi oleh sejumlah pemilih, oleh karena itu ia bukan bagian dari badan legislatif.26 Alan R. Ball juga mengungkapkan the president elected not by the legislature, but directly by the total electorate (the electoral college in united state is a formality, and is likely disappear in the near future).27 T.A. Legowo menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih melalui pemilihan yang terpisah dari pemilihan anggota-anggota legislatif… karena petinggi-petinggi badan eksekutif dipilih secara terpisah, sistem presidensial membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan, di mana badan eksekutif dan badan legislatif bersifat independen satu terhadap yang lainnya.28

23 R.M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004, h. 156.

24 Rod Hague and Martin Harrop, “Political Science: A Comparative Introduction, Palgrave Macmillan, Hampshire, 2004.

25 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Sejarah dan Bentuk,.., Op. Cit., h. 251.

26 T. Sumbodo, Hukum Tata Negara, PT. Eresco, Bandung, 1988, h. 275.

27 Dewansyah. B, Pertanggungjawaban Wakil Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presiden Menurut Perubahan UUD 1945, Skripsi Pada Fakultas Hukum Unpad, Brawijaya, 2006.

28 T.A. Legowo, Paradigma Checks and Balances…, Loc. Cit.

(10)

10

Berdasar pada pendapat ahli di atas, maka teranglah bahwa pemilihan umum legislatif dan eksekutif dilaksanakan secara terpisah atau dengan perkataan yang lain, legislatif dipilih langsung oleh rakyat dan eksekutif juga dipilih langsung oleh rakyat.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menjadi kepala eksekutif?

Terhadap pertanyaan tersebut, jika berkaca dari sisi sistem pemerintahan parlementer maka, yang menjadi pemegang kekuasaan eksekutif adalah Menteri secara kolegial.

Namun, berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, dimana Rod Hague menyatakan bahwa Presiden yang dipilih rakyatlah yang memimpin pemerintahan.29 CF. Strong menegaskan bahwa yang merupakan kepala eksekutif adalah Presiden dimana selain berkedudukan sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala negara.30 Selain CF. Strong, Sumbodo Tikok, juga menegaskan bahwa Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semula diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus yang berkedudukan sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti dengan Undang-Undang Dasar.31

Usep Ranawijaya memaparkan bahwa kepala negara adalah kepala pemerintahan. Ia dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka empat tahun.32 Jimly Asshiddiqie dalam bukunya: “pokok-pokok hukum tata negara” menyatakan bahwa Presiden merupakan eksekutif tunggal dan sekaligus kepala negara. Kekuasaan

29 Rod Hague and Martin Harrop, “Political Science: A Comparative Introduction, ..., Loc. Cit.

30 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Sejarah dan Bentuk,.., Loc. Cit.

31 T. Sumbodo, Hukum Tata Negara, …, Loc. Cit.

32 Ranawijaya. U, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, h. 176.

(11)

11

eksekutif tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden.33 Arend Lijphart menyatakan bahwa eksekutif tidak dibagi tetapi hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih.34

Bertolak dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, pemegang tunggal kekuasaan eksekutif adalah Presiden dan sekaligus sebagai kepala negara. kekuasaan eksekutif tersebut tidak dibagi tetapi hanya ada pada seorang Presiden.

Sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara, Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki kewenangan untuk mengangkat pembantunya dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan. Namun, perlu dipahami bahwa bukan berarti kewenangan Presiden dibagi kepada pembantunya tersebut. Melainkan, tetap saja kewenangan berada pada Presiden. Sebab, sebagaimana sudah penulis kemukakan di atas, bahwa kekuasaan Presiden tidak dibagi melainkan hanya ada pada Presiden. Pembantu yang dimaksud adalah Menteri.

Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat CF. Strong bahwa Presiden mempunyai wewenang mengangkat para Menteri dan merupakan bawahannya.35 Usep Ranawijaya memaparkan bahwa para Menteri mempunyai kedudukan sebagai pembantu Presiden, diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab semata-mata

33 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara…, Loc. Cit.

34 Douglas V. Verney, Parliamentary Government and Presidential Government, dalam Parliamentary Versus Presidential Government, Dalam ArentLijphart (penyunting), Oxford University Press, 1992, h.31.

35 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Sejarah dan Bentuk,.., Loc. Cit

(12)

12

kepada Presiden.36 T.A. Legowo menjelaskan bahwa Presiden kemudian memilih dan mengangkat Menteri-menteri anggota kabinet. Menteri-menteri tersebut tidak merangkap sebagai anggota-anggota legislatif.37

Selain itu, Jimly Asshiddiqie juga menegaskan bahwa presiden mengangkat para Menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.38 Arend Lijphart mengemukakan bahwa Presiden mengangkat kepala departemen (Menteri) yang merupakan bawahannya.39 Sesuai dengan pendapat ahli di atas, maka penulis merumuskan kesimpulan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat pembantu atau bawahannya, yaitu Menteri. Menteri tersebut dalam menjalankan urusannya bertanggung jawab kepada Presiden.

2. Pola Hubungan Presiden dan Menteri

Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial status Presiden adalah sebagai pemegang tunggal kekuasaan pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Sedangkan Menteri kedudukannya hanyalah sebagai pembantu atau bawahan Presiden. Bertolak dari penjelasan tersebut, penulis pada bagian ini akan menjelaskan secara spesifik makna

“…pembantu atau bawahan….”, yang melekat pada Menteri.

36 Ranawijaya. U, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-Dasarnya,.., Loc. Cit.

37 T.A. Legowo, Paradigma Checks and Balances…, Loc. Cit.

38 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara…, Loc. Cit.

39 ArentLijphart (penyunting),…, Loc. Cit.

(13)

13

Berbicara mengenai kedudukan Menteri yang hanyalah sebagai pembantu atau bawahan Presiden, tidak lepas dari diskursus mengenai doktrin sumber kewenangan.

Berdasarkan doktrin sumber kewenangan, kewenangan secara yuridis diperoleh melalui tiga cara, yaitu dengan cara atribusi (attribution), delegasi (delegation) dan mandat (mandate). Berikut adalah penjelasan masing-masing ketiga cara memperoleh kekuasaan tersebut.

Dalam bahasa Belanda kata atribusi, yaitu attributie yang berarti: “pembagian”

(wewenang hukum). Selain itu, dalam bahasa Belanda dikenal juga istilah attributie bij de wet (peruntukan oleh undang-undang), yaitu suatu wewenang yang belum ada akan diadakan.40

Sejalan dengan istilah attributie bij de wet tersebut HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt merumuskan atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Bagi suatu negara hukum atribusi itu sangat utamanya guna memenuhi tuntutan dasar hukum bagi setiap tindakan pemerintah dan cara pemerintah memperoleh suatu wewenang. Karena itu C.P.J. Goorden mengatakan bahwa atribusi sebagai cara memperoleh wewenang secara orisinal. Wewenang tersebut baik secara langsung dari peraturan hukum dalam arti formal maupun dari peraturan perundang-undangan dalam arti material.

Menurut Philipus M. Hadjon, atribusi sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan.41 Lebih dikatakan bahwa atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang

40 Ridwan HR, Loc. Cit.

41 Phlipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, h. 2.

(14)

14

dalam arti materiil. Rumusan yang lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam UUD. Pembentukan wewenang pemerintahan di dasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

A.V. Dicey mengatakan bahwa Atribusi (attribution) power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that it is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non-existent powers and assigns them to an authority.42 Point utama dari penjelasan adalah atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wewenang yang diperoleh secara atributif itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern

42 Krishna Djaya Darumurti, Diskresi Kajian Teori Hukum,…, Op.Cit., h. 153. Terjemahan bebasnya: “kekuasaan diberikan kepada otoritas administratif oleh badan legislatif independen.

Kekuatannya adalah awal (originair), yang berarti bahwa ia tidak berasal dari kekuatan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kekuatan yang independen dan sebelumnya tidak ada dan menugaskan mereka untuk otoritas”.

(15)

15

pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).43

Selanjutnya, delegasi (delegation) merupakan: “the transfer of an acquired attribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name.”44 Menurut Kamus Istilah Hukum, delegasi kewenangan adalah pemindahan kewenangan dari alat pemerintahan memperoleh kewenangan itu kepada badan atau pejabat lain yang akan melaksanakan kewenangan yang diserahkan itu sebagai wewenangnya sendiri.45 SF. Marbun menegaskan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari organ pemerintahan kepada “pihak lain” atas tanggungjawab sendiri.46 Lebih lanjut SF. Marbun menegaskan bahwa pihak yang melimpahkan wewenang delegasi disebut delegans dan pihak yang menerima wewenang delegasi disebut delegataris.

Selanjutnya Philipus M. Hadjon mengemukakan beberapa syarat-syarat untuk dapat memperoleh kewenangan delegasi, yaitu:

Pertama, delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

Kedua, delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. Ketiga, delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. Keempat, kewajiban memberikan

43 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 105.

44 Krishna Djaja Darumurti, Diskresi Kajian Teori Hukum …, Op. Cit., h. 17. Terjemahan bebasnya: “transfer atribusi kekuasaan yang diperoleh dari satu otoritas administratif ke otoritas lainnya, sehingga delegasi (badan yang telah memperoleh kekuasaan) dapat menjalankan kekuasaan dikutukannya sendiri”.

45 Kamus Istilah Hukum…, Op. Cit. h. 286.

46 SF. Marbun, Hukum Administrasi Negara 1, FH UUI Press, Yogyakarta, 2012, h. 76-77.

(16)

16

keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. Kelima, peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Argumen pivotal dari penjelasan di atas, adalah jika atribusi adalah penyerahan wewenang baru, maka, delegasi adalah pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain. Dengan demikian, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.47

Berkaitan dengan hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah delegasi dapat didelegasikan lagi? Terhadap pernyataan ini, Scheltema menjelaskan bahwa delegasi tidak boleh diberikan kepada bawahan, yang bisa diberikan kepada bawahan hanyalah mandat.48 Artinya dengan perkataan yang lain, delegasi tidak bisa didelegasikan lagi.

Secara prinsip, delegasi harus dilakukan sesuai asas legalitas yaitu: “delegation of an original power is only possible under the condition that the legal regulation in which the power rests, provides for the possibility of delegation.”49 Hal ini sejalan dengan pendapat H.D. van Wijk bahwa pemberian kewenangan delegasi harus secara tegas disebutkan di dalam peraturan dimana kewenangan tersebut berada. Selain itu, hukum administrasi belanda dengan tegas juga mengatakan bahwa: delegasi hanya

47 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, 1950, h. 129. Dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 104.

48 M. Scheltema, Kebebasan dan Hukum/Hak, Bundel/Berkas Jacob, h. 235.

49 Krishna Djaja Darumurti, Diskresi Kajian Teori Hukum,…, Loc. Cit. Terjemahan bebasnya:

“pendelegasian kekuasaan asli hanya dimungkinkan dalam kondisi bahwa peraturan hukum di mana kekuasaan berada, mengatur kemungkinan pendelegasian”.

(17)

17

dapat dilakukan, apabila kewenangan untuk mendelegasikan kewenangan itu diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sebagai konsekuensi dari delegasi: “if the originality empowered body (the delegator) decides on a transfer, then that body can not longer exercise the power itself; only the delegate is empowered to exercise it.”50 Pernyataan tersebut senada dengan pendapat SF. Marbun bahwa: akibat pelimpahan kewenangan delegasi dari delegans kepada delagataris, maka delegans menjadi kehilangan wewenangnya dan tidak lagi dapat menggunakan wewenang delegasian tersebut, sedangkan bagi delegataris dapat bertindak atas namanya, sendiri. Dengan demikian terjadi pelaksanaan kewenangan mandiri oleh delegataris dan delegataris bertanggungjawab sepenuhnya atas tindakan yang dilakukannya sehubungan dengan pelimpahan wewenang delegasi yang diterimanya.51

Jika sebelumnya sudah dijelaskan mengenai atribusi dan delegasi, selanjutnya penulis akan menjelaskan mengenai mandat. Mandat (mandate), yaitu: “with mandate, there is not transfer, but mandate-giver (mandans) assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its name.”52 Karakteristik mandat, yaitu: “the mandans retains its power and that decisions made by the

50 Ibid. Terjemahan bebasnya: “jika orisinalitas yang diberdayakan badan (delegator) memutuskan transfer, maka badan itu tidak dapat lagi menggunakan kekuatan itu sendiri; hanya delegasi yang diberi wewenang untuk melaksanakannya”.

51 SF. Marbun, Hukum Administrasi 1…, Op. Cit., h. 78.

52 Krishna Djaja Darumurti, Diskresi Kajian Teori Hukum,…, Op. Cit., h. 18. Terjemahan bebasnya: “dengan mandat, tidak ada pemindahan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kekuasaan kepada badan lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil tindakan atas namanya”.

(18)

18

mandans.”53 Point utama dari penjelasan tersebut adalah bahwa mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.

Berbeda dengan delegasi, dalam mandat tidak terjadi pelimpahan kekuasaan:

“because the mandans remains formally responsible, it is indispensable that it be able to intervene at need … the mandans can give general and specific instructions as how the power must be exercised … the body given the mandate must provide requested information … the mandate can be terminated at any time.”54

Prinsip umum mandat adalah: “the mandate construction is possible under the condition that the legal regulation that the power is based on does not prohibit it and that the nature of the authority is not in opposition to it.”55 Philipus M. Hadjon membuat perbedaan delegasi dan mandat sebagai berikut.56

Tabel 1.

mandat delegasi

Prosedur pelimpahan Dalam hubungan rutin atasan-bawahan: hal biasa

Dari suatu organ

pemerintahan kepada suatu

53 Ibid. Terjemahan bebasnya: “mandan mempertahankan kekuatannya dan keputusan itu dibuat oleh mandans”.

54 Ibid., h. 19. Terjemahan bebasnya: “karena mandan tetap bertanggung jawab secara formal, maka sangat diperlukan untuk dapat campur tangan saat dibutuhkan ... mandans dapat memberikan instruksi umum dan spesifik seperti bagaimana kekuatan harus dilaksanakan ...

badan yang diberi mandat harus memberikan informasi yang diminta ... mandat dapat diakhiri kapan saja”.

55 Ibid., h. 18. Terjemahan bebasnya: “pembangunan mandat dimungkinkan dengan syarat bahwa peraturan hukum yang mendasari kekuasaan tidak melarangnya dan bahwa sifat wewenang tidak bertentangan dengannya”.

56 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Makalah Disampaikan pada Orasi Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994, h. 8.

(19)

19

kecuali dilarang secara tegas

organ lain: dengan peraturan perundang- undangan

Tanggung jawab dan tanggung gugat

Tetap pada pemberi mandat

Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris Kemungkinan si pemberi

menggunakan wewenang itu lagi

Setiap saat dapat

menggunakan wewenang yang dilimpahkan itu

Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”.

Bertolak dari uraian di atas, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

pertama atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru atau dengan perkataan yang lain, wewenang yang diperoleh secara atributif itu bersifat asli yang berasal dari Undang-Undang Dasar. Kemudian, kewenangan atribusi diperoleh secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu Undang-Undang Dasar. Selain itu, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

Kedua, delegasi adalah pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain dengan tanggungjawab hukum berada pada delegataris. Dengan demikian, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Selain itu, pemberian kewenangan delegasi harus secara tegas disebutkan di dalam peraturan dimana kewenangan tersebut berada.

Selanjutnya, delegasi hanya dapat dilakukan apabila kewenangan untuk mendelegasikan kewenangan itu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dan terakhir delegasi tidak dapat di delegasikan. Ketiga, mandat. Dalam mandat tidak

(20)

20

terjadi pelimpahan kekuasaan. Sebab, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.

Berdasar pada penjelasan teori sumber kewenangan di atas, maka apabila di korelasikan dengan makna Menteri hanyalah sebagai pembantu Presiden, akan tampak bahwa sesungguhnya berdasarkan teori sumber kewenangan frase:

“kedudukan Menteri sebagai pembantu atau bawahan” sinonim dengan “kedudukan Menteri sebagai mandataris Presiden”. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, yang bertanggung jawab atas setiap urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri adalah Presiden bukan Menteri.57 Yang dimaksud pertanggungjawaban di sini adalah pertanggungjawaban secara eksternal, misalnya ketika ada persoalan hukum, maka yang bertanggungjawab adalah presiden. Hal ini juga senada dengan pendapat Mahmuzar bahwa Seharusnya menteri-menteri yang diangkat oleh presiden bukan eksekutif, melainkan hanya pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Selanjutnya, presiden yang akan bertanggung jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan58 kepada rakyat. Sedangkan Menteri melakukan pertanggungjawaban adalah secara internal kepada Presiden.

Dari pendapat kedua ahli di atas, tampak bahwa Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial ketika menjalankan urusan pemerintahan, hanya

57 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, …, Op. Cit., h. 325.

58 Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia: Menurut UUD 45 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2016, h. 37.

(21)

21

memerintahkan atau menugaskan Menteri untuk bertindak untuk dan atas nama Presiden. Sebab, yang bertanggung jawab atas setiap urusan pemerintahan yang dilakukan oleh menteri adalah Presiden bukan Menteri, atau dengan kata lain antara Presiden dan Menteri tidak terjadi pelimpahan kewenangan. Sebab, jika terjadi pelimpahan kewenangan, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Menteri bukan Presiden.

Dengan demikian yang benar adalah kedudukan Menteri sebagai pembantu atau bawahan Presiden sinonim dengan Menteri sebagai mandataris Presiden. Sebab, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat dan yang menjadi penanggung jawab atas setiap urusan mandataris adalah mandans. Argumentasi ini, senada dengan pendapat Titon Slamet Kurnia dan Umbu Rauta bahwa secara prinsip konotasi Menteri sebagai pembantu Presiden dengan Menteri sebagai mandataris Presiden adalah sinonim.59

Dengan Berdasar pada penjelasan di atas, maka teranglah bahwa frase:

“Menteri sebagai pembantu atau bawahan presiden sinonim dengan Menteri sebagai mandataris Presiden”. Sehingga, konsekuensi logisnya Menteri dalam sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak memiliki kewenangan. Sebab, Menteri hanya bertindak untuk dan atas nama Presiden.

59 Pendapat ini disampaikan oleh Kedua Ahli pada saat penulis menjalani proses bimbingan dengan Kedua Ahli tersebut.

(22)

22

B. Indonesia Menganut Sistem Pemerintahan Presidensial 1. Indonesia Menganut Sistem Pemerintahan Presidensial

Setelah UUD NRI 1945 mengalami empat kali perubahan, sistem presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa sistem presidensial yang digunakan di Indonesia semakin mendekati sistem presidensial murni.60 Argumen tersebut sesuai dengan pendapat Jimmly Asshiddiqie bahwa salah satu kesepakatan dalam pelaksanaan amandemen UUD NRI 1945 adalah tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial.61

Hal tersebut tentu berbeda ketika berkaca dari pra amandemen UUD NRI 1945 dimana pada waktu itu, para ahli hukum berbeda pendapat soal sistem pemerintahan apa yang dianut di Indonesia. Misalnya Bagir Manan dalam bukunya “pertumbuhan dan perkembangan konstitusi suatu negara” berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem presidensial murni karena Presiden adalah kepala pemerintahan. Ditambah juga dengan ciri-ciri yang lain, misalnya ada kepastian masa jabatan Presiden lima tahun, Presiden tidak bertanggung jawab kepada dewan perwakilan rakyat (DPR), dan Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Lebih lanjut Bagir Manan menegaskan bahwa di Indonesia Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif, melainkan bertanggung jawab kepada MPR. Pertanggung jawaban Presiden kepada

60 Maswadi Rauf dkk, Op. Cit, h. 26.

61 Jimmly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2005, h. 10.

(23)

23

MPR tidak boleh disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen dalam sistem parlementer.62

Lebih lanjut Bagir Manan, pertanggungjawaban Presiden kepada MPR merupakan upaya konstitusional untuk checking dan balancing. Karena itu meminta pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya hanya dilakukan kalau keadaan sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan lain. Ini semacam pranata impeachment di Amerika Serikat sebagai senjata konstitusional yang bersifat preventif dari pada represif. Sehingga sampai saat ini belum pernah terjadi seorang Presiden Amerika Serikat berhenti karena impeachment. Apabila pranata pertanggungjawaban Presiden kepada MPR disejajarkan dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen, maka, salah satu esensi UUD NRI 1945 yaitu “eksekutif yang kuat dan stabil”

menjadi tidak berarti apa-apa lagi. Oleh karena MPR bukan badan legislatif, dan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak dapat disejajarkan dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen (dalam sistem parlementer), maka, UUD NRI 1945 tidak mengandung segi-segi atau unsur parlementer. Unsur yang ada adalah presidensial. Dengan demikian UUD NRI 1945 itu menganut sistem presidensial murni, bukan campuran.63

Berbeda dengan Bagir Manan, Sri Soemantri berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi pertanggungjawaban para Menteri serta penentuan masa jabatan presiden selama lima tahun, maka, sistem pemerintahan yang dianut di UUD NRI 1945 ialah sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi presiden bertanggung jawab

62 Ibid. h. 78-80.

63 Ibid.

(24)

24

kepada MPR, yang berarti sistem parlementer. Oleh karena itu, UUD NRI 1945 menganut segi sistem pemerintahan parlementer dan segi sistem pemerintahan presidensial. Dengan dasar argumentasi tersebut Sri Soemantri menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah sistem pemerintahan campuran.64

Selain Bagir Manan dan Sri Soemantri, Padmo Wahyono juga berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah sistem MPR. Alasan Padmo Wahyono terhadap pendapatnya tersebut, yaitu: pertama, penyelenggaraan negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Kedua, penyelenggara pemerintahan negara adalah kepala negara selaku mandataris MPR. Ketiga, penyelenggara negara pembentuk peraturan perundang-undangan ialah mandataris MPR bersama-sama dengan DPR sebagai bagian dari MPR dan keempat, penentu terakhir dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR. Sesuai penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia pra amandemen UUD NRI 1945 adalah sistem pemerintahan campuran.

Setelah UUD NRI 1945 mengalami empat kali perubahan, kini sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial.

Meskipun tidak ada penegasan secara resmi dalam UUD NRI 1945, akan tetapi ciri- ciri sistem presidensial dapat di justifikasi dalam UUD 1945. Hal ini sebagaimana tampak dalam pernyataan Sirajuddin & dan Winardi, bahwa kedudukan Presiden di

64 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 116.

(25)

25

Indonesia adalah sebagai pemegang tunggal kekuasaan eksekutif65 dan sekaligus sebagai kepala negara. Lebih tegas lagi sebagaimana dinyatakan oleh Bagir Manan bahwa sistem pemerintahan presidensial di Indonesia murni mengikuti model Amerika Serikat:

(1) sistem eksekutif tunggal; (2) presiden adalah penyelenggara pemerintahan;

(3) presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat; (4) presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR tetapi bertanggung jawab langsung kepada rakyat; (5) presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.66 Meskipun Bagir Manan mengatakan bahwa sistem pemerintahan presidensial di Indonesia murni mengikuti model Amerika Serikat. Namun, di sisi yang lain Bagir Manan, tidak konsisten dengan pernyataannya tersebut, hal ini sebagaimana diakui sendiri oleh Bagir Manan dengan menyatakan bahwa satu-satunya perbedaan yang mencolok antara kewenangan Presiden di Amerika Serikat dan kewenangan Presiden di Indonesia hanya pada kewenangan Presiden dalam membentuk UU. Dimana Presiden di Amerika Serikat sama sekali tidak memiliki kewenangan membuat UU.

Presiden di Amerika Serikat hanyalah memiliki hak veto terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) buatan congress.

Jika dicermati, pada dasarnya pendapat Bagir Manan di atas, bertolak dari UUD NRI 1945 yang original, dimana di dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan dengan tegas bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk membentuk UU. Namun, pasca

65 Sirajuddin & Winardi, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press, Malang, 2015, h. 75.

66 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, h. 48.

(26)

26

amandemen UUD NRI 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali, yaitu dilakukan dari tahun 1999-2002, kewenangan membentuk UU, tidak lagi menjadi kewenangan Presiden, melainkan sudah menjadi kewenangan DPR.67 Presiden saat ini hanya dapat bertindak sebagai pemrakarsa RUU68 bahkan sekaligus membahas dan memberikan persetujuan atau tidak terhadap RUU69 serta dapat mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.70 Meskipun pada dasarnya Presiden mensahkan atau tidak, RUU yang sudah disetujui bersama tersebut tetap sah menjadi UU.71

Meski demikian, sebenarnya UUD NRI 1945 secara eksplisit memberikan kewenangan legislasi kepada Presiden, yaitu kewenangan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Meskipun latar belakang munculnya kewenangan ini karena adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa.72 Namun,

67 Lihat Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekausaan membentuk undang-undang”.

68 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

69 Lihat Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “setiap rancangan undang-undang di bahas oleh Dewan perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Selain itu, ayat (3)menegaskan bahwa: “jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat”.

70 Lihat Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

“presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.

71 Lihat Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tesebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

72 Kriteria hal ihwal kegentingan memaksa, yaitu: (1) adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang- Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat dibatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 38/PUU- VII/2009, 8 Februari 2010 h. 19.

(27)

27

intinya sebagaimana ditegaskan oleh MKRI dalam putusannya No. 38/PUU-VII/2009 bahwa:

Seharusnya materi muatan dalam Perpu tersebut tertuang dalam UU, namun karena alasan kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti UU. Sebab, apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR, maka proses di DPRD memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hak harus melalui rapat-rapat DPR sehingag kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan disebutkan “Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden.73

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar di Amerika Serikat, Presiden sama sekali tidak memiliki kewenangan membuat peraturan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis berdiri pada pendapat yang dikemukakan oleh Michael Genovese, bahwa di Amerika Serikat, Presiden sebagai kepala eksekutif memiliki kewenangan membuat “executive order”. Meskipun kewenangan ini tidak diatur secara eksplisit dalam Konstitusi Amerika Serikat melainkan berupa implied power, tetapi menjadi instrumen penting bagi Presiden dalam menjalankan pemerintahan. Bentuk executive orderini adalah peraturan dalam rangka menjalankan administrasi negara yang kemudian dalam perkembangannya menjadi instrumen bagi Presiden dalam rangka membuat kebijakan tanpa persetujuan dari kongres.74

Praktik executive order ini bahkan sudah dilakukan sejak Presiden Jimmy Carter pada waktu Amerika Serikat mengalami tekanan inflasi: Amid inflationary

73 Ibid., h. 20.

74 Rahayu Prasetyaningsih, Menakar Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, PJIH Volume 4 Nomor 2 Tahun 2017, 263-280, h. 268.

(28)

28

pressures, President Jimmy Carter Signed Executive Order 12092 on November 1, 1978. This order directed the Council on Wage and Price Stability to develop noninflationary, voluntary wage and price standards for the U.S. economy. The chairman of the council was charged with monitoring compliance.75 Praktik executive order ini juga pernah dilakukan oleh Presiden Harry S. Truman:

During the Korean War, President Truman, facing a labor dispute that shut down the steel industry, issued executive order 10340, seizing the mills and keeping them open. Truman claimed that the mills were a vital element in the war effort and that as commander in chief he had the authority (inherent power) to seize the mills and maintain steel production. After issuing the executive order, Truman delivered a message to the Congress informing them of his action, but the Congress took no action.76

Terkait executive order ini, sebenarnya agak mirip dengan Peraturan Presiden di Indonesia. Sebab, di Indonesia berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 Peraturan Presiden tidak hanya merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk menjalankan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi.

Melainkan juga dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Berikut uraian lengkapnya: “Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Hanya saja perbedaannya adalah executive order tidak dapat di judicial review. Sedangkan Peraturan Presiden dapat dilakukan judicial review.

75 Michael A. Genovese And Robert J. Spitzer, The Presidency And The Constitution: Cases And Controversies, Palgrave Macmillan, New York, 2005, h. 39.

76 Ibid., h. 27.

(29)

29

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa sistem pemerintahan presidensial di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti sistem pemerintahan presidensial yang murni sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat. Meski begitu, dengan segala kekurangannya, para ahli hukum di Indonesia tetap sepakat bahwa sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial.

Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi negara Indonesia untuk membuat agar supaya sistem pemerintahan presidensial di Indonesia konsisten dengan asas sistem presidensialisme.

2. Kedudukan dan Kewenangan Presiden Kedudukan dan Kewenangan Presiden

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Dengan dasar kaidah tersebut Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.77 Menurut Jimly Asshiddiqie dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak terdapat pembedaan atau tidak perlu diadakan pembedaan antara Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara dan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Menurut Jimly Asshiddiqie, Presiden adalah Presiden, yaitu jabatan yang memengang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD NRI

77 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara: Pasca Reformasi, …, Op.

Cit., h. 107.

(30)

30

1945. Sehingga, kedudukan Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan tidak dapat dipisahkan.78

Sebagai konsekuensi dari kekuasaan eksekutif Presiden tersebut, UUD NRI kemudian menjelaskan kewenangan apa saja yang menjadi kewenangan Presiden sebagai eksekutif, yaitu: pertama, kewenangan regulatif, kewenangan administratif, kewenangan militer, kewenangan yudikatif dan kewenangan diplomatik dan kedua, kewenangan diluar lima kewenangan tersebut.

Kewenangan regulasi misalnya, di atur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945:

“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Selanjutnya adalah kewenangan administratif. Kewenangan administratif ini dalam UUD NRI 1945 terdapat dalam Pasal 15 yang menegaskan bahwa: presiden memberikan gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU. Kemudian Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Kemudian kewenangan militer. Kewenangan ini dalam UUD NRI 1945 terdapat dalam Pasal 10, 11, 12 yang secara tegas menyatakan bahwa:

Pertama, Pasal 10, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Kedua Pasal 11 ayat (1), presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Ayat (2), presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR. Ketiga, Pasal 12, presiden menyatakan keadaan bahaya.

78 Ibid, h. 107-109.

(31)

31

Lebih lanjut kewenangan yudikatif. Kewenangan ini terdapat dalam Pasal 14 UUD NRI 1945: ayat (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Ayat (2), Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dan yang terakhir adalah kewenangan diplomatik. Mengenai kewenangan ini dalam UUD NRI 1945 terdapat dalam Pasal 13. Dimana di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: ayat (1) Presiden mengangkat duta dan konsul. Ayat (2), dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Ayat (3), Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Selain kewenangan sebagaimana sudah penulis uraian di atas, presiden menurut Bagir Manan juga memiliki kewenangan:

(1) kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan, yang terdiri atas: (a) tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum; (b) tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain; (c) tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum; (d) tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum. (2) kekuasaan di bidang perundang-undangan: (a) kekuasan membentuk UU; (b) kekuasaan membentuk PP; (c) kewenangan menetapkan Perpres; (d) kewenangan menetapkan Perpu. (3) kekuasaan di bidang yustisial. Kekuasaan ini berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. (4) kekuasaan presiden dalam hubungan luar negeri: (a) kekuasaan mengadakan perjanjian dengan negara lain; (b) kekuasaan menyatakan perang dengan negara lain; (c) kekuasaan mengadakan perdamaian dengan negara lain; (d) kekuasan mengangkat duta dan konsul dan kewajiban menerima duta dan konsul negara lain.79

Mirip dengan uraian kewenangan sebagaimana sudah penulis paparkan di atas, Mahfud MD merinci kewenangan Presiden sebagaimana tertuang dalam UUD NRI 1945:

79 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan ,…, Op. Cit., h. 115-179.

(32)

32

(a) menjalankan UU; (b) mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; (c) membentuk UU bersama dengan DPRD; (d) membentuk Perpu; (e) menetapkan Perpu; (f) mengajukan RAPBN; (g) memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang republik Indonesia; (h) menetapkan perang dengan persetujuan DPR; (i) mengangkat duta dan konsul; (j) menerima duta dari negara lain; (k) memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi; dan (l) memberi gelar dan tanda jasa.80

Berdasar pada uraian kewenangan Presiden sebagaimana penulis kemukakan di atas, poin inti yang dapat penulis rumuskan adalah Presiden di Indonesia memiliki kewenangan untuk menjalankan UU. Dimana di justifikasi dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa presiden memiliki kewenangan menetapkan PP untuk menjalankan UU (delegated legislation). Sesuai dengan kaidah tersebut maka, teranglah bahwa presiden adalah sebagai delegated legislator. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan pola hubungan Presiden dan Menteri dalam sistem pemerintahan presidensial maka, seharusnya di Indonesia Menteri tidak boleh diberikan kewenangan membuat peraturan untuk menjalankan UU. Sebab, konstitusi sudah secara tegas menyatakan bahwa Presidenlah yang merupakan delegated legislator bukan menteri.

3. Kedudukan Kementerian Negara

Pada sub-bab ini penulis akan mendiskusikan terkait kedudukan kementerian negara sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008. Diskusi ini sangat penting mengingat, UU No. 39 Tahun 2008 hadir karena perintah langsung dari Pasal 17 ayat (4) UUD NRI 1945. Oleh karena UU No. 39 Tahun 2008 merupakan perintah UUD

80 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, h. 114-115.

(33)

33

NRI 1945 maka, perlu untuk teliti konsistensinya dengan amanat UUD NRI 1945, maksudnya apakah benar-benar UU a quo memanisfestasikan kehendak original dari UUD NRI 1945 atau tidak.

Terkait kementerian negara ini di dalam UUD NRI 1945 di atur dalam Bab V Pasal 17. Adapun yang menjadi materi muatan Pasal 17, yaitu: “Ayat (1), Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Ayat (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ayat (3) setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (4) pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara di atur dalam undang-undang”. Di uraian tersebut, tampak bahwa Pasal 17 sama sekali tidak merumuskan definisi kementerian negara. Namun, apabila merujuk dari UU No. 39 Tahun 2008, maka akan dijumpai definisi kementerian negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 2008:

“kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Sedangkan ditegaskan oleh Pasal 1 angka 2 UU No. 39 Tahun 2008 bahwa yang memimpin kementerian dengan kedudukan sebagai pembantu Presiden adalah Menteri negara.

Sampai di sini penulis berpendapat bahwa UU No. 39 Tahun 2008 masih sesuai dengan UUD NRI 1945. Sebab, tampak bahwa kementerian negara kedudukannya adalah sebagai pembantu Presiden. Namun, jika ditelaah lebih jauh, akan tampak bahwa ada kementerian negara yang tidak dapat ubah oleh Presiden81 bahkan kementerian ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.82 Kementerian ini adalah

81 Lihat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

82 Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut hirarki upaya pengendalian diri ( controling controling ), alat pelindung diri sesungguhnya ), alat pelindung diri sesungguhnya merupakan hirarki terakhir dalam

Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Akuntansi pada Gundoz Craft dengan Metode Rapid Application

Mazir (1999:65), yang dimaksud dengan penelitian dalam bentuk survei adalah: “Penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebe- lumnya, secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana mengembangkan bahan

Sementara untuk model sebaran CDOM, citra yang digunakan berasal dari pengambilan pada periode waktu April-Mei 2008.. Tabel III.1 Data

Hidayah, Nurul. Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus. Kata kunci : Model pembelajaran kooperatif tipe NHT,

Penggerakan (actuating) yaitu untuk menggerakan organisasi agar berjalan sesuai dengan pembagian kerja masing-masing serta menggerakan seluruh sumber daya yang ada dalam organisasi

Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dimana data yang telah terkumpul akan dianalisis untuk menemukan sebuah kesimpulan yang dapat digunakan