• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Ketetapan MPR RI Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Permasalahannya

KONSTRUKSI YURIDIS KETETAPAN MPR RI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN DI INDONESIA

A. Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Sistem Peraturan Perundangan-undangan

2. Kedudukan Ketetapan MPR RI Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Permasalahannya

Kedudukan Tap MPR bila dipandang dari lembaga yang membuatnya, secara konstitusional MPR yang merupakan lembaga pembuat Tap MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang diatas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan lembaga DPR yang juga sebagai lembaga legislatif. Berdasarkan salah satu asas perundang-undangan bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan mempunyai kedudukan lebih tinggi pula Tap MPR secara teroritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat diatas UU. Karena keanggotaan MPR terdiri dari DPR dan DPD yang merupakan representatif dari rakyat, karena dipilih langsung langsung oleh rakyat.177

Problematika yang muncul adalah dimana Tap MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, secara otomatis produk hukum yang dikeluarkan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi, apabila dibandingkan dengan Undang-Undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah MPR. Tetapi akan berbeda denagan Tap MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka ketetapannya adalah setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja.178

176 R. Nazriyah, “Status Hukum….,Op. Cit, hlm. 56.

177 Ibid, hlm. 57.

178 Rachmani Puspitadewi, “Kedudukan dan Status….., Op. Cit, hlm. 24.

Tetapi kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR kembali dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang secara otomatis dapat menjadi rujukan dalam pembentukan Undang-Undang atau kemudian dapat menjadi alat uji jika bertentangan dengan Tap MPR.

Demi tercapainya konsistensi tata urutan, maka secara normatif UU berada dibawah Tap MPR maka secara otomatis pula maka Undang-Undang harus sesuai dengan Tap MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian tidak diatur dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maupun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.179

Kalau dilihat secara substansial sebenarnya ada suatu celah untuk melakukan pengujian tersebut, yakni jika dilihat dari lembaga yang membuatnya. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka Tap MPR kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945. Namun karena mengubah dan menetapkan UUD 1945 merupakan fungsi utama, maka secara hierarkis UUD 1945 mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Tap MPR. Dilihat dari lembaga yang membuatnya, maka sebenarnya Tap MPR merupakan penjelasan kosepsional dari UUD 1945, tetapi apabila dicermati lebih dalam maka lebih banyak berisikan ketentuan operasional dari UUD 1945, yang menjadi dasar dalam pembentukan UU atau peraturan yang berada dibawahnya.180

179 R Nazriyah, Status Hukum….., Op. Cit, hlm. 60.

180 Muchamad Ali Safa’at, Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia”, Artikel dalam Safaat. Lecture.ub.ac.id/…/KEDUDUKAN-KETETAPAN, hlm.

12.

Tetapi pengujian UU terhadap Tap MPR oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan karena Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Karena Tap MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujiannya dilakukan oleh lembaga yang sama pula yaitu Mahkamah Konstitusi.

Selain itu karena dibuat oleh lembaga yang sama, Tap MPR dan UUD 1945 adalah merupakan Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau akan diadakan perubahan, sedangkan Tap MPR perubahannya tidak sulit. Dengan melihat permasalahannya tersebut maka kedudukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebenarnya menjadi masalah.

Kepastian hukum akan menjadi sangat penting seandainya dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat pengujian UU terhadap Tap MPR benar-benar harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, karena secara yuridis tidak ada aturan tertulis yang mengaturnya. Secara normatif kepastian hukum memang benar, kalau hal ini sampai terjadi maka akan terjadi kekosongan hukum, atau kekosongan norma. Maka kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.181

Pendapat ini sangat berasalan jika didasarkan pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechstaat, berbeda dengan UUD 1945 sebelumnya amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti prosedur atau Undang-Undang (rechstaats) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law).

Berkaitan dengan hal tersebut dapat dikatakan, bahwa ketentuan tertulis yang

181 Ibid, hlm. 16.

menghalangi keadilan dapat ditinggalkan karena dapat merupakan tatacara untuk mencapai keadilan.

Dengan melihat fenomena tersebut seandainya ada yang keberatan atas keberadaan Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Tap MPR tentunya tidak dapat dilakukan pengujian dengan alasan mekanisme pengujiannya belum ada. Berarti negara dianggap menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan yang didalam Undang-undang dimaksud tidak mendapatkan keadilan.182

Padahal kalau kita mau konsisten dengan apa sebenarnya tujuan dibentuknya undang-undang adalah untuk mengatur masyarakat yang secara substansial pengaturan ini adalah bagaimana memberikan dan mendistribusikan keadilan tersebut bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Oleh karena itu bagaimana nantinya kalau terdapat Undang-undang yang tidak dapat diterima oleh masyarakat atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana melakukan pengujian, sedangkan UUD 1945, UU Nomor 12 Tahun 2011 maupun Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tidak mengaturnya. Maka kondisi ini pastilah yang terjadi adalah kekosongan hukum dan kekaburan norma hukum yang secara otomatis akan menimbulkan masalah hukum kemudian hari.183

Tap MPR sebelum amandemen UUD NKRI 1945 merupakan aturan regeling, dimana kedudukan berada diatas Undang-undang. setelah amandemen UUD 1945 kedudukan Tap MPR tidak lagi menjadi aturan dasar dan UUD 1945 adalah merupakan aturan dasar tunggal, serta bersifat besicking bagi administrasi internal MPR.

182 Ridwan, “Eksistensi dan Prolematika Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, (Yogyakarta : Sartika Pres), 2015, hml. 15.

183 Ibid, hlm. 16.

Dilihat dari sisi lembaga pembuatnya, Tap MPR secara teoritis setingkat dengan UUD NKRI 1945 karena dibuat oleh MPR yang membedakannya adalah dalam hal perubahannya kalau amandemen UUD 1945 sangat rumit sedangkan perubahan terhadap Tap MPR tidak begitu sulit dalam arti sama dengan merubah Undang-undang oleh karena itulah Tap MPR secara hierarki berada dibawah UUD NKRI 1945.184

UU Nomor 12 Tahun 2011 dibentuk menggantikan UU Nomor 10 Tahun 2004. Salah satu perubahan substansi adalah Penambahan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya diletatkan di atas UU di bawah UUD 1945. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf B UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Dengan demikian tidak semua ketetapan MPR yang pernah ada lalu menjadi berlaku berdasarkan UU ini, tetapi sebatas pada ketetapan MPR yang masih berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 sebagaiman telah diuraikan sebelumnya.185

Diuraikan bahwa walaupun di dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 Ketetapan MPR tidak masuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, namun tetap memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang diakui berdasarkan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan UUD 1945. Oleh karena itu, masuknya Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya merupakan penegasan semata.

Tidak ada konsekuensi hukum yang lebih kuat lagi.186

184 Ibid, hlm. 18.

185 Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf B Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

186 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undang…., Op. Cit, hlm. 182.

Sebaliknya, masuknya Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan justru melahirkan persoalan hukum baru, yaitu pertentangan antara ketentuan Pasal 4 ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa beberapa ketetapan MPR masih berlaku sampai dengan terbentuknya UU.187

Di sisi lain, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan Ketetapan MPR di atas UU yang dari isi hierarki hukum mengandung konsekuensi bahwa produk hukum UU tidak boleh bertentangan dengan Ketetaapan MPR, konsekuensinya produk hukum UU tidak dapat menyatakan ketentuan yang lebih tinggi tidak berlaku.188

Ketentuan ini tentu bertentangan dengan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat ketetapan MPR yang akan menjadi tidak berlaku jika sudah diatur dalam UU. Namun jika menggunakan logika UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menempatkan Ketetapan MPR di atas UU, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dimana substansinya justru menegasikan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 itu sendiri.189

Pertentangan ini juga membawa konsekuensi kepada persoalan kemungkinan pengujian ketetapan MPR. Masuknya Ketetapan MPR sebagai jenis produk hukum di bawah UUD 1945 menimbulkan pertanyaan bagaimana jika terdapat ketentuan dalam Ketetapan MPR yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, pada hal MPR sudah

187 Ibid, hlm. 183.

188 Jimmly Asshiddihiqie, Perihal Perundang….., Op. Cit, hlm. 124.

189 Ibid, hlm. 68.

tidak memiliki wewenang untuk membentuk Tap MPR yang mencabut atau mengubahnya.190

MK tentu diragukan kewenangannya untuk menguji Ketetapan MPR karena Ketetapan MPR bukan Undang-Undang dan kedudukannya berada diatas UU.

Pertanyaan ini sesungguhnya juga muncul pada saat Ketetapan MPR tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Namun pertanyaan itu dapat dijawab dengan merujuk kepada Ketetapan MPR, khusus untuk Ketetapan MPR yang disebut di dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, karena ketentuan pasal itu telah menyamakan kedudukan Ketetapan MPR terkait dengan UU.

Sedangkan terhadap Ketetapan MPR yang ditentukan dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, MK tidak memiliki wewenang menguji karena ketentuan Pasal 2 itu sendiri tidak memungkinkan adanya perubahan atau pencabutan dengan UU.

Ketetapan-ketetapan MPR dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dapat diposisikan sebagai bagian dari konstitusi secara luas.191

B. Konstruksi Yuridis Tap MPR RI Dalam Hierarki Peraturan

Dokumen terkait