• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM KETATANEGARA DI INDONESIA

B. Perdebatan Kedudukan MPR Dalam Sistem Parlemen

Negara yang menganut sistem bikameral terdapat dua badan yang bertemu dalam parlemennya, yang terdiri dari majelis tinggi dan majelis rendah. Kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan keanggotaan majelis tinggi adalah perwakilan atas kewilayahan atau teritorial, kelas atau kelompok sosial, kelompok fungsional, identitas etnis, dan lain-lain sebagaimana dikehendaki oleh rakyat yang dituangkan dalam konstitusi. Sedangkan anggota majelis rendah adalah dipilih dan/atau mewakili rakyat berdasarkan jumlah atau proporsi politik penduduk.73

Anggota MPR terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang seluruhnya dipilih melalui pemilu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih berdasarkan jumlah suara, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih tidak lebih luas dibandingkan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebagai wakil daerah , Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih dari tiap-tiap provinsi dengan jumlah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tiap provinsi sama. Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seluruhnya tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).74

Di dalam keanggotaan Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) terlihat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebagai wakil daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak mempunyai kewenangan yang cukup signifikan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak lebih hanya sebagai pelengkap

73 Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaultan dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan), Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara, (Malang : Intrans Publishing), 2011, hlm. 34.

74 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam Undang-Undang Dasar 1945 Baru, (Yogyakarta : FH UII Pres), 2013, hlm. 23.

dan formalitas saja. Untuk mensejajarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) maka perlu membangun sistem bikameral yang efektif, artinya terjadi check and balances antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing.75

Dalam sistem parlemen bikameral, kata kuncinya adalah saling control diantara majelis tinggi dan majelis rendah untuk menimbulkan keseimbangan politik di dalam parlemen itu sendiri, karena check and balances itu tidak hanya terjadi antara legislatif dan eksekutif, tetapi di dalam tubuh legislatif itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan penguatan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), agar tercipta sistem check and balances dalam kamar di Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR).76

Untuk memperbaiki konstruksi MPR tidak sekedar melihat fungsi DPR dan DPD saja, tetapi juga perlu membahas mengenai sistem parlemennya. Jika kebanyakan negara sistem parlemennya adalah unikameral atau bikameral, maka untuk parlemen Indonesia ada yang berpendapat sistemnya adalah bikameral, dan ada pula yang berpendapat sistemnya trikameral.77

Sistem parlemen Indonesia dikatakan trikameral karena MPR merupakan lembaga negara yang berdiri sendiri dan bersifat permanen. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menentukan bahwa anggota MPR mengucapkan sumpah tersendiri yang terpisah dengan sumpah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Anggota Dewan Perwakilan Daerah

75 Ibid, hlm. 24.

76 Ibid, hlm. 25.

77 Ibid, hlm 26.

(DPD) . Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memiliki tata tertib dan memiliki hak-hak protokoler serta hak keuangan dan administrasi. Sebagaimana lembaga yang berdiri sendiri, MPR mempunyai alat kelengkapan tersendiri yaitu Pimpinan Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) dan Panitia Ad Hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).78

Parlemen di dalam sebuah negara biasanya mempunyai kedudukan yang tinggi dan mempunyai kewenangan yang tinggi pula. Inggris misalnya, parlemenya mempunyai kedudukan yang tinggi (the supremacy of parliament) dan mempuyai kekuasaan yang tinggi pula. Dalam sistem politik Inggris, kedaulatan dipusatkan pada satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan tertinggi yaitu parlemen.79

Sistem pemerintahan Indonesia sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 hampir menyerupai sistem pemerintahan Inggris dalam menempatkan kedaulatan rakyat pada satu lembaga negara tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perbedaan dengan sistem pemerintahan di Inggris, jika Inggris menganut fusion of power dengan memusatkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada parlemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia tidak mengandung unsur eksekutif dan judikatif.80

Sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 tampaknya cenderung meniru sistem pemerintahan Amerika Serikat, akan tetapi tidak menirunya secara konsisten. UUD 1945 setelah amandemen ingin menerapkan separation of power sebagaimana sistem Amerika Serikat, tetapi di dalam prakteknya separation of power itu dilakukan. Dalam sistem Amerika Serikat, kekuasaan membuat Undang-Undang atau kekuasaan legislatif dijalankan oleh Konggres.81 Presiden Amerika Serikat tidak ikut campur dalam pembentukan peraturan undang-undang, hanya Presiden mempunyai hak untuk memveto Undang-Undang. Sementara dalam sistem

78 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

79 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingan dengan Negara-Negara lain, (Bandung : Nusamedia), 2007, hlm. 12.

80 Ibid, hlm. 13.

81 Ibid, hlm. 14.

pemerintahan Indonesia, kekuasaan membuat Undang-Undang tidak hanya dijalankan oleh lembaga perwakilan, tetapi harus mendapat persetujuan bersama presiden, artinya negara Indonesia tidak konsisten menjalankan separation of power karena Presiden masih ikut serta dalam pembuatan Undang-Undang.

Berkaca dari sistem parlemen di negara-negara lain semestinya kita tidak meniru sistem parlemen negara lain, tetapi kita perlu menyusun sistem parlemen sendiri dengan ciri khas Indonesia. Meskipun dalam menyusun sistem parlemen sendiri kita juga belajar dari pengalaman negara-negara lain.

Dalam melakukan rekonstruksi terhadap lembaga Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) dapat ditawarkan alternatif-alternatif sebagai berikut: alternatif pertama, agar keanggotaan Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) lebih representatif, maka Anggota Majelis Permusyawratan Rakyat (MPR) selain dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Derah (DPD) perlu di tambah Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari elemen masyarakat mempunyai wakil di parlemen.82

Penambahan unsur utusan golongan ini sesuai dengan semangat para pendiri bangsa ketika menyusus Undang-Undang Dasar. Dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Muhammad Yamin menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan diduduki oleh wakil-wakil daerah, dan wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Wakil-wakil daerah sangat perlu karena Indonesia yang terdiri atas beberapa daerah, wakil-wakilnya tidak menurut banyaknya penduduk dalam daerah saja, melainkan pula dengan melihat keadaan daerah, maka diadakanlah wakil untuk mewakili daerah dalam permusyawaratan. Demikian pula dalam Majelis duduk wakil-wakil golongan rakyat”.83

Pendapat Muhammad Yamin mengenai keangotaan Majelis Permusyawaratan dipertegas oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal

82 Anwar, Teori dan Hukum…., Op.Cit, hlm. 36.

83 Ibid, hlm. 37.

15 Juli 1945. Dalam sidang Soepomo menyatakan Bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan rakyat”.84

Keangggotaan MPR saat sekarang ini belum mewakili seluruh elemen masyarakat, karena meskipun Anggota Mejelis Permusyawartan Rakyat (MPR) terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan perwakilan Daerah (DPD), dalam kenyataannya mereka yang mewakili daerah dengan menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagian dari mereka sebelumnya aktif di partai politik dan pernah menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diusung oleh partai politik tertentu.85 Masih terdapat golongan masyarakat yang belum terwakili dalam keanggotaan Majelis Permusyawratan Rakyat (MPR). Golongan masyarakat yang belum terwakili tersebut misalnya golongan masyarakat dari unsur keagamaan, kesatuan masyarakat hukum adat, dan masyarakat yang mempunyai aspirasi tertentu. Golongan masyarakat yang akan mempunyai wakil di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut keberadaannya tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta tidak terafiliasi oleh partai oleh partai politik tertentu.

Untuk menentukan wakil dari golongan, negara menentukan golongan mana yang akan mengisi keanggotan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Calon Anggota Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) dari utusan golongan ini ditentukan

84 Ibid, hlm. 38.

85 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR….… ,Op. Cit, hlm. 28.

oleh internal golongan masyarakat itu sendiri. Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur golongan ini diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, sementara mekanisme dan syarat calon Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari utusan golongan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penentun keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari berbagai elemen masyarakat ini, bisa berkaca dari Parlemen Iran. Keanggotaan parlemen Iran mencakup berbagai aliran dan pandangan politik yang beragam. Bahkan, meskipun Iran merupakan negara Islam, tetapi kaum yahudi Iran mempunyai wakil di Parlemen.86

Jika sistem parlemen Indonesia yang berada dengan sistem parlemen di negara-negara lain ini tetap dipertahankan, yaitu ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka yang perlu dilakukan adalah mensejajarkan kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta memperkuat kewenangan Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara yang berdiri sendiri dan bersifat permanen.

Rekonstruksi lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga perlu dilakukan kaitannya dengan pengambilan keputusan dalam persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selama ini, pengambilan keputusan persidangan Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) hampir selalu dilakukan dengan voting.

Musyawarah yang terjadi semangat para pendiri bangsa ketika membahas lembaga Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR), saat sekarang ini sudah ditinggalkan. Padahal Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) merupakan lembaga permusyawaratan, sehingga seharusnya setiap pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah.87

Pengambilan keputusan dengan cara musyawarah diperlukan agar tidak terjadi demokrasi yang mau menang sendiri. Dengan bermusyawarah segala perbedaan yang

86 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan….., Op. Cit, hlm.20-21.

87 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR……, Op. Cit, hlm. 30.

ada dapat dicarikan jalan tengahnya, sehingga keputusan itu dapat diterima oleh semua pihak. Pengambilan suara dengan cara voting akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan, karena masing-masing pihak masih tetap pada pendiriannya.

C. Fungsi Legislasi Dalam Perkembangan Indonesia Setelah Perubahan UUD

Dokumen terkait