• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di dalam jaminan fidusia dikenal dengan asas pengakuan, dimana benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Jadi dari asas pengakuan tersebut telah diatur tentang kedudukan pihak pemberi fidusia sebagai pihak debitur maupun kedudukan pihak penerima fidusia sebagai kreditur.

Apabila pihak pemberi fidusia sebagai kreditur dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka hal tersebut menjadikan fidusia sama seperti dengan jual beli dengan hak membeli kembali, dimana kalau penjual (debitur) tidak membeli kembali barangnya, maka pembeli (kreditur) menjadi pemilik dari barang yang telah dijual.1

Seorang sarjana yaitu Dr. A. Veenhoven2

Apabila pendapat dari pada Dr. A. Veenhoven tersebut, maka si pemberi fidusia sebagai kreditur dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas pengakuan yang dianut di dalam fidusia serta bertentangan dengan asas yang dianut di dalam sistem hukum menyetujui bentuk dari pada fidusia seperti bentuk di dalam jual beli dengan hak membeli kembali dengan syarat tambahan sebagai berikut :

Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik fidusia, hak miliknya digantungkan pada syarat putus (ontbindende voorwaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi).

1

Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Cetakan pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta , 1984, hal. 47.

jaminan pada umumnya, di mana di dalam hukum jaminan dikatakan bahwa seorang penerima jaminan sebagai kreditur tidak dibolehkan menjadi pemilik barang jaminan, bahkan setelah pemberi jaminan sebagai debitur cedera janji, maka penerima jaminan sebagai kreditur dilarang menjadi pemilik dari barang jaminan. Setelah pemberi jaminan sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan sebagai kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual objek yang menjadi jaminan secara umum (lelang) dan hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar hutang dari pemberi jaminan sebagai debitur terhadap piutang dari penerima jaminan sebagai kreditur.

Begitu juga di dalam pemberian jaminan fidusia, maka penerima jaminan fidusia sebagai kreditur tidak dibolehkan menjadi pemilik barang jaminan, bahkan setelah pemberi jaminan fidusia sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan fidusia sebagai kreditur dilarang menjadi pemilik dari barang jaminan fidusia. Setelah pemberi jaminan fidusia sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan fidusia sebagai kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual objek yang menjadi jaminan fidusia secara umum (lelang) dan hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar hutang dari pemberi jaminanfidusia sebagai debitur terhadap piutang dari penerima jaminanfidusia sebagai kreditur. Atau dengan kata lain bahwa tujuan dari para pihak di dalam melakukan pemberian jaminan fidusia adalah bukan untuk menyerahkan hak milik dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya mengadakan jaminan.

Pendapat tersebut di atas juga dianut oleh Mahkamah Agung RI dalam Putusannya Nomor 1500 K/Sip/1978 yang pertimbangannya menyatakan1

1Ibid, hal. 47.

Menimbang, ……. Maka sekarang inikarena jelas penggugat asal sebagai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka tergugat asal dapat menggunakan ketentuan dalam ayat (9) Pasal VII PMK yang bersangkutan, dan seperti halnya dalam gadaian ia dapat melakukan penjualan-penjualan umum atas barang yang diikat dengan fiduciaire eigendoms overdracht

tersebut untuk kemudian memperhitungkan dengan sisa penggugat asal.

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut di atas, apabila pemberi fidusia sebagai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya atau lalai untuk memenuhi kewajibannya terhadap penerima fidusia sebagai kreditur, maka penerima fidusia sebagai kreditur tidak dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, penerima fidusia hanya dapat melakukan penjualan-penjualan umum (lelang) terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut sebagaimana penjualan-penjualan umum yang dilakukan di dalam gadai yang diatur di dalam Pasal 1155 KUH Perdata dan Pasal 1156 KUH Perdata. Akan tetapi jika selama pemberi fidusia sebagai debitur belum melakukan kelalaian memenuhi kewajibannya terhadap penerima fidusia sebagai kreditur, maka kedudukan penerima fidusia sebagai kreditur adalah hanya sebagai penerima jaminan fidusia saja dan belum dapat melakukan penjualan-penjualan umum (lelang) terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.

Sehingga berdasarkan pembahasan di atas, kedudukan penerima fidusia sebagai kreditur adalah sebagai pemegang jaminan fidusia dan kewenangannya adalah sebagai pemilik yang terbatas terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut, karena apabila pemberi fidusia tidak melakukan kelalaian terhadap kewajibannya, maka penerima fidusia tidak dapat melakukan penjualan umum terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.

Selanjutnya mengenai kedudukan pemberi fidusia sebagai debitur di dalam jaminan fidusia, maka melalui penyerahan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia secara constitutum possessorium pemberi fidusia berkedudukan sebagai orang yang tetap menguasai benda yang dijadikan objek fidusia atas dasar penitipan yang diberikan oleh penerima fidusia kepada pemberi fidusia, karena pemberi fidusia hanya dapat menguasai benda yang dijadikan objek fidusia dan tidak boleh menjual atau mengalihkan benda yang dijadikan objek fidusia tersebut.

Kalaupun pemberi fidusia akan menjual atau mengalihkan benda yang dijadikan objek fidusia, maka pemberi fidusia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari penerima fidusia dengan ketentuan bahwa hasil penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut harus digunakan untuk membayar hutang-hutang pemberi fidusia terhadap piutang penerima fidusia.

Dengan demikian penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia yang dilakukan oleh pemberi fidusia kepada pihak ketiga dengan ijin dari penerima fidusia dengan ketentuan bahwa hasil penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut harus digunakan untuk membayar hutang-hutang pemberi fidusia terhadap piutang penerima fidusia adalah sah, karena hak kepemilikan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut berada di tangan penerima fidusia. Dengan keadaan seperti tersebut di atas, kreditur sebagai penerima jaminan menganggap bahwa debitur sebagai pemberi jaminan telah melakukan wanprestasi, sehingga kreditur dapat membatalkan perjanjian pemberian kredit dan mewajibkan kepada debitur melunasi semua hutangnya serta bunga yang telah diperjanjikan kepada kreditur.

BAB III

TUGAS DAN WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA